Jumat, Mei 17

Suka Duka si Penjual Online

Diposting oleh Orestilla di 09.31.00 0 komentar


Sebelumnya ada yang harus saya konfirmasi terlebih dahulu sebelum teman-teman membaca postingan ini. Bukan bermaksud menularkan energi negatif di pagi cerah ini. Hanya sekedar berbagi. Yaaa..tentunya berbagi dengan teman-teman yang mungkin juga punya masalah dan sedikit “uneg-uneg” yang sama seperti saya sebagai penjual online.
Agak berbeda dengan topik-topik sebelumnya yang pernah saya angkat di laman ini, tiba-tiba saja saya tertarik untuk membahas satu sidejob yang sudah saya geluti hampir 3 tahun belakangan ini. Jualan via internet atau lebih dikenal dengan istilah shopping online.

Seperti halnya berjualan secara langsung, shopping online pun memiliki plus minus. Plus karena customer bisa memilih barang apa saja yang up to date tentunya. Bisa jadi produk yang sudah booming via internet belum ada di kota customer yang bersangkutan. Minus karena selain tak bisa meraba produk-produk tersebut, customer juga harus siap dengan resiko jika produk yang dibeli tidak sesuai dengan harapan dan keinginan.
 
Tak hanya pembeli, resiko menjadi seorang penjual online pun tidak lah sedikit. Terkadang problem itu datang dari pihak supplier. Dan kebanyakan memang dari customer itu sendiri. Seperti kejadian beberapa waktu yang lalu. Saat saya secara pribadi telah memberikan kelonggaran kepada customer untuk membayar ketika produk yang dipesan sudah diterima dengan baik, saya malah dimaki untuk sesuatu yang memang telah menjadi hak saya. Hal apa lagi yang bisa saya lakukan selain bersabar, bersabar dan bersabar. Dan tadi pagi ketika secara mendadak salah seorang customer mengcancel barang yang sudah diorder beberapa hari yang lalu, saya merasa benar-benar tak dihormati sama sekali. Pembeli memang selalu diposisikan sebagai raja, namun raja yang bijak pun tak seharusnya menginjak-injak bawahannya bukan?
Alasannya customer saya hari ini sangat klise: “Barang tidak sampai sesuai dengan perjanjian”
Padahal jika boleh membantah dan membela diri, saya selaku penjual sudah mewanti-wanti pihak supplier untuk mengirimkan barang tepat waktu. Dan saya pun yakin supplier juga melakukan hal yang sama agar kepuasan customer tetap terjaga. Namun sebagai manusia biasa, terkadang kenyataan memang tak selalu beriringin dengan harapan. Kendala tekhnis bisa saja terjadi selama paket berada dalam perjalanan. Siapa yang tahu?
Tidak banyak customer yang bisa mengerti dengan situasi dan kondisi seperti ini. Kebanyakan dari mereka hanya mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan alasan yang kami punya. Tak sedikit juga diantara mereka yang melontarkan kata-kata pedas dan sikap tak beretika. Mari menilik kembali ke awal cerita, bukankah kami selaku penjual dan pengantar juga manusia biasa yang tak luput dari salah dan khilaf? Saat customer memutuskan untuk mengcancel order, kerugian terbesar ada di pihak kami sebagai penjual online. Bukankah itu menunjukkan ketidakpantasan?
Untuk teman-teman dan seluruh customer yang masih menaruh kepercayaan pada saya maupun rekan lain yang juga memiliki usaha yang sama, salam hormat dari kami. Terimakasih karena masih memiliki hati untuk tak menyakiti. Mari saling menghargai satu sama lain :)

Kamis, Mei 16

Cerita Cinta dibalik Sebatang Rokok

Diposting oleh Orestilla di 13.11.00 0 komentar


Bandung, 2 april 2008
Semilir angin sejuk menerpa sekujur tubuh saat aku mulai turun dari bus yang kutumpangi. Jam yang melingkar dipergelangan tangan menunjukkan pukul lima sore. Aspal yang kuinjak masih lembab karena hujan yang beberapa waktu lalu mengguyurnya dalam dingin. Dedaunan masih meneteskan bening-bening air. Begitu segar terlihat hingga tanah dibawahnya pun seperti bersuka ria menampungnya.

Bandung. Sebuah kota yang begitu kuidamkan sejak dulu. Begitu banyak bayangan yang terlintas dibenakku tentang kota ini, dari keadaan kotanya hingga orang-orang yang mendiaminya. Kota ini terlalu indah bila dibayangkan, hingga untuk melewatinya saja seperti berjalan dalam mimpi besar. Tapi takdir baik memang berpihak padaku kali ini karena sekarang aku telah menjadi bagian kecil dari Bandung. Pendidikan yang harus kutempuh membawaku ke kota kembang ini.

Aku melangkah melewati jalanan yang dikiri dan kanannya ditumbuhi banyak pohon. Mereka lah yang berkontribusi besar dalam menyediakan asupan oksigen bagi jutaan makhluk hidup di kota ini. Langkahku terhenti saat dikejauhan terlihat sebuah angkot jurusan Dago, arah yang akan mengantarkanku ke sebuah kamar kos, tempat yang kujadikan istana peristirahatan. Aku menaiki kendaraan itu, interiornya yang terlihat usang menunjukkan bahwa kendaraan ini mulai menua. Catnya terkelupas disana-sini, lantai bawahnya diseraki puluhan puntung rokok. Pemandangan itu tentu saja membuatku senang. Sebagai pecandu rokok, fenomena seperti ini semakin membuatku merasa bahwa merokok adalah hal yang wajar dilakukan di kendaraan umum seperti ini.

Aku merogoh sebungkus rokok beserta korek api dari saku jaket yang ku pakai. Dengan santai ku sulut rokok pertama. Klik. Korek api yang kupegang melontarkan si jago merah. Huff. Paru-paruku mendapat asupan gizi darinya, segar sekali.

“Punten a’..rokoknya bisa dimatiin? Saya nggak bisa terkena asap rokok”. Kata-kata sopan seperti itu terdengar kasar ditelingaku. Mataku langsung mencari sumber suara. Kerudung merah dengan dengan bros kupu-kupu terlihat membungkus kepalanya, matanya yang sipit dan raut wajah sedikit marah mulai menatapku tajam. Yap. Ini dia pelakunya yang sukses membangunkan kekesalanku. Gelap yang mulai menjalar diluar sana ditambah penerangan angkot yang terbatas tak menjadi halangan bagiku untuk memastikan bahwa gadis yang tadi telah membuatku kesal ternyata memiliki paras yang luar biasa cantiknya.

Rokok yang tadinya kupegang dengan jemariku kini kuhisap.Lah..inikan angkot. Sarana umum dan semua orang toh punya hak merokok disini. Tuh liat banyak puntung dilantainya.” ucapku sembari menunjuk lantai. “Jadi saya bukan orang pertama yang merokok di angkot ini.” 

“Tapi saya gak bisa kena asap rokok..!!! dengan lantang dia menjawab. Jawaban yang sedikit mengagetkanku. Kebetulan penumpang angkot hanya kami berdua saja sehingga tidak akan memalukan harus ribut dengan gadis ini.

Jadi maunya kamu, rokok ini dimatiin gitu? Enak aja..belinya pake uang woi.” jawabku lagi dengan suara yang lebih lantang dari sebelumnya.

Dengan pelan ia memukul pundak sang supir angkot, Mang, berhenti disini aja. Saya muak liat muka dia” ucapnya pada sang supir. Angkot pun berhenti, dengan sigap ia turun dan langsung memberikan beberapa recehan kepada si supir angkot. Kepergiannya malah mendatangkan perasaan tak enak yang tiba-tiba saja menjalari hatiku. Aku baru saja membuat orang lain marah hanya karena sebatang rokok. Bukankah itu keterlaluan? Tapi ya sudahlah. Mau bagaimanapun sosoknya telah menghilang.

Sebuah gang terlihat di ujung sana ketika aku bersiap turun dari angkot. Setelah membayar, kaki ku menjejali meter per meter jalan tersebut. Tanah becek menghiasi perjalananku sore itu, mengitari lorong lurus yang memang sudah setiap hari kulewati. Kuhembuskan nafas panjang ketika sebuah rumah dengan berpagar besi yang sudah berkarat terpampang nyata didepan mataku. Ya.  Inilah kos tempatku tinggal selama dibandung. Sudah genap tiga tahun aku disini, berkecamuk dengan udara Bandung yang terkenal segar, melewati ribuan suka duka. Sedikit kasar, ku buka pintu pagar hingga mendendangkan derit yang masih sama. Aku melangkah memasuki rumah. Aroma kurang sedap yang berasal dari onggokan sampah di kiri kanan lorong rumah ini menyergap indera penciumanku. Tak hanya bau, sampah-sampah tersebut juga tampak sangat menjijikkan. Suara bising yang tidak jelas terdengar saat aku melewati kamar-kamar lain dirumah ini. Asap rokok menyeruak. Pandanganku beralih pada sebuah kamar bernomor lima yang di pintu masuknya ditempeli sebuah papan kecil bertuliskan  homo dilarang masuk. Kamarku.
***
Air keran itu berhenti mengalir saat aku telah menyelesaikan ritual wajibku pagi ini, mandi. Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Belum telat karena perkuliahan pagi ini dimulai pukul Sembilan. Kuambil rokok dari atas sebuah meja kecil yang kujadikan sebagai tempat meletakkan hiasan-hiasan kecil kamarku. Sebuah figura hitam tempat aku selalu menemukan senyum Ibu, Sebuah miniatur jam gadang, kebanggaan daerahku, dan sebuah asbak using yang dulu kubeli di sebuah pasar loak. Ruangan kamarku mulai dipenuhi asap rokok. Tak lama setelah itu, aku segera beranjak menuju kampus dengan sebuah tas yang tersandang dipundakku. Ketika berasa di atas angkot, tiba-tiba saja aku teringat kembali akan kejadian kemarin sore. Kenangan singkat yang mengundang senyum sungging dibibirku. Ah, ada-ada aja. Batinku.

Jam perkuliahan selesai saat matahari telah berdiri tegak diatas kepala, menandakan pagi hari telah berlalu pergi. Perutku yang belum terisi sedari pagi seolah-olah mulai berorasi dan meminta haknya padaku. “Oke. Ini namanya lapar” ucapku lebih pada diri sendiri sembari mengelus perut.

Lapar membawaku pada sebuah kantin yang terlihat ramai. Dan lapar juga lah yang membuat otak ku semakin gaduh hanya dengan mendengar banyak ucap dan pembicaraan di tempat ini. Bagiku tak ada logika tanpa logistik. Tak peduli dengan apa yang sedang terjadi disekitarku, makan adalah target yang harus segera kutuntaskan. Dalam sekejab, meja persegi didepanku berhiaskan sepiring nasi ayam dan segelas jus strawberry favoritku. Terlihat sangat menantang  segera dihabiskan. Layaknya seorang kesatria, aku menggenggam sendok dan garpuku laksana pedang dengan gagahnya. Suapan pertama terasa begitu nikmat.
 
Praaannngg..!!!
Bunyi gaduh itu tiba-tiba saja terdengar saat piring makananku jatuh kelantai, pecah dan semua isinya berhamburan di lantai. Seseorang telah menyenggolnya. Semua pengunjung kantin menatapku. Tak hanya kaget, kebanyakan dari mereka malah tersenyum bahkan tertawa cekikikan. Tubuhku membeku malu, nafasku tercekat. What the fuck’s going on? teriakku dalam hati.
 
Mataku perlahan mencari biang kerok siang ini. Ia masih berdiri didepanku. Baju kaos lengan panjang dengan motif garis-garis putih dan merah  membalut badannya. Kerudung berwarna jingga lembut melengkapi gaya berpakaiannya. Dan betapa kagetnya aku dengan apa yang kulihat, seorang gadis dengan wajah familiar menatapku dengan wajah datar. “Maaf, nggak sengaja.” ucapnya dengan ekspresi datar tanpa penyesalan.

Dengan cepat aku berdiri dari kursiku dan menatapnya dengan tajam. “Nggak sengaja kamu bilang? Nggak punya mata ya kamu sampai-sampai meja segede gini bisa kamu senggol?” teriakku dengan lantang hingga semua pengunjung kantin dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang kukatakan.

Aku nggak sengaja. Lagian udah minta maaf juga kan tadi?” jawabnya. Trus aku harus gimana dong? Gantiin makanan kamu?" tambahnya dengan nada dan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya.

Tanpa sepatah kata pun aku beranjak dari tempat itu. Perasaan malu, marah, dongkol dan sakit hati seakan-akan melebur, bercampur menjadi satu. Bahkan untuk menoleh kebelakang saja, aku sudah tak punya muka. Sebuah pohon besar yang berdiri tegak dengan kesombongannya menjadi tujuanku. Bangku kayu tua yang didesain apik mengelilinginya, menjadi tempatku bersandar untuk meredakan emosiku yang sedang meledak. Kayunya berderak pilu saat aku mendudukinya dengan emosi yang masih membara. Belum hilang kedongkolan itu, tiba-tiba saja aku terbayang dengan gadis tadi. Bukankah dia orang yang sama dalam kejadian kemarin sore diangkot? Batinku. Oh tuhan, aku bangkit berdiri. Sejenak aku berpikir tentang apa yang telah terjadi, bukankah perlakuanku di angkot dan kejadian yang barusan itu terlihat sama? Dalam dua kejadian berbeda, aku dan dia menjadi si pelaku dan si tersangka. Dan korban hanya bisa berlalu tanpa ada perlawanan. Apa maksud ini semua? Apakah gadis tadi sengaja berbuat begitu untuk membalas perlakuanku? Ataukah ini hanya kebetulan semata?
***
Suara gelak tawa memenuhi ruangan cafe malam itu. Malam selasa, dimana rutin diadakan stand up nite atau dalam bahasa awamnya malam ketika para comic atau stand up comedian menguji materi yang mereka punya. Lucu atau tidaknya penonton yang hadir. Kebetulan aku adalah salah seorang dari mereka, para stand up comedian. Aku menggeluti hal ini bukan untuk popularitas, hanya sekedar ajang untuk menghibur diri sendiri, seorang perantauan yang jauh dari keluarga. Seperti biasa aku duduk di hamparan sofa cafe yang letaknya disudut ruangan, tempat para comic berkumpul. Tibalah giliranku. Aku maju keatas panggung, berbicara dan mengeluarkan materi-materi yang sebelumnya telah kusiapkan sedari awal. Kalimat demi kalimat kulontarkan didepan pengunjung cafe agar mereka tertawa atas pemikiran yang kutuangkan malam itu. Selain menghibur diri, kepuasan yang kuperoleh ketika menghibur orang lain juga menjadi alasan aku berkecimpung dalam dunia penuh tawa seperti ini. Tepuk tangan meriah dari penonton memuaskan hasratku malam itu. Aku puas. Dengan perasaan senang aku berniat kembali duduk di tempatku semula. Namun ketika mendapati sofa-sofa disana telah terisi penuh, aku mencoba mencari tempat lain yang sekiranya masih kosong. Walaupun itu berarti, aku harus berpisah dari rombongan teman-teman stand up

Sebuah meja kayu bundar dengan dua kursi kosong menarik perhatianku. Tempat menarik. Akupun menuju meja tersebut. Namun ada kejanggalan ketika aku mendapati segelas minuman yang masih penuh tertata dengan rapi diatasnya. Mungkinkah si pemilik minuman ini sudah pergi tanpa sedikitpun menyentuhnya karena terlalu buru-buru? Setelah menunggu beberapa lama dan tak ada yang datang, aku duduk dengan tenang di singgasana baruku. Aku mulai tertawa lagi dengan suguhan rekanku di atas panggung sana. Adrenalinku terpacu cepat saat apa yang ia bicarakan mengundang selera humorku membelit otak. Tiba-tiba saja kursi kosong disampingku diduduki seorang gadis. Tawaku terhenti, mataku menatapnya.

“Wah..nggak nyangka ternyata orang sadis kayak kamu punya selera humor juga ya?” Suara itu terdengar jelas oleh indera pendengaranku. Cambuk panas seolah menampar dan menggores pipiku berulang kali. Perih rasanya.

Slrupp. Ia menyeruput minuman yang sedari tadi menjadi perhatianku, minumannya..!!
 
Kenapa diam? Lupa sama aku? Atau sekarang kamu lagi grogi atas dosa yang telah kamu perbuat?” ucap gadis itu lagi

Apa? Dosa? Helloooo..Kamu pikir aku lupa sama kejadian tadi siang di kantin? Otakku masih normal dan masih bisa mengingat dengan sangat jelas kalo yang numpahin makananku itu kamu!” balasku dengan nada penuh amarah. 

Bibirnya mengerucut. Tatapannya datarnya berubah sinis. Berarti impas kan?” jawabnya sembari  memegang tanganku yang terbaring disamping kursi. Seketika badanku terasa dingin dan didetik lain langsung berubah menjadi hangat. Walau hanya berlangsung sekian detik saja, tindakannya membuatku salah tingkah. Aku bingung dengan apa yang menimpaku. Ada apa ini? Kenapa perasaan aneh ini tiba-tiba datang begitu saja tanpa izin logika? Aku menggeleng perlahan dan mengenyampingkan respon aneh itu.

Impas? Jadi kejadian tadi siang kamu sengaja ya? tanyaku.

Iya dong. Aku nggak mau dan nggak akan kalah dari orang sadis kayak kamu.” balasnya sembari tersenyum. “Ya. Setidaknya aku bisa balas perlakuan kejam kamu diangkot waktu itu.”

Namaku yoana.” ucapnya tegas sembari menjulurkan tangan kanannya kearahku. Matanya yang sipit terlihat berbinar di bawah pantulan cahaya lampu cafe. Begitu magis dan seakan membius retina mataku untuk terus menikmatinya.

Dean.” jawabku dengan suara agak bergetar namun jelas terdengar. Kehangatan yang mengalir dari telapak tangannya seakan mampu mematahkan sifat beku dan kerasku. Sejenak kurasakan keadaan disekitarku berputar pelan. Tak pernah kurasakan sebelumnya kondisi seperti ini dalam hidupku. Aku bingung setengah mati.

Udah lama kamu jadi comic?” tanya yoana dengan suara yang lebih lembut, setidaknya tanpa emosi lagi.
Aku juga orang baru. Ya. Setidaknya bisa dijadiin ajang pembelajaran biar bisa ngomong depan orang banyak kayak gini.” jawabku.

Ooo..Aku juga suka komedi. Pengen sih nyoba openmic juga tapi takut nggak lucu. Ntar malah diketawain gara-gara garing. ucapnya sambil tertawa kecil. 

Jangan takut nyoba. Dulu aku juga takut buat openmic. Tapi nekat aja sih akhirnya. Masalah lucu nggak lucu mah urusan belakangan.” .jelasku lagi.

Yo..Aku minta maaf ya soal kejadian diangkot kemaren. Aku ngerasa nggak enak sama kamu.” ucapku akhirnya.

Ia tersenyum.Lupain aja. Aku juga minta maaf ya sama kamu soal makanan kamu tadi siang. Kayaknya aku harus traktir kamu deh.” ucapnya sambil kembali menyeruput minuman yang ada dimeja.

Hahaha..Boleh juga tuh. Tapi jangan sekarang deh. Aku lagi nggak laper. Besok aja gimana?” tawarku.

Oke. Dimana? Dikantin kampus aja gimana? Kan aku numpahin makanan kamu disana.” tanya Yoana lagi sambil tersenyum.

Boleh. Deal ya? Besok pas makan siang kita ketemu disana.” jawabku.

Suasana yang awalnya kaku dan tegang, sedikit demi sedikit mulai mencair dengan banyaknya gelak tawa yang tercipta malam itu. Kedekatan tercipta. Gunung es kemarahan diantara kami seolah tertabrak oleh tawa kami berdua. Luluh lantak dan hilang begitu saja.
***
Asap rokokku menari, meliuk diantara fentilasi jendela kantin, seakan ingin segera berlalu dari hadapanku, terbang dibawa angin dan tak pernah kembali lagi. Aku sedang menunggu seseorang. Seseorang yang dipertemukan denganku dengan cara aneh. Seseorang yang mengganggu tidurku malam ini. Seseorang yang awalnya membuatku selalu marah, namun pada akhirnya mampu mengubah pandangannya seratus delapan puluh derajat.

Hai De. Udah lama?” sapa Yoana. 

Eh Yo. Silahkan duduk. Nggak lah, baru juga dua hari.” jawabku mencoba menyenangkan suasana sembari mematikan rokok yang masih menyala diujung jemari kiriku.

Kenapa dimatiin? Kan belom habis.” tanya Yoana.

Nggak enak sama kamu. Ntar kamunya kabur lagi.” jawabku sambil tertawa kecil. 

Kamu bisa aja” timpal Yoana tertawa lepas. Tawa yang belum pernah sebelumnya kulihat dari seorang Yoana. Ekspresi tanpa beban yang membuat rasa penasaranku pada sosoknya semakin bertambah.
 
Cuaca siang itu terasa sejuk, sesejuk hatiku. Matahari menyembunyikan keangkuhannya. Pembicaraanku dan yoana membuat kami semakin akrab. Tanpa rasa canggung, sesekali Yoana mencubit tanganku ketika ada hal konyol dan lucu yang kuutarakan. Tak ada lagi permusuhan. Genderang perang telah berganti dengan bendera perdamaian.
***
Bandung, 26 oktober 2009
Satu tahun berlalu. Hampir setiap hari aku dan yoana bertemu. Keakrabanku dan Yoana menjelma menjadi sebuah kedekatan. Banyak hal lucu dan konyol yang kami lalui bersama. Terkadang secara sembunyi-sembunyi aku menyimpan cemburu jika ada laki- laki lain yang berusaha mendekatinya. Namun sebisa mungkin aku tak memperlihatkan perasaanku.  

Hari ini hari kelahiranku. Genap dua puluh satu tahun yang lalu aku dilahirkan disebuah kampung kecil di Sumatera sana. Aku hadir saat hujan dan petir menerjang bumi secara bersamaan. Tepat pukul enam tiga puluh sore.

Aroma asap rokok yang kuat tercium saat aku mulai memasuki rumah kos. Seperti biasa. Tak banyak hal baik yang bisa dilihat di temapt ini, hanya puntung rokok dan sampah yang berserakan dimana-mana. Tangan kananku merogoh saku dan mendapati sebuah kunci dengan mainan berbentuk gitar favoritku yang menggelantunginya. Suara berdenyit pelan terdengar saat aku membuka pintu yang memang sudah mulai reot. 

Teeettt..toooottt..teeeet. Suara terompet seakan menghancurkan gelembung jantungku. Aku tersentak dan kaget saat bunyi itu melengking di daun telingaku.

Happy birthday to you..happy birthday to you..” nyanyian itu kini memenuhi ruangan kamar kosku yang kecil. Suara yang sangat ku kenal. Yoana. Gadis itu kini mengenakan gaun berwarna ungu dengan motif bunga-bunga yang sangat pas sekali dengan paras manis khas wanita sunda. Ia terlihat sempurna. Ditangannya bertengger sebuah tart cokelat dengan puluhan lilin menyala. Ia tersenyum.Ayo tiup de..” ujar Yoana. Dengan sigap aku mendekati kumpulan ranting-ranting menyala itu dan bersiap untuk meniupnya. “Eitss..tunggu..tunggu..Make a wish dulu dong.” ucapnya lagi. Kupejamkan mata dan berdoa di dalam hati, Semoga aku dan yoana selalu bahagia dalam kebersamaan. Dengan nafas panjang teratur aku meniup lilin-lilin itu.

De, ini kado ulang tahun dari aku. Tapi kamu jangan buka sekarang. Tunggu ijin dari aku dulu. Yaaa…mungkin besok, lusa, seminggu, sebulan, atau setahun lagi.” ucap yoana sembari memberikan sebuah kotak berwarna coklat dengan ikatan pita kecil diatasnya.

Masa kado ulang tahun kayak gini Yo. Ribet ah.” jawabku pura-pura kesal.

Udah deh. Kamu nurut aja. Ntar kamu juga tau betapa spesialnya benda initambah Yoana. Mendengar ucapannya aku hanya bisa menganggguk, isyarat bahwa aku setuju dengan perjanjian dan permainan aneh yang sedang Yoana lakukan.

Kamar ini sekarang seakan berada di ujung pantai yang sepi. Tak ada satu diantara kami yang berniat untuk bersuara. Dengan pelan kupeluk tubuh yoana, mengalungkan kedua tanganku dipinggangnya nan mungil. Inilah kali pertamanya aku menyentuh yoana secara sengaja. Walaupun telah setahun lebih kami berteman akrab, namun tak pernah sebelumnya aku berani melakukan hal seperti ini. Yoana pun membalas pelukanku, ia mengalungkan kedua tangannya dileherku. Perpaduan aroma buah dan bunga menyentuh indera penciumanku. “Makasih ya yo.” bisikku ditelinganya. Yoana mendekapku kian erat sebagai balasan rasa terima kasihku.

Alunan lagu end of the rainbow yang dinyanyikan sandy sandoro kemudian mengisi aliran udara kamar kos ku. Lagu ini adalah lagu favorit kami berdua. Ia seakan menjelma menjadi soundtrack kedekatan kami selama ini. Punggungku bersandar didinding kamar. Rokok yang kuhisap kini mengeluarkan asap yang segera saja menghadirkan rasa sesak. Hanya ada satu jalan keluar bagi asap tersebut. Fentilasi kecil diatas jendela kaca yang sudah kelihatan usang di sudut sana. Kepalaku terasa berat, seakan-akan susunan tata surya di galaksi bima sakti tengah mengitari otakku dengan cepat. Ada satu perkara besar yang saat ini tengah kupikirkan. Malam ini adalah hari ulang tahunku dan aku berniat mengungkapkan sebuah agenda besar yang selama ini kupendam rapat-rapat dalam peti kediamanku. 

Aku mencintai yoana

Dan aku harus mengungkapkannya sekarang. Malam ini juga. Keberanian seolah-olah terlalu susah untuk kuraih saat itu. Begitu berat rasanya lidah untuk bernarasi dan merangkai abjad menjadi kalimat.
Yoana tengah asik melihat-lihat album foto yang tersimpan di folder laptopku. Ada ratusan foto disana, potret kami berdua. Rekapan kegiatan yagn kami lewati, jalan-jalan, gila-gilaan bareng, sampai hal-hal konyol yang sepertinya terlalu bodoh untuk diabadikan. Sesekali tawa kecil terlontar dari mulutnya. 

Yo, sini deh. Ada yang perlu diomongin.” ucapku pelan sambil kembali menghisap rokok di jemari tangan kiriku. 

Pandangan yoana kini beralih kepadaku, ia menatapku serius. “Kenapa De? Kamu mau ngomgong apa?” tanya yoana sambil menjauh dari laptop dan melangkah pelan kearahku. Ia memilih bersandar di dinding yang sama sepertiku.
 
Yoana menampar paha kananku dengan tangannya. Aku kaget, tentu saja. “Kenapa de? Itu muka serius amat.ucap sembari tertawa lebar

Aku lagi nggak becanda. Ini serius lo.jawabku yang kemudian mengubah raut muka Yoana. Lidahku terasa kelu saat aku ingin mengucapkan kata pertamaku untuk yoana. Bibirku serasa terikat kawat berduri yang sakit apabila kupaksa untuk membukanya.

De, aku juga mau ngomongin sesuatu sama kamu.” tiba-tiba saja ucapan Yoana menghentikan niat besarku.
 
Oh ya? Mau ngomong apa emangnya?” tanyaku pada yoana yang kini telah mendekap pergelangan tanganku.

Kamu duluan deh, ini nggak penting-penting banget kok” ucap Yoana datar, senyumannya terlihat terlalu dipaksakan. Tangannya mendekap lebih erat, seolah sedang takut dengan sesuatu.

Kamu duluan dong.” balasku sambil tersenyum, menenangkan keadaan, menenangkan hatiku

Yoana menatapku. De, kamu pernah nggak ngebayangin temen deket kamu sekarang ternyata harus pergi jauh dari kamu karena satu alasan yang menurut kamu menyakitkan?” tanya Yoana masih dengan mendekap tanganku. 

Kamu ngomong apa sih Yo? Kok jadi ngawur gini?jawabku merasa tak enak dengan pertanyaannya.

Aku..aku dijodohin sama anak temennya papa. Perjanjian masa lalu, begitu papa bilang. Dia kerja di Jerman dan itu berarti aku harus ikut dia ke jerman setelah kami menikah nanti.”

Pernyataan Yoana membuatku tersentak. Palu baja panas yang dililit rantai besi tajam dan berduri menghantam belakang kepalaku dengan telak. Pukulan itu melumpuhkanku. Panca inderaku serasa tak ada satupun yang dapat berfungsi dengan baik. Aku layaknya orang cacat. Telapak tanganku basah seakan airmata merembes melewatinya, saat aku tak mampu menghadirkannya lewat mata. Dadaku bergemuruh. Darahku mendesir seolah butiran batu magma tenggelam didasarnya.

Kamu serius? Nggak lagi bercanda kan?” tanyaku dengan suara gemetar dan serak.

Yoana menunduk. Iya de, aku nggak bercanda. Aku nggak bisa lagi bareng-bareng kamu.” Genggaman tangan yoana di pergelangan tanganku kini kubalas. Seperti berhimpitan, tanganku dan tangan yoana kini saling menggenggam.

Trus gimana? Kamu setuju dengan perjodohan itu?” tanyaku.

Mau nggak mau aku harus mau De. Ini semua juga demi keselamatan perusahaan papa. Kalau aku menolak, berarti aku siap liat papa bangkrut. Aku mohon kamu bisa ngertiin kondisi aku.Airmata pertama yoana menetes ditanganku saat ia mengakhiri kalimatnya. Yoana memelukku erat. Seakan ini hari terakhir ia akan bertemu denganku.
***
Ban mobil berdecit saat supir taksi itu menghentikan laju kendaraanya tepat di depan bandara Soekarno Hatta. Ini lah hari terburuk sepanjang hidupku. Hari dimana aku dan gadis yang kucintai harus berpisah tanpa mengetahui kapan kami akan dipertemukan kembali. Gadis yang padanya saja belum kuutarakan perasaanku. Rasa yang kini kusimpan jauh di dasar sana, masih tetap tersembunyi dan hanya akan kunikmati sendiri, entah sampai kapan. 

De, aku pergi ya. Jangan kebanyakan ngerokok. Nggak baik.” ucap yoana sambil tersenyum, matanya yang ditutupi kacamata hitam tak membuatku kehilangan tatapan lembut yang ia punya.

Iya Yo. Kamu juga. Janji buat selalu bahagia disana.” jawabku dengan senyum penuh keterpaksaan.
Pelukan terakhir Yoana mendarat hangat ditubuhku. Pelukan yang akan selalu membuncahkan kerinduan besar tentangnya.
***
Bandung, 13 april 2010
Bom atom pecah di kamar kos ku, serpihannya meluluhlantakkan semua yang ada didalamnya. Boom..!!!
Aku tersentak dari tidur siangku. Suara ketukan keras dan kasar terdengar dari luar pintu kamar. “Bang, ada surat nih.” suara itu sayup terdengar ditelingaku.

Iya, bentar.” jawabku dengan berat hati. Masih sempoyongan aku berjalan mendekati pintu dan membukanya. Terlihat seorang lelaki bertubuh gempal berdiri didepanku.

Ada apa Rud? Siang-siang gini ngetok pintu? macam om-om kebakaran jenggot” tanyaku kesal. 

Ini bang. Ada surat. Dari Jerman. Ciyeee..jauh amat penggemarnya.ucap Rudi sambil menyerahkan sebuah surat padaku dan segera berlalu.

Mendengar kata jerman saja ragaku langsung hidup kembali, serasa dialiri semangat kehidupan menggebu-gebu. Inikah surat dari Yoana? Surat dari gadis yang sudah lama tak pernah lagi kudengar kabarnya. Benar saja, di sudut kanan atas surat itu tertulis nama Yoana Marisa. Sebuah nama yang belum mampu kuhapus dari tembok hatiku. Kertas surat beraroma bunga mawar itu kubuka perlahan.

Dear Dean,
Apa kabar kamu? Sehat kan? Masih doyan ngerokok? J
Maaf ya De, semenjak aku pergi ke Jerman aku belum pernah ngasih kabar lagi ke kamu. Bukannya aku sombong apalagi lupa, tapi aku nggak tega aja kalau pada akhirnya kita hanya sama-sama merindu tanpa bisa ketemu. Aku dijerman sementara kamu di Indonesia. Bukan jarak yang dekat bukan?
Oya, kamu masih inget kado ulang tahun dariku waktu itu? Masih disimpen kan? Sekarang kamu boleh buka de dan maaf kalo aku terlalu takut untuk ngomong secara langsung ke kamu. Jaga diri baek-baek ya De, jaga kesehatan dan jangan ngerokok terus.
Salam rindu, Yoana.

Begitu surat itu kulipat, otakku langsung memerintahkan satu hal penting, temukan kado itu secepatnya! Tak butuh waktu lama mencarinya. Kado itu kusembunyikan di laci bawah meja belajarku, tersembunyi bersama beberapa barang yang jarang kugunakan. Sedikit berdebu namun masih indah untuk dilihat. Perlahan kukeluarkan ia dari kediamannya. Kutiup debu yang menempel diatasnya. Kubuka bungkusan kertas kado dan pita yang mengikatnya. Kotak itu memiliki kunci layaknya kunci kuno pada pintu rumah zaman dahulu. Antik. Rasa penasaranku meningkat saat kulihat isi kotak tersebut. Hanya sebuah kotak rokok kosong  dan secarik kertas yang mulai lusuh dan menguning. Surat lagi. Dengan cepat kuambil surat itu dan mulai membaca isinya.

Hai De..
Sekali lagi maaf. Kali ini untuk kado ulang tahun yang aneh menurutmu. Hanya bungkusan rokok kosong dan selembar kertas ini. Sangat jauh dari harapan ya De?
Kamu tau nggak kenapa aku ngasih kotak rokok kosong? Itu karena aku nggak mau kamu ngerokok lagi De. Aku nggak mau kamu menderita sepertiku, mati perlahan dalam keganasan kanker paru-paru. Ya. Aku memang sudah membohongimu sedari awal. Aku ke Jerman bukan untuk sebuah pesta pernikahan. Aku kesana untuk berobat De. Aku terpaksa ngelakuin ini semua karena aku nggak mau kamu sedih. Karena kesedihanmu hanya akan menjadi airmata bagiku disini, saat aku jauh darimu.
Ketika kamu membaca surat ini, aku sudah nggak ada lagi di dunia ini De. Karena itu berarti pengobatanku gagal dan prediksi dokter akan jatah umurku tak bisa lagi ditawar.
Maafin aku De.
Satu hal yang haus kamu tahu. Aku mencintaimu. Bahkan sebelum kamu menyadarinya. Aku berharap Tuhan akan mempertemukan kita dikehidupan lain.
Salam sayang, Yoana.

Kertas itu jatuh dari genggamanku, bumi terasa berguncang hebat. Aku seperti dihimpit batu besar jutaan kilo. Tak dapat bergerak dari liangku sendiri. Tetesan airmata tak mampu kutepis, sekuat apapun aku berusaha untuk menghentikannya.
***
Cinta dan kerinduan mengantarkanku pada sebuah rumah mewah berpagar tinggi. Rumah Yoana. Pintunya kuketuk dan tak lama kemudian keluar seorang perempuan paruh baya, mamanya Yoana.

Sofa empuk yang kududuki terasa berduri saat aku dan mama yoana duduk di sana. Mamanya menggenggam tanganku erat. “De, apa yang Yoana tulis itu benar. Yoana sudah meninggal sebulan yang lalu. Ibu nggak ngasih tau kamu karena itu pesan dari Yoana sendiri.” ucapnya sambil menahan airmatanya.Yoana minta dimakamkan di Jerman karena dia nggak mau kamu nanti menangis didepan nisannya. Yoana sayang kamu Dean. Dia hanya tidak ingin melihatmu terluka. Ibu mohon kamu ngerti ya nak.” tambahnya lagi.
Aku mengangguk lemah. Sekali lagi, airmataku menyeruak. Tangis kehilangan dan luapan kerinduan yang tak kan pernah kering meski panas mentari bersenandung diatasnya.

Padang, 5 april 2013
Hujan, rokok, dan kamu adalah secangkir rindu yang sedang kuseruput saat malam menjelang. Tiap tetesan yang jatuh mengungkap rahasia bagaimana bumi dan seisinya mempertemukan kita. Jauh disana, dipulau tak akan pernah lagi kita datangi.



Jumat, Mei 17

Suka Duka si Penjual Online

Diposting oleh Orestilla di 09.31.00 0 komentar


Sebelumnya ada yang harus saya konfirmasi terlebih dahulu sebelum teman-teman membaca postingan ini. Bukan bermaksud menularkan energi negatif di pagi cerah ini. Hanya sekedar berbagi. Yaaa..tentunya berbagi dengan teman-teman yang mungkin juga punya masalah dan sedikit “uneg-uneg” yang sama seperti saya sebagai penjual online.
Agak berbeda dengan topik-topik sebelumnya yang pernah saya angkat di laman ini, tiba-tiba saja saya tertarik untuk membahas satu sidejob yang sudah saya geluti hampir 3 tahun belakangan ini. Jualan via internet atau lebih dikenal dengan istilah shopping online.

Seperti halnya berjualan secara langsung, shopping online pun memiliki plus minus. Plus karena customer bisa memilih barang apa saja yang up to date tentunya. Bisa jadi produk yang sudah booming via internet belum ada di kota customer yang bersangkutan. Minus karena selain tak bisa meraba produk-produk tersebut, customer juga harus siap dengan resiko jika produk yang dibeli tidak sesuai dengan harapan dan keinginan.
 
Tak hanya pembeli, resiko menjadi seorang penjual online pun tidak lah sedikit. Terkadang problem itu datang dari pihak supplier. Dan kebanyakan memang dari customer itu sendiri. Seperti kejadian beberapa waktu yang lalu. Saat saya secara pribadi telah memberikan kelonggaran kepada customer untuk membayar ketika produk yang dipesan sudah diterima dengan baik, saya malah dimaki untuk sesuatu yang memang telah menjadi hak saya. Hal apa lagi yang bisa saya lakukan selain bersabar, bersabar dan bersabar. Dan tadi pagi ketika secara mendadak salah seorang customer mengcancel barang yang sudah diorder beberapa hari yang lalu, saya merasa benar-benar tak dihormati sama sekali. Pembeli memang selalu diposisikan sebagai raja, namun raja yang bijak pun tak seharusnya menginjak-injak bawahannya bukan?
Alasannya customer saya hari ini sangat klise: “Barang tidak sampai sesuai dengan perjanjian”
Padahal jika boleh membantah dan membela diri, saya selaku penjual sudah mewanti-wanti pihak supplier untuk mengirimkan barang tepat waktu. Dan saya pun yakin supplier juga melakukan hal yang sama agar kepuasan customer tetap terjaga. Namun sebagai manusia biasa, terkadang kenyataan memang tak selalu beriringin dengan harapan. Kendala tekhnis bisa saja terjadi selama paket berada dalam perjalanan. Siapa yang tahu?
Tidak banyak customer yang bisa mengerti dengan situasi dan kondisi seperti ini. Kebanyakan dari mereka hanya mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan alasan yang kami punya. Tak sedikit juga diantara mereka yang melontarkan kata-kata pedas dan sikap tak beretika. Mari menilik kembali ke awal cerita, bukankah kami selaku penjual dan pengantar juga manusia biasa yang tak luput dari salah dan khilaf? Saat customer memutuskan untuk mengcancel order, kerugian terbesar ada di pihak kami sebagai penjual online. Bukankah itu menunjukkan ketidakpantasan?
Untuk teman-teman dan seluruh customer yang masih menaruh kepercayaan pada saya maupun rekan lain yang juga memiliki usaha yang sama, salam hormat dari kami. Terimakasih karena masih memiliki hati untuk tak menyakiti. Mari saling menghargai satu sama lain :)

Kamis, Mei 16

Cerita Cinta dibalik Sebatang Rokok

Diposting oleh Orestilla di 13.11.00 0 komentar


Bandung, 2 april 2008
Semilir angin sejuk menerpa sekujur tubuh saat aku mulai turun dari bus yang kutumpangi. Jam yang melingkar dipergelangan tangan menunjukkan pukul lima sore. Aspal yang kuinjak masih lembab karena hujan yang beberapa waktu lalu mengguyurnya dalam dingin. Dedaunan masih meneteskan bening-bening air. Begitu segar terlihat hingga tanah dibawahnya pun seperti bersuka ria menampungnya.

Bandung. Sebuah kota yang begitu kuidamkan sejak dulu. Begitu banyak bayangan yang terlintas dibenakku tentang kota ini, dari keadaan kotanya hingga orang-orang yang mendiaminya. Kota ini terlalu indah bila dibayangkan, hingga untuk melewatinya saja seperti berjalan dalam mimpi besar. Tapi takdir baik memang berpihak padaku kali ini karena sekarang aku telah menjadi bagian kecil dari Bandung. Pendidikan yang harus kutempuh membawaku ke kota kembang ini.

Aku melangkah melewati jalanan yang dikiri dan kanannya ditumbuhi banyak pohon. Mereka lah yang berkontribusi besar dalam menyediakan asupan oksigen bagi jutaan makhluk hidup di kota ini. Langkahku terhenti saat dikejauhan terlihat sebuah angkot jurusan Dago, arah yang akan mengantarkanku ke sebuah kamar kos, tempat yang kujadikan istana peristirahatan. Aku menaiki kendaraan itu, interiornya yang terlihat usang menunjukkan bahwa kendaraan ini mulai menua. Catnya terkelupas disana-sini, lantai bawahnya diseraki puluhan puntung rokok. Pemandangan itu tentu saja membuatku senang. Sebagai pecandu rokok, fenomena seperti ini semakin membuatku merasa bahwa merokok adalah hal yang wajar dilakukan di kendaraan umum seperti ini.

Aku merogoh sebungkus rokok beserta korek api dari saku jaket yang ku pakai. Dengan santai ku sulut rokok pertama. Klik. Korek api yang kupegang melontarkan si jago merah. Huff. Paru-paruku mendapat asupan gizi darinya, segar sekali.

“Punten a’..rokoknya bisa dimatiin? Saya nggak bisa terkena asap rokok”. Kata-kata sopan seperti itu terdengar kasar ditelingaku. Mataku langsung mencari sumber suara. Kerudung merah dengan dengan bros kupu-kupu terlihat membungkus kepalanya, matanya yang sipit dan raut wajah sedikit marah mulai menatapku tajam. Yap. Ini dia pelakunya yang sukses membangunkan kekesalanku. Gelap yang mulai menjalar diluar sana ditambah penerangan angkot yang terbatas tak menjadi halangan bagiku untuk memastikan bahwa gadis yang tadi telah membuatku kesal ternyata memiliki paras yang luar biasa cantiknya.

Rokok yang tadinya kupegang dengan jemariku kini kuhisap.Lah..inikan angkot. Sarana umum dan semua orang toh punya hak merokok disini. Tuh liat banyak puntung dilantainya.” ucapku sembari menunjuk lantai. “Jadi saya bukan orang pertama yang merokok di angkot ini.” 

“Tapi saya gak bisa kena asap rokok..!!! dengan lantang dia menjawab. Jawaban yang sedikit mengagetkanku. Kebetulan penumpang angkot hanya kami berdua saja sehingga tidak akan memalukan harus ribut dengan gadis ini.

Jadi maunya kamu, rokok ini dimatiin gitu? Enak aja..belinya pake uang woi.” jawabku lagi dengan suara yang lebih lantang dari sebelumnya.

Dengan pelan ia memukul pundak sang supir angkot, Mang, berhenti disini aja. Saya muak liat muka dia” ucapnya pada sang supir. Angkot pun berhenti, dengan sigap ia turun dan langsung memberikan beberapa recehan kepada si supir angkot. Kepergiannya malah mendatangkan perasaan tak enak yang tiba-tiba saja menjalari hatiku. Aku baru saja membuat orang lain marah hanya karena sebatang rokok. Bukankah itu keterlaluan? Tapi ya sudahlah. Mau bagaimanapun sosoknya telah menghilang.

Sebuah gang terlihat di ujung sana ketika aku bersiap turun dari angkot. Setelah membayar, kaki ku menjejali meter per meter jalan tersebut. Tanah becek menghiasi perjalananku sore itu, mengitari lorong lurus yang memang sudah setiap hari kulewati. Kuhembuskan nafas panjang ketika sebuah rumah dengan berpagar besi yang sudah berkarat terpampang nyata didepan mataku. Ya.  Inilah kos tempatku tinggal selama dibandung. Sudah genap tiga tahun aku disini, berkecamuk dengan udara Bandung yang terkenal segar, melewati ribuan suka duka. Sedikit kasar, ku buka pintu pagar hingga mendendangkan derit yang masih sama. Aku melangkah memasuki rumah. Aroma kurang sedap yang berasal dari onggokan sampah di kiri kanan lorong rumah ini menyergap indera penciumanku. Tak hanya bau, sampah-sampah tersebut juga tampak sangat menjijikkan. Suara bising yang tidak jelas terdengar saat aku melewati kamar-kamar lain dirumah ini. Asap rokok menyeruak. Pandanganku beralih pada sebuah kamar bernomor lima yang di pintu masuknya ditempeli sebuah papan kecil bertuliskan  homo dilarang masuk. Kamarku.
***
Air keran itu berhenti mengalir saat aku telah menyelesaikan ritual wajibku pagi ini, mandi. Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Belum telat karena perkuliahan pagi ini dimulai pukul Sembilan. Kuambil rokok dari atas sebuah meja kecil yang kujadikan sebagai tempat meletakkan hiasan-hiasan kecil kamarku. Sebuah figura hitam tempat aku selalu menemukan senyum Ibu, Sebuah miniatur jam gadang, kebanggaan daerahku, dan sebuah asbak using yang dulu kubeli di sebuah pasar loak. Ruangan kamarku mulai dipenuhi asap rokok. Tak lama setelah itu, aku segera beranjak menuju kampus dengan sebuah tas yang tersandang dipundakku. Ketika berasa di atas angkot, tiba-tiba saja aku teringat kembali akan kejadian kemarin sore. Kenangan singkat yang mengundang senyum sungging dibibirku. Ah, ada-ada aja. Batinku.

Jam perkuliahan selesai saat matahari telah berdiri tegak diatas kepala, menandakan pagi hari telah berlalu pergi. Perutku yang belum terisi sedari pagi seolah-olah mulai berorasi dan meminta haknya padaku. “Oke. Ini namanya lapar” ucapku lebih pada diri sendiri sembari mengelus perut.

Lapar membawaku pada sebuah kantin yang terlihat ramai. Dan lapar juga lah yang membuat otak ku semakin gaduh hanya dengan mendengar banyak ucap dan pembicaraan di tempat ini. Bagiku tak ada logika tanpa logistik. Tak peduli dengan apa yang sedang terjadi disekitarku, makan adalah target yang harus segera kutuntaskan. Dalam sekejab, meja persegi didepanku berhiaskan sepiring nasi ayam dan segelas jus strawberry favoritku. Terlihat sangat menantang  segera dihabiskan. Layaknya seorang kesatria, aku menggenggam sendok dan garpuku laksana pedang dengan gagahnya. Suapan pertama terasa begitu nikmat.
 
Praaannngg..!!!
Bunyi gaduh itu tiba-tiba saja terdengar saat piring makananku jatuh kelantai, pecah dan semua isinya berhamburan di lantai. Seseorang telah menyenggolnya. Semua pengunjung kantin menatapku. Tak hanya kaget, kebanyakan dari mereka malah tersenyum bahkan tertawa cekikikan. Tubuhku membeku malu, nafasku tercekat. What the fuck’s going on? teriakku dalam hati.
 
Mataku perlahan mencari biang kerok siang ini. Ia masih berdiri didepanku. Baju kaos lengan panjang dengan motif garis-garis putih dan merah  membalut badannya. Kerudung berwarna jingga lembut melengkapi gaya berpakaiannya. Dan betapa kagetnya aku dengan apa yang kulihat, seorang gadis dengan wajah familiar menatapku dengan wajah datar. “Maaf, nggak sengaja.” ucapnya dengan ekspresi datar tanpa penyesalan.

Dengan cepat aku berdiri dari kursiku dan menatapnya dengan tajam. “Nggak sengaja kamu bilang? Nggak punya mata ya kamu sampai-sampai meja segede gini bisa kamu senggol?” teriakku dengan lantang hingga semua pengunjung kantin dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang kukatakan.

Aku nggak sengaja. Lagian udah minta maaf juga kan tadi?” jawabnya. Trus aku harus gimana dong? Gantiin makanan kamu?" tambahnya dengan nada dan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya.

Tanpa sepatah kata pun aku beranjak dari tempat itu. Perasaan malu, marah, dongkol dan sakit hati seakan-akan melebur, bercampur menjadi satu. Bahkan untuk menoleh kebelakang saja, aku sudah tak punya muka. Sebuah pohon besar yang berdiri tegak dengan kesombongannya menjadi tujuanku. Bangku kayu tua yang didesain apik mengelilinginya, menjadi tempatku bersandar untuk meredakan emosiku yang sedang meledak. Kayunya berderak pilu saat aku mendudukinya dengan emosi yang masih membara. Belum hilang kedongkolan itu, tiba-tiba saja aku terbayang dengan gadis tadi. Bukankah dia orang yang sama dalam kejadian kemarin sore diangkot? Batinku. Oh tuhan, aku bangkit berdiri. Sejenak aku berpikir tentang apa yang telah terjadi, bukankah perlakuanku di angkot dan kejadian yang barusan itu terlihat sama? Dalam dua kejadian berbeda, aku dan dia menjadi si pelaku dan si tersangka. Dan korban hanya bisa berlalu tanpa ada perlawanan. Apa maksud ini semua? Apakah gadis tadi sengaja berbuat begitu untuk membalas perlakuanku? Ataukah ini hanya kebetulan semata?
***
Suara gelak tawa memenuhi ruangan cafe malam itu. Malam selasa, dimana rutin diadakan stand up nite atau dalam bahasa awamnya malam ketika para comic atau stand up comedian menguji materi yang mereka punya. Lucu atau tidaknya penonton yang hadir. Kebetulan aku adalah salah seorang dari mereka, para stand up comedian. Aku menggeluti hal ini bukan untuk popularitas, hanya sekedar ajang untuk menghibur diri sendiri, seorang perantauan yang jauh dari keluarga. Seperti biasa aku duduk di hamparan sofa cafe yang letaknya disudut ruangan, tempat para comic berkumpul. Tibalah giliranku. Aku maju keatas panggung, berbicara dan mengeluarkan materi-materi yang sebelumnya telah kusiapkan sedari awal. Kalimat demi kalimat kulontarkan didepan pengunjung cafe agar mereka tertawa atas pemikiran yang kutuangkan malam itu. Selain menghibur diri, kepuasan yang kuperoleh ketika menghibur orang lain juga menjadi alasan aku berkecimpung dalam dunia penuh tawa seperti ini. Tepuk tangan meriah dari penonton memuaskan hasratku malam itu. Aku puas. Dengan perasaan senang aku berniat kembali duduk di tempatku semula. Namun ketika mendapati sofa-sofa disana telah terisi penuh, aku mencoba mencari tempat lain yang sekiranya masih kosong. Walaupun itu berarti, aku harus berpisah dari rombongan teman-teman stand up

Sebuah meja kayu bundar dengan dua kursi kosong menarik perhatianku. Tempat menarik. Akupun menuju meja tersebut. Namun ada kejanggalan ketika aku mendapati segelas minuman yang masih penuh tertata dengan rapi diatasnya. Mungkinkah si pemilik minuman ini sudah pergi tanpa sedikitpun menyentuhnya karena terlalu buru-buru? Setelah menunggu beberapa lama dan tak ada yang datang, aku duduk dengan tenang di singgasana baruku. Aku mulai tertawa lagi dengan suguhan rekanku di atas panggung sana. Adrenalinku terpacu cepat saat apa yang ia bicarakan mengundang selera humorku membelit otak. Tiba-tiba saja kursi kosong disampingku diduduki seorang gadis. Tawaku terhenti, mataku menatapnya.

“Wah..nggak nyangka ternyata orang sadis kayak kamu punya selera humor juga ya?” Suara itu terdengar jelas oleh indera pendengaranku. Cambuk panas seolah menampar dan menggores pipiku berulang kali. Perih rasanya.

Slrupp. Ia menyeruput minuman yang sedari tadi menjadi perhatianku, minumannya..!!
 
Kenapa diam? Lupa sama aku? Atau sekarang kamu lagi grogi atas dosa yang telah kamu perbuat?” ucap gadis itu lagi

Apa? Dosa? Helloooo..Kamu pikir aku lupa sama kejadian tadi siang di kantin? Otakku masih normal dan masih bisa mengingat dengan sangat jelas kalo yang numpahin makananku itu kamu!” balasku dengan nada penuh amarah. 

Bibirnya mengerucut. Tatapannya datarnya berubah sinis. Berarti impas kan?” jawabnya sembari  memegang tanganku yang terbaring disamping kursi. Seketika badanku terasa dingin dan didetik lain langsung berubah menjadi hangat. Walau hanya berlangsung sekian detik saja, tindakannya membuatku salah tingkah. Aku bingung dengan apa yang menimpaku. Ada apa ini? Kenapa perasaan aneh ini tiba-tiba datang begitu saja tanpa izin logika? Aku menggeleng perlahan dan mengenyampingkan respon aneh itu.

Impas? Jadi kejadian tadi siang kamu sengaja ya? tanyaku.

Iya dong. Aku nggak mau dan nggak akan kalah dari orang sadis kayak kamu.” balasnya sembari tersenyum. “Ya. Setidaknya aku bisa balas perlakuan kejam kamu diangkot waktu itu.”

Namaku yoana.” ucapnya tegas sembari menjulurkan tangan kanannya kearahku. Matanya yang sipit terlihat berbinar di bawah pantulan cahaya lampu cafe. Begitu magis dan seakan membius retina mataku untuk terus menikmatinya.

Dean.” jawabku dengan suara agak bergetar namun jelas terdengar. Kehangatan yang mengalir dari telapak tangannya seakan mampu mematahkan sifat beku dan kerasku. Sejenak kurasakan keadaan disekitarku berputar pelan. Tak pernah kurasakan sebelumnya kondisi seperti ini dalam hidupku. Aku bingung setengah mati.

Udah lama kamu jadi comic?” tanya yoana dengan suara yang lebih lembut, setidaknya tanpa emosi lagi.
Aku juga orang baru. Ya. Setidaknya bisa dijadiin ajang pembelajaran biar bisa ngomong depan orang banyak kayak gini.” jawabku.

Ooo..Aku juga suka komedi. Pengen sih nyoba openmic juga tapi takut nggak lucu. Ntar malah diketawain gara-gara garing. ucapnya sambil tertawa kecil. 

Jangan takut nyoba. Dulu aku juga takut buat openmic. Tapi nekat aja sih akhirnya. Masalah lucu nggak lucu mah urusan belakangan.” .jelasku lagi.

Yo..Aku minta maaf ya soal kejadian diangkot kemaren. Aku ngerasa nggak enak sama kamu.” ucapku akhirnya.

Ia tersenyum.Lupain aja. Aku juga minta maaf ya sama kamu soal makanan kamu tadi siang. Kayaknya aku harus traktir kamu deh.” ucapnya sambil kembali menyeruput minuman yang ada dimeja.

Hahaha..Boleh juga tuh. Tapi jangan sekarang deh. Aku lagi nggak laper. Besok aja gimana?” tawarku.

Oke. Dimana? Dikantin kampus aja gimana? Kan aku numpahin makanan kamu disana.” tanya Yoana lagi sambil tersenyum.

Boleh. Deal ya? Besok pas makan siang kita ketemu disana.” jawabku.

Suasana yang awalnya kaku dan tegang, sedikit demi sedikit mulai mencair dengan banyaknya gelak tawa yang tercipta malam itu. Kedekatan tercipta. Gunung es kemarahan diantara kami seolah tertabrak oleh tawa kami berdua. Luluh lantak dan hilang begitu saja.
***
Asap rokokku menari, meliuk diantara fentilasi jendela kantin, seakan ingin segera berlalu dari hadapanku, terbang dibawa angin dan tak pernah kembali lagi. Aku sedang menunggu seseorang. Seseorang yang dipertemukan denganku dengan cara aneh. Seseorang yang mengganggu tidurku malam ini. Seseorang yang awalnya membuatku selalu marah, namun pada akhirnya mampu mengubah pandangannya seratus delapan puluh derajat.

Hai De. Udah lama?” sapa Yoana. 

Eh Yo. Silahkan duduk. Nggak lah, baru juga dua hari.” jawabku mencoba menyenangkan suasana sembari mematikan rokok yang masih menyala diujung jemari kiriku.

Kenapa dimatiin? Kan belom habis.” tanya Yoana.

Nggak enak sama kamu. Ntar kamunya kabur lagi.” jawabku sambil tertawa kecil. 

Kamu bisa aja” timpal Yoana tertawa lepas. Tawa yang belum pernah sebelumnya kulihat dari seorang Yoana. Ekspresi tanpa beban yang membuat rasa penasaranku pada sosoknya semakin bertambah.
 
Cuaca siang itu terasa sejuk, sesejuk hatiku. Matahari menyembunyikan keangkuhannya. Pembicaraanku dan yoana membuat kami semakin akrab. Tanpa rasa canggung, sesekali Yoana mencubit tanganku ketika ada hal konyol dan lucu yang kuutarakan. Tak ada lagi permusuhan. Genderang perang telah berganti dengan bendera perdamaian.
***
Bandung, 26 oktober 2009
Satu tahun berlalu. Hampir setiap hari aku dan yoana bertemu. Keakrabanku dan Yoana menjelma menjadi sebuah kedekatan. Banyak hal lucu dan konyol yang kami lalui bersama. Terkadang secara sembunyi-sembunyi aku menyimpan cemburu jika ada laki- laki lain yang berusaha mendekatinya. Namun sebisa mungkin aku tak memperlihatkan perasaanku.  

Hari ini hari kelahiranku. Genap dua puluh satu tahun yang lalu aku dilahirkan disebuah kampung kecil di Sumatera sana. Aku hadir saat hujan dan petir menerjang bumi secara bersamaan. Tepat pukul enam tiga puluh sore.

Aroma asap rokok yang kuat tercium saat aku mulai memasuki rumah kos. Seperti biasa. Tak banyak hal baik yang bisa dilihat di temapt ini, hanya puntung rokok dan sampah yang berserakan dimana-mana. Tangan kananku merogoh saku dan mendapati sebuah kunci dengan mainan berbentuk gitar favoritku yang menggelantunginya. Suara berdenyit pelan terdengar saat aku membuka pintu yang memang sudah mulai reot. 

Teeettt..toooottt..teeeet. Suara terompet seakan menghancurkan gelembung jantungku. Aku tersentak dan kaget saat bunyi itu melengking di daun telingaku.

Happy birthday to you..happy birthday to you..” nyanyian itu kini memenuhi ruangan kamar kosku yang kecil. Suara yang sangat ku kenal. Yoana. Gadis itu kini mengenakan gaun berwarna ungu dengan motif bunga-bunga yang sangat pas sekali dengan paras manis khas wanita sunda. Ia terlihat sempurna. Ditangannya bertengger sebuah tart cokelat dengan puluhan lilin menyala. Ia tersenyum.Ayo tiup de..” ujar Yoana. Dengan sigap aku mendekati kumpulan ranting-ranting menyala itu dan bersiap untuk meniupnya. “Eitss..tunggu..tunggu..Make a wish dulu dong.” ucapnya lagi. Kupejamkan mata dan berdoa di dalam hati, Semoga aku dan yoana selalu bahagia dalam kebersamaan. Dengan nafas panjang teratur aku meniup lilin-lilin itu.

De, ini kado ulang tahun dari aku. Tapi kamu jangan buka sekarang. Tunggu ijin dari aku dulu. Yaaa…mungkin besok, lusa, seminggu, sebulan, atau setahun lagi.” ucap yoana sembari memberikan sebuah kotak berwarna coklat dengan ikatan pita kecil diatasnya.

Masa kado ulang tahun kayak gini Yo. Ribet ah.” jawabku pura-pura kesal.

Udah deh. Kamu nurut aja. Ntar kamu juga tau betapa spesialnya benda initambah Yoana. Mendengar ucapannya aku hanya bisa menganggguk, isyarat bahwa aku setuju dengan perjanjian dan permainan aneh yang sedang Yoana lakukan.

Kamar ini sekarang seakan berada di ujung pantai yang sepi. Tak ada satu diantara kami yang berniat untuk bersuara. Dengan pelan kupeluk tubuh yoana, mengalungkan kedua tanganku dipinggangnya nan mungil. Inilah kali pertamanya aku menyentuh yoana secara sengaja. Walaupun telah setahun lebih kami berteman akrab, namun tak pernah sebelumnya aku berani melakukan hal seperti ini. Yoana pun membalas pelukanku, ia mengalungkan kedua tangannya dileherku. Perpaduan aroma buah dan bunga menyentuh indera penciumanku. “Makasih ya yo.” bisikku ditelinganya. Yoana mendekapku kian erat sebagai balasan rasa terima kasihku.

Alunan lagu end of the rainbow yang dinyanyikan sandy sandoro kemudian mengisi aliran udara kamar kos ku. Lagu ini adalah lagu favorit kami berdua. Ia seakan menjelma menjadi soundtrack kedekatan kami selama ini. Punggungku bersandar didinding kamar. Rokok yang kuhisap kini mengeluarkan asap yang segera saja menghadirkan rasa sesak. Hanya ada satu jalan keluar bagi asap tersebut. Fentilasi kecil diatas jendela kaca yang sudah kelihatan usang di sudut sana. Kepalaku terasa berat, seakan-akan susunan tata surya di galaksi bima sakti tengah mengitari otakku dengan cepat. Ada satu perkara besar yang saat ini tengah kupikirkan. Malam ini adalah hari ulang tahunku dan aku berniat mengungkapkan sebuah agenda besar yang selama ini kupendam rapat-rapat dalam peti kediamanku. 

Aku mencintai yoana

Dan aku harus mengungkapkannya sekarang. Malam ini juga. Keberanian seolah-olah terlalu susah untuk kuraih saat itu. Begitu berat rasanya lidah untuk bernarasi dan merangkai abjad menjadi kalimat.
Yoana tengah asik melihat-lihat album foto yang tersimpan di folder laptopku. Ada ratusan foto disana, potret kami berdua. Rekapan kegiatan yagn kami lewati, jalan-jalan, gila-gilaan bareng, sampai hal-hal konyol yang sepertinya terlalu bodoh untuk diabadikan. Sesekali tawa kecil terlontar dari mulutnya. 

Yo, sini deh. Ada yang perlu diomongin.” ucapku pelan sambil kembali menghisap rokok di jemari tangan kiriku. 

Pandangan yoana kini beralih kepadaku, ia menatapku serius. “Kenapa De? Kamu mau ngomgong apa?” tanya yoana sambil menjauh dari laptop dan melangkah pelan kearahku. Ia memilih bersandar di dinding yang sama sepertiku.
 
Yoana menampar paha kananku dengan tangannya. Aku kaget, tentu saja. “Kenapa de? Itu muka serius amat.ucap sembari tertawa lebar

Aku lagi nggak becanda. Ini serius lo.jawabku yang kemudian mengubah raut muka Yoana. Lidahku terasa kelu saat aku ingin mengucapkan kata pertamaku untuk yoana. Bibirku serasa terikat kawat berduri yang sakit apabila kupaksa untuk membukanya.

De, aku juga mau ngomongin sesuatu sama kamu.” tiba-tiba saja ucapan Yoana menghentikan niat besarku.
 
Oh ya? Mau ngomong apa emangnya?” tanyaku pada yoana yang kini telah mendekap pergelangan tanganku.

Kamu duluan deh, ini nggak penting-penting banget kok” ucap Yoana datar, senyumannya terlihat terlalu dipaksakan. Tangannya mendekap lebih erat, seolah sedang takut dengan sesuatu.

Kamu duluan dong.” balasku sambil tersenyum, menenangkan keadaan, menenangkan hatiku

Yoana menatapku. De, kamu pernah nggak ngebayangin temen deket kamu sekarang ternyata harus pergi jauh dari kamu karena satu alasan yang menurut kamu menyakitkan?” tanya Yoana masih dengan mendekap tanganku. 

Kamu ngomong apa sih Yo? Kok jadi ngawur gini?jawabku merasa tak enak dengan pertanyaannya.

Aku..aku dijodohin sama anak temennya papa. Perjanjian masa lalu, begitu papa bilang. Dia kerja di Jerman dan itu berarti aku harus ikut dia ke jerman setelah kami menikah nanti.”

Pernyataan Yoana membuatku tersentak. Palu baja panas yang dililit rantai besi tajam dan berduri menghantam belakang kepalaku dengan telak. Pukulan itu melumpuhkanku. Panca inderaku serasa tak ada satupun yang dapat berfungsi dengan baik. Aku layaknya orang cacat. Telapak tanganku basah seakan airmata merembes melewatinya, saat aku tak mampu menghadirkannya lewat mata. Dadaku bergemuruh. Darahku mendesir seolah butiran batu magma tenggelam didasarnya.

Kamu serius? Nggak lagi bercanda kan?” tanyaku dengan suara gemetar dan serak.

Yoana menunduk. Iya de, aku nggak bercanda. Aku nggak bisa lagi bareng-bareng kamu.” Genggaman tangan yoana di pergelangan tanganku kini kubalas. Seperti berhimpitan, tanganku dan tangan yoana kini saling menggenggam.

Trus gimana? Kamu setuju dengan perjodohan itu?” tanyaku.

Mau nggak mau aku harus mau De. Ini semua juga demi keselamatan perusahaan papa. Kalau aku menolak, berarti aku siap liat papa bangkrut. Aku mohon kamu bisa ngertiin kondisi aku.Airmata pertama yoana menetes ditanganku saat ia mengakhiri kalimatnya. Yoana memelukku erat. Seakan ini hari terakhir ia akan bertemu denganku.
***
Ban mobil berdecit saat supir taksi itu menghentikan laju kendaraanya tepat di depan bandara Soekarno Hatta. Ini lah hari terburuk sepanjang hidupku. Hari dimana aku dan gadis yang kucintai harus berpisah tanpa mengetahui kapan kami akan dipertemukan kembali. Gadis yang padanya saja belum kuutarakan perasaanku. Rasa yang kini kusimpan jauh di dasar sana, masih tetap tersembunyi dan hanya akan kunikmati sendiri, entah sampai kapan. 

De, aku pergi ya. Jangan kebanyakan ngerokok. Nggak baik.” ucap yoana sambil tersenyum, matanya yang ditutupi kacamata hitam tak membuatku kehilangan tatapan lembut yang ia punya.

Iya Yo. Kamu juga. Janji buat selalu bahagia disana.” jawabku dengan senyum penuh keterpaksaan.
Pelukan terakhir Yoana mendarat hangat ditubuhku. Pelukan yang akan selalu membuncahkan kerinduan besar tentangnya.
***
Bandung, 13 april 2010
Bom atom pecah di kamar kos ku, serpihannya meluluhlantakkan semua yang ada didalamnya. Boom..!!!
Aku tersentak dari tidur siangku. Suara ketukan keras dan kasar terdengar dari luar pintu kamar. “Bang, ada surat nih.” suara itu sayup terdengar ditelingaku.

Iya, bentar.” jawabku dengan berat hati. Masih sempoyongan aku berjalan mendekati pintu dan membukanya. Terlihat seorang lelaki bertubuh gempal berdiri didepanku.

Ada apa Rud? Siang-siang gini ngetok pintu? macam om-om kebakaran jenggot” tanyaku kesal. 

Ini bang. Ada surat. Dari Jerman. Ciyeee..jauh amat penggemarnya.ucap Rudi sambil menyerahkan sebuah surat padaku dan segera berlalu.

Mendengar kata jerman saja ragaku langsung hidup kembali, serasa dialiri semangat kehidupan menggebu-gebu. Inikah surat dari Yoana? Surat dari gadis yang sudah lama tak pernah lagi kudengar kabarnya. Benar saja, di sudut kanan atas surat itu tertulis nama Yoana Marisa. Sebuah nama yang belum mampu kuhapus dari tembok hatiku. Kertas surat beraroma bunga mawar itu kubuka perlahan.

Dear Dean,
Apa kabar kamu? Sehat kan? Masih doyan ngerokok? J
Maaf ya De, semenjak aku pergi ke Jerman aku belum pernah ngasih kabar lagi ke kamu. Bukannya aku sombong apalagi lupa, tapi aku nggak tega aja kalau pada akhirnya kita hanya sama-sama merindu tanpa bisa ketemu. Aku dijerman sementara kamu di Indonesia. Bukan jarak yang dekat bukan?
Oya, kamu masih inget kado ulang tahun dariku waktu itu? Masih disimpen kan? Sekarang kamu boleh buka de dan maaf kalo aku terlalu takut untuk ngomong secara langsung ke kamu. Jaga diri baek-baek ya De, jaga kesehatan dan jangan ngerokok terus.
Salam rindu, Yoana.

Begitu surat itu kulipat, otakku langsung memerintahkan satu hal penting, temukan kado itu secepatnya! Tak butuh waktu lama mencarinya. Kado itu kusembunyikan di laci bawah meja belajarku, tersembunyi bersama beberapa barang yang jarang kugunakan. Sedikit berdebu namun masih indah untuk dilihat. Perlahan kukeluarkan ia dari kediamannya. Kutiup debu yang menempel diatasnya. Kubuka bungkusan kertas kado dan pita yang mengikatnya. Kotak itu memiliki kunci layaknya kunci kuno pada pintu rumah zaman dahulu. Antik. Rasa penasaranku meningkat saat kulihat isi kotak tersebut. Hanya sebuah kotak rokok kosong  dan secarik kertas yang mulai lusuh dan menguning. Surat lagi. Dengan cepat kuambil surat itu dan mulai membaca isinya.

Hai De..
Sekali lagi maaf. Kali ini untuk kado ulang tahun yang aneh menurutmu. Hanya bungkusan rokok kosong dan selembar kertas ini. Sangat jauh dari harapan ya De?
Kamu tau nggak kenapa aku ngasih kotak rokok kosong? Itu karena aku nggak mau kamu ngerokok lagi De. Aku nggak mau kamu menderita sepertiku, mati perlahan dalam keganasan kanker paru-paru. Ya. Aku memang sudah membohongimu sedari awal. Aku ke Jerman bukan untuk sebuah pesta pernikahan. Aku kesana untuk berobat De. Aku terpaksa ngelakuin ini semua karena aku nggak mau kamu sedih. Karena kesedihanmu hanya akan menjadi airmata bagiku disini, saat aku jauh darimu.
Ketika kamu membaca surat ini, aku sudah nggak ada lagi di dunia ini De. Karena itu berarti pengobatanku gagal dan prediksi dokter akan jatah umurku tak bisa lagi ditawar.
Maafin aku De.
Satu hal yang haus kamu tahu. Aku mencintaimu. Bahkan sebelum kamu menyadarinya. Aku berharap Tuhan akan mempertemukan kita dikehidupan lain.
Salam sayang, Yoana.

Kertas itu jatuh dari genggamanku, bumi terasa berguncang hebat. Aku seperti dihimpit batu besar jutaan kilo. Tak dapat bergerak dari liangku sendiri. Tetesan airmata tak mampu kutepis, sekuat apapun aku berusaha untuk menghentikannya.
***
Cinta dan kerinduan mengantarkanku pada sebuah rumah mewah berpagar tinggi. Rumah Yoana. Pintunya kuketuk dan tak lama kemudian keluar seorang perempuan paruh baya, mamanya Yoana.

Sofa empuk yang kududuki terasa berduri saat aku dan mama yoana duduk di sana. Mamanya menggenggam tanganku erat. “De, apa yang Yoana tulis itu benar. Yoana sudah meninggal sebulan yang lalu. Ibu nggak ngasih tau kamu karena itu pesan dari Yoana sendiri.” ucapnya sambil menahan airmatanya.Yoana minta dimakamkan di Jerman karena dia nggak mau kamu nanti menangis didepan nisannya. Yoana sayang kamu Dean. Dia hanya tidak ingin melihatmu terluka. Ibu mohon kamu ngerti ya nak.” tambahnya lagi.
Aku mengangguk lemah. Sekali lagi, airmataku menyeruak. Tangis kehilangan dan luapan kerinduan yang tak kan pernah kering meski panas mentari bersenandung diatasnya.

Padang, 5 april 2013
Hujan, rokok, dan kamu adalah secangkir rindu yang sedang kuseruput saat malam menjelang. Tiap tetesan yang jatuh mengungkap rahasia bagaimana bumi dan seisinya mempertemukan kita. Jauh disana, dipulau tak akan pernah lagi kita datangi.



 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea