Selasa, Desember 10

Suamiku, si lelaki tangguh

Diposting oleh Orestilla di 10.13.00


Wajahnya terlihat sangat kuyu malam itu. Kemeja lusuh yang kami beli beberapa tahun yang lalu basah oleh keringat. Namun senyum yang sama tetap bertahan disana, senyum yang sedari dulu ia persembahkan untukku. Aku yang tengah menyusui puteri kecil kami, berdiri menyongsongnya, mencium tangannya dan membawanya ke keningku. Kening yang kemudian ia kecup dengan penuh kasih sayang sebelum mencium mesra Khaila, buah hati kami.
“Udah makan Ummi?” tanyanya sembari berganti pakaian.
Mataku terbeliak mendapati lebam di bahu kirinya. “Bahu Abi kenapa?” tanyaku tanpa terlebih dulu menjawab pertanyaannya.
Ia berbalik menatapku dan kembali tersenyum, “Tadi ketimpa balok Mi. Nanti Abi olesin balsem aja. Aman kok. Ummi masak apa malam ini? Abi lapar.” jawabnya panjang lebar. Aku tahu ia tengah mengalihkan pembicaraan. Kebiasaan suamiku yang tak pernah mau membebaniku walau hanya karena masalah yang ia anggap sepele.
Aku ikut tersenyum, menyerahkan Khaila yang sudah kenyang kepangkuannya dan menyiapkan makan malam untuk suami tangguhku. Makan malam sederhana. Sepiring nasi putih dengan lauk tempe, sedikit sambel (karena ia tak suka pedas) dan sayur bayam rebus favoritnya. Aku menyerahkan makan malam minimalis yang ia terima dengan penuh suka cita. Ia makan dengan lahap, sementara aku menontonnya dengan mata berlinang.
Sehat terus ya Bi. Maafkan Ummi jika belum bisa membantu. Laraku dalam hati.
***
Imran Wahyudi. Lelaki keturunan Tionghoa yang berkomitmen untuk menikahiku secara Islam dengan resiko meninggalkan hidupnya yang penuh kemewahan. Mas Imran memang putera sulung seorang pengusaha terkenal di kota kami, Surabaya. Kenekatannya untuk mempersunting perempuan biasa sepertiku mendatangkan amarah dari seluruh keluarga besarnya. Belum lagi keinginannya untuk memeluk agama yang sama denganku. Puncaknya, ia diusir dari rumah, fasilitas hidup dari orangtuanya disita dan sekarang, ia hidup melarat bersamaku.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, Mas Imran bekerja sebagai kuli bangunan. Pilihan terakhir ketika ijazah perguruan tinggi yang ia miliki tidak diterima oleh satu perusahaan pun. Ia yang dahulunya hidup serba ada, harus membanting tulang sepanjang hari. Di awal-awal pekerjaannya, tak jarang Mas Imran jatuh sakit. Namun ia tak pernah sedikit pun mengeluh.
Aku yang sering tidak tahan melihat kesakitannya, sering menangis dalam sujudku. Bahkan pernah menyesali keputusanku untuk menikah dengannya.
“Jika menyesal, berarti Ummi nggak cinta dong sama Abi?” ucapnya suatu hari karena tangisanku yang tak kunjung berhenti.
“Cinta Abi, tentu saja. Ummi hanya tidak sanggup melihat Abi seperti ini. Andai Ummi bisa bantu, Ummi akan lakukan apa saja.” jawabku sambil memeluk tubuhnya yang dulu berkulit putih bersih, sekarang berganti hitam legam karena terbakar matahari.
Ia mengusap kepalaku. “Kalau cinta, Ummi harus jadi penguat untuk Abi. Kalau Ummi selalu cinta, Abi akan kuat menjalani ini semua. Abi hanya ingin Ummi dan Khaila berkecukupan.”
“Maafin Ummi..”
“Sudah..jangan minta maaf terus. Lagian ini semua juga Abi lakukan demi tanggung jawab Abi sebagai suami dan ayah yang baik. Ummi mau lihat Abi mendekam di neraka sana karena menelantarkan anak istri? Nggak kan?” tanyanya lagi sembari tersenyum memamerkan gigi-giginya.
Aku menyuruk lebih dalam ke pelukannya. Ah. Andai aku punya kekuatan lebih. Semua yang ku punya kan kutransferkan untuknya.
***
“Kalau Bu Aida bisa, hari ini saya tunggu di rumah.” Bu Hasan, pemilik rumah kontrakan kami baru saja datang menagih uang bulanan. Beliau orang yang baik dan mengerti dengan kehidupan keluarga kami yang sedang sulit. Bahkan tidak sedikitpun wajahnya menunjukkan kemarahan ketika sekali lagi aku terlambat membayar kontrakan.
Aku baru saja meminta kemurahannya untuk memberikan pekerjaan untukku. Kuli cuci. Hanya itu kepandaian yang kumiliki. Aku sudah bertekad untuk membantu suamiku. Sebagai perempuan yang berperasaan, aku tidak bisa berdiam diri saja menunggu nafkah yang bahkan tidak mampu mencukup kebutuhan hidup kami setiap harinya.
Kugendong Khaila. Dengan berjalan kaki, aku menyusuri jalan berkerikil menuju rumah Bu Hasan. Setibanya disana, kutidurkan Khaila di sebuah dipan bambu yang terletak di bagian belakang rumah, bersebelahan dengan sumur, kantor baruku. Khaila yang tidak pernah rewel membuatku nyaman dalam menyelesaikan pekerjaan. Di umur sekecil ini ia sudah mampu memahami kesulitan orangtuanya.
“Kalau cuciannya udah beres, jangan lupa makan dulu ya Bu Aida. Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng.” teriak Bu Hasan dari dalam rumah.
“Iya Bu.” jawabku yang tengah sibuk menjemurkan pakaian-pakaian itu.
“Kardus-kardusnya taruh di dapur saja Pak Imran. Di depan sudah penuh.” teriakan Bu Hasan berikutnya menghentikan kegiatannya. Deg. Dadaku berdegup kencang mendengar nama itu diucapkan. Bukankah itu nama suamiku? Tapi apa yang sedang dikerjakannya di rumah ini? Bukankah tadi pagi Mas Imran pamit untuk bekerja di tempat biasa?
Kubereskan pekerjaanku secepatnya, kuambil Khaila yang tengah tertidur lelap dan kulangkahkan kakiku ke dalam rumah Bu Hasan dengan kaki bergetar.
“Abi..” suaraku tercekat saat melihat lelaki tangguhku tengah mengangkat puluhan dus ke dalam dapur. Wajahnya bersimbah keringat. Badannya terbungkuk-bungkuk karena membawa beban yang sangat berat.
“Ummi..lagi ngapain disini?”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku tercekat. Mataku panas. Aku berlari pulang dan menangis sejadi-jadinya.
Ya Allah..bagaimana mungkin aku sanggup menatap matanya yang sudah layu seperti itu? Bahkan tadi pagi pun hanya air putih yang mampu kuhidangkan untuk sarapannya.
Kudekap Khaila ke dadaku. Bayi itu ikut menangis bersamaku.
***
“Abi melakukan kesalahan besar kemaren di tempat kerja. Hadiahnya, Abi harus rela kehilangan pekerjaan lagi. Abi pikir daripada berkeluh kesah di rumah, lebih baik mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Khaila perlu ASI yang sehat Mi. Dan untuk itu semua, Ummi juga harus sehat, makan makanan yang bergizi.” Mas Imran berbicara sembari menunduk dihadapanku. Kami baru saja selesai melaksanakan Shalat Isya berjamaah.
“Ini Bi.” Kusodorkan beberapa lembar rupiah ke tangannya. “Istri tercinta Abi tadi udah coba-coba kerja. Dapet segini. Buat beli peci Abi. Yang ini udah jelek.” tambahku sambil menyambar peci kusamnya. Kudekap peci itu.
“Peci jelek bukan masalah besar Ummi. Yang penting imannya tambah bagus. Sudah. Uangnya Ummi simpan. Dan besok, tugas utama Ummi hanya menjaga Khaila dengan baik.” jawabnya tersenyum padaku. Kupeluk tubuhnya sembari bersyukur pada Allah telah mempercayakan hidupku pada lelaki tangguh sepertinya.


2 komentar:

Fahrizal Mukhdar mengatakan...

hiks... ceritanya bikin aku ....

salam kunjungan... keren dan subhanallah ya ceritanya

Orestilla mengatakan...

salam. terimakasih sudah berkunjung. semoga karya kecil ini bisa membuka mata hati banyak orang :)

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Selasa, Desember 10

Suamiku, si lelaki tangguh

Diposting oleh Orestilla di 10.13.00


Wajahnya terlihat sangat kuyu malam itu. Kemeja lusuh yang kami beli beberapa tahun yang lalu basah oleh keringat. Namun senyum yang sama tetap bertahan disana, senyum yang sedari dulu ia persembahkan untukku. Aku yang tengah menyusui puteri kecil kami, berdiri menyongsongnya, mencium tangannya dan membawanya ke keningku. Kening yang kemudian ia kecup dengan penuh kasih sayang sebelum mencium mesra Khaila, buah hati kami.
“Udah makan Ummi?” tanyanya sembari berganti pakaian.
Mataku terbeliak mendapati lebam di bahu kirinya. “Bahu Abi kenapa?” tanyaku tanpa terlebih dulu menjawab pertanyaannya.
Ia berbalik menatapku dan kembali tersenyum, “Tadi ketimpa balok Mi. Nanti Abi olesin balsem aja. Aman kok. Ummi masak apa malam ini? Abi lapar.” jawabnya panjang lebar. Aku tahu ia tengah mengalihkan pembicaraan. Kebiasaan suamiku yang tak pernah mau membebaniku walau hanya karena masalah yang ia anggap sepele.
Aku ikut tersenyum, menyerahkan Khaila yang sudah kenyang kepangkuannya dan menyiapkan makan malam untuk suami tangguhku. Makan malam sederhana. Sepiring nasi putih dengan lauk tempe, sedikit sambel (karena ia tak suka pedas) dan sayur bayam rebus favoritnya. Aku menyerahkan makan malam minimalis yang ia terima dengan penuh suka cita. Ia makan dengan lahap, sementara aku menontonnya dengan mata berlinang.
Sehat terus ya Bi. Maafkan Ummi jika belum bisa membantu. Laraku dalam hati.
***
Imran Wahyudi. Lelaki keturunan Tionghoa yang berkomitmen untuk menikahiku secara Islam dengan resiko meninggalkan hidupnya yang penuh kemewahan. Mas Imran memang putera sulung seorang pengusaha terkenal di kota kami, Surabaya. Kenekatannya untuk mempersunting perempuan biasa sepertiku mendatangkan amarah dari seluruh keluarga besarnya. Belum lagi keinginannya untuk memeluk agama yang sama denganku. Puncaknya, ia diusir dari rumah, fasilitas hidup dari orangtuanya disita dan sekarang, ia hidup melarat bersamaku.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, Mas Imran bekerja sebagai kuli bangunan. Pilihan terakhir ketika ijazah perguruan tinggi yang ia miliki tidak diterima oleh satu perusahaan pun. Ia yang dahulunya hidup serba ada, harus membanting tulang sepanjang hari. Di awal-awal pekerjaannya, tak jarang Mas Imran jatuh sakit. Namun ia tak pernah sedikit pun mengeluh.
Aku yang sering tidak tahan melihat kesakitannya, sering menangis dalam sujudku. Bahkan pernah menyesali keputusanku untuk menikah dengannya.
“Jika menyesal, berarti Ummi nggak cinta dong sama Abi?” ucapnya suatu hari karena tangisanku yang tak kunjung berhenti.
“Cinta Abi, tentu saja. Ummi hanya tidak sanggup melihat Abi seperti ini. Andai Ummi bisa bantu, Ummi akan lakukan apa saja.” jawabku sambil memeluk tubuhnya yang dulu berkulit putih bersih, sekarang berganti hitam legam karena terbakar matahari.
Ia mengusap kepalaku. “Kalau cinta, Ummi harus jadi penguat untuk Abi. Kalau Ummi selalu cinta, Abi akan kuat menjalani ini semua. Abi hanya ingin Ummi dan Khaila berkecukupan.”
“Maafin Ummi..”
“Sudah..jangan minta maaf terus. Lagian ini semua juga Abi lakukan demi tanggung jawab Abi sebagai suami dan ayah yang baik. Ummi mau lihat Abi mendekam di neraka sana karena menelantarkan anak istri? Nggak kan?” tanyanya lagi sembari tersenyum memamerkan gigi-giginya.
Aku menyuruk lebih dalam ke pelukannya. Ah. Andai aku punya kekuatan lebih. Semua yang ku punya kan kutransferkan untuknya.
***
“Kalau Bu Aida bisa, hari ini saya tunggu di rumah.” Bu Hasan, pemilik rumah kontrakan kami baru saja datang menagih uang bulanan. Beliau orang yang baik dan mengerti dengan kehidupan keluarga kami yang sedang sulit. Bahkan tidak sedikitpun wajahnya menunjukkan kemarahan ketika sekali lagi aku terlambat membayar kontrakan.
Aku baru saja meminta kemurahannya untuk memberikan pekerjaan untukku. Kuli cuci. Hanya itu kepandaian yang kumiliki. Aku sudah bertekad untuk membantu suamiku. Sebagai perempuan yang berperasaan, aku tidak bisa berdiam diri saja menunggu nafkah yang bahkan tidak mampu mencukup kebutuhan hidup kami setiap harinya.
Kugendong Khaila. Dengan berjalan kaki, aku menyusuri jalan berkerikil menuju rumah Bu Hasan. Setibanya disana, kutidurkan Khaila di sebuah dipan bambu yang terletak di bagian belakang rumah, bersebelahan dengan sumur, kantor baruku. Khaila yang tidak pernah rewel membuatku nyaman dalam menyelesaikan pekerjaan. Di umur sekecil ini ia sudah mampu memahami kesulitan orangtuanya.
“Kalau cuciannya udah beres, jangan lupa makan dulu ya Bu Aida. Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng.” teriak Bu Hasan dari dalam rumah.
“Iya Bu.” jawabku yang tengah sibuk menjemurkan pakaian-pakaian itu.
“Kardus-kardusnya taruh di dapur saja Pak Imran. Di depan sudah penuh.” teriakan Bu Hasan berikutnya menghentikan kegiatannya. Deg. Dadaku berdegup kencang mendengar nama itu diucapkan. Bukankah itu nama suamiku? Tapi apa yang sedang dikerjakannya di rumah ini? Bukankah tadi pagi Mas Imran pamit untuk bekerja di tempat biasa?
Kubereskan pekerjaanku secepatnya, kuambil Khaila yang tengah tertidur lelap dan kulangkahkan kakiku ke dalam rumah Bu Hasan dengan kaki bergetar.
“Abi..” suaraku tercekat saat melihat lelaki tangguhku tengah mengangkat puluhan dus ke dalam dapur. Wajahnya bersimbah keringat. Badannya terbungkuk-bungkuk karena membawa beban yang sangat berat.
“Ummi..lagi ngapain disini?”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku tercekat. Mataku panas. Aku berlari pulang dan menangis sejadi-jadinya.
Ya Allah..bagaimana mungkin aku sanggup menatap matanya yang sudah layu seperti itu? Bahkan tadi pagi pun hanya air putih yang mampu kuhidangkan untuk sarapannya.
Kudekap Khaila ke dadaku. Bayi itu ikut menangis bersamaku.
***
“Abi melakukan kesalahan besar kemaren di tempat kerja. Hadiahnya, Abi harus rela kehilangan pekerjaan lagi. Abi pikir daripada berkeluh kesah di rumah, lebih baik mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Khaila perlu ASI yang sehat Mi. Dan untuk itu semua, Ummi juga harus sehat, makan makanan yang bergizi.” Mas Imran berbicara sembari menunduk dihadapanku. Kami baru saja selesai melaksanakan Shalat Isya berjamaah.
“Ini Bi.” Kusodorkan beberapa lembar rupiah ke tangannya. “Istri tercinta Abi tadi udah coba-coba kerja. Dapet segini. Buat beli peci Abi. Yang ini udah jelek.” tambahku sambil menyambar peci kusamnya. Kudekap peci itu.
“Peci jelek bukan masalah besar Ummi. Yang penting imannya tambah bagus. Sudah. Uangnya Ummi simpan. Dan besok, tugas utama Ummi hanya menjaga Khaila dengan baik.” jawabnya tersenyum padaku. Kupeluk tubuhnya sembari bersyukur pada Allah telah mempercayakan hidupku pada lelaki tangguh sepertinya.


2 komentar on "Suamiku, si lelaki tangguh"

Fahrizal Mukhdar on 10 Desember 2013 pukul 13.31 mengatakan...

hiks... ceritanya bikin aku ....

salam kunjungan... keren dan subhanallah ya ceritanya

Orestilla on 11 Desember 2013 pukul 11.31 mengatakan...

salam. terimakasih sudah berkunjung. semoga karya kecil ini bisa membuka mata hati banyak orang :)

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea