Rabu, April 24

Padamu, cintaku selamanya

Diposting oleh Orestilla di 10.19.00

Minggu, 24 Maret 2013, 18:40 WIB.

Hujan deras di luar sana kembali menghadirkannya dalam lintasan kenanganku. Terbersit banyak tanya. Adakah dirinya bahagia di sana? Masihkah mengingatku dengan cinta? Tapi seberapa banyak pun aku bertanya, tanya itu tak pernah terjawab. Tidak olehnya, tidak oleh siapapun. Hujan lah yang selalu mengembalikannya padaku. Ya. Masih dengan rasa yang sama. Masih dengan degupan yang tak berbeda. Cinta.

Butuh tumpangan mbak?”

Itu pertanyaan pertama yang dia ucapkan ketika pertama kali kami bertemu. 12 tahun yang lalu. Dengan hujan yang sama derasnya seperti sore ini. Kami telah berdiri cukup lama di tempat itu, sebuah halte tua yang terletak di depan kampus. Dia berdiri di satu sisi, sementara aku duduk di sisi yang lain. Dan seiring berjalannya waktu, tak ada satupun diantara kami yang berniat untuk berbicara terlebih dahulu. Aku hanya mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan sekaligus ajakannya itu. Begitu hujan reda, dia mempersilahkanku duduk di boncengan motor bututnya. Sebuah motor antik yang menambah kharismanya di mata banyak orang. Siapa yang tak mengenalnya? Aktif di berbagai kegiatan kampus, peraih nilai tertinggi disetiap semester, dan tentu saja seorang kapten basket yang sudah tak diragukan lagi kepiawaiannya. Perjalanan malam itu pun kami lewati dengan diam yang sama. Hanya gerimis yang menemaniku menebak banyak hal tentangnya. Mengapa tiba-tiba saja ia berkeinginan mengantarku pulang? Atau mungkinkah kondisiku malam itu begitu menyedihkan dimatanya? Aku bahagia sekali malam itu. Kebahagiaan yang alasannya kusimpan rapat-rapat di dalam hatiku. 

Selang beberapa hari, kami bertemu kembali. Tak ada lagi hujan. Kali ini perpustakaan kampus menjadi saksi betapa dengan bodohnya aku menjatuhkan sebuah buku besar dengan berat yang cukup membuatnya meringis menahan sakit ketika buku itu jatuh tepat di kaki kanannya. Namun, kejadian itulah yang pada akhirnya membuat kami dekat. Buku menjadi pengikat kami dalam sebuah kedekatan yang sulit untuk dijelaskan. Seringkali kami menghabiskan waktu di perpustakaan. Dari mencari buku-buku yang memang kami butuhkan dalam menyelesaikan pendidikan atau untuk sekedar bertemu dan mengobrol banyak hal. Walaupun berada di dua jurusan yang berbeda bahkan bertolak belakang, aku di jurusan sastra sementara dia mengambil jurusan teknik, tak menjadi halangan bagi kami untuk tetap menyatu dalam setiap pembicaraan.Dia menjadi rekan debat terbaik yang kumiliki saat itu.

Setahun berlalu dan dia mulai menampakkan perhatian yang lebih padaku. Setiap pagi menjemputku ke kos dan sorenya mengantarkanku pulang. Bahkan sering mengajakku makan siang bersama. Aku yang tak menyangka akan menjadi seseorang yang istimewa dihatinya kala itu, hanya mencoba berpikir bahwasanya apa yang ia lakukan hanyalah sebuah ketulusan seorang sahabat. Namun pada akhirnya dia mengakui segalanya. Jujur dan berkata bahwa ia telah berusaha untuk menghindari setiap kali perasaan itu bergejolak dihatinya. Takut mengecewakanku. Takut aku menjauh dan tidak ingin lagi bertemu dengannya. Ah. Seandainya ia tau bahwa aku pun sedang berjuang melakukan hal yang sama. Menerima permintaannya saat itu menjadi sebuah keputusan terberat yang pernah ku ambil. Perbedaan agama yang kami anut, menjadi bahan pertimbangan terbesar bagiku. Walau menerima berbagai cercaan kala itu, aku dan dia tetap bertahan. Kami saling menguatkan dalam tangis kesedihan. Dia juga lah yang selalu memompa semangatku untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan ketika pada akhirnya kedua orangtua ku mengetahui hal tersebut, dia tetap bertahan dengan terus mencintaiku seperti semula. Tak ada sedikitpun perubahan. Tak ada sedikitpun keinginan untuk meninggalkanku.

Perjuangan kami pun kembali diuji ketika ia disuruh kembali ke kampung halamannya. Mungkinkah kedua orangtuanya juga berpikiran sama seperti yang lain? Bahwa tak ada alasan yang bisa membuat kami bersatu. Dengan berat hati dia pulang dan meninggalkanku. Masih jelas diingatanku ketika mengantarkannya ke bandara sore itu. Hujan menjadi pertanda bahwa saat itu aku menangis dalam diam, cemas dalam senyuman dan berharap dalam setiap jejak langkah yang ia tinggalkan. Beberapa saat setelah perpisahan itu, aku masih bisa berkomunikasi dengannya melalui telepon rumah. 

Satu, dua, tiga tahun berlalu. Seiring berjalannya waktu, dia mulai menghilang dari kehidupanku. Aku panik. Tidak tau harus mengadu dan menceritakan kesedihanku pada siapa. Setiap kali aku menghubunginya, aku hanya mendapatkan jawaban tak memuaskan dari keluarganya. Aku berusaha mencari kabarnya melalui teman-teman sekampus yang tinggal sekota dengannya. Tapi tak ada yang benar-benar tau dimana ia berada. Sampai pada suatu sore, aku menerima sebuah kabar yang meluluhlantakkan hidupku. Ingin rasanya saat itu aku menghilang, menjadi buih di lautan luas dan tak diketemukan lagi. Lelaki yang kucintai dengan sepenuh hati telah pergi. Kali ini benar-benar pergi. Tak akan pernah lagi kembali padaku. Dia meninggal setelah hampir setahun melawan penyakit kanker paru yang dideritanya. Aku mengetahui hal itu langsung dari keluarganya. Karena beberapa hari sebelum ia meninggal, ia menitipkan sebuah surat untukku melalui ibunya. Surat yang sampai saat ini masih kusimpan baik-baik. Surat cinta terakhir dari kekasihku, seseorang yang sangat berharga. Seorang yang telah dihadiahkan Tuhan untukku.

Jakarta, 24 Maret 2006
Sayang, maafkan aku yang tak pernah bisa menjadi lelaki terbaik untukmu. Aku sudah berusaha sebaik yang ku bisa. Namun Allah menakdirkan hal lain untuk kita. Percayalah, sampai saat terakhir hidupku, aku selalu mencintaimu dan akan selalu seperti itu.
Sayang, maafkan aku yang tak mampu menceritakan segalanya padamu. Membagi kesakitanku hanya akan membuatmu bersedih. Sementara aku jauh darimu.
Sayang, kuatlah menapak hidup. Kelak kamu akan menemukan seorang lelaki yang lebih baik. Percayalah, ia akan mencintaimu sepertiku saat ini. Maafkan aku, terima kasih untuk segala kebahagiaan yang kamu berikan. Aku mencintaimu.

Airmataku kembali menetes. Surat itu kudekap erat. Berharap aku tengah mendekapnya dalam pelukku. Tujuh tahun berlalu dan saat ini aku masih menggenggam rasa yang tak pernah berubah untuknya. Walau sampai saat ini aku belum memutuskan untuk menerima lelaki lain dalam hidupku, aku merasa tak pernah sendiri sejak kepergiannya. Aku, cinta dan kesetiaanku padanya tak pernah membuatku merasa hidup dalam kesendirian. Pada Tuhan selalu kutitipkan pesan, aku mencintainya.


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Rabu, April 24

Padamu, cintaku selamanya

Diposting oleh Orestilla di 10.19.00

Minggu, 24 Maret 2013, 18:40 WIB.

Hujan deras di luar sana kembali menghadirkannya dalam lintasan kenanganku. Terbersit banyak tanya. Adakah dirinya bahagia di sana? Masihkah mengingatku dengan cinta? Tapi seberapa banyak pun aku bertanya, tanya itu tak pernah terjawab. Tidak olehnya, tidak oleh siapapun. Hujan lah yang selalu mengembalikannya padaku. Ya. Masih dengan rasa yang sama. Masih dengan degupan yang tak berbeda. Cinta.

Butuh tumpangan mbak?”

Itu pertanyaan pertama yang dia ucapkan ketika pertama kali kami bertemu. 12 tahun yang lalu. Dengan hujan yang sama derasnya seperti sore ini. Kami telah berdiri cukup lama di tempat itu, sebuah halte tua yang terletak di depan kampus. Dia berdiri di satu sisi, sementara aku duduk di sisi yang lain. Dan seiring berjalannya waktu, tak ada satupun diantara kami yang berniat untuk berbicara terlebih dahulu. Aku hanya mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan sekaligus ajakannya itu. Begitu hujan reda, dia mempersilahkanku duduk di boncengan motor bututnya. Sebuah motor antik yang menambah kharismanya di mata banyak orang. Siapa yang tak mengenalnya? Aktif di berbagai kegiatan kampus, peraih nilai tertinggi disetiap semester, dan tentu saja seorang kapten basket yang sudah tak diragukan lagi kepiawaiannya. Perjalanan malam itu pun kami lewati dengan diam yang sama. Hanya gerimis yang menemaniku menebak banyak hal tentangnya. Mengapa tiba-tiba saja ia berkeinginan mengantarku pulang? Atau mungkinkah kondisiku malam itu begitu menyedihkan dimatanya? Aku bahagia sekali malam itu. Kebahagiaan yang alasannya kusimpan rapat-rapat di dalam hatiku. 

Selang beberapa hari, kami bertemu kembali. Tak ada lagi hujan. Kali ini perpustakaan kampus menjadi saksi betapa dengan bodohnya aku menjatuhkan sebuah buku besar dengan berat yang cukup membuatnya meringis menahan sakit ketika buku itu jatuh tepat di kaki kanannya. Namun, kejadian itulah yang pada akhirnya membuat kami dekat. Buku menjadi pengikat kami dalam sebuah kedekatan yang sulit untuk dijelaskan. Seringkali kami menghabiskan waktu di perpustakaan. Dari mencari buku-buku yang memang kami butuhkan dalam menyelesaikan pendidikan atau untuk sekedar bertemu dan mengobrol banyak hal. Walaupun berada di dua jurusan yang berbeda bahkan bertolak belakang, aku di jurusan sastra sementara dia mengambil jurusan teknik, tak menjadi halangan bagi kami untuk tetap menyatu dalam setiap pembicaraan.Dia menjadi rekan debat terbaik yang kumiliki saat itu.

Setahun berlalu dan dia mulai menampakkan perhatian yang lebih padaku. Setiap pagi menjemputku ke kos dan sorenya mengantarkanku pulang. Bahkan sering mengajakku makan siang bersama. Aku yang tak menyangka akan menjadi seseorang yang istimewa dihatinya kala itu, hanya mencoba berpikir bahwasanya apa yang ia lakukan hanyalah sebuah ketulusan seorang sahabat. Namun pada akhirnya dia mengakui segalanya. Jujur dan berkata bahwa ia telah berusaha untuk menghindari setiap kali perasaan itu bergejolak dihatinya. Takut mengecewakanku. Takut aku menjauh dan tidak ingin lagi bertemu dengannya. Ah. Seandainya ia tau bahwa aku pun sedang berjuang melakukan hal yang sama. Menerima permintaannya saat itu menjadi sebuah keputusan terberat yang pernah ku ambil. Perbedaan agama yang kami anut, menjadi bahan pertimbangan terbesar bagiku. Walau menerima berbagai cercaan kala itu, aku dan dia tetap bertahan. Kami saling menguatkan dalam tangis kesedihan. Dia juga lah yang selalu memompa semangatku untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan ketika pada akhirnya kedua orangtua ku mengetahui hal tersebut, dia tetap bertahan dengan terus mencintaiku seperti semula. Tak ada sedikitpun perubahan. Tak ada sedikitpun keinginan untuk meninggalkanku.

Perjuangan kami pun kembali diuji ketika ia disuruh kembali ke kampung halamannya. Mungkinkah kedua orangtuanya juga berpikiran sama seperti yang lain? Bahwa tak ada alasan yang bisa membuat kami bersatu. Dengan berat hati dia pulang dan meninggalkanku. Masih jelas diingatanku ketika mengantarkannya ke bandara sore itu. Hujan menjadi pertanda bahwa saat itu aku menangis dalam diam, cemas dalam senyuman dan berharap dalam setiap jejak langkah yang ia tinggalkan. Beberapa saat setelah perpisahan itu, aku masih bisa berkomunikasi dengannya melalui telepon rumah. 

Satu, dua, tiga tahun berlalu. Seiring berjalannya waktu, dia mulai menghilang dari kehidupanku. Aku panik. Tidak tau harus mengadu dan menceritakan kesedihanku pada siapa. Setiap kali aku menghubunginya, aku hanya mendapatkan jawaban tak memuaskan dari keluarganya. Aku berusaha mencari kabarnya melalui teman-teman sekampus yang tinggal sekota dengannya. Tapi tak ada yang benar-benar tau dimana ia berada. Sampai pada suatu sore, aku menerima sebuah kabar yang meluluhlantakkan hidupku. Ingin rasanya saat itu aku menghilang, menjadi buih di lautan luas dan tak diketemukan lagi. Lelaki yang kucintai dengan sepenuh hati telah pergi. Kali ini benar-benar pergi. Tak akan pernah lagi kembali padaku. Dia meninggal setelah hampir setahun melawan penyakit kanker paru yang dideritanya. Aku mengetahui hal itu langsung dari keluarganya. Karena beberapa hari sebelum ia meninggal, ia menitipkan sebuah surat untukku melalui ibunya. Surat yang sampai saat ini masih kusimpan baik-baik. Surat cinta terakhir dari kekasihku, seseorang yang sangat berharga. Seorang yang telah dihadiahkan Tuhan untukku.

Jakarta, 24 Maret 2006
Sayang, maafkan aku yang tak pernah bisa menjadi lelaki terbaik untukmu. Aku sudah berusaha sebaik yang ku bisa. Namun Allah menakdirkan hal lain untuk kita. Percayalah, sampai saat terakhir hidupku, aku selalu mencintaimu dan akan selalu seperti itu.
Sayang, maafkan aku yang tak mampu menceritakan segalanya padamu. Membagi kesakitanku hanya akan membuatmu bersedih. Sementara aku jauh darimu.
Sayang, kuatlah menapak hidup. Kelak kamu akan menemukan seorang lelaki yang lebih baik. Percayalah, ia akan mencintaimu sepertiku saat ini. Maafkan aku, terima kasih untuk segala kebahagiaan yang kamu berikan. Aku mencintaimu.

Airmataku kembali menetes. Surat itu kudekap erat. Berharap aku tengah mendekapnya dalam pelukku. Tujuh tahun berlalu dan saat ini aku masih menggenggam rasa yang tak pernah berubah untuknya. Walau sampai saat ini aku belum memutuskan untuk menerima lelaki lain dalam hidupku, aku merasa tak pernah sendiri sejak kepergiannya. Aku, cinta dan kesetiaanku padanya tak pernah membuatku merasa hidup dalam kesendirian. Pada Tuhan selalu kutitipkan pesan, aku mencintainya.


0 komentar on "Padamu, cintaku selamanya"

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea