Resti gundah gulana karena baru saja ditinggal pergi
kekasihnya tanpa alasan pasti. Lelaki itu meninggalkannya begitu saja ketika
cinta masih melekat hebat tepat dihatinya. Resti bak kehilangan tempat untuk
bersandar. Hari-harinya berlalu dalam kelu. Resti tak menampik bahwa hatinya
masih mendamba sang lelaki. Walau untuk memilikinya kembali hanya bagaikan
mimpi abadi. Resti tak akan pernah bangun dari mimpinya, dan segalanya tak akan
pernah menjadi nyata.
Dalam kegalauan hati itulah ia bertemu dengan Ari. Lelaki
baru yang tertaut umur dua tahun diatasnya. Ari dengan sikapnya yang luwes,
kata-katanya yang mengundang tawa, dan kecintaannya pada segala hal yang juga
dicintai Resti, menempatkannya di sebuah pojok istimewa di hati Resti. Hari-hari
berikutnya mereka lalui dengan penuh suka. Dengah kesibukannya masing-masing,
Resti dan Ari selalu meluangkan waktu -yang walaupun singkat- hanya untuk
sekedar berbagi hal apa pun yang mereka temui hari itu. Ada kalanya Ari
mengajak Resti untuk melancong ke sebuah tempat rental dvd, memilihkan
tontonan-tontonan seru atau terkadang merekomendasikan beberapa buku yang pada
akhirnya membuat Resti tergila-gila pada jenis bacaan berat yang dulu tak
pernah ia sentuh. Ketika pulang dalam sebuah perjalanan “rahasia” yang ia
lakukan, Ari menghadiahkan beberapa batang coklat, makanan favorit Resti.
Kudapan manis ini bagi Resti bagaikan sebuah obat pelipur lara dari segala
macam masalah yang mendera. Rumusnya: Masalah + Coklat = Bahagia. Rumus aneh
yang ia sendiri tak pahami, namun berlaku benar dalam kenyataannya. Hari
menjadi minggu untuk kemudian berganti bulan, mereka menjelmakan hubungan yang
mereka awali dengan sebuah ketidaksengajaan menjadi satu persahabatan yang
mendatangkan bahagia bagi keduanya.
Namun sedari awal Resti sudah memblokir hatinya sendiri
untuk tidak jatuh cinta pada sahabat barunya itu. Karena dari awal pun Ari
secara tak langsung sudah memproklamirkan keterikatannya pada seorang hawa,
wanita istimewa yang sudah menempati hatinya. Resti menyadari itu dengan
sangat, bahwa ia tak akan pernah menjamah tempat “terlarang” itu.
Pertemuan ada karena perpisahan juga tak bisa disangkal
keberadaannya. Memadu persahabatan dengan lelaki yang sudah mengikrarkan janji
pada wanita lain, mengharuskan Resti untuk bersiap-siap kehilangan. Kehilangan
tawa Ari yang meledak-ledak ketika larut malam mereka habiskan via telepon
genggam, kehilangan serapah Ari yang selalu menafsirkan tingkah laku Resti yang
selalu lain dari manusia normal lainnya, kehilangan nasehat berharga yang
seringkali Ari lontarkan ketika Resti menghujaninya dengan curahan-curahan
hati, kehilangan suara Ari yang menentramkan ketika pada malam-malam tertentu
Ari mendongeng kisah-kisah seru untuknya, kehilangan momen-momen tergila yang
mereka lalui berdua. Seminggu sebelum pernikahannya, Ari masih berusaha untuk
berlaku sama seperti yang lalu. Namun resti tau dalam diamnya bahwa Ari hanya
tak ingin membuatnya bersedih, membuatnya benar-benar kehilangan. Walau setelah
ia benar-benar menikah, Ari tak pernah lagi menjamah hidupnya dengan bahagia.
Ari telah pergi dan ia tak akan lagi pernah kembali. Dalam kesendiriannya, ada
satu hal yang tak pernah disadari Resti, ia sebenarnya telah jatuh cinta, jatuh
pada waktu dan orang yang salah. Jatuh karena kebodohannya sendiri. Dan ia
sadar, sama seperti lelaki yang dulu pernah meninggalkannya, Resti hanya
berperan sebagai wanita penghantar pernikahan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)