Senin, Desember 16

Trip to City of Makassar #day3

Diposting oleh Orestilla di 10.24.00
Hai..hai..setelah berkisah dua hari perjalanan disini dan disini, hari ini saya akan mengupas kunjungan hari ketiga di kota Makassar. Jumat, 6 Desember 2013 rombongan bertolak ke Bantimurung yang terletak di Maros (ini daerah yang sama dengan bandara Sultan Hasanuddin). Disana panitia dan tour guide akan membawa rombongan melihat keelokan air terjun dan museum kupu-kupu.
Namun saya dan teman-teman (lebih tepatnya senior) memisahkan diri dan memilih untuk bersilaturrahmi dengan rekan seangkatan kami yang berdinas di kota tersebut. Dulu saya pernah bercerita kan tentang rasa syukur tak berhingga karena telah diberi kesempatan untuk mengecap pendidikan di lembah manglayang IPDN Jatinangor? Iya. Apa lagi kalau bukan jumlah saudara senusantara yang tersebar di setiap kota dan kabupaten di Indonesia. Setiap kali berkunjung atau dinas luar daerah, maka hal pertama yang kami lakukan adalah menghubungi mereka. Dan tadaaaaaa...tak ada yang lebih menyenangkan bisa berkumpul kembali setelah bertahun-tahun tak bertatap muka.
Kebetulan Jumat masih hari kantor, maka kami memutuskan untuk bertemu dengan mereka pada jam istirahat dan sore hari ketika jam dinas berakhir. Maka ketika rombongan berangkat, kami juga minggat dari hotel. Akan sangat rugi sekali jika waktu yang ada hanya dihabiskan berleha-leha di kamar hotel. Bukankah kesempatan untuk berkunjung ke negeri orang seperti ini tidak akan datang berkali-kali? Maka jadilah pagi itu (setelah sarapan pagi dan lagi-lagi bubur ayam), kami menyusuri keindahan Pantai Losari di pagi hari. Jangan bayangkan udara sejuk dan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Jangan! Karena matahari Makassar di jam 07.00 pagi sudah bersinar amat sangat garang. Saya sendiri kaget ketika melihat jam di pergelangan tangan. Taksiran saya saat itu sudah hampir mendekati tengah hari. Jadi, panasnya kota Makassar bisa dibilang LUAR BIASAAAHH…!!!
Kami mencari spot ternama di lokasi ini. Apa lagi kalau bukan tulisan “Pantai Losari” dan “City of Makassar”. Haha. Kebetulan jumlah pengunjung pagi itu cukup banyak. Banyak turis local dan mancanegara. Kalau si bule-bule lebih nyaman mandi matahari yang super duper panas itu, saya dan uni-uni lebih memilih selonjoran di bawah pohon-pohon pelindung sembari menikmati pantai Losari yang sedang tenang mendamaikan hati. Adeeemmm..

panasnya full femirsayah!
 
city of Makassar
Masih di lokasi yang sama, kami juga menyempatkan diri untuk memotret masjid terapung yang juga terkenal di kota Makassar. Masjid ini bernama Masjid Amirul Mukminin. Pada awalnya saya agak bingung membayangkan desain masjid ini. Terapung? Berayun-ayun diatas air laut? Begitu? Terus bagaimana dengan jamaah yang sedang shalat? Bukankah kalau ombaknya sedang ganas, kita tidak akan berdiri dengan sempurna? Tapi pertanyaan-pertanyaan edan tersebut terjawab pagi itu. Ternyata dinamakan terapung karena bangunan masjid memang berada di atas air laut. Cuma ya nggak terapung seperti perahu di laut lepas. Haha. Tika (calon adik iparnya si uni), juga bercerita bahwa didaerahnya di Maluku Utara, juga terdapat masjid serupa. Ah. Semoga nanti saya juga bisa berkunjung ke masjid terapung milik kotanya Tika. Aamiin.
masjid terapung
 
jepret!
Setelah puas santai-santaian, foto-fotoan, lari-larian (ini agak berle sebenarnya), saya dan uni-uni lanjut ke Benteng Fort Rotterdam yang termahsyur itu. Jaraknya dari Pantai Losari hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit. Kalau temen-temen pengen kesana pake becak bisa kena 10 ribu. Pun begitu halnya dengan taksi. Bayarannya hampir sama. Namun jika memilih perjalanan dengan becak, kita dapat menikmati view Pantai Losari lebih banyak lagi. Saya anjurkan, pilihlah becak ketika cuaca adem misalnya di sore atau malam hari. Kalau siang, panasnya minta ampun. Belum lagi kasian si daeng (Kalo di Sumbar namanya uda alias abang alias kakak) yang bakalan kecapekan mengayuh becak dengan beban badan yang pastinya lebih dari 50kg. Uuppss. Hahaha. Karena kami ada tiga orang dan panasnya Makassar memang sedang garang, maka kami tentu saja memilih taksi. Dan begitu sampai di gerbang masuk benteng, kami bertemu kembali dengan si bule-bule yang sudah standby dengan kamera mereka. Jepret!

gerbang masuk Fort Rotterdam
Karena saya kesana nggak pake tour guide, maka info tentang benteng Fort Rotterdam langsung saya cari ke mbah Goggle. Dan ini kata si mbah:
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.

 
Salah satu sudut di bagian dalam Fort Rotterdam
Kebetulan dalam rombongan kecil kami ada yang sedang hamil 5 bulan. Si uni agak susah dibawa jalan lama-lama. Panas dan gerah. Kan kasian kalau nanti si uni sakit. Maka sebelum ketemu teman seangkatan saya, Jo dan Isna, kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Istirahat, ngadem, mandi kalau perlu.
Kring..kring..kring..
“Tilla dimana? Jo udah di lobi hotel ni.”
Owaduh. Jo, teman angkatan saya yang berasal dari Aceh tapi sudah 4 tahun tinggal di Makassar karena ikut suaminya dinas disana, ternyata sudah sampai di hotel. Dan ribetnya, saya sedang tiduran cantik di kasur. Maka jadilah steling versi praja kembali bekerja. Dalam hitungan menit, syyuuuppp..dandan, ganti baju, ambil perlengkapan perang (kamera, dompet, tisu, dan bla bla bla), beres!
Aaaaaa..akhirnya setelah 4 tahun tak bertemu (kami wisuda sarjana tahun 2009), saya bisa berpelukan cipika cipiki lagi dengan Fitri Juwana Awaluddin, teman saya angkatan 18 IPDN dari Aceh. Jo yang sudah jadi mak-mak beranak satu itu masih terlihat sangat cantik dan yaaa tetep langsing walaupun Jo ngakunya punya berat badan, tereeettt (tidak lulus sensor). Hahaha. Iya. Jo masih terlihat sama ketika masih praja dulu. Bedanya cuma dikit, hari itu Jo dandan versi buibu. Yaaaa. Walau bagaimanapun sekarang Jo punya jabatan sebagai ketua PKK di kelurahan suaminya (senior kami angkatan 16 dari Makassar). Dan sebagai ketua PKK, Jo harus tampil cantik dong ya. Tetep harus menomorsatukan performance (kan begitu nasehat kakak-kakak senior dulu). Performance memang bukan hal utama, tapi hal pertama yang dilihat oleh orang lain. Cakeeepp.

ini asli suedap boi!
Siang itu ibu Jo rela menjadi sopir untuk kami, mengajak kami makan ke resto La Galigo yang akhirnya mempertemukan saya dengan es Pisang Ijo. Lalala. Yeyeye. Di sana juga Isna (koordinator putri 18 Makassar) telah menunggu kami. Isna sedang hamil besar, Jo sedang sibuk dengan kegiatannya di Dharma Wanita, namun mereka dengan senang hati mau menyediakan waktu untuk kami. Terimakasih teman-teman. Sekitar satu jam kami ngobrol sana-sini. Dan topik utama tentu saja masih seputaran kampus IPDN tercinta itu. Tentang teman-teman yang sekarang sudah sibuk dengan jabatan mereka, dengan status mereka (banyak kan yang udah nikah), dengan kebiasaan mereka yang nggak berubah sedari praja. Ketawa-ketiwi, makan ampe encok dan berharap semoga nanti kami bisa bertemu kembali (Jangan lupa jadwal reunian angkatan kita di tahun 2018. Insyaallah). Karena masih ada kegiatan, walaupun masih mau mengantarkan saya dan uni kesana kemari, Jo akhirnya pulang sendiri karena saya memilih untuk disopiri Isna kali ini. Bukannya apa-apa. Selain Isna satu arah dengan tujuan kami, Jo juga sepertinya sudah curi waktu dan menghilang dari atasannya. Kan nggak enak juga harus merepotkan Jo untuk waktu yang lama. Maka jadilah Isna yang mengantarkan saya ke Mall Trans Makassar, disana tempat Trans Studio mendekam.

thanks a lot girls
Mall nya memang besar dan yang membedakannya dengan mall lain, tentu saja karena ada Trans Studio disana. Setelah muterin mall, kami bergerak ke Karebosi. Nah, yang ini jaraknya cukup jauh dari Mall Trans Makassar. Mall yang ini juga cukup unik karena berada di bawah stadion olahraga. Mall-nya ada di bawah tanah. Kami kesana bukan untuk shopping, tapi lebih karena rasa penasaran. Dan begitu pertanyaan kami terjawab, dengan dianter kak Noe (ini namanya Kak Nurul Farasmi, teman satu angkatan dengan uni-uni, senior saya waktu di kampus dulu), kami kembali ke hotel. Istirahat lagi sebelum jor-joran berikutnya, wisata kuliner di malam hari. Waktu menunjukkan pukul 4 sore ketika saya kembali ke kamar hotel, tidur.
Setelah Kak Noe pulang, karena harus mengurus babynya yang udah mulai rewel karena ditinggal hangout si emak, malam itu wisata kuliner kami ditemani Kak Tumee. Kakak yang saya kenal dari jaman ngampus dulu, yang usil dan ditakuti junior. Walaupun sekarang saya tahu kalau si kakak tenyata orangnya sangat lucu (dan tetap usil. hahaha). Kami ke warung Konro. Disini kita bisa milih mau konro bakar atau konro sup. Saya pengen banget nyoba konro bakar dan pilihan saya tentu saja tidak salah karena rasanya se se se sedap banget mameeenn. Cuma sayang, saya nggak bisa bocorin berapa harganya. Karena yang bayar makan malam itu Kak Tumee. Alhasil saya nggak tau berapa budget yang harus disiapin untuk memangkas habis hidangan ini. Yang pasti kalau teman-teman ke Makassar, konro bakarnya jangan sampai lupa yaaaa.

wosshhaaaa..ini dia. Konro bakar (atas) dan Konro Sup (bawah)
 Dari tempat makan konro, kami langsung meluncur ke hotel karena si uni yang lagi hamil udah capek banget. Sesi curcol, gosipan dan ketawa ketawaan berlanjut di kamar hotel. Saya pikir Kak Tumee mau nginap di kamar kami, tapi ternyata tidak. Kak Tumee balik ke Kabupaten Gowa malam itu juga.
Kami tidur malam itu dengan perut kenyang setelah mengeksplorasi kelezatan konro. Nyam. Nyam. Nyam.
Untuk Kak Noe, Kak Tumee, Jo dan Isna, makasi banyak sudah meluangkan waktu untuk bertemu dan mengajak kami berkuliner ria di kota Makassar. Kami tunggu kedatangannya di Ranah Minang :)

3 komentar:

Fahrizal Mukhdar mengatakan...

That is a beautiful trip. Gimana panasnya kalau dibandingkan dengan surabaya? hehehe

Titis Ayuningsih mengatakan...

Beuh ! Pemandangannya indah sekali dan kulinernya menggoda :D

Orestilla mengatakan...

Fahrizal: Saya belum coba Surabaya Mas. Insyaallah Maret nanti kalau ada waktu dan rejeki. Hehehe.
Titis: Iya dear. Kulinernya itu loh. Musti dicoba :)

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Senin, Desember 16

Trip to City of Makassar #day3

Diposting oleh Orestilla di 10.24.00
Hai..hai..setelah berkisah dua hari perjalanan disini dan disini, hari ini saya akan mengupas kunjungan hari ketiga di kota Makassar. Jumat, 6 Desember 2013 rombongan bertolak ke Bantimurung yang terletak di Maros (ini daerah yang sama dengan bandara Sultan Hasanuddin). Disana panitia dan tour guide akan membawa rombongan melihat keelokan air terjun dan museum kupu-kupu.
Namun saya dan teman-teman (lebih tepatnya senior) memisahkan diri dan memilih untuk bersilaturrahmi dengan rekan seangkatan kami yang berdinas di kota tersebut. Dulu saya pernah bercerita kan tentang rasa syukur tak berhingga karena telah diberi kesempatan untuk mengecap pendidikan di lembah manglayang IPDN Jatinangor? Iya. Apa lagi kalau bukan jumlah saudara senusantara yang tersebar di setiap kota dan kabupaten di Indonesia. Setiap kali berkunjung atau dinas luar daerah, maka hal pertama yang kami lakukan adalah menghubungi mereka. Dan tadaaaaaa...tak ada yang lebih menyenangkan bisa berkumpul kembali setelah bertahun-tahun tak bertatap muka.
Kebetulan Jumat masih hari kantor, maka kami memutuskan untuk bertemu dengan mereka pada jam istirahat dan sore hari ketika jam dinas berakhir. Maka ketika rombongan berangkat, kami juga minggat dari hotel. Akan sangat rugi sekali jika waktu yang ada hanya dihabiskan berleha-leha di kamar hotel. Bukankah kesempatan untuk berkunjung ke negeri orang seperti ini tidak akan datang berkali-kali? Maka jadilah pagi itu (setelah sarapan pagi dan lagi-lagi bubur ayam), kami menyusuri keindahan Pantai Losari di pagi hari. Jangan bayangkan udara sejuk dan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Jangan! Karena matahari Makassar di jam 07.00 pagi sudah bersinar amat sangat garang. Saya sendiri kaget ketika melihat jam di pergelangan tangan. Taksiran saya saat itu sudah hampir mendekati tengah hari. Jadi, panasnya kota Makassar bisa dibilang LUAR BIASAAAHH…!!!
Kami mencari spot ternama di lokasi ini. Apa lagi kalau bukan tulisan “Pantai Losari” dan “City of Makassar”. Haha. Kebetulan jumlah pengunjung pagi itu cukup banyak. Banyak turis local dan mancanegara. Kalau si bule-bule lebih nyaman mandi matahari yang super duper panas itu, saya dan uni-uni lebih memilih selonjoran di bawah pohon-pohon pelindung sembari menikmati pantai Losari yang sedang tenang mendamaikan hati. Adeeemmm..

panasnya full femirsayah!
 
city of Makassar
Masih di lokasi yang sama, kami juga menyempatkan diri untuk memotret masjid terapung yang juga terkenal di kota Makassar. Masjid ini bernama Masjid Amirul Mukminin. Pada awalnya saya agak bingung membayangkan desain masjid ini. Terapung? Berayun-ayun diatas air laut? Begitu? Terus bagaimana dengan jamaah yang sedang shalat? Bukankah kalau ombaknya sedang ganas, kita tidak akan berdiri dengan sempurna? Tapi pertanyaan-pertanyaan edan tersebut terjawab pagi itu. Ternyata dinamakan terapung karena bangunan masjid memang berada di atas air laut. Cuma ya nggak terapung seperti perahu di laut lepas. Haha. Tika (calon adik iparnya si uni), juga bercerita bahwa didaerahnya di Maluku Utara, juga terdapat masjid serupa. Ah. Semoga nanti saya juga bisa berkunjung ke masjid terapung milik kotanya Tika. Aamiin.
masjid terapung
 
jepret!
Setelah puas santai-santaian, foto-fotoan, lari-larian (ini agak berle sebenarnya), saya dan uni-uni lanjut ke Benteng Fort Rotterdam yang termahsyur itu. Jaraknya dari Pantai Losari hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit. Kalau temen-temen pengen kesana pake becak bisa kena 10 ribu. Pun begitu halnya dengan taksi. Bayarannya hampir sama. Namun jika memilih perjalanan dengan becak, kita dapat menikmati view Pantai Losari lebih banyak lagi. Saya anjurkan, pilihlah becak ketika cuaca adem misalnya di sore atau malam hari. Kalau siang, panasnya minta ampun. Belum lagi kasian si daeng (Kalo di Sumbar namanya uda alias abang alias kakak) yang bakalan kecapekan mengayuh becak dengan beban badan yang pastinya lebih dari 50kg. Uuppss. Hahaha. Karena kami ada tiga orang dan panasnya Makassar memang sedang garang, maka kami tentu saja memilih taksi. Dan begitu sampai di gerbang masuk benteng, kami bertemu kembali dengan si bule-bule yang sudah standby dengan kamera mereka. Jepret!

gerbang masuk Fort Rotterdam
Karena saya kesana nggak pake tour guide, maka info tentang benteng Fort Rotterdam langsung saya cari ke mbah Goggle. Dan ini kata si mbah:
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.

 
Salah satu sudut di bagian dalam Fort Rotterdam
Kebetulan dalam rombongan kecil kami ada yang sedang hamil 5 bulan. Si uni agak susah dibawa jalan lama-lama. Panas dan gerah. Kan kasian kalau nanti si uni sakit. Maka sebelum ketemu teman seangkatan saya, Jo dan Isna, kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Istirahat, ngadem, mandi kalau perlu.
Kring..kring..kring..
“Tilla dimana? Jo udah di lobi hotel ni.”
Owaduh. Jo, teman angkatan saya yang berasal dari Aceh tapi sudah 4 tahun tinggal di Makassar karena ikut suaminya dinas disana, ternyata sudah sampai di hotel. Dan ribetnya, saya sedang tiduran cantik di kasur. Maka jadilah steling versi praja kembali bekerja. Dalam hitungan menit, syyuuuppp..dandan, ganti baju, ambil perlengkapan perang (kamera, dompet, tisu, dan bla bla bla), beres!
Aaaaaa..akhirnya setelah 4 tahun tak bertemu (kami wisuda sarjana tahun 2009), saya bisa berpelukan cipika cipiki lagi dengan Fitri Juwana Awaluddin, teman saya angkatan 18 IPDN dari Aceh. Jo yang sudah jadi mak-mak beranak satu itu masih terlihat sangat cantik dan yaaa tetep langsing walaupun Jo ngakunya punya berat badan, tereeettt (tidak lulus sensor). Hahaha. Iya. Jo masih terlihat sama ketika masih praja dulu. Bedanya cuma dikit, hari itu Jo dandan versi buibu. Yaaaa. Walau bagaimanapun sekarang Jo punya jabatan sebagai ketua PKK di kelurahan suaminya (senior kami angkatan 16 dari Makassar). Dan sebagai ketua PKK, Jo harus tampil cantik dong ya. Tetep harus menomorsatukan performance (kan begitu nasehat kakak-kakak senior dulu). Performance memang bukan hal utama, tapi hal pertama yang dilihat oleh orang lain. Cakeeepp.

ini asli suedap boi!
Siang itu ibu Jo rela menjadi sopir untuk kami, mengajak kami makan ke resto La Galigo yang akhirnya mempertemukan saya dengan es Pisang Ijo. Lalala. Yeyeye. Di sana juga Isna (koordinator putri 18 Makassar) telah menunggu kami. Isna sedang hamil besar, Jo sedang sibuk dengan kegiatannya di Dharma Wanita, namun mereka dengan senang hati mau menyediakan waktu untuk kami. Terimakasih teman-teman. Sekitar satu jam kami ngobrol sana-sini. Dan topik utama tentu saja masih seputaran kampus IPDN tercinta itu. Tentang teman-teman yang sekarang sudah sibuk dengan jabatan mereka, dengan status mereka (banyak kan yang udah nikah), dengan kebiasaan mereka yang nggak berubah sedari praja. Ketawa-ketiwi, makan ampe encok dan berharap semoga nanti kami bisa bertemu kembali (Jangan lupa jadwal reunian angkatan kita di tahun 2018. Insyaallah). Karena masih ada kegiatan, walaupun masih mau mengantarkan saya dan uni kesana kemari, Jo akhirnya pulang sendiri karena saya memilih untuk disopiri Isna kali ini. Bukannya apa-apa. Selain Isna satu arah dengan tujuan kami, Jo juga sepertinya sudah curi waktu dan menghilang dari atasannya. Kan nggak enak juga harus merepotkan Jo untuk waktu yang lama. Maka jadilah Isna yang mengantarkan saya ke Mall Trans Makassar, disana tempat Trans Studio mendekam.

thanks a lot girls
Mall nya memang besar dan yang membedakannya dengan mall lain, tentu saja karena ada Trans Studio disana. Setelah muterin mall, kami bergerak ke Karebosi. Nah, yang ini jaraknya cukup jauh dari Mall Trans Makassar. Mall yang ini juga cukup unik karena berada di bawah stadion olahraga. Mall-nya ada di bawah tanah. Kami kesana bukan untuk shopping, tapi lebih karena rasa penasaran. Dan begitu pertanyaan kami terjawab, dengan dianter kak Noe (ini namanya Kak Nurul Farasmi, teman satu angkatan dengan uni-uni, senior saya waktu di kampus dulu), kami kembali ke hotel. Istirahat lagi sebelum jor-joran berikutnya, wisata kuliner di malam hari. Waktu menunjukkan pukul 4 sore ketika saya kembali ke kamar hotel, tidur.
Setelah Kak Noe pulang, karena harus mengurus babynya yang udah mulai rewel karena ditinggal hangout si emak, malam itu wisata kuliner kami ditemani Kak Tumee. Kakak yang saya kenal dari jaman ngampus dulu, yang usil dan ditakuti junior. Walaupun sekarang saya tahu kalau si kakak tenyata orangnya sangat lucu (dan tetap usil. hahaha). Kami ke warung Konro. Disini kita bisa milih mau konro bakar atau konro sup. Saya pengen banget nyoba konro bakar dan pilihan saya tentu saja tidak salah karena rasanya se se se sedap banget mameeenn. Cuma sayang, saya nggak bisa bocorin berapa harganya. Karena yang bayar makan malam itu Kak Tumee. Alhasil saya nggak tau berapa budget yang harus disiapin untuk memangkas habis hidangan ini. Yang pasti kalau teman-teman ke Makassar, konro bakarnya jangan sampai lupa yaaaa.

wosshhaaaa..ini dia. Konro bakar (atas) dan Konro Sup (bawah)
 Dari tempat makan konro, kami langsung meluncur ke hotel karena si uni yang lagi hamil udah capek banget. Sesi curcol, gosipan dan ketawa ketawaan berlanjut di kamar hotel. Saya pikir Kak Tumee mau nginap di kamar kami, tapi ternyata tidak. Kak Tumee balik ke Kabupaten Gowa malam itu juga.
Kami tidur malam itu dengan perut kenyang setelah mengeksplorasi kelezatan konro. Nyam. Nyam. Nyam.
Untuk Kak Noe, Kak Tumee, Jo dan Isna, makasi banyak sudah meluangkan waktu untuk bertemu dan mengajak kami berkuliner ria di kota Makassar. Kami tunggu kedatangannya di Ranah Minang :)

3 komentar on "Trip to City of Makassar #day3"

Fahrizal Mukhdar on 16 Desember 2013 pukul 13.03 mengatakan...

That is a beautiful trip. Gimana panasnya kalau dibandingkan dengan surabaya? hehehe

Titis Ayuningsih on 16 Desember 2013 pukul 13.43 mengatakan...

Beuh ! Pemandangannya indah sekali dan kulinernya menggoda :D

Orestilla on 16 Desember 2013 pukul 14.42 mengatakan...

Fahrizal: Saya belum coba Surabaya Mas. Insyaallah Maret nanti kalau ada waktu dan rejeki. Hehehe.
Titis: Iya dear. Kulinernya itu loh. Musti dicoba :)

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea