Rabu, Juli 24

10 jam FULL haha hihi

Diposting oleh Orestilla di 10.34.00 0 komentar


Kenapa 10 jam? Karena memang sepanjang itu lah kami bertujuh orang berhaha hihi..kejadiannya kemaren sore dari pukul 3 hingga 3 dini hari. Menakjubkan. Kenapa? (Ah. Lagi-lagi pertanyaannya kenapa). Karena dengan niat super tanpa planning dan pertimbangan, kami meluncur ke Kota Bukittinggi hanya untuk mencari sesuap nasi berbuka puasa. Haha. Parahnya kami lakukan ritual kaget ini di hari kerja yang saya yakin membawa imbas cukup besar pagi ini. (Entah kenapa, saya yakin banyak yang telat ngantor. Uhuk. Siapa itu kira-kira?). Eiittss..tudingannya jangan mengarah ke saya. Kenapa? (lagi). Karena pagi ini saya tetap jadi penghuni pertama kantor. Tak ada embel-embel mengantuk, apalagi terlambat (sombong).

Oke. Mari paparkan satu demi satu kejadian hari kemaren yang membuat 10 jam kami full ber ha ha ha.
Keberangkatan yang awalnya direncanakan pukul 3 sore, molor beberapa menit karena ketua umum kita ngambek-ngambek an sama mobil antiknya. Alhasil kami steling ngebut. Takutnya ada macet tanpa aba-aba. Kan nggak lucu juga kan kalo planning makan di kota sebelah, malah berakhir tragis di pinggir jalan dengan botol mineral ditangan untuk 7 perut kelaparan. Tapi berkat kesigapan sopir defenitif kami (ketua umum-red), target berhasil 100%. Baru saja hendak menikmati suasana riuh Jam Gadang, adzan berkumandang, dan kami pun makan. Apa? (makannya). Jangan bayangkan dulu sepiring nasi dengan lauk pauk Padang yang terkenal gurih seentaro dunia. Menu makan spesial kami adalah sekantong penuh gorengan, kurma, pisang kapik (penasaran dengan rasanya? Berkunjung ke Bukittinggi! Dijamin enak, halal dan anda akan berkeinginan untuk kembali), 6 gelas teh manis (kenapa 6? Karena awalnya saya berniat satu gelas berdua saja dengan yena namun takdir berkata lain, 3 dari 6 gelas itu sudah saya nikmati sebelum mereka minum. Hahahaha), dan beberapa minuman kaleng segar.

 
Setelah menunaikan shalat Maghrib di masjid terdekat, kami berencana untuk sapu jalan mencari tempat makan enak. Namun karena satu dan lain hal (demi kepentingan bersama, cukup kami ber-tujuh yang tau), jam makan malam kami molor hingga pukul 9 malam. Bisa dibayangkan bagaimana rupanya tabuhan genderang cacing-cacing kelaparan penghuni perut kami. Namun dengan kesabaran luar biasa, akhirnya kami berhasil makan enak, nikmat dan bersahaja (apa-apaan ini? Pilihan kata yang saya pilih mungkin terdengar sedikit aneh dan rancu. Amin-kan saja. Saya sedang kesulitan menemukan kata yang cocok untuk menggambarkan suasana hati kami saat itu).



Perut kenyang saja tak menjadikan kami berniat pulang tanpa membawa cerita seru untuk diperdebatkan lagi pada rapat pleno selanjutnya. Jadilah akhirnya kami mendatangi sebuah tempat karaoke untuk menyalurkan bakat-bakat alami terpendam yang selama ini cukup kami jadikan rutinitas pribadi. Yakinlah, bukannya tak mampu, tapi…(jabarkan sendiri). Hahaha. 2 jam adu suara dan ber haha hihitak jelas, kami pulang dengan rasa kantuk dan lelah mematikan. Hanya 3 orang yang mampu bertahan hingga kami sampai kembali ke kota tercinta. Dan yakinlah, saya salah satunya. Hahaha. 

 
Setelah beberapa hari yang lalu kembali dari diklat yang cukup menguras otak dan hati, liburan spektakuler tanpa planning seperti ini mampu membangkitkan lagi semangat untuk selalu berdikari. Hahaha. Semoga lain kali akan ada puluhan jam lagi yang akan kita habiskan FULL dengan ber ha ha hi hi. 

IPDN 17 18 Kota dan Kabupaten Solok, aku cinta kalian semua. Haha. Hihi.

Senin, Juli 22

A little story from me

Diposting oleh Orestilla di 10.33.00 0 komentar


Kring..Kring..Kring..
Demikian lagu yang setiap pagi kunyanyikan.
Kring..Kring..Kring..
Dan bila sedang sial, aku akan ditampar, dipukul dan diperlakukan sesuka hati.
Kring..Kring..Kring..

Perkenalkan akulah si pengingat waktu yang punya nyanyian pribadi dalam menjalankan rutinitas kehidupanku.


Bentukku bulat bundar. Berwarna coklat tua. Aku berumur 8 tahun. Di ruangan ini aku ditempatkan disudut kamar, diatas sebuah meja kecil, persis disamping tempat tidur. Dari kediamanku inilah aku mampu menonton semua pertunjukan yang berlangsung di tempat ini. Pesta semalam, gelak tawa tak berkesudahan dan terkadang tak jarang airmata membabi buta. Tak masalah apapun yang terjadi, tak peduli berapa kali pun aku dipukul dan diperlakukan secara menyedihkan, aku tetap menjalankan tugasku setiap pagi. Bernyanyi bila waktunya datang.

Kring..Kring..Kring..
Nyanyian pagiku membangunkan si pemilik kamar, Robert. Setengah mengantuk dengan mata merah ia menatapku penuh amarah. Dibantingnya tubuh ringkihku hingga tenggorokanku tercekat dan tak mampu lagi bersuara. Aku diam. Menangis di dalam hati dan mencoba untuk tetap bersabar menghadapinya yang tak pernah memperlakukan dengan baik sedari awal.

Beberapa jam setelah itu tampak ia bangun dan berjalan ke arah kamar mandinya yang bau. Sebelum mencapai pintu, ia menendang lagi tubuhku hingga aku yang memang bundar, terguling-guling karenanya. Meninggalkan sakit di bagian kepala, membuatku pusing setengah mati. Tak hanya aku, si daun pintu pun menjadi sasaran berikutnya. Tanpa belas kasihan, ia menghantamnya begitu kuat.

Kakinya melangkah lagi mendekatiku yang kini berada tepat di bawah meja kerjanya. Tapi sungguh beruntung, tubuhnya tak lagi menjamah kerapuhanku. Ia mulai berkutat dengan pekerjaannya. Entah apa yang sebenarnya ia lakukan, aku tak pernah tau. Beberapa minggu ini kuperhatikan ia tak lagi berangkat ke kampus, tak lagi berniat merapikan ruangannya, bahkan tak berminat sama sekali pada makanan. Yang mengisi perutnya hanyalah minuman keras. Puluhan botol berserakan di ruangan ini, salah satunya tergeletak disebelahku kini.

Satu dua kertas robekan berjatuhan dari meja diatasku. Sesekali tampak ia menghantamkan pukulannya ke meja itu. Kemarahannya membisukan segala yang ada disekelilingku. Dan ketika jantungku berdetak di angka 1 dini hari, ia beranjak dari kursinya. Meraih sebuah botol minuman, pisau (?) dan jaket hitam yang telah lusuh. Ia banting pintu sekeras mungkin, seakan kekuatannya mampu meruntuhkan apartemen ini. Kertas robekan terakhir yang jatuh persis didepanku, membuatku terperanjat. Sebuah kalimat terhampar disana, “I'll gonna kill you!”.

Kamis, Juli 4

Suamimu, cinta sejatiku

Diposting oleh Orestilla di 18.16.00 0 komentar


Malam ini nggak usah masak ya Bun. Kita makan di luar.
Pesan itu kuterima dari Mas Tondi, lelaki yang sudah tujuh tahun ini menjadi suamiku. Aku tersenyum menatap layar smartphone yang sedang kugenggam. Dia tak pernah berubah. Masih seperti dulu saat kami berpacaran, saat seragam putih abu masih menjadi sebuah kebanggaan. Makan di luar. Itu pertanda ada hal penting yang akan ia bicarakan denganku. Makan di luar, adalah alasan saat pertama kali ia menyatakan perasaannya. Makan di luar, juga menjadi sebuah ajakan saat ia memutuskan untuk memilihku menjadi pendamping hidupnya.
Dan akan ada kejutan apa dalam “makan di luarnya” kali ini?
Ku patut diri di depan cermin. Bingung memilih baju apa yang akan kukenakan nanti. Aku harus tampil cantik untuknya. Walau tak begitu menyukai warnanya, aku memutuskan untuk memakai sebuah gaun mewah berwarna hitam yang tahun lalu ia hadiahkan pada perayaan ulang tahun pernikahan kami. Mas Tondi memang sangat menyukai warna hitam. Baginya hitam adalah lambang kesederhanaan, keanggunan. Namun bagiku, hitam laksana petaka dan duka mendalam. Kuraih gaun tersebut dan kupastikan sekali lagi bahwa memang itu lah pilihan terbaik untuk malam ini.
***
Seperti janjinya, Mas Tondi datang 15 menit sebelum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Masih dengan seragam kantor, suamiku tampak membawa setangkai mawar putih kesukaanku. Bergegas ia menghampiriku yang sedang sibuk membereskan ruang baca kami. Ruang baca yang sedari dulu kuimpikan untuk kami miliki. Ruang baca yang tak hanya kugunakan untuk menggali lebih banyak lagi ilmu, tetapi juga mendiskusikan banyak hal dengan suamiku. Berbagi. Saling menguatkan.
“Ada mawar cantik untuk perempuan tercantik malam ini.” ucapnya sembari mencium keningku. Aroma khas tubuhnya segera menyeruak memenuhi rongga pernafasanku. Aku tersenyum sembari menerima pemberiannya. Tanpa bisa kutahan, setetes airmata haru hadir di sudut mataku. Ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk dan mengenyampingkan kebahagiaan yang baru saja kurasakan. Kesadaran seolah menamparku dan memaksaku untuk berlabuh pada kenyataan sebenarnya. Sederetan kenangan pahit yang dengan susah payah kukubur dalam-dalam seakan hadir kembali.
Rahim ibu harus diangkat.
Sebuah pernyataan paling membunuh yang pernah kudengar seumur hidupku. Kenyataan yang harus kuterima saat usia pernikahan kami menginjak tahun ketiga. Waktu yang cukup lama bagiku karena tidak pernah mampu memberikan seorang anak pun untuk suamiku. Penyakit kanker rahim yang kumiliki telah menjadi perenggut harapanku akan masa depan. Saat itu aku benar-benar terpuruk. Aku mulai mengasingkan diri dari pergaulan. Berhari-hari tak menyentuh makanan. Berkali-kali membiarkan tubuh kurusku tertidur di kamar rumah sakit.
Namun betapa pun buruknya kondisiku saat itu, Mas Tondi selalu berusaha ada untukku. Dengan kesetiaannya tetap berada disampingku. Sikapnya tak pernah berubah sedikitpun. Bahkan lebih memperhatikan perasaanku, menjagaku agar tetap stabil, nyaman dalam zona yang kutata untuk diriku sendiri. Pada akhirnya waktu dan Mas Tondi lah yang mengobati kesakitanku. Pelan tapi pasti aku kembali seperti sedia kala. Walaupun sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk menghadirkan seorang anak dalam keluarga kami, aku berjanji dengan sepenuh hatiku akan membahagiakannya seumur hidup, bagaimanapun caranya.
Mas Tondi merasakan kegetiranku. Sekali waktu, kepedihan itu hadir tanpa bisa kukendalikan. Aku hanya manusia biasa. Aku bukan perempuan perkasa yang bisa bersikap biasa-biasa saja dengan kondisi luar biasa yang ku punya.
“Udah..cantiknya luntur tu kalo sedih-sedih terus.” ujarnya sembari tersenyum. Tangan hangatnya menggenggam tanganku.
***
Tanganku gemetar. Cangkir teh yang sedang kupegang ikut bergetar karenanya. Mataku memanas seolah ingin melontarkan jutaan magma dari sana. Tatapanku mengabur karena ada genangan airmata yang sedikit demi sedikit mulai menjatuhi gaun hitam yang ku pakai.
Hitam. Petaka. Aku mengulang-ulang kalimat itu di dalam hati sembari memandangi gaun hitam itu. Gaun hitam yang sedang menyeringai lebar. Tertawa diatas kesakitanku saat ini.
Mas Tondi yang duduk di depanku menunduk dalam-dalam. Mencoba bersikap senetral mungkin. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa aku siap. Dan aku dengan segenap kekuatanku yang tersisa berusaha untuk membantunya mencapai keinginannya tersebut. Aku akan siap. Aku tak akan memberontak. Walaupun hatiku merajam luka yang tak bisa kupastikan lagi kapan akan sembuhnya. Beberapa menit yang lalu, suami kebanggaanku, suami yang sedari dulu memperlakukanku dengan sangat istimewa, suami yang menjadi sumber kekuatanku, baru saja menyampaikan sebuah permohonan penting untuk hidupnya, namun petaka bagiku. Ia ingin menikah lagi. Minggu depan. Satu minggu sebelum Ramadhan datang.
“Aku mencintaimu. Kamu tau itu. Tapi aku butuh seorang penerus. Aku mendamba seorang anak dipangkuanku. Dan aku tak ingin berbohong lagi Bun.” ujarnya lirih. “Biarkan aku menikahi perempuan lain. Aku tetap lah suamimu yang dulu. Kamu tetap memilikiku seperti yang kamu mau Bun. Tapi tolong kabulkan permintaanku ini.” tambahnya lagi. Matanya menatap mata batinku.
Aku kehilangan kata-kata. Tak menemukan satu kalimat pun untuk menjawab permohonannya. Risa. Nama yang menjadi pilihan baginya untuk menutupi kekuranganku. Risa, sahabat semasa kuliahnya dulu. Seseorang yang sering ia ceritakan padaku saat kami tengah membongkar buku-buku baru di ruang baca. Seseorang yang ia  perkenalkan padaku saat resepsi pernikahan kami waktu itu. Seseorang yang ternyata mencuri hati suamiku. Seseorang yang dulu pernah sangat kutakuti kedatangannya, merampas apa yang ku punya.
Ingatanku kembali pada beberapa hari yang lalu. Saat dalam perjalanan pulang dari kantornya, Mas Tondi menghadiahkan sebuah mukena untukku. “Dipakai buat tarawih nanti ya Bun. Bentar lagi kan Ramadhan.” ujarnya saat itu. Mungkinkah pada saat yang sama, Mas Tondi juga menghadiahkannya pada Risa, calon istrinya itu? Kugelengkan pelan kepalaku yang sudah terasa berat. Aku berusaha tersenyum. Tak ada yang perlu disesali. Toh pada awalnya aku sudah memprediksi bahwa kejadian seperti ini akan datang dalam kehidupanku. Prediksi yang sudah kulupakan dalam beberapa tahun belakangan ini. 
“Aku ikhlas Mas.” jawabku pelan, hampir tak terdengar. Aku masih menunduk, menatap gaun hitam itu. Tanda petaka dan dukaku hari ini. “Aku boleh minta pena dan sehelai kertas?” pintaku. Mas Tondi mengangguk dan merogoh tas kerjanya lalu mengeluarkan barang-barang yang ku minta. Butuh waktu beberapa menit untuk merampungkan rangkaian kata yang kutulis dalam kertas putih itu. Begitu selesai, dengan tangan yang masih bergetar kuserahkan surat itu padanya. “Tolong sampaikan pada Risa.” pintaku padanya. Dan ketika tangan kami bersentuhan, duniaku menjadi gelap. Pekat. Hitam.
***
Sore, 4 Juli 2013
Aku perempuan paling hina dan kamu yang sempurna.
Aku mencinta dan kamu dicinta.
Aku kalah dan kamu pemenangnya.
Tapi satu yang harus kamu ketahui, suamimu nanti adalah cinta sejatiku selamanya.
-Dini-

Rabu, Juli 3

Kilas balik pertama setelah.. #IPDN Part 4

Diposting oleh Orestilla di 02.09.00 0 komentar


Cerita hari ini berbeda. Sangat. Karena ia tercipta bersama lembar-lembar kerinduan yang sudah menggunung. (Haha. Malam pekat dingin dan melelahkan boleh lah ya mendayu-mendayu cam ini). Awalnya tak ada niat berkisah di malam yang sudah mendekati pagi ini (01:44AM) tapi berhubung potongan chating bersama seorang sahabat barusan, ada riak menggelitik yang bila tak tersalurkan akan menjadi bunga tidur saat lelap datang.
Oke. Kita mulai saja secepatnya.
Setelah menunggu sekian lama akhirnya punya kesempatan lagi bertandang ketempat keramat ini. Keramat? Eittss..jauhkan pikiran negatif anda tentang hal-hal mistis dan menakutkan karena cerita ini bukan cerita horror yang membuat malam anda tak hanya pekat gelap namun juga kiamat. Haha. Tidak tidak. Kembali ke awal. Tempat keramat, karena hanya dengan melihat gerbang penyambutnya saja, jantung detaknya menjadi lebih cepat dari yang seharusnya. Bukan karena takut namun bahagia membuncah. Ya. IPDN selalu saja mampu menyampaikan letup kesenangan yang yaaaaa..mungkin hanya aku dan kamu yang tau. Ehm.

 Ingat gerbang ini teman? Disini (katanya) dulu pernah terpampang sebuah spanduk besar bertuliskan “Ragu-ragu?Kembali!”. Benar atau tidaknya, tentu yang terdahulu yang lebih tau. Benar atau tidaknya, memang itulah yang tergambar dan terasa di hati saat pertama kali melangkah ke tempat ini. Gerbang dengan dua patung putih besar menjadi penyambut langkah pertama dalam kilas balik hari itu. Kilas balik pertama setelah remah-remah rindu bergabung menjadi satu dan menggunung setelahnya.


 Ini lapangan parkir timur yang dulunya sering dijadikan tempat apel kabupaten, apel gabungan praja putra dan putri. Nah. Jangan ditanya bagaimana rasanya beradu pandang dengan sang kekasih hati di lapangan ini. Jangan ditanya bagaimana rasanya menahan letup bahagia, sekecil apapun itu, ketika tanpa sengaja seseorang yang membuat hati bertekuk lutut menghadiahkan senyum hangatnya di pagi yang biasanya masih berselimut embun. Dan jangan ditanya, ada berapa hati yang terpaut ditempat ini. Tentu saja.


 Mesjid kampus. Saksi bisu yang menjadi satu-satunya tempat pelampiasan praja dalam memperbaiki gizi (salah. seharusnya memperbaiki nafsu makan). Bala-bala, buah dengan segala variasinya, nasi padang, pempek lenggang, dan bla bla bla. Bukan. Bukan berarti penyalahgunaan tempat ibadah. Setidaknya kita tak melakukan itu semua didalam rumah Allah kan teman? Ada aturan, ada sopan santun, ada etika.



Lapangan kebanggaan kita semua. Lapangan parade. Tempat dulu peluh menetes hingga membasahi hampir seluruh baju yang sedang kita pakai. Ingat kan teman kala kita berpanas-panas dibawah semburan cahata mentari? Persiapan pengukuhan muda praja. Bahkan kejadian yang sama pun kembali terulang saat mempersiapkan pengukuhan pamong praja muda. Ditempat ini pernah ada ratusan bahkan ribuan anak bangsa yang menangis dalam rasa bangga, haru, syukur tak terhingga. Di lapangan hijau ini ada hati-hati yang selalu merindu pada ibu di rumah, pada pelukan atau pada masakan beliau.

Hayoo. Mana yang airmatanya kembali menyeruak? Kangen? Iya. Sama.
Love You 18.

Rabu, Juli 24

10 jam FULL haha hihi

Diposting oleh Orestilla di 10.34.00 0 komentar


Kenapa 10 jam? Karena memang sepanjang itu lah kami bertujuh orang berhaha hihi..kejadiannya kemaren sore dari pukul 3 hingga 3 dini hari. Menakjubkan. Kenapa? (Ah. Lagi-lagi pertanyaannya kenapa). Karena dengan niat super tanpa planning dan pertimbangan, kami meluncur ke Kota Bukittinggi hanya untuk mencari sesuap nasi berbuka puasa. Haha. Parahnya kami lakukan ritual kaget ini di hari kerja yang saya yakin membawa imbas cukup besar pagi ini. (Entah kenapa, saya yakin banyak yang telat ngantor. Uhuk. Siapa itu kira-kira?). Eiittss..tudingannya jangan mengarah ke saya. Kenapa? (lagi). Karena pagi ini saya tetap jadi penghuni pertama kantor. Tak ada embel-embel mengantuk, apalagi terlambat (sombong).

Oke. Mari paparkan satu demi satu kejadian hari kemaren yang membuat 10 jam kami full ber ha ha ha.
Keberangkatan yang awalnya direncanakan pukul 3 sore, molor beberapa menit karena ketua umum kita ngambek-ngambek an sama mobil antiknya. Alhasil kami steling ngebut. Takutnya ada macet tanpa aba-aba. Kan nggak lucu juga kan kalo planning makan di kota sebelah, malah berakhir tragis di pinggir jalan dengan botol mineral ditangan untuk 7 perut kelaparan. Tapi berkat kesigapan sopir defenitif kami (ketua umum-red), target berhasil 100%. Baru saja hendak menikmati suasana riuh Jam Gadang, adzan berkumandang, dan kami pun makan. Apa? (makannya). Jangan bayangkan dulu sepiring nasi dengan lauk pauk Padang yang terkenal gurih seentaro dunia. Menu makan spesial kami adalah sekantong penuh gorengan, kurma, pisang kapik (penasaran dengan rasanya? Berkunjung ke Bukittinggi! Dijamin enak, halal dan anda akan berkeinginan untuk kembali), 6 gelas teh manis (kenapa 6? Karena awalnya saya berniat satu gelas berdua saja dengan yena namun takdir berkata lain, 3 dari 6 gelas itu sudah saya nikmati sebelum mereka minum. Hahahaha), dan beberapa minuman kaleng segar.

 
Setelah menunaikan shalat Maghrib di masjid terdekat, kami berencana untuk sapu jalan mencari tempat makan enak. Namun karena satu dan lain hal (demi kepentingan bersama, cukup kami ber-tujuh yang tau), jam makan malam kami molor hingga pukul 9 malam. Bisa dibayangkan bagaimana rupanya tabuhan genderang cacing-cacing kelaparan penghuni perut kami. Namun dengan kesabaran luar biasa, akhirnya kami berhasil makan enak, nikmat dan bersahaja (apa-apaan ini? Pilihan kata yang saya pilih mungkin terdengar sedikit aneh dan rancu. Amin-kan saja. Saya sedang kesulitan menemukan kata yang cocok untuk menggambarkan suasana hati kami saat itu).



Perut kenyang saja tak menjadikan kami berniat pulang tanpa membawa cerita seru untuk diperdebatkan lagi pada rapat pleno selanjutnya. Jadilah akhirnya kami mendatangi sebuah tempat karaoke untuk menyalurkan bakat-bakat alami terpendam yang selama ini cukup kami jadikan rutinitas pribadi. Yakinlah, bukannya tak mampu, tapi…(jabarkan sendiri). Hahaha. 2 jam adu suara dan ber haha hihitak jelas, kami pulang dengan rasa kantuk dan lelah mematikan. Hanya 3 orang yang mampu bertahan hingga kami sampai kembali ke kota tercinta. Dan yakinlah, saya salah satunya. Hahaha. 

 
Setelah beberapa hari yang lalu kembali dari diklat yang cukup menguras otak dan hati, liburan spektakuler tanpa planning seperti ini mampu membangkitkan lagi semangat untuk selalu berdikari. Hahaha. Semoga lain kali akan ada puluhan jam lagi yang akan kita habiskan FULL dengan ber ha ha hi hi. 

IPDN 17 18 Kota dan Kabupaten Solok, aku cinta kalian semua. Haha. Hihi.

Senin, Juli 22

A little story from me

Diposting oleh Orestilla di 10.33.00 0 komentar


Kring..Kring..Kring..
Demikian lagu yang setiap pagi kunyanyikan.
Kring..Kring..Kring..
Dan bila sedang sial, aku akan ditampar, dipukul dan diperlakukan sesuka hati.
Kring..Kring..Kring..

Perkenalkan akulah si pengingat waktu yang punya nyanyian pribadi dalam menjalankan rutinitas kehidupanku.


Bentukku bulat bundar. Berwarna coklat tua. Aku berumur 8 tahun. Di ruangan ini aku ditempatkan disudut kamar, diatas sebuah meja kecil, persis disamping tempat tidur. Dari kediamanku inilah aku mampu menonton semua pertunjukan yang berlangsung di tempat ini. Pesta semalam, gelak tawa tak berkesudahan dan terkadang tak jarang airmata membabi buta. Tak masalah apapun yang terjadi, tak peduli berapa kali pun aku dipukul dan diperlakukan secara menyedihkan, aku tetap menjalankan tugasku setiap pagi. Bernyanyi bila waktunya datang.

Kring..Kring..Kring..
Nyanyian pagiku membangunkan si pemilik kamar, Robert. Setengah mengantuk dengan mata merah ia menatapku penuh amarah. Dibantingnya tubuh ringkihku hingga tenggorokanku tercekat dan tak mampu lagi bersuara. Aku diam. Menangis di dalam hati dan mencoba untuk tetap bersabar menghadapinya yang tak pernah memperlakukan dengan baik sedari awal.

Beberapa jam setelah itu tampak ia bangun dan berjalan ke arah kamar mandinya yang bau. Sebelum mencapai pintu, ia menendang lagi tubuhku hingga aku yang memang bundar, terguling-guling karenanya. Meninggalkan sakit di bagian kepala, membuatku pusing setengah mati. Tak hanya aku, si daun pintu pun menjadi sasaran berikutnya. Tanpa belas kasihan, ia menghantamnya begitu kuat.

Kakinya melangkah lagi mendekatiku yang kini berada tepat di bawah meja kerjanya. Tapi sungguh beruntung, tubuhnya tak lagi menjamah kerapuhanku. Ia mulai berkutat dengan pekerjaannya. Entah apa yang sebenarnya ia lakukan, aku tak pernah tau. Beberapa minggu ini kuperhatikan ia tak lagi berangkat ke kampus, tak lagi berniat merapikan ruangannya, bahkan tak berminat sama sekali pada makanan. Yang mengisi perutnya hanyalah minuman keras. Puluhan botol berserakan di ruangan ini, salah satunya tergeletak disebelahku kini.

Satu dua kertas robekan berjatuhan dari meja diatasku. Sesekali tampak ia menghantamkan pukulannya ke meja itu. Kemarahannya membisukan segala yang ada disekelilingku. Dan ketika jantungku berdetak di angka 1 dini hari, ia beranjak dari kursinya. Meraih sebuah botol minuman, pisau (?) dan jaket hitam yang telah lusuh. Ia banting pintu sekeras mungkin, seakan kekuatannya mampu meruntuhkan apartemen ini. Kertas robekan terakhir yang jatuh persis didepanku, membuatku terperanjat. Sebuah kalimat terhampar disana, “I'll gonna kill you!”.

Kamis, Juli 4

Suamimu, cinta sejatiku

Diposting oleh Orestilla di 18.16.00 0 komentar


Malam ini nggak usah masak ya Bun. Kita makan di luar.
Pesan itu kuterima dari Mas Tondi, lelaki yang sudah tujuh tahun ini menjadi suamiku. Aku tersenyum menatap layar smartphone yang sedang kugenggam. Dia tak pernah berubah. Masih seperti dulu saat kami berpacaran, saat seragam putih abu masih menjadi sebuah kebanggaan. Makan di luar. Itu pertanda ada hal penting yang akan ia bicarakan denganku. Makan di luar, adalah alasan saat pertama kali ia menyatakan perasaannya. Makan di luar, juga menjadi sebuah ajakan saat ia memutuskan untuk memilihku menjadi pendamping hidupnya.
Dan akan ada kejutan apa dalam “makan di luarnya” kali ini?
Ku patut diri di depan cermin. Bingung memilih baju apa yang akan kukenakan nanti. Aku harus tampil cantik untuknya. Walau tak begitu menyukai warnanya, aku memutuskan untuk memakai sebuah gaun mewah berwarna hitam yang tahun lalu ia hadiahkan pada perayaan ulang tahun pernikahan kami. Mas Tondi memang sangat menyukai warna hitam. Baginya hitam adalah lambang kesederhanaan, keanggunan. Namun bagiku, hitam laksana petaka dan duka mendalam. Kuraih gaun tersebut dan kupastikan sekali lagi bahwa memang itu lah pilihan terbaik untuk malam ini.
***
Seperti janjinya, Mas Tondi datang 15 menit sebelum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Masih dengan seragam kantor, suamiku tampak membawa setangkai mawar putih kesukaanku. Bergegas ia menghampiriku yang sedang sibuk membereskan ruang baca kami. Ruang baca yang sedari dulu kuimpikan untuk kami miliki. Ruang baca yang tak hanya kugunakan untuk menggali lebih banyak lagi ilmu, tetapi juga mendiskusikan banyak hal dengan suamiku. Berbagi. Saling menguatkan.
“Ada mawar cantik untuk perempuan tercantik malam ini.” ucapnya sembari mencium keningku. Aroma khas tubuhnya segera menyeruak memenuhi rongga pernafasanku. Aku tersenyum sembari menerima pemberiannya. Tanpa bisa kutahan, setetes airmata haru hadir di sudut mataku. Ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk dan mengenyampingkan kebahagiaan yang baru saja kurasakan. Kesadaran seolah menamparku dan memaksaku untuk berlabuh pada kenyataan sebenarnya. Sederetan kenangan pahit yang dengan susah payah kukubur dalam-dalam seakan hadir kembali.
Rahim ibu harus diangkat.
Sebuah pernyataan paling membunuh yang pernah kudengar seumur hidupku. Kenyataan yang harus kuterima saat usia pernikahan kami menginjak tahun ketiga. Waktu yang cukup lama bagiku karena tidak pernah mampu memberikan seorang anak pun untuk suamiku. Penyakit kanker rahim yang kumiliki telah menjadi perenggut harapanku akan masa depan. Saat itu aku benar-benar terpuruk. Aku mulai mengasingkan diri dari pergaulan. Berhari-hari tak menyentuh makanan. Berkali-kali membiarkan tubuh kurusku tertidur di kamar rumah sakit.
Namun betapa pun buruknya kondisiku saat itu, Mas Tondi selalu berusaha ada untukku. Dengan kesetiaannya tetap berada disampingku. Sikapnya tak pernah berubah sedikitpun. Bahkan lebih memperhatikan perasaanku, menjagaku agar tetap stabil, nyaman dalam zona yang kutata untuk diriku sendiri. Pada akhirnya waktu dan Mas Tondi lah yang mengobati kesakitanku. Pelan tapi pasti aku kembali seperti sedia kala. Walaupun sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk menghadirkan seorang anak dalam keluarga kami, aku berjanji dengan sepenuh hatiku akan membahagiakannya seumur hidup, bagaimanapun caranya.
Mas Tondi merasakan kegetiranku. Sekali waktu, kepedihan itu hadir tanpa bisa kukendalikan. Aku hanya manusia biasa. Aku bukan perempuan perkasa yang bisa bersikap biasa-biasa saja dengan kondisi luar biasa yang ku punya.
“Udah..cantiknya luntur tu kalo sedih-sedih terus.” ujarnya sembari tersenyum. Tangan hangatnya menggenggam tanganku.
***
Tanganku gemetar. Cangkir teh yang sedang kupegang ikut bergetar karenanya. Mataku memanas seolah ingin melontarkan jutaan magma dari sana. Tatapanku mengabur karena ada genangan airmata yang sedikit demi sedikit mulai menjatuhi gaun hitam yang ku pakai.
Hitam. Petaka. Aku mengulang-ulang kalimat itu di dalam hati sembari memandangi gaun hitam itu. Gaun hitam yang sedang menyeringai lebar. Tertawa diatas kesakitanku saat ini.
Mas Tondi yang duduk di depanku menunduk dalam-dalam. Mencoba bersikap senetral mungkin. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa aku siap. Dan aku dengan segenap kekuatanku yang tersisa berusaha untuk membantunya mencapai keinginannya tersebut. Aku akan siap. Aku tak akan memberontak. Walaupun hatiku merajam luka yang tak bisa kupastikan lagi kapan akan sembuhnya. Beberapa menit yang lalu, suami kebanggaanku, suami yang sedari dulu memperlakukanku dengan sangat istimewa, suami yang menjadi sumber kekuatanku, baru saja menyampaikan sebuah permohonan penting untuk hidupnya, namun petaka bagiku. Ia ingin menikah lagi. Minggu depan. Satu minggu sebelum Ramadhan datang.
“Aku mencintaimu. Kamu tau itu. Tapi aku butuh seorang penerus. Aku mendamba seorang anak dipangkuanku. Dan aku tak ingin berbohong lagi Bun.” ujarnya lirih. “Biarkan aku menikahi perempuan lain. Aku tetap lah suamimu yang dulu. Kamu tetap memilikiku seperti yang kamu mau Bun. Tapi tolong kabulkan permintaanku ini.” tambahnya lagi. Matanya menatap mata batinku.
Aku kehilangan kata-kata. Tak menemukan satu kalimat pun untuk menjawab permohonannya. Risa. Nama yang menjadi pilihan baginya untuk menutupi kekuranganku. Risa, sahabat semasa kuliahnya dulu. Seseorang yang sering ia ceritakan padaku saat kami tengah membongkar buku-buku baru di ruang baca. Seseorang yang ia  perkenalkan padaku saat resepsi pernikahan kami waktu itu. Seseorang yang ternyata mencuri hati suamiku. Seseorang yang dulu pernah sangat kutakuti kedatangannya, merampas apa yang ku punya.
Ingatanku kembali pada beberapa hari yang lalu. Saat dalam perjalanan pulang dari kantornya, Mas Tondi menghadiahkan sebuah mukena untukku. “Dipakai buat tarawih nanti ya Bun. Bentar lagi kan Ramadhan.” ujarnya saat itu. Mungkinkah pada saat yang sama, Mas Tondi juga menghadiahkannya pada Risa, calon istrinya itu? Kugelengkan pelan kepalaku yang sudah terasa berat. Aku berusaha tersenyum. Tak ada yang perlu disesali. Toh pada awalnya aku sudah memprediksi bahwa kejadian seperti ini akan datang dalam kehidupanku. Prediksi yang sudah kulupakan dalam beberapa tahun belakangan ini. 
“Aku ikhlas Mas.” jawabku pelan, hampir tak terdengar. Aku masih menunduk, menatap gaun hitam itu. Tanda petaka dan dukaku hari ini. “Aku boleh minta pena dan sehelai kertas?” pintaku. Mas Tondi mengangguk dan merogoh tas kerjanya lalu mengeluarkan barang-barang yang ku minta. Butuh waktu beberapa menit untuk merampungkan rangkaian kata yang kutulis dalam kertas putih itu. Begitu selesai, dengan tangan yang masih bergetar kuserahkan surat itu padanya. “Tolong sampaikan pada Risa.” pintaku padanya. Dan ketika tangan kami bersentuhan, duniaku menjadi gelap. Pekat. Hitam.
***
Sore, 4 Juli 2013
Aku perempuan paling hina dan kamu yang sempurna.
Aku mencinta dan kamu dicinta.
Aku kalah dan kamu pemenangnya.
Tapi satu yang harus kamu ketahui, suamimu nanti adalah cinta sejatiku selamanya.
-Dini-

Rabu, Juli 3

Kilas balik pertama setelah.. #IPDN Part 4

Diposting oleh Orestilla di 02.09.00 0 komentar


Cerita hari ini berbeda. Sangat. Karena ia tercipta bersama lembar-lembar kerinduan yang sudah menggunung. (Haha. Malam pekat dingin dan melelahkan boleh lah ya mendayu-mendayu cam ini). Awalnya tak ada niat berkisah di malam yang sudah mendekati pagi ini (01:44AM) tapi berhubung potongan chating bersama seorang sahabat barusan, ada riak menggelitik yang bila tak tersalurkan akan menjadi bunga tidur saat lelap datang.
Oke. Kita mulai saja secepatnya.
Setelah menunggu sekian lama akhirnya punya kesempatan lagi bertandang ketempat keramat ini. Keramat? Eittss..jauhkan pikiran negatif anda tentang hal-hal mistis dan menakutkan karena cerita ini bukan cerita horror yang membuat malam anda tak hanya pekat gelap namun juga kiamat. Haha. Tidak tidak. Kembali ke awal. Tempat keramat, karena hanya dengan melihat gerbang penyambutnya saja, jantung detaknya menjadi lebih cepat dari yang seharusnya. Bukan karena takut namun bahagia membuncah. Ya. IPDN selalu saja mampu menyampaikan letup kesenangan yang yaaaaa..mungkin hanya aku dan kamu yang tau. Ehm.

 Ingat gerbang ini teman? Disini (katanya) dulu pernah terpampang sebuah spanduk besar bertuliskan “Ragu-ragu?Kembali!”. Benar atau tidaknya, tentu yang terdahulu yang lebih tau. Benar atau tidaknya, memang itulah yang tergambar dan terasa di hati saat pertama kali melangkah ke tempat ini. Gerbang dengan dua patung putih besar menjadi penyambut langkah pertama dalam kilas balik hari itu. Kilas balik pertama setelah remah-remah rindu bergabung menjadi satu dan menggunung setelahnya.


 Ini lapangan parkir timur yang dulunya sering dijadikan tempat apel kabupaten, apel gabungan praja putra dan putri. Nah. Jangan ditanya bagaimana rasanya beradu pandang dengan sang kekasih hati di lapangan ini. Jangan ditanya bagaimana rasanya menahan letup bahagia, sekecil apapun itu, ketika tanpa sengaja seseorang yang membuat hati bertekuk lutut menghadiahkan senyum hangatnya di pagi yang biasanya masih berselimut embun. Dan jangan ditanya, ada berapa hati yang terpaut ditempat ini. Tentu saja.


 Mesjid kampus. Saksi bisu yang menjadi satu-satunya tempat pelampiasan praja dalam memperbaiki gizi (salah. seharusnya memperbaiki nafsu makan). Bala-bala, buah dengan segala variasinya, nasi padang, pempek lenggang, dan bla bla bla. Bukan. Bukan berarti penyalahgunaan tempat ibadah. Setidaknya kita tak melakukan itu semua didalam rumah Allah kan teman? Ada aturan, ada sopan santun, ada etika.



Lapangan kebanggaan kita semua. Lapangan parade. Tempat dulu peluh menetes hingga membasahi hampir seluruh baju yang sedang kita pakai. Ingat kan teman kala kita berpanas-panas dibawah semburan cahata mentari? Persiapan pengukuhan muda praja. Bahkan kejadian yang sama pun kembali terulang saat mempersiapkan pengukuhan pamong praja muda. Ditempat ini pernah ada ratusan bahkan ribuan anak bangsa yang menangis dalam rasa bangga, haru, syukur tak terhingga. Di lapangan hijau ini ada hati-hati yang selalu merindu pada ibu di rumah, pada pelukan atau pada masakan beliau.

Hayoo. Mana yang airmatanya kembali menyeruak? Kangen? Iya. Sama.
Love You 18.
 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea