Sudah tahun 2058. Sudah 70 tahun usiaku kini. Kuraba wajahku
yang dulu mulus kencang, sekarang keriput disana sini. Kuperhatikan jari
jemariku yang dulu sanggup menari indah di atas keyboard menuntaskan puluhan
cerpen dalam seminggu, kini jangankan menulis lagi, membersihkan gelas kaca
saja sudah menjadi prestasi luar biasa bila aku berhasil membuatnya kembali
bersinar tanpa pecah terlebih dahulu. Pandanganku semakin kabur seiring
pertambahan umur. Kini tanpa kacamata andalan ini, aku tak bisa lagi
mengerjakan apa-apa, membaca apa-apa, melihat apa-apa.
Tubuhku yang sudah ringkih sedang duduk bersandar pada
sebuah kursi tua yang berkejaran usianya denganku. Badanku diselimuti rajut wol
tebal yang membuatku hangat dan nyaman di dalam ruangan dingin karena air conditionernya
diatur maksimal. Aku bingung dengan perawat baru yang dua hari lalu diantar
puteriku ke apartemen ini. Dia tidak harus menyelimutiku setiap hari. Bukankah
cukup hanya dengan mengatur suhu ruangan saja? Namun aku memilih diam karena
berkata-kata lebih banyak dari biasanya hanya membuatku letih.
Mataku menangkap sebuah potret keluarga. 50 tahun silam.
Saat mama dan papa masih hidup. Saat aku dan ketiga saudaraku baru beranjak
remaja. Kami terlihat bahagia di sana. Memilih taman bunga asri milik mama
sebagai latar foto. Rumah kecil kami tampak asri. Pohon pelindung mengelilingi kediaman
kami. Hijau, menyegarkan. Bahkan hanya dengan memandangnya dari potret tua ini,
aroma menenangkan itu masih bisa terhirup oleh hidung tuaku. Ah. Rindu sekali
dengan mereka. Saat ini adik-adikku tengah menikmati masa tua mereka di belahan
bumi yang lain. Jarak memisahkan kami. Mereka memilih menghabiskan waktu
bersama cucu-cucunya. Sementara aku yang bulan lalu ditinggalkan kekasih hati -
suamiku - tanpa seorang anak pun dari hasil pernikahan kami, memutuskan untuk
tinggal di apartemen ini. Sebuah tempat yang selama bertahun-tahun kami gunakan
untuk melepas penat dari segala rutinitas.
Jendela apartemenku tak seperti jendela rumah kami di masa
lalu. Jendela ini ditutup sempurna, berkaca tebal, mempertontonkan pemandangan
mengerikan di luar sana. Setidaknya untukku. Jendela rumah kami di masa lalu
terbuat dari kayu, teman papa yang menjadi desainer interiornya. Jendela kayu
dengan dua daun yang ketika dibuka pada pagi hari akan mempersembahkan udara
dingin nan segar, menyampaikan aroma daun basah. Masih ada tetes embun yang
tersisa ketika mentari belum sepenuhnya membara. Namun kini yang ada di depan
mataku adalah hal mengerikan yang pernah ada. Kendaraan berseliweran
dimana-mana. Ini bukan lagi darat, tetapi sudah menjamah udara. Aku sedang
berada di lantai 20 dan sebuah mainan anak berumur 5 tahun sedang mangkal di
depan jendela kamarku. Ada seorang balita di dalam sana. Senyumnya membuat
bahagiaku membuncah. Ingin memeluknya tapi ia sedang asyik berada dalam mainan
terbaru tahun ini yang dikendalikan dan dikontrol orangtuanya dari satu tempat
yang tak terdeteksi oleh mataku. Baru saja hendak mendekat kearahnya, mainan
itu melesat jauh dari tempatku.
Mataku menatap lama ke depan. Kota besar ini sudah berubah
banyak dari tahun ke tahun. Sudah tak ada lagi pohon hidup. Keberadaannya
digantikan oleh pohon-pohon listrik yang seakan sedang berayun-ayun ditiup
angin. PALSU..! Aku ingat, puluhan tahun yang lalu aku dengan jiwa muda yang
masih menggebu-gebu mengikuti sebuah proyek menulis bertema #30DaysSaveEarth.
Betapa narasi mampu membuatku sadar bahwa bumi sedang membutuhkan tangan-tangan
penuh kepedulian. Maka mulailah aku menaklukkan mimpi dan ambisi kami,
menjadikannya nyata, memulainya dari lingkungan keluarga, tetangga,
teman-teman. Aku berharap bumi kedepannya akan menjadi lebih baik. Namun
langkah kecilku terkalahkan oleh mereka-mereka yang sudah tak lagi peduli.
Dengan membabi buta mereka menghancurkan bumi, menancapkan tekhnologi hebat
tanpa mengindahkan jeritan bumi. Aku kalah. Bumi mengalah.
Airmataku menetes hebat.
Diusia senja, aku tiba-tiba saja ingin kembali menjadi anak 5 tahun seperti
gadis kecil tadi. Bukan karena mainan hebatnya. Aku hanya ingin kembali ke
kampung halamanku dulu. Yang keindahan surga dunianya masih menancap kuat dalam
kenanganku. Aku ingin kembali merasakan betapa sempurnanya siang hari yang
sejuk di bawah beringin tua rindang sembari membaca novel-novel favoritku. Aku
ingin menginjakkan kaki ke lumpur sawah kemudian berlari di bawah hujan,
menyeberangi sungai kecil, bercanda ria bersama teman-teman. Aku ingin menjamah
tanah-tanah humus penuh gizi bagi tanaman-tanaman kesayangan kami, menanam
bunga bersama mama, lalu mengikuti langkahnya ke arah dapur, belajar darinya
agar bisa menciptakan masakan-masakan luar biasa. Dan jika aku tak bisa kembali
lagi seperti dulu, doaku kali ini hanya satu. Doa sederhana yang kutitip pada
malaikat penjaga agar disampaikannya pada Sang Pencipta. Aku ingin mati.
Sekarang juga!
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)