Kamis, Juli 4

Suamimu, cinta sejatiku

Diposting oleh Orestilla di 18.16.00


Malam ini nggak usah masak ya Bun. Kita makan di luar.
Pesan itu kuterima dari Mas Tondi, lelaki yang sudah tujuh tahun ini menjadi suamiku. Aku tersenyum menatap layar smartphone yang sedang kugenggam. Dia tak pernah berubah. Masih seperti dulu saat kami berpacaran, saat seragam putih abu masih menjadi sebuah kebanggaan. Makan di luar. Itu pertanda ada hal penting yang akan ia bicarakan denganku. Makan di luar, adalah alasan saat pertama kali ia menyatakan perasaannya. Makan di luar, juga menjadi sebuah ajakan saat ia memutuskan untuk memilihku menjadi pendamping hidupnya.
Dan akan ada kejutan apa dalam “makan di luarnya” kali ini?
Ku patut diri di depan cermin. Bingung memilih baju apa yang akan kukenakan nanti. Aku harus tampil cantik untuknya. Walau tak begitu menyukai warnanya, aku memutuskan untuk memakai sebuah gaun mewah berwarna hitam yang tahun lalu ia hadiahkan pada perayaan ulang tahun pernikahan kami. Mas Tondi memang sangat menyukai warna hitam. Baginya hitam adalah lambang kesederhanaan, keanggunan. Namun bagiku, hitam laksana petaka dan duka mendalam. Kuraih gaun tersebut dan kupastikan sekali lagi bahwa memang itu lah pilihan terbaik untuk malam ini.
***
Seperti janjinya, Mas Tondi datang 15 menit sebelum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Masih dengan seragam kantor, suamiku tampak membawa setangkai mawar putih kesukaanku. Bergegas ia menghampiriku yang sedang sibuk membereskan ruang baca kami. Ruang baca yang sedari dulu kuimpikan untuk kami miliki. Ruang baca yang tak hanya kugunakan untuk menggali lebih banyak lagi ilmu, tetapi juga mendiskusikan banyak hal dengan suamiku. Berbagi. Saling menguatkan.
“Ada mawar cantik untuk perempuan tercantik malam ini.” ucapnya sembari mencium keningku. Aroma khas tubuhnya segera menyeruak memenuhi rongga pernafasanku. Aku tersenyum sembari menerima pemberiannya. Tanpa bisa kutahan, setetes airmata haru hadir di sudut mataku. Ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk dan mengenyampingkan kebahagiaan yang baru saja kurasakan. Kesadaran seolah menamparku dan memaksaku untuk berlabuh pada kenyataan sebenarnya. Sederetan kenangan pahit yang dengan susah payah kukubur dalam-dalam seakan hadir kembali.
Rahim ibu harus diangkat.
Sebuah pernyataan paling membunuh yang pernah kudengar seumur hidupku. Kenyataan yang harus kuterima saat usia pernikahan kami menginjak tahun ketiga. Waktu yang cukup lama bagiku karena tidak pernah mampu memberikan seorang anak pun untuk suamiku. Penyakit kanker rahim yang kumiliki telah menjadi perenggut harapanku akan masa depan. Saat itu aku benar-benar terpuruk. Aku mulai mengasingkan diri dari pergaulan. Berhari-hari tak menyentuh makanan. Berkali-kali membiarkan tubuh kurusku tertidur di kamar rumah sakit.
Namun betapa pun buruknya kondisiku saat itu, Mas Tondi selalu berusaha ada untukku. Dengan kesetiaannya tetap berada disampingku. Sikapnya tak pernah berubah sedikitpun. Bahkan lebih memperhatikan perasaanku, menjagaku agar tetap stabil, nyaman dalam zona yang kutata untuk diriku sendiri. Pada akhirnya waktu dan Mas Tondi lah yang mengobati kesakitanku. Pelan tapi pasti aku kembali seperti sedia kala. Walaupun sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk menghadirkan seorang anak dalam keluarga kami, aku berjanji dengan sepenuh hatiku akan membahagiakannya seumur hidup, bagaimanapun caranya.
Mas Tondi merasakan kegetiranku. Sekali waktu, kepedihan itu hadir tanpa bisa kukendalikan. Aku hanya manusia biasa. Aku bukan perempuan perkasa yang bisa bersikap biasa-biasa saja dengan kondisi luar biasa yang ku punya.
“Udah..cantiknya luntur tu kalo sedih-sedih terus.” ujarnya sembari tersenyum. Tangan hangatnya menggenggam tanganku.
***
Tanganku gemetar. Cangkir teh yang sedang kupegang ikut bergetar karenanya. Mataku memanas seolah ingin melontarkan jutaan magma dari sana. Tatapanku mengabur karena ada genangan airmata yang sedikit demi sedikit mulai menjatuhi gaun hitam yang ku pakai.
Hitam. Petaka. Aku mengulang-ulang kalimat itu di dalam hati sembari memandangi gaun hitam itu. Gaun hitam yang sedang menyeringai lebar. Tertawa diatas kesakitanku saat ini.
Mas Tondi yang duduk di depanku menunduk dalam-dalam. Mencoba bersikap senetral mungkin. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa aku siap. Dan aku dengan segenap kekuatanku yang tersisa berusaha untuk membantunya mencapai keinginannya tersebut. Aku akan siap. Aku tak akan memberontak. Walaupun hatiku merajam luka yang tak bisa kupastikan lagi kapan akan sembuhnya. Beberapa menit yang lalu, suami kebanggaanku, suami yang sedari dulu memperlakukanku dengan sangat istimewa, suami yang menjadi sumber kekuatanku, baru saja menyampaikan sebuah permohonan penting untuk hidupnya, namun petaka bagiku. Ia ingin menikah lagi. Minggu depan. Satu minggu sebelum Ramadhan datang.
“Aku mencintaimu. Kamu tau itu. Tapi aku butuh seorang penerus. Aku mendamba seorang anak dipangkuanku. Dan aku tak ingin berbohong lagi Bun.” ujarnya lirih. “Biarkan aku menikahi perempuan lain. Aku tetap lah suamimu yang dulu. Kamu tetap memilikiku seperti yang kamu mau Bun. Tapi tolong kabulkan permintaanku ini.” tambahnya lagi. Matanya menatap mata batinku.
Aku kehilangan kata-kata. Tak menemukan satu kalimat pun untuk menjawab permohonannya. Risa. Nama yang menjadi pilihan baginya untuk menutupi kekuranganku. Risa, sahabat semasa kuliahnya dulu. Seseorang yang sering ia ceritakan padaku saat kami tengah membongkar buku-buku baru di ruang baca. Seseorang yang ia  perkenalkan padaku saat resepsi pernikahan kami waktu itu. Seseorang yang ternyata mencuri hati suamiku. Seseorang yang dulu pernah sangat kutakuti kedatangannya, merampas apa yang ku punya.
Ingatanku kembali pada beberapa hari yang lalu. Saat dalam perjalanan pulang dari kantornya, Mas Tondi menghadiahkan sebuah mukena untukku. “Dipakai buat tarawih nanti ya Bun. Bentar lagi kan Ramadhan.” ujarnya saat itu. Mungkinkah pada saat yang sama, Mas Tondi juga menghadiahkannya pada Risa, calon istrinya itu? Kugelengkan pelan kepalaku yang sudah terasa berat. Aku berusaha tersenyum. Tak ada yang perlu disesali. Toh pada awalnya aku sudah memprediksi bahwa kejadian seperti ini akan datang dalam kehidupanku. Prediksi yang sudah kulupakan dalam beberapa tahun belakangan ini. 
“Aku ikhlas Mas.” jawabku pelan, hampir tak terdengar. Aku masih menunduk, menatap gaun hitam itu. Tanda petaka dan dukaku hari ini. “Aku boleh minta pena dan sehelai kertas?” pintaku. Mas Tondi mengangguk dan merogoh tas kerjanya lalu mengeluarkan barang-barang yang ku minta. Butuh waktu beberapa menit untuk merampungkan rangkaian kata yang kutulis dalam kertas putih itu. Begitu selesai, dengan tangan yang masih bergetar kuserahkan surat itu padanya. “Tolong sampaikan pada Risa.” pintaku padanya. Dan ketika tangan kami bersentuhan, duniaku menjadi gelap. Pekat. Hitam.
***
Sore, 4 Juli 2013
Aku perempuan paling hina dan kamu yang sempurna.
Aku mencinta dan kamu dicinta.
Aku kalah dan kamu pemenangnya.
Tapi satu yang harus kamu ketahui, suamimu nanti adalah cinta sejatiku selamanya.
-Dini-

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Kamis, Juli 4

Suamimu, cinta sejatiku

Diposting oleh Orestilla di 18.16.00


Malam ini nggak usah masak ya Bun. Kita makan di luar.
Pesan itu kuterima dari Mas Tondi, lelaki yang sudah tujuh tahun ini menjadi suamiku. Aku tersenyum menatap layar smartphone yang sedang kugenggam. Dia tak pernah berubah. Masih seperti dulu saat kami berpacaran, saat seragam putih abu masih menjadi sebuah kebanggaan. Makan di luar. Itu pertanda ada hal penting yang akan ia bicarakan denganku. Makan di luar, adalah alasan saat pertama kali ia menyatakan perasaannya. Makan di luar, juga menjadi sebuah ajakan saat ia memutuskan untuk memilihku menjadi pendamping hidupnya.
Dan akan ada kejutan apa dalam “makan di luarnya” kali ini?
Ku patut diri di depan cermin. Bingung memilih baju apa yang akan kukenakan nanti. Aku harus tampil cantik untuknya. Walau tak begitu menyukai warnanya, aku memutuskan untuk memakai sebuah gaun mewah berwarna hitam yang tahun lalu ia hadiahkan pada perayaan ulang tahun pernikahan kami. Mas Tondi memang sangat menyukai warna hitam. Baginya hitam adalah lambang kesederhanaan, keanggunan. Namun bagiku, hitam laksana petaka dan duka mendalam. Kuraih gaun tersebut dan kupastikan sekali lagi bahwa memang itu lah pilihan terbaik untuk malam ini.
***
Seperti janjinya, Mas Tondi datang 15 menit sebelum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Masih dengan seragam kantor, suamiku tampak membawa setangkai mawar putih kesukaanku. Bergegas ia menghampiriku yang sedang sibuk membereskan ruang baca kami. Ruang baca yang sedari dulu kuimpikan untuk kami miliki. Ruang baca yang tak hanya kugunakan untuk menggali lebih banyak lagi ilmu, tetapi juga mendiskusikan banyak hal dengan suamiku. Berbagi. Saling menguatkan.
“Ada mawar cantik untuk perempuan tercantik malam ini.” ucapnya sembari mencium keningku. Aroma khas tubuhnya segera menyeruak memenuhi rongga pernafasanku. Aku tersenyum sembari menerima pemberiannya. Tanpa bisa kutahan, setetes airmata haru hadir di sudut mataku. Ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk dan mengenyampingkan kebahagiaan yang baru saja kurasakan. Kesadaran seolah menamparku dan memaksaku untuk berlabuh pada kenyataan sebenarnya. Sederetan kenangan pahit yang dengan susah payah kukubur dalam-dalam seakan hadir kembali.
Rahim ibu harus diangkat.
Sebuah pernyataan paling membunuh yang pernah kudengar seumur hidupku. Kenyataan yang harus kuterima saat usia pernikahan kami menginjak tahun ketiga. Waktu yang cukup lama bagiku karena tidak pernah mampu memberikan seorang anak pun untuk suamiku. Penyakit kanker rahim yang kumiliki telah menjadi perenggut harapanku akan masa depan. Saat itu aku benar-benar terpuruk. Aku mulai mengasingkan diri dari pergaulan. Berhari-hari tak menyentuh makanan. Berkali-kali membiarkan tubuh kurusku tertidur di kamar rumah sakit.
Namun betapa pun buruknya kondisiku saat itu, Mas Tondi selalu berusaha ada untukku. Dengan kesetiaannya tetap berada disampingku. Sikapnya tak pernah berubah sedikitpun. Bahkan lebih memperhatikan perasaanku, menjagaku agar tetap stabil, nyaman dalam zona yang kutata untuk diriku sendiri. Pada akhirnya waktu dan Mas Tondi lah yang mengobati kesakitanku. Pelan tapi pasti aku kembali seperti sedia kala. Walaupun sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk menghadirkan seorang anak dalam keluarga kami, aku berjanji dengan sepenuh hatiku akan membahagiakannya seumur hidup, bagaimanapun caranya.
Mas Tondi merasakan kegetiranku. Sekali waktu, kepedihan itu hadir tanpa bisa kukendalikan. Aku hanya manusia biasa. Aku bukan perempuan perkasa yang bisa bersikap biasa-biasa saja dengan kondisi luar biasa yang ku punya.
“Udah..cantiknya luntur tu kalo sedih-sedih terus.” ujarnya sembari tersenyum. Tangan hangatnya menggenggam tanganku.
***
Tanganku gemetar. Cangkir teh yang sedang kupegang ikut bergetar karenanya. Mataku memanas seolah ingin melontarkan jutaan magma dari sana. Tatapanku mengabur karena ada genangan airmata yang sedikit demi sedikit mulai menjatuhi gaun hitam yang ku pakai.
Hitam. Petaka. Aku mengulang-ulang kalimat itu di dalam hati sembari memandangi gaun hitam itu. Gaun hitam yang sedang menyeringai lebar. Tertawa diatas kesakitanku saat ini.
Mas Tondi yang duduk di depanku menunduk dalam-dalam. Mencoba bersikap senetral mungkin. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa aku siap. Dan aku dengan segenap kekuatanku yang tersisa berusaha untuk membantunya mencapai keinginannya tersebut. Aku akan siap. Aku tak akan memberontak. Walaupun hatiku merajam luka yang tak bisa kupastikan lagi kapan akan sembuhnya. Beberapa menit yang lalu, suami kebanggaanku, suami yang sedari dulu memperlakukanku dengan sangat istimewa, suami yang menjadi sumber kekuatanku, baru saja menyampaikan sebuah permohonan penting untuk hidupnya, namun petaka bagiku. Ia ingin menikah lagi. Minggu depan. Satu minggu sebelum Ramadhan datang.
“Aku mencintaimu. Kamu tau itu. Tapi aku butuh seorang penerus. Aku mendamba seorang anak dipangkuanku. Dan aku tak ingin berbohong lagi Bun.” ujarnya lirih. “Biarkan aku menikahi perempuan lain. Aku tetap lah suamimu yang dulu. Kamu tetap memilikiku seperti yang kamu mau Bun. Tapi tolong kabulkan permintaanku ini.” tambahnya lagi. Matanya menatap mata batinku.
Aku kehilangan kata-kata. Tak menemukan satu kalimat pun untuk menjawab permohonannya. Risa. Nama yang menjadi pilihan baginya untuk menutupi kekuranganku. Risa, sahabat semasa kuliahnya dulu. Seseorang yang sering ia ceritakan padaku saat kami tengah membongkar buku-buku baru di ruang baca. Seseorang yang ia  perkenalkan padaku saat resepsi pernikahan kami waktu itu. Seseorang yang ternyata mencuri hati suamiku. Seseorang yang dulu pernah sangat kutakuti kedatangannya, merampas apa yang ku punya.
Ingatanku kembali pada beberapa hari yang lalu. Saat dalam perjalanan pulang dari kantornya, Mas Tondi menghadiahkan sebuah mukena untukku. “Dipakai buat tarawih nanti ya Bun. Bentar lagi kan Ramadhan.” ujarnya saat itu. Mungkinkah pada saat yang sama, Mas Tondi juga menghadiahkannya pada Risa, calon istrinya itu? Kugelengkan pelan kepalaku yang sudah terasa berat. Aku berusaha tersenyum. Tak ada yang perlu disesali. Toh pada awalnya aku sudah memprediksi bahwa kejadian seperti ini akan datang dalam kehidupanku. Prediksi yang sudah kulupakan dalam beberapa tahun belakangan ini. 
“Aku ikhlas Mas.” jawabku pelan, hampir tak terdengar. Aku masih menunduk, menatap gaun hitam itu. Tanda petaka dan dukaku hari ini. “Aku boleh minta pena dan sehelai kertas?” pintaku. Mas Tondi mengangguk dan merogoh tas kerjanya lalu mengeluarkan barang-barang yang ku minta. Butuh waktu beberapa menit untuk merampungkan rangkaian kata yang kutulis dalam kertas putih itu. Begitu selesai, dengan tangan yang masih bergetar kuserahkan surat itu padanya. “Tolong sampaikan pada Risa.” pintaku padanya. Dan ketika tangan kami bersentuhan, duniaku menjadi gelap. Pekat. Hitam.
***
Sore, 4 Juli 2013
Aku perempuan paling hina dan kamu yang sempurna.
Aku mencinta dan kamu dicinta.
Aku kalah dan kamu pemenangnya.
Tapi satu yang harus kamu ketahui, suamimu nanti adalah cinta sejatiku selamanya.
-Dini-

0 komentar on "Suamimu, cinta sejatiku"

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea