Rabu, Oktober 23

#Day23 #30DaysSaveEarth - Aku Ingin Mati

Diposting oleh Orestilla di 11.32.00
Sudah tahun 2058. Sudah 70 tahun usiaku kini. Kuraba wajahku yang dulu mulus kencang, sekarang keriput disana sini. Kuperhatikan jari jemariku yang dulu sanggup menari indah di atas keyboard menuntaskan puluhan cerpen dalam seminggu, kini jangankan menulis lagi, membersihkan gelas kaca saja sudah menjadi prestasi luar biasa bila aku berhasil membuatnya kembali bersinar tanpa pecah terlebih dahulu. Pandanganku semakin kabur seiring pertambahan umur. Kini tanpa kacamata andalan ini, aku tak bisa lagi mengerjakan apa-apa, membaca apa-apa, melihat apa-apa.
Tubuhku yang sudah ringkih sedang duduk bersandar pada sebuah kursi tua yang berkejaran usianya denganku. Badanku diselimuti rajut wol tebal yang membuatku hangat dan nyaman di dalam ruangan dingin karena air conditionernya diatur maksimal. Aku bingung dengan perawat baru yang dua hari lalu diantar puteriku ke apartemen ini. Dia tidak harus menyelimutiku setiap hari. Bukankah cukup hanya dengan mengatur suhu ruangan saja? Namun aku memilih diam karena berkata-kata lebih banyak dari biasanya hanya membuatku letih.
Mataku menangkap sebuah potret keluarga. 50 tahun silam. Saat mama dan papa masih hidup. Saat aku dan ketiga saudaraku baru beranjak remaja. Kami terlihat bahagia di sana. Memilih taman bunga asri milik mama sebagai latar foto. Rumah kecil kami tampak asri. Pohon pelindung mengelilingi kediaman kami. Hijau, menyegarkan. Bahkan hanya dengan memandangnya dari potret tua ini, aroma menenangkan itu masih bisa terhirup oleh hidung tuaku. Ah. Rindu sekali dengan mereka. Saat ini adik-adikku tengah menikmati masa tua mereka di belahan bumi yang lain. Jarak memisahkan kami. Mereka memilih menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya. Sementara aku yang bulan lalu ditinggalkan kekasih hati - suamiku - tanpa seorang anak pun dari hasil pernikahan kami, memutuskan untuk tinggal di apartemen ini. Sebuah tempat yang selama bertahun-tahun kami gunakan untuk melepas penat dari segala rutinitas.
Jendela apartemenku tak seperti jendela rumah kami di masa lalu. Jendela ini ditutup sempurna, berkaca tebal, mempertontonkan pemandangan mengerikan di luar sana. Setidaknya untukku. Jendela rumah kami di masa lalu terbuat dari kayu, teman papa yang menjadi desainer interiornya. Jendela kayu dengan dua daun yang ketika dibuka pada pagi hari akan mempersembahkan udara dingin nan segar, menyampaikan aroma daun basah. Masih ada tetes embun yang tersisa ketika mentari belum sepenuhnya membara. Namun kini yang ada di depan mataku adalah hal mengerikan yang pernah ada. Kendaraan berseliweran dimana-mana. Ini bukan lagi darat, tetapi sudah menjamah udara. Aku sedang berada di lantai 20 dan sebuah mainan anak berumur 5 tahun sedang mangkal di depan jendela kamarku. Ada seorang balita di dalam sana. Senyumnya membuat bahagiaku membuncah. Ingin memeluknya tapi ia sedang asyik berada dalam mainan terbaru tahun ini yang dikendalikan dan dikontrol orangtuanya dari satu tempat yang tak terdeteksi oleh mataku. Baru saja hendak mendekat kearahnya, mainan itu melesat jauh dari tempatku.
Mataku menatap lama ke depan. Kota besar ini sudah berubah banyak dari tahun ke tahun. Sudah tak ada lagi pohon hidup. Keberadaannya digantikan oleh pohon-pohon listrik yang seakan sedang berayun-ayun ditiup angin. PALSU..! Aku ingat, puluhan tahun yang lalu aku dengan jiwa muda yang masih menggebu-gebu mengikuti sebuah proyek menulis bertema #30DaysSaveEarth. Betapa narasi mampu membuatku sadar bahwa bumi sedang membutuhkan tangan-tangan penuh kepedulian. Maka mulailah aku menaklukkan mimpi dan ambisi kami, menjadikannya nyata, memulainya dari lingkungan keluarga, tetangga, teman-teman. Aku berharap bumi kedepannya akan menjadi lebih baik. Namun langkah kecilku terkalahkan oleh mereka-mereka yang sudah tak lagi peduli. Dengan membabi buta mereka menghancurkan bumi, menancapkan tekhnologi hebat tanpa mengindahkan jeritan bumi. Aku kalah. Bumi mengalah.


Airmataku menetes hebat. Diusia senja, aku tiba-tiba saja ingin kembali menjadi anak 5 tahun seperti gadis kecil tadi. Bukan karena mainan hebatnya. Aku hanya ingin kembali ke kampung halamanku dulu. Yang keindahan surga dunianya masih menancap kuat dalam kenanganku. Aku ingin kembali merasakan betapa sempurnanya siang hari yang sejuk di bawah beringin tua rindang sembari membaca novel-novel favoritku. Aku ingin menginjakkan kaki ke lumpur sawah kemudian berlari di bawah hujan, menyeberangi sungai kecil, bercanda ria bersama teman-teman. Aku ingin menjamah tanah-tanah humus penuh gizi bagi tanaman-tanaman kesayangan kami, menanam bunga bersama mama, lalu mengikuti langkahnya ke arah dapur, belajar darinya agar bisa menciptakan masakan-masakan luar biasa. Dan jika aku tak bisa kembali lagi seperti dulu, doaku kali ini hanya satu. Doa sederhana yang kutitip pada malaikat penjaga agar disampaikannya pada Sang Pencipta. Aku ingin mati. Sekarang juga!

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Rabu, Oktober 23

#Day23 #30DaysSaveEarth - Aku Ingin Mati

Diposting oleh Orestilla di 11.32.00
Sudah tahun 2058. Sudah 70 tahun usiaku kini. Kuraba wajahku yang dulu mulus kencang, sekarang keriput disana sini. Kuperhatikan jari jemariku yang dulu sanggup menari indah di atas keyboard menuntaskan puluhan cerpen dalam seminggu, kini jangankan menulis lagi, membersihkan gelas kaca saja sudah menjadi prestasi luar biasa bila aku berhasil membuatnya kembali bersinar tanpa pecah terlebih dahulu. Pandanganku semakin kabur seiring pertambahan umur. Kini tanpa kacamata andalan ini, aku tak bisa lagi mengerjakan apa-apa, membaca apa-apa, melihat apa-apa.
Tubuhku yang sudah ringkih sedang duduk bersandar pada sebuah kursi tua yang berkejaran usianya denganku. Badanku diselimuti rajut wol tebal yang membuatku hangat dan nyaman di dalam ruangan dingin karena air conditionernya diatur maksimal. Aku bingung dengan perawat baru yang dua hari lalu diantar puteriku ke apartemen ini. Dia tidak harus menyelimutiku setiap hari. Bukankah cukup hanya dengan mengatur suhu ruangan saja? Namun aku memilih diam karena berkata-kata lebih banyak dari biasanya hanya membuatku letih.
Mataku menangkap sebuah potret keluarga. 50 tahun silam. Saat mama dan papa masih hidup. Saat aku dan ketiga saudaraku baru beranjak remaja. Kami terlihat bahagia di sana. Memilih taman bunga asri milik mama sebagai latar foto. Rumah kecil kami tampak asri. Pohon pelindung mengelilingi kediaman kami. Hijau, menyegarkan. Bahkan hanya dengan memandangnya dari potret tua ini, aroma menenangkan itu masih bisa terhirup oleh hidung tuaku. Ah. Rindu sekali dengan mereka. Saat ini adik-adikku tengah menikmati masa tua mereka di belahan bumi yang lain. Jarak memisahkan kami. Mereka memilih menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya. Sementara aku yang bulan lalu ditinggalkan kekasih hati - suamiku - tanpa seorang anak pun dari hasil pernikahan kami, memutuskan untuk tinggal di apartemen ini. Sebuah tempat yang selama bertahun-tahun kami gunakan untuk melepas penat dari segala rutinitas.
Jendela apartemenku tak seperti jendela rumah kami di masa lalu. Jendela ini ditutup sempurna, berkaca tebal, mempertontonkan pemandangan mengerikan di luar sana. Setidaknya untukku. Jendela rumah kami di masa lalu terbuat dari kayu, teman papa yang menjadi desainer interiornya. Jendela kayu dengan dua daun yang ketika dibuka pada pagi hari akan mempersembahkan udara dingin nan segar, menyampaikan aroma daun basah. Masih ada tetes embun yang tersisa ketika mentari belum sepenuhnya membara. Namun kini yang ada di depan mataku adalah hal mengerikan yang pernah ada. Kendaraan berseliweran dimana-mana. Ini bukan lagi darat, tetapi sudah menjamah udara. Aku sedang berada di lantai 20 dan sebuah mainan anak berumur 5 tahun sedang mangkal di depan jendela kamarku. Ada seorang balita di dalam sana. Senyumnya membuat bahagiaku membuncah. Ingin memeluknya tapi ia sedang asyik berada dalam mainan terbaru tahun ini yang dikendalikan dan dikontrol orangtuanya dari satu tempat yang tak terdeteksi oleh mataku. Baru saja hendak mendekat kearahnya, mainan itu melesat jauh dari tempatku.
Mataku menatap lama ke depan. Kota besar ini sudah berubah banyak dari tahun ke tahun. Sudah tak ada lagi pohon hidup. Keberadaannya digantikan oleh pohon-pohon listrik yang seakan sedang berayun-ayun ditiup angin. PALSU..! Aku ingat, puluhan tahun yang lalu aku dengan jiwa muda yang masih menggebu-gebu mengikuti sebuah proyek menulis bertema #30DaysSaveEarth. Betapa narasi mampu membuatku sadar bahwa bumi sedang membutuhkan tangan-tangan penuh kepedulian. Maka mulailah aku menaklukkan mimpi dan ambisi kami, menjadikannya nyata, memulainya dari lingkungan keluarga, tetangga, teman-teman. Aku berharap bumi kedepannya akan menjadi lebih baik. Namun langkah kecilku terkalahkan oleh mereka-mereka yang sudah tak lagi peduli. Dengan membabi buta mereka menghancurkan bumi, menancapkan tekhnologi hebat tanpa mengindahkan jeritan bumi. Aku kalah. Bumi mengalah.


Airmataku menetes hebat. Diusia senja, aku tiba-tiba saja ingin kembali menjadi anak 5 tahun seperti gadis kecil tadi. Bukan karena mainan hebatnya. Aku hanya ingin kembali ke kampung halamanku dulu. Yang keindahan surga dunianya masih menancap kuat dalam kenanganku. Aku ingin kembali merasakan betapa sempurnanya siang hari yang sejuk di bawah beringin tua rindang sembari membaca novel-novel favoritku. Aku ingin menginjakkan kaki ke lumpur sawah kemudian berlari di bawah hujan, menyeberangi sungai kecil, bercanda ria bersama teman-teman. Aku ingin menjamah tanah-tanah humus penuh gizi bagi tanaman-tanaman kesayangan kami, menanam bunga bersama mama, lalu mengikuti langkahnya ke arah dapur, belajar darinya agar bisa menciptakan masakan-masakan luar biasa. Dan jika aku tak bisa kembali lagi seperti dulu, doaku kali ini hanya satu. Doa sederhana yang kutitip pada malaikat penjaga agar disampaikannya pada Sang Pencipta. Aku ingin mati. Sekarang juga!

0 komentar on "#Day23 #30DaysSaveEarth - Aku Ingin Mati"

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea