Jumat, Mei 10

Aku, perempuan biasa dengan impian luar biasa. Bolehkah?

Diposting oleh Orestilla di 09.48.00

Aku, Orestilla. Aku bukanlah orang besar yang dengan menyebut namaku saja semua orang akan segera tahu. Aku bukan seorang motivator sukses yang bisa menaklukkan jutaan orang hanya dengan berbicara satu atau dua patah kata saja. Aku juga bukan seorang wanita berpengaruh yang memiliki banyak andil dalam berbagai kegiatan dan peristiwa. Aku hanya seorang perempuan muda biasa di ambang usia seperempat abad dengan segudang mimpi dan banyak ambisi yang membuatku selalu membisikkan satu kata setiap kali sinar matahari mendatangiku di pagi hari, SUKSES..!!!

Sukses di mata perempuan muda sepertiku bukan berarti harus memiliki banyak uang, meraih pendidikan hingga mencapai batas akhir, berkarier tanpa kenal waktu atau mampu melakukan apapun di bawah kendaliku. Sukses bagiku adalah pencapaian satu mimpi dari setiap target yang sebelumnya telah kucatat dalam daftar impian, sedikit apapun pencapaian itu. Pencapaian yang pada akhirnya membuahkan sebentuk kebahagiaan dan makna syukur tak terhingga. Namun bahagia saja tentu tidaklah cukup. Dikatakan sukses, apabila kebahagiaan yang ku punya, khususnya proses yang kujalani untuk merengkuh kebahagiaan tersebut, bisa menjadi pembelajaran berharga untuk orang lain. 

Dilahirkan dari keluarga dengan papa yang hanya berprofesi sebagai seorang pegawai biasa di lingkungan birokrasi dan mama yang mengabdikan seluruh hidupnya di rumah demi memberikan perhatian yang terbaik untuk keluarganya, tak membuatku mengurungkan niat untuk menjadi orang yang berhasil. Setidaknya berhasil dalam pendidikan. Bagaimana tidak? Jaman sekarang menuntut kita untuk saling berlomba demi menapak kehidupan yang lebih baik. Dan salah satu syarat penting yang selalu dimunculkan ke permukaan adalah tingkat pendidikan. Dari yang berhasil ku pantau selama ini, semakin tinggi tingkatan pendidikan seseorang akan semakin memberikan peluang kepada yang bersangkutan untuk mendapatkan posisi yang lebih baik dalam segala hal.

Maka dimulailah perjuanganku saat masih duduk di bangku sekolah. Mungkin sebahagian besar teman-temanku kala itu hanya berpikiran bahwa bangku sekolah yang sedang mereka tempuh adalah salah satu syarat wajib yang dibebankan orangtua kepada mereka. Lihat saja, tak sedikit dari mereka yang tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar, nongkrong di kantin, bahkan bolos sekolah. Mungkin saja mereka berpikir bahwa hidup mereka yang serba ada tentu akan menjadi penyelamat ketika mereka dewasa nanti. Mungkin juga mereka berpikir bahwa terlalu dini untuk memikirkan masa depan yang akan mereka hadang beberapa tahun berikutnya. Mungkin juga ada yang berpikir bahwa masa-masa sekolah tentunya harus dilewati dengan bersenang-senang, menikmatinya dengan melakukan hal-hal menyenangkan bersama teman-teman tanpa harus dibebani oleh pemikiran tentang masa depan yang hanya dijatahkan untuk orang-orang dewasa, dan mereka belum termasuk ke dalam bagian itu.

Gambaran-gambaran tersebut sangatlah berbeda denganku yang berasal dari keluarga sederhana. Namun kesederhanaan hidup yang diajarkan kedua orangtuaku, tak membuatku menciptakan impian-impian sederhana. Sedari dulu aku tak memimpikan bisa melanjutkan pendidikanku di bangku perkuliahan biasa, PTN ataupun PTS. Saat itu yang ada dibenakku hanya satu, aku harus bisa bersekolah di sekolah kedinasan yang menggratiskan pendidikan namun menjamin masa depan. Aku berharap bisa menggapai seluruh mimpiku tanpa membebani mama dan papa. Selain tingginya biaya pendidikan, aku masih memiliki tiga orang adik yang tentunya juga membutuhkan banyak dana demi kelanjutan pendidikan mereka. Aku bertekad untuk sukses di usia mudaku sehingga bisa menjadi contoh dan cambuk semangat bagi adik-adikku yang saat itu masih terlalu kecil untuk mengerti kerasnya hidup.

Dewasa sebelum usianya mungkin juga bisa dialamatkan pada kondisiku kala itu. Ketika teman-teman yang lain bersuka ria dengan kehidupan sekolah mereka, aku membiasakan diriku untuk menilai dunia dari sudut pandang yang berbeda. Menyesal? Tentu tidak. Karena aku yakin tempaan hidup yang demikian keras akan menjadi sebuah alasan bagiku untuk terus maju demi mengubah hidup. Tahun kedua di bangku Sekolah Menengah Atas, aku mulai mencari informasi terkait sekolah-sekolah kedinasan yang telah menjadi pilihanku sedari awal. Aku pun memutuskan untuk memilih salah satu Sekolah Tinggi. Hari demi hari kujalani dengan mendekatkan diri pada impianku. Sepulang dari sekolah, aku akan membahas buku-buku terkait sekolah tersebut. Buku yang kudapat dengan menyisihkan sedikit demi sedikit uang jajan yang mama berikan. Waktu luang yang ada tak kubuang percuma. Aku begitu berhasrat untuk diterima di tempat tersebut. Ketika lulus sekolah, papa memberikan alternatif lain. Masih sekolah kedinasan, tetapi belum familiar bagiku. Aku mengangguk setuju saat papa menyuruhku untuk mendaftar di sekolah tersebut. Walaupun hatiku lebih bertekad untuk lulus di sekolah yang telah kupilih.

Namun Tuhan memilihkan sesuatu diluar perkiraanku. Setelah menempuh tahapan-tahapan tes untuk bisa masuk ke sekolah tinggi yang kuidam-idamkan sedari dulu, aku dinyatakan gagal. Kekecewaan tentu saja menghantui hidupku saat itu. Bagaimana tidak? Aku telah bersungguh-sungguh untuk menggapainya. Aku juga menggantungkan banyak harapan padanya. Aku mulai dihinggapi kegelisahan tak berujung. Apa yang harus kulakukan setelah itu? Bagaimana dengan pendidikanku? Apakah prestasi yang kuraih di bangku sekolah akan berakhir sia-sia? Apakah mama dan papa akan mampu membiayai pendidikanku di perguruan tinggi dengan biaya pendidikan yang tak sedikit? Atau aku harus mencari pekerjaan secepatnya? Ratusan pertanyaan berkecamuk didalam kepalaku. Seringkali aku jatuh tertidur dengan airmata yang belum mengering. Resah memikirkan masa depan seperti apa yang akan kuhadang setelah impianku hancur berantakan.

Takdir mengarahkanku pada jalan lain. Tuhan memang tak memberikan apa yang kuinginkan, namun menghadiahkan apa yang kubutuhkan. Dengan doa-doa mulia yang selalu mama dan papa haturkan pada Sang Pencipta demi kebahagiaanku, aku dinyatakan lulus pada sekolah tinggi yang papa pilihkan. Bahagia sekaligus bingung dengan apa yang kuperoleh kala itu. Bahagia karena pada akhirnya cita-citaku untuk bisa bersekolah di sekolah kedinasan yang tentunya tak memaksaku untuk mengeluarkan banyak biaya akhirnya terkabul. Bingung karena memang belum ada gambaran yang jelas tentang sekolah tinggi yang akan menjadi bahagian penting dalam hidupku nantinya. Namun sekali lagi kubulatkan tekad untuk bisa melaluinya dengan kebahagiaan dan rasa syukur. Karena memang tak banyak yang memiliki kesempatan untuk bisa mengecap pendidikan di tempat tersebut.
Hidup yang kujalani di sana tidaklah mudah. Berjauhan dengan orangtua menjadi alasan terkuat bagiku karena memang sebelumnya aku belum pernah terpisahkan dengan keluarga dengan jarak ribuan kilometer. Belum lagi aturan pendidikan yang menempatkanku dalam lingkungan dengan tingkat kedisiplinan yang tak bisa ditawar dengan apapun. Segala hal bahkan bagian terkecil seperti lipatan pakaian pun telah diatur sedemikian rupa. Pola hidup yang tentunya sangat berat bagiku dan teman-teman se-nusantaraku saat itu. Ada kalanya aku ingin berhenti dan pulang, lepas dari semua aturan-aturan yang kadang kala tak mampu kuterima dengan logika. Namun setiap kali mengingat raut wajah bahagia kedua orangtua saat aku dinyatakan lulus ditempat tersebut, aku segera mengurungkan niatku, menguatkan hatiku kembali untuk kemudian melanjutkan pendidikanku. Kesabaran itulah yang pada akhirnya mengantarkanku pada sebuah peristiwa sakral, 4 tahun yang lalu. Di lapangan yang sama dengan 3 tahun sebelumnya, aku dan teman-temanku dikukuhkan untuk seterusnya dikembalikan ke daerah masing-masing, mengabdikan diri sepenuhnya pada bangsan dan negara.

Apakah kemudian aku menghentikan mimpiku? Tentu saja tidak. Setelah berkutat dengan lingkungan kerja yang baru, aku mulai menghidupkan kembali mimpiku untuk bisa bersekolah lagi. Kali ini tak ada pilihan lain selain memilih perguruan tinggi dengan biaya pendidikannya yang cukup mencekik untuk seorang pegawai negeri biasa sepertiku. Mama dan papa juga tak pernah memaksaku untuk bersekolah lagi. Mereka berdua berpikir bahwa apa yang telah kudapatkan sudah cukup. Namun hatiku masih ingin kembali menuntut ilmu. Dan selama aku bisa mengendalikan keuanganku, aku berpikir akan mampu melakukannya, sekali lagi. Tekad, kerja keras dan perjuanganku pada akhirnya tak menjadi hal yang percuma, kemaren aku kembali di wisuda untuk gelar magisterku. Aku benar-benar bahagia dan bersyukur untuk segala mimpi yang telah berhasil kurealisasikan.

Pencapaian demi pencapaian yang menghampiri hidupku tak terlepas dari sebuah kalimat singkat yang dulu pernah dilontarkan oleh seseorang untukku. Kalimat yang tak akan pernah bisa kulupakan seumur hidup. Kalimat yang mungkin saja akan membuat seseorang jatuh dan terpuruk, tapi tidak bagiku. Kalimat yang kujadikan cambuk agar aku bisa selalu kuat dalam menapak jalan demi mencapai apa yang kuimpikan. Kalimat yang begitu menyakitkan namun berhasil membuatku bangkit untuk menunjukkan pada dunia bahwa aku pun bisa. Bahwa kekurangan yang ku punya di mata manusia, tak menjadikanku hina dimata Tuhan.

“Anak pegawai rendahan seperti dia tak akan pernah mampu melanjutkan sekolahnya. Jangan dekati dia. Apalagi berteman dekat dengannya”.

Miris bukan? Namun kalimat itulah yang kujadikan alasan untuk tetap bersemangat dan memberikan sebuah pembuktian pada orang-orang yang dulu pernah meremehkan keberadaanku. Semangat yang akhirnya membawaku pada sebuah cerita hidup yang penuh liku dan kerikil. Apa yang telah kucapai saat ini bukanlah buah dari sebuah pengorbanan tanpa perjuangan dan airmata. Kerja keras, kegigihan dan  doa yang kupanjatkan selalu kepada Yang Maha Kuasa akhirnya mampu menciptakan sebuah kado berbalut kebahagiaan saat ini. Sebuah pencapaian yang tak begitu saja mampu kuraih tanpa dukungan penuh dan dorongan semangat dari keluargaku tercinta.

Aku adalah perempuan biasa dengan impian luar biasa. Mimpi untuk menjadi lebih baik lagi dari hari ke hari. Merealisasikan satu mimpi dan menciptakan banyak mimpi berikutnya. Tak berharap lebih dari kisah ini, aku hanya ingin menguatkan siapapun di luar sana. Menguatkan lewat kata. Menguatkan lewat cerita. Apapun halangan dan rintangan yang ada di depan, tak berarti sama sekali jika kita memiliki niat, semangat, kerja keras dan tekad yang tak mampu dimusnahkan oleh alasan apapun juga. Seperti halnya ibu Kartini, aku yang dilahirkan pada tanggal yang sama dengan beliau, juga ingin menjadi perempuan kuat yang tak gentar dalam menapak hidup.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Jumat, Mei 10

Aku, perempuan biasa dengan impian luar biasa. Bolehkah?

Diposting oleh Orestilla di 09.48.00

Aku, Orestilla. Aku bukanlah orang besar yang dengan menyebut namaku saja semua orang akan segera tahu. Aku bukan seorang motivator sukses yang bisa menaklukkan jutaan orang hanya dengan berbicara satu atau dua patah kata saja. Aku juga bukan seorang wanita berpengaruh yang memiliki banyak andil dalam berbagai kegiatan dan peristiwa. Aku hanya seorang perempuan muda biasa di ambang usia seperempat abad dengan segudang mimpi dan banyak ambisi yang membuatku selalu membisikkan satu kata setiap kali sinar matahari mendatangiku di pagi hari, SUKSES..!!!

Sukses di mata perempuan muda sepertiku bukan berarti harus memiliki banyak uang, meraih pendidikan hingga mencapai batas akhir, berkarier tanpa kenal waktu atau mampu melakukan apapun di bawah kendaliku. Sukses bagiku adalah pencapaian satu mimpi dari setiap target yang sebelumnya telah kucatat dalam daftar impian, sedikit apapun pencapaian itu. Pencapaian yang pada akhirnya membuahkan sebentuk kebahagiaan dan makna syukur tak terhingga. Namun bahagia saja tentu tidaklah cukup. Dikatakan sukses, apabila kebahagiaan yang ku punya, khususnya proses yang kujalani untuk merengkuh kebahagiaan tersebut, bisa menjadi pembelajaran berharga untuk orang lain. 

Dilahirkan dari keluarga dengan papa yang hanya berprofesi sebagai seorang pegawai biasa di lingkungan birokrasi dan mama yang mengabdikan seluruh hidupnya di rumah demi memberikan perhatian yang terbaik untuk keluarganya, tak membuatku mengurungkan niat untuk menjadi orang yang berhasil. Setidaknya berhasil dalam pendidikan. Bagaimana tidak? Jaman sekarang menuntut kita untuk saling berlomba demi menapak kehidupan yang lebih baik. Dan salah satu syarat penting yang selalu dimunculkan ke permukaan adalah tingkat pendidikan. Dari yang berhasil ku pantau selama ini, semakin tinggi tingkatan pendidikan seseorang akan semakin memberikan peluang kepada yang bersangkutan untuk mendapatkan posisi yang lebih baik dalam segala hal.

Maka dimulailah perjuanganku saat masih duduk di bangku sekolah. Mungkin sebahagian besar teman-temanku kala itu hanya berpikiran bahwa bangku sekolah yang sedang mereka tempuh adalah salah satu syarat wajib yang dibebankan orangtua kepada mereka. Lihat saja, tak sedikit dari mereka yang tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar, nongkrong di kantin, bahkan bolos sekolah. Mungkin saja mereka berpikir bahwa hidup mereka yang serba ada tentu akan menjadi penyelamat ketika mereka dewasa nanti. Mungkin juga mereka berpikir bahwa terlalu dini untuk memikirkan masa depan yang akan mereka hadang beberapa tahun berikutnya. Mungkin juga ada yang berpikir bahwa masa-masa sekolah tentunya harus dilewati dengan bersenang-senang, menikmatinya dengan melakukan hal-hal menyenangkan bersama teman-teman tanpa harus dibebani oleh pemikiran tentang masa depan yang hanya dijatahkan untuk orang-orang dewasa, dan mereka belum termasuk ke dalam bagian itu.

Gambaran-gambaran tersebut sangatlah berbeda denganku yang berasal dari keluarga sederhana. Namun kesederhanaan hidup yang diajarkan kedua orangtuaku, tak membuatku menciptakan impian-impian sederhana. Sedari dulu aku tak memimpikan bisa melanjutkan pendidikanku di bangku perkuliahan biasa, PTN ataupun PTS. Saat itu yang ada dibenakku hanya satu, aku harus bisa bersekolah di sekolah kedinasan yang menggratiskan pendidikan namun menjamin masa depan. Aku berharap bisa menggapai seluruh mimpiku tanpa membebani mama dan papa. Selain tingginya biaya pendidikan, aku masih memiliki tiga orang adik yang tentunya juga membutuhkan banyak dana demi kelanjutan pendidikan mereka. Aku bertekad untuk sukses di usia mudaku sehingga bisa menjadi contoh dan cambuk semangat bagi adik-adikku yang saat itu masih terlalu kecil untuk mengerti kerasnya hidup.

Dewasa sebelum usianya mungkin juga bisa dialamatkan pada kondisiku kala itu. Ketika teman-teman yang lain bersuka ria dengan kehidupan sekolah mereka, aku membiasakan diriku untuk menilai dunia dari sudut pandang yang berbeda. Menyesal? Tentu tidak. Karena aku yakin tempaan hidup yang demikian keras akan menjadi sebuah alasan bagiku untuk terus maju demi mengubah hidup. Tahun kedua di bangku Sekolah Menengah Atas, aku mulai mencari informasi terkait sekolah-sekolah kedinasan yang telah menjadi pilihanku sedari awal. Aku pun memutuskan untuk memilih salah satu Sekolah Tinggi. Hari demi hari kujalani dengan mendekatkan diri pada impianku. Sepulang dari sekolah, aku akan membahas buku-buku terkait sekolah tersebut. Buku yang kudapat dengan menyisihkan sedikit demi sedikit uang jajan yang mama berikan. Waktu luang yang ada tak kubuang percuma. Aku begitu berhasrat untuk diterima di tempat tersebut. Ketika lulus sekolah, papa memberikan alternatif lain. Masih sekolah kedinasan, tetapi belum familiar bagiku. Aku mengangguk setuju saat papa menyuruhku untuk mendaftar di sekolah tersebut. Walaupun hatiku lebih bertekad untuk lulus di sekolah yang telah kupilih.

Namun Tuhan memilihkan sesuatu diluar perkiraanku. Setelah menempuh tahapan-tahapan tes untuk bisa masuk ke sekolah tinggi yang kuidam-idamkan sedari dulu, aku dinyatakan gagal. Kekecewaan tentu saja menghantui hidupku saat itu. Bagaimana tidak? Aku telah bersungguh-sungguh untuk menggapainya. Aku juga menggantungkan banyak harapan padanya. Aku mulai dihinggapi kegelisahan tak berujung. Apa yang harus kulakukan setelah itu? Bagaimana dengan pendidikanku? Apakah prestasi yang kuraih di bangku sekolah akan berakhir sia-sia? Apakah mama dan papa akan mampu membiayai pendidikanku di perguruan tinggi dengan biaya pendidikan yang tak sedikit? Atau aku harus mencari pekerjaan secepatnya? Ratusan pertanyaan berkecamuk didalam kepalaku. Seringkali aku jatuh tertidur dengan airmata yang belum mengering. Resah memikirkan masa depan seperti apa yang akan kuhadang setelah impianku hancur berantakan.

Takdir mengarahkanku pada jalan lain. Tuhan memang tak memberikan apa yang kuinginkan, namun menghadiahkan apa yang kubutuhkan. Dengan doa-doa mulia yang selalu mama dan papa haturkan pada Sang Pencipta demi kebahagiaanku, aku dinyatakan lulus pada sekolah tinggi yang papa pilihkan. Bahagia sekaligus bingung dengan apa yang kuperoleh kala itu. Bahagia karena pada akhirnya cita-citaku untuk bisa bersekolah di sekolah kedinasan yang tentunya tak memaksaku untuk mengeluarkan banyak biaya akhirnya terkabul. Bingung karena memang belum ada gambaran yang jelas tentang sekolah tinggi yang akan menjadi bahagian penting dalam hidupku nantinya. Namun sekali lagi kubulatkan tekad untuk bisa melaluinya dengan kebahagiaan dan rasa syukur. Karena memang tak banyak yang memiliki kesempatan untuk bisa mengecap pendidikan di tempat tersebut.
Hidup yang kujalani di sana tidaklah mudah. Berjauhan dengan orangtua menjadi alasan terkuat bagiku karena memang sebelumnya aku belum pernah terpisahkan dengan keluarga dengan jarak ribuan kilometer. Belum lagi aturan pendidikan yang menempatkanku dalam lingkungan dengan tingkat kedisiplinan yang tak bisa ditawar dengan apapun. Segala hal bahkan bagian terkecil seperti lipatan pakaian pun telah diatur sedemikian rupa. Pola hidup yang tentunya sangat berat bagiku dan teman-teman se-nusantaraku saat itu. Ada kalanya aku ingin berhenti dan pulang, lepas dari semua aturan-aturan yang kadang kala tak mampu kuterima dengan logika. Namun setiap kali mengingat raut wajah bahagia kedua orangtua saat aku dinyatakan lulus ditempat tersebut, aku segera mengurungkan niatku, menguatkan hatiku kembali untuk kemudian melanjutkan pendidikanku. Kesabaran itulah yang pada akhirnya mengantarkanku pada sebuah peristiwa sakral, 4 tahun yang lalu. Di lapangan yang sama dengan 3 tahun sebelumnya, aku dan teman-temanku dikukuhkan untuk seterusnya dikembalikan ke daerah masing-masing, mengabdikan diri sepenuhnya pada bangsan dan negara.

Apakah kemudian aku menghentikan mimpiku? Tentu saja tidak. Setelah berkutat dengan lingkungan kerja yang baru, aku mulai menghidupkan kembali mimpiku untuk bisa bersekolah lagi. Kali ini tak ada pilihan lain selain memilih perguruan tinggi dengan biaya pendidikannya yang cukup mencekik untuk seorang pegawai negeri biasa sepertiku. Mama dan papa juga tak pernah memaksaku untuk bersekolah lagi. Mereka berdua berpikir bahwa apa yang telah kudapatkan sudah cukup. Namun hatiku masih ingin kembali menuntut ilmu. Dan selama aku bisa mengendalikan keuanganku, aku berpikir akan mampu melakukannya, sekali lagi. Tekad, kerja keras dan perjuanganku pada akhirnya tak menjadi hal yang percuma, kemaren aku kembali di wisuda untuk gelar magisterku. Aku benar-benar bahagia dan bersyukur untuk segala mimpi yang telah berhasil kurealisasikan.

Pencapaian demi pencapaian yang menghampiri hidupku tak terlepas dari sebuah kalimat singkat yang dulu pernah dilontarkan oleh seseorang untukku. Kalimat yang tak akan pernah bisa kulupakan seumur hidup. Kalimat yang mungkin saja akan membuat seseorang jatuh dan terpuruk, tapi tidak bagiku. Kalimat yang kujadikan cambuk agar aku bisa selalu kuat dalam menapak jalan demi mencapai apa yang kuimpikan. Kalimat yang begitu menyakitkan namun berhasil membuatku bangkit untuk menunjukkan pada dunia bahwa aku pun bisa. Bahwa kekurangan yang ku punya di mata manusia, tak menjadikanku hina dimata Tuhan.

“Anak pegawai rendahan seperti dia tak akan pernah mampu melanjutkan sekolahnya. Jangan dekati dia. Apalagi berteman dekat dengannya”.

Miris bukan? Namun kalimat itulah yang kujadikan alasan untuk tetap bersemangat dan memberikan sebuah pembuktian pada orang-orang yang dulu pernah meremehkan keberadaanku. Semangat yang akhirnya membawaku pada sebuah cerita hidup yang penuh liku dan kerikil. Apa yang telah kucapai saat ini bukanlah buah dari sebuah pengorbanan tanpa perjuangan dan airmata. Kerja keras, kegigihan dan  doa yang kupanjatkan selalu kepada Yang Maha Kuasa akhirnya mampu menciptakan sebuah kado berbalut kebahagiaan saat ini. Sebuah pencapaian yang tak begitu saja mampu kuraih tanpa dukungan penuh dan dorongan semangat dari keluargaku tercinta.

Aku adalah perempuan biasa dengan impian luar biasa. Mimpi untuk menjadi lebih baik lagi dari hari ke hari. Merealisasikan satu mimpi dan menciptakan banyak mimpi berikutnya. Tak berharap lebih dari kisah ini, aku hanya ingin menguatkan siapapun di luar sana. Menguatkan lewat kata. Menguatkan lewat cerita. Apapun halangan dan rintangan yang ada di depan, tak berarti sama sekali jika kita memiliki niat, semangat, kerja keras dan tekad yang tak mampu dimusnahkan oleh alasan apapun juga. Seperti halnya ibu Kartini, aku yang dilahirkan pada tanggal yang sama dengan beliau, juga ingin menjadi perempuan kuat yang tak gentar dalam menapak hidup.

0 komentar on "Aku, perempuan biasa dengan impian luar biasa. Bolehkah?"

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea