Rabu, Oktober 2

Rumus Posthink: mengubah Iri menjadi Pembelajaran

Diposting oleh Orestilla di 09.56.00


Ada sedikit rasa iri -ganti- banyak rasa iri ketika mengetahui ada begitu banyak teman yang berhasil melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri. Ada yang ke Jepang, Jerman, Australia dan terakhir Amerika Serikat. Betapa beruntungnya mereka. Betapa banyaknya ilmu yang bisa mereka gali di luar sana. Betapa banyak jumlah relasi yang mereka dapatkan dari seluruh belahan dunia. Betapa banyaknya kuantitas cerita yang bisa mereka ceritakan nantinya pada anak cucu mereka. Ah. Betapa sangat beruntungnya.
Bukannya tidak bersyukur pada apa yang sudah bisa saya raih hari ini. Tidak. Tidak sama sekali. Saya sudah ceritakan berkali-kali, betapa beruntungnya saya bisa disekolahkan di IPDN, betapa beruntungnya saya yang langsung bekerja segera setelah menamatkan pendidikan saya di sana, betapa beruntungnya saya bisa melanjutkan lagi pendidikan saya setelah itu. Saya bersyukur, sangat bersyukur. Namun apa yang teman-teman pertontonkan dari seberang sana mengusik saya. Saya bertekad untuk belajar lebih banyak lagi, walau tak bisa menapakkan kaki di negara lain yang jaraknya saja memakan waktu perjalanan puluhan jam dari Indonesia tercinta.
Bukankah segala hal yang “menyesakkan” seperti ini harus dicarikan rumus perbaikannya? Maka saya mulai “mem-positive-thinking-kan” keinginan menggebu yang mungkin tak akan pernah lagi saya raih. Hiks. Karena sekarang, begitu saya membuka pembicaraan tentang kelanjutan pendidikan, mama dan papa akan langsung memborbardir dan memblokir pembicaraan dengan satu tema penutup yaitu pernikahan. Dan setelahnya saya akan tutup mulut kemudian menggelar tikar di pojokan kamar, bersemedi dan menghilang dari peredaran. Hahaha.
Oke. Rumus tadi menghasilkan sebuah kesepakatan dengan hati dan diri saya sendiri bahwa saya harus “memanfaatkan” mereka yang tengah mencari ilmu di luar sana. Lumayan kan. Dengan memiliki teman-teman baik dan berpengetahuan dengan pengalaman langsung seperti mereka, saya bisa bertanya banyak hal yang belum saya ketahui. For example, kemaren pas Oni (red- Vioni Derosya - Sahabat masa SMA yang kini tengah melanjutkan pendidikannya di Jepang) mengetengahkan sebuah potret makanan yang saya yakin adalah sebuah telor mata sapi setengah matang, ternyata adalah cemilan khas Jepang yang sering dimakan dalam acara minum teh. Namanya Okashi. Rasanya manis seperti penampakannya. Nah itu contoh kecil yang besar sekali manfaatkan kan? Coba bayangkan jika suatu hari nanti saya punya kesempatan mengecap udara Jepang dan ketemu sama makanan ini, saya pasti teriak (dalam bahasa Jepang) “Buk..beli telor mata sapinya satu”. Nyahahaha. kan ceritanya jadi luar biasa memalukan.

ini dia okashi. Mirip telor-setengah-matang kan? haha

Contoh lain pas pagi ini saya nyambangi facebooknya Ardi. Ini teman alam maya yang sedang merintis mimpi besarnya di Florida. Saya tertarik pada salah satu statusnya, “Ichetucknee Spring, one of the natural spring but really look like it just can see in dreaming. 59 minutes from GNV guys.” Coba kalo nggak baca ini, saya juga nggak akan pernah tau kalo ada sebuah tempat menarik di luar sana yang yaaaaaa..bisa jadi suatu hari nanti saya datangi kan. Haha. Ardi memberi konfirmasi tambahan bahwa ternyata waktu tempuh natural spring tersebut hanya 48 menit dari GNV. Oke sip. Tambahan pengetahuannya segera saya selamatkan ke kotak ilmu pribadi. Haha.


So far, thanks banget buat teman-teman yang lagi merajut asa dan mimpi mereka di luar sana. Sukses selalu untuk kalian. Berkarya besarlah untuk Indonesia kita tercinta. Buktikan pada dunia, bahwa Indonesia punya banyak generasi muda yang bisa diandalkan. Salam hangat dari Indonessia bagian barat yang sedang mendung dan dingin. Hoaaamm. Saya lanjut kerja dulu. Bye.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Rabu, Oktober 2

Rumus Posthink: mengubah Iri menjadi Pembelajaran

Diposting oleh Orestilla di 09.56.00


Ada sedikit rasa iri -ganti- banyak rasa iri ketika mengetahui ada begitu banyak teman yang berhasil melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri. Ada yang ke Jepang, Jerman, Australia dan terakhir Amerika Serikat. Betapa beruntungnya mereka. Betapa banyaknya ilmu yang bisa mereka gali di luar sana. Betapa banyak jumlah relasi yang mereka dapatkan dari seluruh belahan dunia. Betapa banyaknya kuantitas cerita yang bisa mereka ceritakan nantinya pada anak cucu mereka. Ah. Betapa sangat beruntungnya.
Bukannya tidak bersyukur pada apa yang sudah bisa saya raih hari ini. Tidak. Tidak sama sekali. Saya sudah ceritakan berkali-kali, betapa beruntungnya saya bisa disekolahkan di IPDN, betapa beruntungnya saya yang langsung bekerja segera setelah menamatkan pendidikan saya di sana, betapa beruntungnya saya bisa melanjutkan lagi pendidikan saya setelah itu. Saya bersyukur, sangat bersyukur. Namun apa yang teman-teman pertontonkan dari seberang sana mengusik saya. Saya bertekad untuk belajar lebih banyak lagi, walau tak bisa menapakkan kaki di negara lain yang jaraknya saja memakan waktu perjalanan puluhan jam dari Indonesia tercinta.
Bukankah segala hal yang “menyesakkan” seperti ini harus dicarikan rumus perbaikannya? Maka saya mulai “mem-positive-thinking-kan” keinginan menggebu yang mungkin tak akan pernah lagi saya raih. Hiks. Karena sekarang, begitu saya membuka pembicaraan tentang kelanjutan pendidikan, mama dan papa akan langsung memborbardir dan memblokir pembicaraan dengan satu tema penutup yaitu pernikahan. Dan setelahnya saya akan tutup mulut kemudian menggelar tikar di pojokan kamar, bersemedi dan menghilang dari peredaran. Hahaha.
Oke. Rumus tadi menghasilkan sebuah kesepakatan dengan hati dan diri saya sendiri bahwa saya harus “memanfaatkan” mereka yang tengah mencari ilmu di luar sana. Lumayan kan. Dengan memiliki teman-teman baik dan berpengetahuan dengan pengalaman langsung seperti mereka, saya bisa bertanya banyak hal yang belum saya ketahui. For example, kemaren pas Oni (red- Vioni Derosya - Sahabat masa SMA yang kini tengah melanjutkan pendidikannya di Jepang) mengetengahkan sebuah potret makanan yang saya yakin adalah sebuah telor mata sapi setengah matang, ternyata adalah cemilan khas Jepang yang sering dimakan dalam acara minum teh. Namanya Okashi. Rasanya manis seperti penampakannya. Nah itu contoh kecil yang besar sekali manfaatkan kan? Coba bayangkan jika suatu hari nanti saya punya kesempatan mengecap udara Jepang dan ketemu sama makanan ini, saya pasti teriak (dalam bahasa Jepang) “Buk..beli telor mata sapinya satu”. Nyahahaha. kan ceritanya jadi luar biasa memalukan.

ini dia okashi. Mirip telor-setengah-matang kan? haha

Contoh lain pas pagi ini saya nyambangi facebooknya Ardi. Ini teman alam maya yang sedang merintis mimpi besarnya di Florida. Saya tertarik pada salah satu statusnya, “Ichetucknee Spring, one of the natural spring but really look like it just can see in dreaming. 59 minutes from GNV guys.” Coba kalo nggak baca ini, saya juga nggak akan pernah tau kalo ada sebuah tempat menarik di luar sana yang yaaaaaa..bisa jadi suatu hari nanti saya datangi kan. Haha. Ardi memberi konfirmasi tambahan bahwa ternyata waktu tempuh natural spring tersebut hanya 48 menit dari GNV. Oke sip. Tambahan pengetahuannya segera saya selamatkan ke kotak ilmu pribadi. Haha.


So far, thanks banget buat teman-teman yang lagi merajut asa dan mimpi mereka di luar sana. Sukses selalu untuk kalian. Berkarya besarlah untuk Indonesia kita tercinta. Buktikan pada dunia, bahwa Indonesia punya banyak generasi muda yang bisa diandalkan. Salam hangat dari Indonessia bagian barat yang sedang mendung dan dingin. Hoaaamm. Saya lanjut kerja dulu. Bye.

0 komentar on "Rumus Posthink: mengubah Iri menjadi Pembelajaran"

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea