Rabu, Desember 11

Trip to City of Makassar #day2

Diposting oleh Orestilla di 11.45.00


Pagi pertama di tanah Sulawesi. Lihat! ini dia suguhan Pantai Losari untuk saya yang bangun di lantai 7 Hotel M. Regency. Keren kan? Oiya, sebelum lanjut cerita sana sini, saya ada sedikit masukan untuk manteman semua. Kalo ada rencana bertandang ke daerah ini, nyari penginapan atau hotel yang terletak disekitaran Pantai Losari aja. Seperti hotel M.Regency ini, yang terletak di Jalan Daeng Tompo. Lebih baik lagi jika kamar yang kamu pilih itu ada di lantai atas dan jendelanya menghadap langsung ke arah laut. Mata serasa dimanjakan langsung dari atas tempat tidur! What a wonderful life. Haha.
selamat pagi Makassar dari jendela kamar kami :)
*balik ke setengah jam sebelumnya*
Karena lupa menyamakan waktu setempat dengan jam tangan yang saya punya dan digital clock yang ada di handphone (yang mati total begitu pesawat mendarat karena malangnya provider yang saya pake tidak berlaku di daerah tersebut), saya bangun cantik pada saat matahari sudah senyam senyum dari arah pantai. Dengan memohon ampun pada Sang Pemilik Bumi, saya shalat Subuh pada waktu yang sudah tak selayaknya. Harap maklum, jam di pergelangan tangan saya masih menunjukkan pukul 05.17 pagi.

*kembali ke laptop*
Kelar sarapan pagi bersama (iya. pilihan saya selalu jatuh pada bubur ayam. Bagaimana lagi? cinta saya padanya sudah jatuh berkali-kali), kami bertolak ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Makassar. Dinas ini berada di jalan Urip Sumoharjo, sekitar 30 menit dari hotel. 

mejeng dulu sehabis sarapan, sembari menunggu yang lain selesai.
Pertemuan diawali dengan laporan perjalanan dari bapak Sekretaris Daerah Kota Solok, Bapak Suryadi Nurdal. Kemudian pemaparan tentang sistem dan mekanisme pemungutan PBB-P2 dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar, Bapak M. Khaidir Hasan Saleh. Kebetulan kota tersebut telah melaksanakan sistem pemungutan berbasis IT. Sedangkan Kota Solok sendiri baru akan melaksanakan hal yang sama pada tahun 2014.
Kota Makassar mengelola 11 jenis pajak. Pajak-pajak tersebut meliputi pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak hiburan, pajak bukan logam dan bebatuan, pajak parkir, pajak bangunan, pajak air bawah tanah, pajak sarang burung wallet, PBB dan BPHTB. Pemungutan pajak sarang burung wallet disinyalir menjadi yang paling bermasalah. Pemanfaatan ruko sebagai tempat pengembangbiakan burung wallet diduga menjadi penyebab utamanya.
Pencapaian PBB Kota Makassar tahun ini adalah 110% yang jatuh tempo pada bulan September 2013. UPTD PBB Kota Makassar memiliki 50 orang pegawai. Sementara wajib pajak berjumlah 320.000 objek dengan potensi sebesar 105 Milyar Rupiah. Keberhasilan Kota Makassar dalam mencapai target pemungutan didukung oleh tenaga kolektor yang aktif dan profesional. Selain itu, NJOP di beberapa titik dinaikkan satu kelas tanpa menimbulkan riak pada masyarakat.
Kota Makassar memiliki 14 kecamatan dan 143 kelurahan (bedakan dengan Kota Solok yang hanya memiliki 2 kecamatan dan 13 kelurahan). Dalam mekanisme pemungutan pajak, penyalurannya tetap melibatkan lurah dan kolektor. Selanjutnya lurah akan memberikan informasi dan laporan kepada Dispenda Kota Makassar. Sementara Dispenda sendiri menurunkan koordinator lapangan di setiap kelurahan yang akan menyampaikan laporan pada rapat koordinasi yang biasanya dilaksanakan setiap 1 kali dalam seminggu.
Sayangnya yang hadir di dalam ruangan hanya sebahagian dari kami. Aula dinas  tidak memadai untuk rombongan kami yang berjumlah 62 orang. Masukan dari Dispenda Kota Makassar diharapkan mampu menjadi acuan bagi Kota Solok untuk menerapkan pola yang sama atau lebih baik lagi.

penyerahan cenderamata dari Sekda Kota Solok (kiri) kepada Kadispenda Kota Makassar (kanan)

photo by: Wahyudi Agustian

Berhubung Bapak Kepala Dinas sedang berulang tahun, kami semua diboyong untuk mencicipi coto putih Makassar. Coto Daeng Sirua yang berada di Jalan Abdul Daeng Sirua No.10 Kota Makassar. Rasanya jangan ditanya lagi. Sedap bin nikmat. Apalagi pecinta masakan pedas seperti saya. Jadilah hari itu saya menuangkan Lombok cukup banyak ke dalam mangkok. Coto ini dimakan bersama ketupat yang sudah disediakan terlebih dahulu di atas meja. Cotonya terdiri dari potongan-potongan daging, tanpa mie seperti yang kita jumpai pada soto. Saya kurang suka dengan ketupatnya. Mungkin karena biasa makan ketupat “bareh solok”, ketupat di daerah ini terasa lebih lembek dan kurang greget. Namun untuk coto, rasanya sempurna. Ditengah rasa pedas yang membara, ada kenikmatan masakan yang luhaaarr biasyaaahh. Sedaaaaaappp.

bareng senior :)

penampakan coto putih Makassar (before)

....after

Karena makan coto putih Makassar ada di luar rencana, maka kami harus menyiapkan perut sekali lagi untuk menikmati makan siang di restoran Wong Solo. Jarak makan pertama dengan makan berikutnya hanya sekitar 15 menit. Dan saya menyerah kalah. Tidak sanggup lagi. Hahaha. Sementara bapak ibu uda uni yang lain, ada yang masih kuat untuk melanjutkan makan kedua mereka. Oya, didalam perjalanan menuju Wong Solo, kami bertemu dengan rombongan demonstran. Hal yang terlihat lazim di Kota Makassar. Jumlah pendemo tidak terlalu banyak, namun aksi mereka cukup mengganggu arus lalu lintas.

Lokasi makan kedua: Wong Solo

ini becak unik yang ada di Makassar. Saya abadikan dalam perjalanan menuju Wong Solo.

Puas makan siang (dua kali tentunya), kami melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Gowa. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kota Makassar. Tujuan kami adalah Museum Balla Lompoa. Menurut penjelasan dari tour guide, Balla Lompoa sendiri berarti rumah besar yang ditinggali oleh raja (di daerah Sumatera Barat namanya Rumah Gadang).  Raja pertama Gowa adalah seorang perempuan cantik bernama Tummanurung Baimea (1320 SM).

Museum Balla Lompoa

Istana Tamalate, bersebelahan letaknya dengan Museum Balla Lompoa dan masih dalam lokasi yang sama

*gugling bentar*
Museum Balla Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, pada tahun 1936. Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoa berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Arsitektur bangunan museum ini berbentuk rumah khas orang Bugis, yaitu rumah panggung, dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter untuk masuk ke ruang teras. Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Bangunan ini berada dalam sebuah kompleks seluas satu hektar yang dibatasi oleh pagar tembok yang tinggi.
Museum ini berfungsi sebagai tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Benda-benda bersejarah tersebut dipajang berdasarkan fungsi umum setiap ruangan pada bangunan museum. Di bagian depan ruang utama bangunan, sebuah peta Indonesia terpajang di sisi kanan dinding. Di ruang utama dipajang silsilah keluarga Kerajaan Gowa mulai dari Raja Gowa I, Tomanurunga pada abad ke-13, hingga Raja Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957).
Di ruangan utama ini, terdapat sebuah singgasana yang diletakkan pada area khusus di tengah-tengah ruangan. Beberapa alat perang, seperti tombak dan meriam kuno, serta sebuah payung lalong sipue (payung yang dipakai raja ketika pelantikan) juga terpajang di ruangan ini.
Museum ini pernah direstorasi pada tahun 1978-1980 dan diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Subadio yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan. Hingga saat ini, pemerintah daerah setempat telah mengalokasikan dana sebesar 25 juta rupiah per tahun untuk biaya pemeliharaan secara keseluruhan.
Setelah berpuas hati mengenal sejarah kerajaan Gowa, kami dibawa menuju pusat perbelanjaan oleh-oleh. Kami semua diarahkan ke toko Keradjinan yang terletak di jalan Somba Oppu (setelah itu saya tahu bahwa ternyata tempat ini hanya berjarak beberapa blok dari hotel tempat kami menginap). Disana kita bisa membeli kain khas Sulawesi, makanan tradisional mereka, bahkan kerajinan tangan yang akan sangat jarang kita temukan di tempat lain. Kalaupun ada, mungkin dengan harga yang jauh lebih mahal.
Acara hari itu ditutup dengan kunjungan melepas lelah ke Pantai Losari, sembari menunggu adzan Maghrib berkumandang di mesjid terapung yang berada di lokasi yang sama. Namun karena rasa lelah yang luar biasa setelah menghabiskan pundi-pundi uang kami, saya dan 4 orang rekan lainnya langsung menuju hotel. Istirahat. Memulihkan tenaga untuk kegiatan dan kunjungan berikutnya.
Perkiraan saya meleset jauh.
Kebetulan malam itu uni yang sekamar dengan saya bertemu dengan calon adik iparnya (uhuk) yang tengah melanjutkan pendidikan di tanah angin mamiri ini. Si adek ngajakin kami makan malam di Kampoeng Popsa. Tempat kuliner ini mirip pujasera kalo di daerah Bandung. Ada banyak masakan tradisional dan spesifik yang bisa kita pesan. Pun begitu halnya dengan minuman. Namun ketiadaan pisang ijo cukup membuat saya kecewa malam itu. Jadilah akhirnya saya memesan hotplate sapi lada hitam (yang ga ada khas Makassarnya sama sekali) dan campuran buah segar yang disediakan dalam kelapa muda utuh. Kalo minumannya seger dan enak banget, cuma untuk makanannya agak kurang asik. Kurang kuat bumbunya menurut saya. Lebih dari itu semua, Kampoeng Popsa memiliki tempat yang sangat nyaman. Keberadaannya yang terletak di bibir pantai membuat lokasinya menjadi favorit anak-anak muda Makassar.

minuman seger yang saya pesan di Kampoeng Popsa

salah satu sudut Kampoeng Popsa. Lihat ada kapal kecilnya. Dan itu bukan kolam, tapi lauuuutt...!!!

Si uni dan si adek melanjutkan malamnya di pinggiran Pantai Losari, makan pisang epek (senengnya saya juga dibelikan). Sementara saya langsung kembali ke hotel, ngorok.

senja penuh cinta dari ketenangan Losari

be continued..

3 komentar:

Titis Ayuningsih mengatakan...

Setiap berkunjung ke suatu daerah pasti tidak lupa untuk mencicipkan kulinernya ya mbak :D

Indonesianholic mengatakan...

Thanks sudah berkunjung di kota kami.
Makassar memang selalu ramah untuk pengunjungnya,
Jika sebagian orang agak takut kemakassar, karena mereka belum pernah ke makassar.
Sekali ke makassar maka akan terkenang selamanya.

www.indonesianholic.com

Orestilla mengatakan...

titis : iya saii..itu poin pertama yang harus dilakukan
muhammad akbar: kota yang indah. waktu 4 hari masih terlalu kurang untuk menjelajahi indahnya bumi selatan sulawesi :)

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Rabu, Desember 11

Trip to City of Makassar #day2

Diposting oleh Orestilla di 11.45.00


Pagi pertama di tanah Sulawesi. Lihat! ini dia suguhan Pantai Losari untuk saya yang bangun di lantai 7 Hotel M. Regency. Keren kan? Oiya, sebelum lanjut cerita sana sini, saya ada sedikit masukan untuk manteman semua. Kalo ada rencana bertandang ke daerah ini, nyari penginapan atau hotel yang terletak disekitaran Pantai Losari aja. Seperti hotel M.Regency ini, yang terletak di Jalan Daeng Tompo. Lebih baik lagi jika kamar yang kamu pilih itu ada di lantai atas dan jendelanya menghadap langsung ke arah laut. Mata serasa dimanjakan langsung dari atas tempat tidur! What a wonderful life. Haha.
selamat pagi Makassar dari jendela kamar kami :)
*balik ke setengah jam sebelumnya*
Karena lupa menyamakan waktu setempat dengan jam tangan yang saya punya dan digital clock yang ada di handphone (yang mati total begitu pesawat mendarat karena malangnya provider yang saya pake tidak berlaku di daerah tersebut), saya bangun cantik pada saat matahari sudah senyam senyum dari arah pantai. Dengan memohon ampun pada Sang Pemilik Bumi, saya shalat Subuh pada waktu yang sudah tak selayaknya. Harap maklum, jam di pergelangan tangan saya masih menunjukkan pukul 05.17 pagi.

*kembali ke laptop*
Kelar sarapan pagi bersama (iya. pilihan saya selalu jatuh pada bubur ayam. Bagaimana lagi? cinta saya padanya sudah jatuh berkali-kali), kami bertolak ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Makassar. Dinas ini berada di jalan Urip Sumoharjo, sekitar 30 menit dari hotel. 

mejeng dulu sehabis sarapan, sembari menunggu yang lain selesai.
Pertemuan diawali dengan laporan perjalanan dari bapak Sekretaris Daerah Kota Solok, Bapak Suryadi Nurdal. Kemudian pemaparan tentang sistem dan mekanisme pemungutan PBB-P2 dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar, Bapak M. Khaidir Hasan Saleh. Kebetulan kota tersebut telah melaksanakan sistem pemungutan berbasis IT. Sedangkan Kota Solok sendiri baru akan melaksanakan hal yang sama pada tahun 2014.
Kota Makassar mengelola 11 jenis pajak. Pajak-pajak tersebut meliputi pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak hiburan, pajak bukan logam dan bebatuan, pajak parkir, pajak bangunan, pajak air bawah tanah, pajak sarang burung wallet, PBB dan BPHTB. Pemungutan pajak sarang burung wallet disinyalir menjadi yang paling bermasalah. Pemanfaatan ruko sebagai tempat pengembangbiakan burung wallet diduga menjadi penyebab utamanya.
Pencapaian PBB Kota Makassar tahun ini adalah 110% yang jatuh tempo pada bulan September 2013. UPTD PBB Kota Makassar memiliki 50 orang pegawai. Sementara wajib pajak berjumlah 320.000 objek dengan potensi sebesar 105 Milyar Rupiah. Keberhasilan Kota Makassar dalam mencapai target pemungutan didukung oleh tenaga kolektor yang aktif dan profesional. Selain itu, NJOP di beberapa titik dinaikkan satu kelas tanpa menimbulkan riak pada masyarakat.
Kota Makassar memiliki 14 kecamatan dan 143 kelurahan (bedakan dengan Kota Solok yang hanya memiliki 2 kecamatan dan 13 kelurahan). Dalam mekanisme pemungutan pajak, penyalurannya tetap melibatkan lurah dan kolektor. Selanjutnya lurah akan memberikan informasi dan laporan kepada Dispenda Kota Makassar. Sementara Dispenda sendiri menurunkan koordinator lapangan di setiap kelurahan yang akan menyampaikan laporan pada rapat koordinasi yang biasanya dilaksanakan setiap 1 kali dalam seminggu.
Sayangnya yang hadir di dalam ruangan hanya sebahagian dari kami. Aula dinas  tidak memadai untuk rombongan kami yang berjumlah 62 orang. Masukan dari Dispenda Kota Makassar diharapkan mampu menjadi acuan bagi Kota Solok untuk menerapkan pola yang sama atau lebih baik lagi.

penyerahan cenderamata dari Sekda Kota Solok (kiri) kepada Kadispenda Kota Makassar (kanan)

photo by: Wahyudi Agustian

Berhubung Bapak Kepala Dinas sedang berulang tahun, kami semua diboyong untuk mencicipi coto putih Makassar. Coto Daeng Sirua yang berada di Jalan Abdul Daeng Sirua No.10 Kota Makassar. Rasanya jangan ditanya lagi. Sedap bin nikmat. Apalagi pecinta masakan pedas seperti saya. Jadilah hari itu saya menuangkan Lombok cukup banyak ke dalam mangkok. Coto ini dimakan bersama ketupat yang sudah disediakan terlebih dahulu di atas meja. Cotonya terdiri dari potongan-potongan daging, tanpa mie seperti yang kita jumpai pada soto. Saya kurang suka dengan ketupatnya. Mungkin karena biasa makan ketupat “bareh solok”, ketupat di daerah ini terasa lebih lembek dan kurang greget. Namun untuk coto, rasanya sempurna. Ditengah rasa pedas yang membara, ada kenikmatan masakan yang luhaaarr biasyaaahh. Sedaaaaaappp.

bareng senior :)

penampakan coto putih Makassar (before)

....after

Karena makan coto putih Makassar ada di luar rencana, maka kami harus menyiapkan perut sekali lagi untuk menikmati makan siang di restoran Wong Solo. Jarak makan pertama dengan makan berikutnya hanya sekitar 15 menit. Dan saya menyerah kalah. Tidak sanggup lagi. Hahaha. Sementara bapak ibu uda uni yang lain, ada yang masih kuat untuk melanjutkan makan kedua mereka. Oya, didalam perjalanan menuju Wong Solo, kami bertemu dengan rombongan demonstran. Hal yang terlihat lazim di Kota Makassar. Jumlah pendemo tidak terlalu banyak, namun aksi mereka cukup mengganggu arus lalu lintas.

Lokasi makan kedua: Wong Solo

ini becak unik yang ada di Makassar. Saya abadikan dalam perjalanan menuju Wong Solo.

Puas makan siang (dua kali tentunya), kami melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Gowa. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kota Makassar. Tujuan kami adalah Museum Balla Lompoa. Menurut penjelasan dari tour guide, Balla Lompoa sendiri berarti rumah besar yang ditinggali oleh raja (di daerah Sumatera Barat namanya Rumah Gadang).  Raja pertama Gowa adalah seorang perempuan cantik bernama Tummanurung Baimea (1320 SM).

Museum Balla Lompoa

Istana Tamalate, bersebelahan letaknya dengan Museum Balla Lompoa dan masih dalam lokasi yang sama

*gugling bentar*
Museum Balla Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, pada tahun 1936. Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoa berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Arsitektur bangunan museum ini berbentuk rumah khas orang Bugis, yaitu rumah panggung, dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter untuk masuk ke ruang teras. Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Bangunan ini berada dalam sebuah kompleks seluas satu hektar yang dibatasi oleh pagar tembok yang tinggi.
Museum ini berfungsi sebagai tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Benda-benda bersejarah tersebut dipajang berdasarkan fungsi umum setiap ruangan pada bangunan museum. Di bagian depan ruang utama bangunan, sebuah peta Indonesia terpajang di sisi kanan dinding. Di ruang utama dipajang silsilah keluarga Kerajaan Gowa mulai dari Raja Gowa I, Tomanurunga pada abad ke-13, hingga Raja Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957).
Di ruangan utama ini, terdapat sebuah singgasana yang diletakkan pada area khusus di tengah-tengah ruangan. Beberapa alat perang, seperti tombak dan meriam kuno, serta sebuah payung lalong sipue (payung yang dipakai raja ketika pelantikan) juga terpajang di ruangan ini.
Museum ini pernah direstorasi pada tahun 1978-1980 dan diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Subadio yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan. Hingga saat ini, pemerintah daerah setempat telah mengalokasikan dana sebesar 25 juta rupiah per tahun untuk biaya pemeliharaan secara keseluruhan.
Setelah berpuas hati mengenal sejarah kerajaan Gowa, kami dibawa menuju pusat perbelanjaan oleh-oleh. Kami semua diarahkan ke toko Keradjinan yang terletak di jalan Somba Oppu (setelah itu saya tahu bahwa ternyata tempat ini hanya berjarak beberapa blok dari hotel tempat kami menginap). Disana kita bisa membeli kain khas Sulawesi, makanan tradisional mereka, bahkan kerajinan tangan yang akan sangat jarang kita temukan di tempat lain. Kalaupun ada, mungkin dengan harga yang jauh lebih mahal.
Acara hari itu ditutup dengan kunjungan melepas lelah ke Pantai Losari, sembari menunggu adzan Maghrib berkumandang di mesjid terapung yang berada di lokasi yang sama. Namun karena rasa lelah yang luar biasa setelah menghabiskan pundi-pundi uang kami, saya dan 4 orang rekan lainnya langsung menuju hotel. Istirahat. Memulihkan tenaga untuk kegiatan dan kunjungan berikutnya.
Perkiraan saya meleset jauh.
Kebetulan malam itu uni yang sekamar dengan saya bertemu dengan calon adik iparnya (uhuk) yang tengah melanjutkan pendidikan di tanah angin mamiri ini. Si adek ngajakin kami makan malam di Kampoeng Popsa. Tempat kuliner ini mirip pujasera kalo di daerah Bandung. Ada banyak masakan tradisional dan spesifik yang bisa kita pesan. Pun begitu halnya dengan minuman. Namun ketiadaan pisang ijo cukup membuat saya kecewa malam itu. Jadilah akhirnya saya memesan hotplate sapi lada hitam (yang ga ada khas Makassarnya sama sekali) dan campuran buah segar yang disediakan dalam kelapa muda utuh. Kalo minumannya seger dan enak banget, cuma untuk makanannya agak kurang asik. Kurang kuat bumbunya menurut saya. Lebih dari itu semua, Kampoeng Popsa memiliki tempat yang sangat nyaman. Keberadaannya yang terletak di bibir pantai membuat lokasinya menjadi favorit anak-anak muda Makassar.

minuman seger yang saya pesan di Kampoeng Popsa

salah satu sudut Kampoeng Popsa. Lihat ada kapal kecilnya. Dan itu bukan kolam, tapi lauuuutt...!!!

Si uni dan si adek melanjutkan malamnya di pinggiran Pantai Losari, makan pisang epek (senengnya saya juga dibelikan). Sementara saya langsung kembali ke hotel, ngorok.

senja penuh cinta dari ketenangan Losari

be continued..

3 komentar on "Trip to City of Makassar #day2"

Titis Ayuningsih on 11 Desember 2013 pukul 16.20 mengatakan...

Setiap berkunjung ke suatu daerah pasti tidak lupa untuk mencicipkan kulinernya ya mbak :D

Indonesianholic on 11 Desember 2013 pukul 20.47 mengatakan...

Thanks sudah berkunjung di kota kami.
Makassar memang selalu ramah untuk pengunjungnya,
Jika sebagian orang agak takut kemakassar, karena mereka belum pernah ke makassar.
Sekali ke makassar maka akan terkenang selamanya.

www.indonesianholic.com

Orestilla on 12 Desember 2013 pukul 14.56 mengatakan...

titis : iya saii..itu poin pertama yang harus dilakukan
muhammad akbar: kota yang indah. waktu 4 hari masih terlalu kurang untuk menjelajahi indahnya bumi selatan sulawesi :)

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea