Diberi
kesempatan untuk mengecap pendidikan di salah satu perguruan tinggi kedinasan
yang merangkum seluruh putera-puteri bangsa dari seluruh penjuru nusantara
adalah sebuah hadiah terindah dari Allah yang sebelumnya tak pernah mampir
dalam hidupku walau hanya dalam mimpi. Ada banyak kenangan yang berhasil kami
ukir disana, sebuah cerita yang mungkin saja tak akan bisa kubagi disini bila
tak pernah menjajaki tempat tersebut.
Disana pula
lah aku bertemu dengan ratusan bahkan ribuan orang dengan pola pikir, budaya,
agama dan kebiasan hidup yang berbeda. Aku yang lahir dan tumbuh di daerah
dengan kultur budaya “barat” yang hanya dengan berkata dengan intonasi cukup
keras saja sudah dianggap kasar, mau tidak mau harus berbagi satu ruangan
dengan teman-teman baru dari “timur” Indonesia yang mungkin saja beranggapan
bahwa bicara dengan intonasi sekeras apapun bukan sebuah permasalahn besar asal
tidak diniatkan untuk menyakiti perasaan orang lain.
Perbedaan
itulah yang akan kuceritakan disini. Bukan untuk menghakimi suku atau agama
manapun. Namun untuk menyadarkan banyak pihak di luar sana, bahwa perbedaan
yang kita punya adalah sebuah harta berharga yang apabila mampu kita kelola
dengan baik akan mendatangkan kebaikan bagi negeri Indonesia yang kita cintai
ini.
Berbagi
ruangan berukuran sekitar 5 x 10 meter dengan 12 orang yang memiliki agama dan
budaya yang berbeda, pada awalnya memang sangat sulit. Bagaimana tidak? Mulai
dari kesulitan mengartikan bahasa daerah masing-masing, bingung dengan ritual
ibadah agama teman yang lain serta banyak hal-hal kecil yang menjelma menjadi
sebuah tanda tanya besar.
Aku seorang
muslimah yang berasal dari Kota Solok Propinsi Sumatera Barat. Ada empat orang
teman yang saat itu memeluk agama yang berbeda denganku. Mereka adalah Eriftora
Kolimon dari Nusa Tenggara Timur, Eva Julita Pandjaitan yang berasal dari
Kalimantan Timur walaupun ia memiliki darah batak, Mareska Karamoy dari
Sulawesi Utara dan Marianti Valenti Jaya dari Papua.
Jujur,
terbersit beberapa prasangka buruk ketika pertama kali kenal dengan mereka.
Kekuranganku sebagai seorang manusia biasa. Sebagai seorang gadis yang tak
pernah bersosialisasi di luar zona nyamanku. Sebagai seorang anak yang sedang
mencari jati diri dan dihadapkan pada sebuah realita yang belum pernah kutemui
di tempat kelahiranku.
Eriftora
Kolimon. Pembawaannya yang pendiam dan jarang bicara, membuatku berpikir bahwa
ia menarik diri dari pergaulan. Apakah ia tidak berminat untuk berteman
denganku? Marianti yang selalu keras dalam menyampaikan apa yang ia pikirkan
juga melahirkan sebuah pemikiran padaku waktu itu bahwa memang seperti itulah
orang Papua, kasar dan tidak bersahabat. Lain halnya dengan Mareska. Mareska
yang centil dan sangat tergila-gila pada warna merah jambu, membuatku sering
berceletuk di dalam hati, apakah begini cara orang-orang disana mendidik anak
gadisnya? Tenggelam dalam jiwa konsumerisme yang tinggi. Sedangkan untuk
seorang Eva yang berdarah Batak namun sangat lembut, juga membuatku
mempertanyakan kembali jiwa “ke-batak-annya”.
Namun waktu
menjawab kesalahpahaman yang kuciptakan sendiri. Seiring berjalannya waktu aku
menyadari bahwa dibalik tipikal diam dan seriusnya Erif, dia memiliki jiwa
sosialisasi yang sangat tinggi. Erif tak pernah berkeberatan untuk membantuku
dalam menghadapi kesulitan belajar. Marianti dengan sikapnya yang keras dan
tegas juga tak pernah berpura-pura baik hanya untuk mendapatkan simpati dariku,
ia sangat terbuka. Mareska yang dulu bagiku sangat kekanak-kanakkan ternyata
mampu menjelma menjadi seorang dewasa yang akan memberikan nasehat berharga
bila aku dirundung masalah. Sedangkan Eva adalah seorang gadis Batak lembut
pertama yang pernah kutemui, ia sangat baik dan tak pernah berpikir dua kali
untuk membantu orang lain.
Satu hal
yang menjadi pembelajaran berharga bagiku adalah ketaatan mereka dalam
beribadah. Aku yang terkadang lupa berdoa sebelum memulai hari seperti ditampar
ketika melihat mereka dengan khusyuknya berdoa di tempat tidur masing-masing
walaupun setiap harinya kami berpacu dengan waktu. Mereka juga sering
mengingatkan kami ketika waktu shalat datang. Mereka juga tak segan-segan
menjadi alarm setiap kali sahur di bulan suci Ramadhan. Bahkan tak jarang
mereka juga ikut makan bersama kami. Mereka melakukannya dengan ketulusan dan
tanpa mengharap imbalan. Kekristenan mereka menguatkan keislamanku. Aku
berusaha untuk menjadi hamba Allah yang lebih taat setelah itu. Aku bangga
memiliki sahabat-sahabat terbaik seperti mereka. Dan tulisan ini adalah
dedikasi tertinggi yang mampu aku persembahkan untuk sahabat-sahabat yang sudah
4 tahun ini tak lagi bisa kutemui. Aku sangat merindukan mereka. Dan berharap semoga
persahabatan lintas iman, lintas suku dan lintas budaya yang kami punya
memiliki andil dalam menyatukan bangsa kita. Aamiin.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam #ProyekNulis buku #Dialog100 dalam rangka menyambut Hari Toleransi Internasional pada tanggal 16 November 2013 mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)