Ada sedikit rasa iri -ganti-
banyak rasa iri ketika mengetahui ada begitu banyak teman yang berhasil
melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri. Ada yang ke Jepang, Jerman,
Australia dan terakhir Amerika Serikat. Betapa beruntungnya mereka. Betapa
banyaknya ilmu yang bisa mereka gali di luar sana. Betapa banyak jumlah relasi
yang mereka dapatkan dari seluruh belahan dunia. Betapa banyaknya kuantitas
cerita yang bisa mereka ceritakan nantinya pada anak cucu mereka. Ah. Betapa
sangat beruntungnya.
Bukannya tidak bersyukur
pada apa yang sudah bisa saya raih hari ini. Tidak. Tidak sama sekali. Saya
sudah ceritakan berkali-kali, betapa beruntungnya saya bisa disekolahkan di
IPDN, betapa beruntungnya saya yang langsung bekerja segera setelah menamatkan
pendidikan saya di sana, betapa beruntungnya saya bisa melanjutkan lagi
pendidikan saya setelah itu. Saya bersyukur, sangat bersyukur. Namun apa yang
teman-teman pertontonkan dari seberang sana mengusik saya. Saya bertekad untuk
belajar lebih banyak lagi, walau tak bisa menapakkan kaki di negara lain yang
jaraknya saja memakan waktu perjalanan puluhan jam dari Indonesia tercinta.
Bukankah segala hal yang “menyesakkan”
seperti ini harus dicarikan rumus perbaikannya? Maka saya mulai “mem-positive-thinking-kan”
keinginan menggebu yang mungkin tak akan pernah lagi saya raih. Hiks. Karena
sekarang, begitu saya membuka pembicaraan tentang kelanjutan pendidikan, mama
dan papa akan langsung memborbardir dan memblokir pembicaraan dengan satu tema
penutup yaitu pernikahan. Dan setelahnya saya akan tutup mulut kemudian
menggelar tikar di pojokan kamar, bersemedi dan menghilang dari peredaran.
Hahaha.
Oke. Rumus tadi menghasilkan
sebuah kesepakatan dengan hati dan diri saya sendiri bahwa saya harus “memanfaatkan”
mereka yang tengah mencari ilmu di luar sana. Lumayan kan. Dengan memiliki
teman-teman baik dan berpengetahuan dengan pengalaman langsung seperti mereka,
saya bisa bertanya banyak hal yang belum saya ketahui. For example, kemaren pas
Oni (red- Vioni Derosya - Sahabat masa SMA yang kini tengah melanjutkan
pendidikannya di Jepang) mengetengahkan sebuah potret makanan yang saya yakin
adalah sebuah telor mata sapi setengah matang, ternyata adalah cemilan khas
Jepang yang sering dimakan dalam acara minum teh. Namanya Okashi. Rasanya manis
seperti penampakannya. Nah itu contoh kecil yang besar sekali manfaatkan kan?
Coba bayangkan jika suatu hari nanti saya punya kesempatan mengecap udara
Jepang dan ketemu sama makanan ini, saya pasti teriak (dalam bahasa Jepang) “Buk..beli
telor mata sapinya satu”. Nyahahaha. kan ceritanya jadi luar biasa memalukan.
ini dia okashi. Mirip telor-setengah-matang kan? haha |
Contoh lain pas pagi ini
saya nyambangi facebooknya Ardi. Ini teman alam maya yang sedang merintis mimpi
besarnya di Florida. Saya tertarik pada salah satu statusnya, “Ichetucknee Spring, one
of the natural spring but really look like it just can see in dreaming. 59
minutes from GNV guys.” Coba kalo nggak baca ini, saya juga nggak akan
pernah tau kalo ada sebuah tempat menarik di luar sana yang yaaaaaa..bisa jadi
suatu hari nanti saya datangi kan. Haha. Ardi memberi konfirmasi tambahan bahwa
ternyata waktu tempuh natural spring
tersebut hanya 48 menit dari GNV. Oke sip. Tambahan pengetahuannya segera saya selamatkan
ke kotak ilmu pribadi. Haha.
So far, thanks banget buat
teman-teman yang lagi merajut asa dan mimpi mereka di luar sana. Sukses selalu
untuk kalian. Berkarya besarlah untuk Indonesia kita tercinta. Buktikan pada
dunia, bahwa Indonesia punya banyak generasi muda yang bisa diandalkan. Salam
hangat dari Indonessia bagian barat yang sedang mendung dan dingin. Hoaaamm.
Saya lanjut kerja dulu. Bye.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)