Senin, September 30

Kekristenan mereka menguatkan keislamanku

Diposting oleh Orestilla di 09.34.00

Diberi kesempatan untuk mengecap pendidikan di salah satu perguruan tinggi kedinasan yang merangkum seluruh putera-puteri bangsa dari seluruh penjuru nusantara adalah sebuah hadiah terindah dari Allah yang sebelumnya tak pernah mampir dalam hidupku walau hanya dalam mimpi. Ada banyak kenangan yang berhasil kami ukir disana, sebuah cerita yang mungkin saja tak akan bisa kubagi disini bila tak pernah menjajaki tempat tersebut.
Disana pula lah aku bertemu dengan ratusan bahkan ribuan orang dengan pola pikir, budaya, agama dan kebiasan hidup yang berbeda. Aku yang lahir dan tumbuh di daerah dengan kultur budaya “barat” yang hanya dengan berkata dengan intonasi cukup keras saja sudah dianggap kasar, mau tidak mau harus berbagi satu ruangan dengan teman-teman baru dari “timur” Indonesia yang mungkin saja beranggapan bahwa bicara dengan intonasi sekeras apapun bukan sebuah permasalahn besar asal tidak diniatkan untuk menyakiti perasaan orang lain.
Perbedaan itulah yang akan kuceritakan disini. Bukan untuk menghakimi suku atau agama manapun. Namun untuk menyadarkan banyak pihak di luar sana, bahwa perbedaan yang kita punya adalah sebuah harta berharga yang apabila mampu kita kelola dengan baik akan mendatangkan kebaikan bagi negeri Indonesia yang kita cintai ini.
Berbagi ruangan berukuran sekitar 5 x 10 meter dengan 12 orang yang memiliki agama dan budaya yang berbeda, pada awalnya memang sangat sulit. Bagaimana tidak? Mulai dari kesulitan mengartikan bahasa daerah masing-masing, bingung dengan ritual ibadah agama teman yang lain serta banyak hal-hal kecil yang menjelma menjadi sebuah tanda tanya besar.
Aku seorang muslimah yang berasal dari Kota Solok Propinsi Sumatera Barat. Ada empat orang teman yang saat itu memeluk agama yang berbeda denganku. Mereka adalah Eriftora Kolimon dari Nusa Tenggara Timur, Eva Julita Pandjaitan yang berasal dari Kalimantan Timur walaupun ia memiliki darah batak, Mareska Karamoy dari Sulawesi Utara dan Marianti Valenti Jaya dari Papua.
Jujur, terbersit beberapa prasangka buruk ketika pertama kali kenal dengan mereka. Kekuranganku sebagai seorang manusia biasa. Sebagai seorang gadis yang tak pernah bersosialisasi di luar zona nyamanku. Sebagai seorang anak yang sedang mencari jati diri dan dihadapkan pada sebuah realita yang belum pernah kutemui di tempat kelahiranku.
Eriftora Kolimon. Pembawaannya yang pendiam dan jarang bicara, membuatku berpikir bahwa ia menarik diri dari pergaulan. Apakah ia tidak berminat untuk berteman denganku? Marianti yang selalu keras dalam menyampaikan apa yang ia pikirkan juga melahirkan sebuah pemikiran padaku waktu itu bahwa memang seperti itulah orang Papua, kasar dan tidak bersahabat. Lain halnya dengan Mareska. Mareska yang centil dan sangat tergila-gila pada warna merah jambu, membuatku sering berceletuk di dalam hati, apakah begini cara orang-orang disana mendidik anak gadisnya? Tenggelam dalam jiwa konsumerisme yang tinggi. Sedangkan untuk seorang Eva yang berdarah Batak namun sangat lembut, juga membuatku mempertanyakan kembali jiwa “ke-batak-annya”.
Namun waktu menjawab kesalahpahaman yang kuciptakan sendiri. Seiring berjalannya waktu aku menyadari bahwa dibalik tipikal diam dan seriusnya Erif, dia memiliki jiwa sosialisasi yang sangat tinggi. Erif tak pernah berkeberatan untuk membantuku dalam menghadapi kesulitan belajar. Marianti dengan sikapnya yang keras dan tegas juga tak pernah berpura-pura baik hanya untuk mendapatkan simpati dariku, ia sangat terbuka. Mareska yang dulu bagiku sangat kekanak-kanakkan ternyata mampu menjelma menjadi seorang dewasa yang akan memberikan nasehat berharga bila aku dirundung masalah. Sedangkan Eva adalah seorang gadis Batak lembut pertama yang pernah kutemui, ia sangat baik dan tak pernah berpikir dua kali untuk membantu orang lain.
Satu hal yang menjadi pembelajaran berharga bagiku adalah ketaatan mereka dalam beribadah. Aku yang terkadang lupa berdoa sebelum memulai hari seperti ditampar ketika melihat mereka dengan khusyuknya berdoa di tempat tidur masing-masing walaupun setiap harinya kami berpacu dengan waktu. Mereka juga sering mengingatkan kami ketika waktu shalat datang. Mereka juga tak segan-segan menjadi alarm setiap kali sahur di bulan suci Ramadhan. Bahkan tak jarang mereka juga ikut makan bersama kami. Mereka melakukannya dengan ketulusan dan tanpa mengharap imbalan. Kekristenan mereka menguatkan keislamanku. Aku berusaha untuk menjadi hamba Allah yang lebih taat setelah itu. Aku bangga memiliki sahabat-sahabat terbaik seperti mereka. Dan tulisan ini adalah dedikasi tertinggi yang mampu aku persembahkan untuk sahabat-sahabat yang sudah 4 tahun ini tak lagi bisa kutemui. Aku sangat merindukan mereka. Dan berharap semoga persahabatan lintas iman, lintas suku dan lintas budaya yang kami punya memiliki andil dalam menyatukan bangsa kita. Aamiin.


*Tulisan ini diikutsertakan dalam #ProyekNulis buku #Dialog100 dalam rangka menyambut Hari Toleransi Internasional pada tanggal 16 November 2013 mendatang.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Senin, September 30

Kekristenan mereka menguatkan keislamanku

Diposting oleh Orestilla di 09.34.00

Diberi kesempatan untuk mengecap pendidikan di salah satu perguruan tinggi kedinasan yang merangkum seluruh putera-puteri bangsa dari seluruh penjuru nusantara adalah sebuah hadiah terindah dari Allah yang sebelumnya tak pernah mampir dalam hidupku walau hanya dalam mimpi. Ada banyak kenangan yang berhasil kami ukir disana, sebuah cerita yang mungkin saja tak akan bisa kubagi disini bila tak pernah menjajaki tempat tersebut.
Disana pula lah aku bertemu dengan ratusan bahkan ribuan orang dengan pola pikir, budaya, agama dan kebiasan hidup yang berbeda. Aku yang lahir dan tumbuh di daerah dengan kultur budaya “barat” yang hanya dengan berkata dengan intonasi cukup keras saja sudah dianggap kasar, mau tidak mau harus berbagi satu ruangan dengan teman-teman baru dari “timur” Indonesia yang mungkin saja beranggapan bahwa bicara dengan intonasi sekeras apapun bukan sebuah permasalahn besar asal tidak diniatkan untuk menyakiti perasaan orang lain.
Perbedaan itulah yang akan kuceritakan disini. Bukan untuk menghakimi suku atau agama manapun. Namun untuk menyadarkan banyak pihak di luar sana, bahwa perbedaan yang kita punya adalah sebuah harta berharga yang apabila mampu kita kelola dengan baik akan mendatangkan kebaikan bagi negeri Indonesia yang kita cintai ini.
Berbagi ruangan berukuran sekitar 5 x 10 meter dengan 12 orang yang memiliki agama dan budaya yang berbeda, pada awalnya memang sangat sulit. Bagaimana tidak? Mulai dari kesulitan mengartikan bahasa daerah masing-masing, bingung dengan ritual ibadah agama teman yang lain serta banyak hal-hal kecil yang menjelma menjadi sebuah tanda tanya besar.
Aku seorang muslimah yang berasal dari Kota Solok Propinsi Sumatera Barat. Ada empat orang teman yang saat itu memeluk agama yang berbeda denganku. Mereka adalah Eriftora Kolimon dari Nusa Tenggara Timur, Eva Julita Pandjaitan yang berasal dari Kalimantan Timur walaupun ia memiliki darah batak, Mareska Karamoy dari Sulawesi Utara dan Marianti Valenti Jaya dari Papua.
Jujur, terbersit beberapa prasangka buruk ketika pertama kali kenal dengan mereka. Kekuranganku sebagai seorang manusia biasa. Sebagai seorang gadis yang tak pernah bersosialisasi di luar zona nyamanku. Sebagai seorang anak yang sedang mencari jati diri dan dihadapkan pada sebuah realita yang belum pernah kutemui di tempat kelahiranku.
Eriftora Kolimon. Pembawaannya yang pendiam dan jarang bicara, membuatku berpikir bahwa ia menarik diri dari pergaulan. Apakah ia tidak berminat untuk berteman denganku? Marianti yang selalu keras dalam menyampaikan apa yang ia pikirkan juga melahirkan sebuah pemikiran padaku waktu itu bahwa memang seperti itulah orang Papua, kasar dan tidak bersahabat. Lain halnya dengan Mareska. Mareska yang centil dan sangat tergila-gila pada warna merah jambu, membuatku sering berceletuk di dalam hati, apakah begini cara orang-orang disana mendidik anak gadisnya? Tenggelam dalam jiwa konsumerisme yang tinggi. Sedangkan untuk seorang Eva yang berdarah Batak namun sangat lembut, juga membuatku mempertanyakan kembali jiwa “ke-batak-annya”.
Namun waktu menjawab kesalahpahaman yang kuciptakan sendiri. Seiring berjalannya waktu aku menyadari bahwa dibalik tipikal diam dan seriusnya Erif, dia memiliki jiwa sosialisasi yang sangat tinggi. Erif tak pernah berkeberatan untuk membantuku dalam menghadapi kesulitan belajar. Marianti dengan sikapnya yang keras dan tegas juga tak pernah berpura-pura baik hanya untuk mendapatkan simpati dariku, ia sangat terbuka. Mareska yang dulu bagiku sangat kekanak-kanakkan ternyata mampu menjelma menjadi seorang dewasa yang akan memberikan nasehat berharga bila aku dirundung masalah. Sedangkan Eva adalah seorang gadis Batak lembut pertama yang pernah kutemui, ia sangat baik dan tak pernah berpikir dua kali untuk membantu orang lain.
Satu hal yang menjadi pembelajaran berharga bagiku adalah ketaatan mereka dalam beribadah. Aku yang terkadang lupa berdoa sebelum memulai hari seperti ditampar ketika melihat mereka dengan khusyuknya berdoa di tempat tidur masing-masing walaupun setiap harinya kami berpacu dengan waktu. Mereka juga sering mengingatkan kami ketika waktu shalat datang. Mereka juga tak segan-segan menjadi alarm setiap kali sahur di bulan suci Ramadhan. Bahkan tak jarang mereka juga ikut makan bersama kami. Mereka melakukannya dengan ketulusan dan tanpa mengharap imbalan. Kekristenan mereka menguatkan keislamanku. Aku berusaha untuk menjadi hamba Allah yang lebih taat setelah itu. Aku bangga memiliki sahabat-sahabat terbaik seperti mereka. Dan tulisan ini adalah dedikasi tertinggi yang mampu aku persembahkan untuk sahabat-sahabat yang sudah 4 tahun ini tak lagi bisa kutemui. Aku sangat merindukan mereka. Dan berharap semoga persahabatan lintas iman, lintas suku dan lintas budaya yang kami punya memiliki andil dalam menyatukan bangsa kita. Aamiin.


*Tulisan ini diikutsertakan dalam #ProyekNulis buku #Dialog100 dalam rangka menyambut Hari Toleransi Internasional pada tanggal 16 November 2013 mendatang.

0 komentar on "Kekristenan mereka menguatkan keislamanku"

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea