Rabu, Mei 8

Aku di Tahun 2032

Diposting oleh Orestilla di 11.39.00

Akan ada 20 tahun lagi sebelum kedatangan tahun 2032 setelah aku menulis rangkaian kata demi kata disini, hari ini. Bagaimanakah keadaanku pada waktu itu? Tak ada yang tau. Berhasilkah aku menggapai keseluruhan mimpi yang telah kurajut jauh-jauh hari, mimpi yang mengajakku bergerak untuk terus maju menuju gerbang keberhasilan. Mimpi yang tak akan pernah kupadamkan sedikitpun karena aku tau tanpa mereka, aku tak akan pernah berubah menjadi manusia yang lebih baik lagi.  Masih banyak waktu yang tersedia bagiku untuk mengagungkan mimpi, berjuang menjangkaunya dan tak mengenal rasa lelah agar suatu saat nanti aku mampu merengkuhnya ke dalam duniaku. Dan disinilah aku akan menceritakan segala asa yang ingin kumiliki 20 tahun mendatang, di tahun itu, tahun 2032..

Mengawali hari, pagi yang cerah di tahun 2032.

Aku di usiaku yang telah menginjak angka 44 tahun, usia yang hampir mencapai pertengahan abad. Namun deretan angka yang semakin bertambah dari hari ke hari tak menjadikanku lelah dalam merenda asa dan menggantungkan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Seperti biasa, rutinitasku berawal pada jam 3 pagi. Jam dengan waktu paling berharga karena kusediakan khusus untuk bertemu dengan Tuhanku. Waktu dimana tak seorangpun manusia dan tak satupun masalah menjadi penghalang bagiku untuk bercengkrama dengan-Nya. Jam-jam berikutnya kuhabiskan dengan berkutat didapurku yang mungil namun asri. Mempersiapkan menu pagi dan kebutuhan seluruh anggota keluargaku. Ya, inilah aku. Seorang wanita karir yang tak ingin membuang peran pentingku sebagai ibu rumah tangga yang baik. Tentu saja bagiku keluarga adalah segalanya.

Ditemani semilir angin dan curahan cahaya mentari pagi, aku keluar dari gerbang rumahku. Rumah yang kudirikan dengan hasil kerja keras dan kujadikan sebagai istana bagiku dan keluarga kecilku. Dengan penuh semangat, tak seperti biasanya, hari ini aku berencana mengunjungi sebuah tempat istimewa lain yang kumiliki. Istana keduaku. Tempat ini tak berada di pusat kota yang penuh dengan hingar bingar keramaian tetapi berdiri tegak di pedalaman sebuah desa. Butuh waktu berjam-jam untuk menyinggahinya. Disana, di tempat sederhana dengan luasnya yang tak seberapa, tempat yang akhirnya kusulap menjadi sebuah perpustakaan kecil namun besar manfaatnya. Tempat yang kuharapkan mampu menjadi wadah bagi generasi muda di daerah pedalaman itu agar mampu menyulap mimpi mereka menjadi sebuah realita. Karena menurutkan keterisolasian mereka dari kehidupan perkotaan bukanlah hambatan bagi mereka untuk bergerak maju. Bahkan apabila mereka mau dan mampu, mereka akan bisa mengalahkan siapapun yang hidup dengan segala kemewahan dan kemudahan. Tentu saja hal itu akan terwujud apabila keinginan mereka tidak hanya menjadi sebuah mimpi yang mereka gantungkan untuk dijangkau tetapi keinginan yang selalu disertai dengan usaha dan kerja keras. 

Apa yang kulakukan saat ini adalah apa yang telah kuimpikan sejak lama, sejak aku masih belia, sejak aku mulai menggilai ratusan buku. Bagiku, buku benar-benar menjadi sebuah jendela dunia yang mampu membuka mata hati dan pikiranku untuk melihat bahwasanya ada begitu banyak hal yang belum kuketahui. Namun adakalanya impianku mendapat celaan dan hinaan dari orang lain. Mereka menganggap bahwa apa yang kulakukan hanyalah sebuah tindakan bodoh yang tidak akan mendapat apresiasi dan dukungan dari banyak pihak. Padahal bila kupikirkan lagi, impian kecilku ini memiliki niat dan tujuan yang sangat mulia. Aku ingin mereka yang tinggal jauh dari gemerlap kemewahan, yang masih peduli dengan ilmu, mereka yang masih setia pada tiap lembaran buku, dapat mengasah lagi pengetahuannya, menambah lagi wawasannya sehingga tak akan pernah ketinggalan dalam berbagai hal. 



Penolakan dari beberapa pihak kuanggap sebagai ujian dalam menggapai harapanku, bukan lubang kelam yang membuatku jatuh dan melupakan semua yang pernah kuimpikan. Aku tidak ingin menjadi perempuan lemah dan mudah menyerah dengan kerasnya liku hidup. Maka aku pun mulai menabung dan menyisipkan receh demi receh penghasilanku sebagai seorang abdi negara. Penghasilan yang mungkin terlalu kecil untuk membantu mewujudkan mimpi besarku. Aku hanya percaya bahwa niat baikku akan mendapat kemudahan nantinya. Aku mulai mencari beberapa sponsor dan menghubungi rekan-rekanku yang telah sukses. Aku meyakinkan mereka bahwasanya yang akan kulakukan akan membawa dampak gemilang nantinya. Aku bersyukur sebahagian besar dari mereka memiliki kepedulian yang tinggi akan ide-ideku saat itu. Dengan kesabaran, keyakinan, kerja keras dan kerjasama dengan merekalah akhirnya aku bisa mendirikan istana keduaku ini. Istanaku yang juga dijadikan istana oleh anak-anak pedalaman itu. Hatiku membuncah dan diselimuti ribuan kebahagiaan ketika melihat senyum dan semangat mereka dalam menggali ilmu. Betapa bahagianya hatiku.

Kebahagiaanku bertambah tatkala Pemerintah memperlihatkan kepeduliannya pada hasil kerja kerasku. Hanya berselang satu tahun setelah didirikan, aku mendapat kejutan luar biasa karena Pemerintah bersedia memberikan suntikan dana untuk kemajuan perpustakaanku. Mulai dari dana pembelian ratusan buku sampai dana rekonstruksi istana ilmuku itu. Aku menyambutnya dengan penuh suka cita. Tidak hanya aku tapi juga anak-anak kecil pedalaman yang haus akan ilmu. Anak-anak yang awalnya dianggap sepele dan tak pernah dipedulikan. Anak-anak yang akhirnya membuatku bangga karena mereka mampu mencapai impian mereka satu per satu. Tak sedikit dari mereka melanjutkan pendidikan baik itu di dalam maupun di luar negeri. Keterbatasan dana tak sedikitpun menyurutkan langkah mereka dalam menggapai cita. Mereka membuatku benar-benar menjadi seorang manusia yang penuh dengan rasa syukur. Bahkan untuk tiap kalimat syukur yang terucap, seakan belum cukup untuk memperlihatkan betapa beruntungnya aku memiliki ini semua.
Beberapa hari yang lalu aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka yang saat ini tengah melakukan kegiatan pertukaran pelajar di Negara Jerman. Dia sama sekali tidak lupa dengan perempuan tua sepertiku. Dia masih memberikan senyum hangat seperti pertama aku melihatnya dulu. Saat ia tengah asyik dengan pensil tumpulnya sembari duduk di bawah pohon kelapa tua. Saat dimana tangan kecilnya memberiku kekuatan untuk mengumpulkan bongkahan-bongkahan semangat yang ku punya saat itu demi mewujudkan sebuah istana baca baginya dan teman-teman pedalamannya yang lain.

Berapapun jumlah angka yang akan diberikan Tuhan untukku dalam menjalani hidup, aku akan menerimanya dengan senang hati. Berapapun sisa umur yang ku punya saat ini, aku tak pernah menjadikannya beban. Aku hanya ingin mengabdikan sepenuhnya hidupku pada dunia pengetahuan. Kuakui, aku bukanlah seorang profesor yang berkesempatan mengunyah banyak ilmu di luar negeri sana, aku juga bukanlah seorang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga aku mengetahui segala hal yang tak diketahui oleh orang lain. Aku hanya seorang perempuan biasa yang ingin melihat generasi penerusku menjadi manusia maju dan memiliki banyak ilmu, itu saja.


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

Rabu, Mei 8

Aku di Tahun 2032

Diposting oleh Orestilla di 11.39.00

Akan ada 20 tahun lagi sebelum kedatangan tahun 2032 setelah aku menulis rangkaian kata demi kata disini, hari ini. Bagaimanakah keadaanku pada waktu itu? Tak ada yang tau. Berhasilkah aku menggapai keseluruhan mimpi yang telah kurajut jauh-jauh hari, mimpi yang mengajakku bergerak untuk terus maju menuju gerbang keberhasilan. Mimpi yang tak akan pernah kupadamkan sedikitpun karena aku tau tanpa mereka, aku tak akan pernah berubah menjadi manusia yang lebih baik lagi.  Masih banyak waktu yang tersedia bagiku untuk mengagungkan mimpi, berjuang menjangkaunya dan tak mengenal rasa lelah agar suatu saat nanti aku mampu merengkuhnya ke dalam duniaku. Dan disinilah aku akan menceritakan segala asa yang ingin kumiliki 20 tahun mendatang, di tahun itu, tahun 2032..

Mengawali hari, pagi yang cerah di tahun 2032.

Aku di usiaku yang telah menginjak angka 44 tahun, usia yang hampir mencapai pertengahan abad. Namun deretan angka yang semakin bertambah dari hari ke hari tak menjadikanku lelah dalam merenda asa dan menggantungkan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Seperti biasa, rutinitasku berawal pada jam 3 pagi. Jam dengan waktu paling berharga karena kusediakan khusus untuk bertemu dengan Tuhanku. Waktu dimana tak seorangpun manusia dan tak satupun masalah menjadi penghalang bagiku untuk bercengkrama dengan-Nya. Jam-jam berikutnya kuhabiskan dengan berkutat didapurku yang mungil namun asri. Mempersiapkan menu pagi dan kebutuhan seluruh anggota keluargaku. Ya, inilah aku. Seorang wanita karir yang tak ingin membuang peran pentingku sebagai ibu rumah tangga yang baik. Tentu saja bagiku keluarga adalah segalanya.

Ditemani semilir angin dan curahan cahaya mentari pagi, aku keluar dari gerbang rumahku. Rumah yang kudirikan dengan hasil kerja keras dan kujadikan sebagai istana bagiku dan keluarga kecilku. Dengan penuh semangat, tak seperti biasanya, hari ini aku berencana mengunjungi sebuah tempat istimewa lain yang kumiliki. Istana keduaku. Tempat ini tak berada di pusat kota yang penuh dengan hingar bingar keramaian tetapi berdiri tegak di pedalaman sebuah desa. Butuh waktu berjam-jam untuk menyinggahinya. Disana, di tempat sederhana dengan luasnya yang tak seberapa, tempat yang akhirnya kusulap menjadi sebuah perpustakaan kecil namun besar manfaatnya. Tempat yang kuharapkan mampu menjadi wadah bagi generasi muda di daerah pedalaman itu agar mampu menyulap mimpi mereka menjadi sebuah realita. Karena menurutkan keterisolasian mereka dari kehidupan perkotaan bukanlah hambatan bagi mereka untuk bergerak maju. Bahkan apabila mereka mau dan mampu, mereka akan bisa mengalahkan siapapun yang hidup dengan segala kemewahan dan kemudahan. Tentu saja hal itu akan terwujud apabila keinginan mereka tidak hanya menjadi sebuah mimpi yang mereka gantungkan untuk dijangkau tetapi keinginan yang selalu disertai dengan usaha dan kerja keras. 

Apa yang kulakukan saat ini adalah apa yang telah kuimpikan sejak lama, sejak aku masih belia, sejak aku mulai menggilai ratusan buku. Bagiku, buku benar-benar menjadi sebuah jendela dunia yang mampu membuka mata hati dan pikiranku untuk melihat bahwasanya ada begitu banyak hal yang belum kuketahui. Namun adakalanya impianku mendapat celaan dan hinaan dari orang lain. Mereka menganggap bahwa apa yang kulakukan hanyalah sebuah tindakan bodoh yang tidak akan mendapat apresiasi dan dukungan dari banyak pihak. Padahal bila kupikirkan lagi, impian kecilku ini memiliki niat dan tujuan yang sangat mulia. Aku ingin mereka yang tinggal jauh dari gemerlap kemewahan, yang masih peduli dengan ilmu, mereka yang masih setia pada tiap lembaran buku, dapat mengasah lagi pengetahuannya, menambah lagi wawasannya sehingga tak akan pernah ketinggalan dalam berbagai hal. 



Penolakan dari beberapa pihak kuanggap sebagai ujian dalam menggapai harapanku, bukan lubang kelam yang membuatku jatuh dan melupakan semua yang pernah kuimpikan. Aku tidak ingin menjadi perempuan lemah dan mudah menyerah dengan kerasnya liku hidup. Maka aku pun mulai menabung dan menyisipkan receh demi receh penghasilanku sebagai seorang abdi negara. Penghasilan yang mungkin terlalu kecil untuk membantu mewujudkan mimpi besarku. Aku hanya percaya bahwa niat baikku akan mendapat kemudahan nantinya. Aku mulai mencari beberapa sponsor dan menghubungi rekan-rekanku yang telah sukses. Aku meyakinkan mereka bahwasanya yang akan kulakukan akan membawa dampak gemilang nantinya. Aku bersyukur sebahagian besar dari mereka memiliki kepedulian yang tinggi akan ide-ideku saat itu. Dengan kesabaran, keyakinan, kerja keras dan kerjasama dengan merekalah akhirnya aku bisa mendirikan istana keduaku ini. Istanaku yang juga dijadikan istana oleh anak-anak pedalaman itu. Hatiku membuncah dan diselimuti ribuan kebahagiaan ketika melihat senyum dan semangat mereka dalam menggali ilmu. Betapa bahagianya hatiku.

Kebahagiaanku bertambah tatkala Pemerintah memperlihatkan kepeduliannya pada hasil kerja kerasku. Hanya berselang satu tahun setelah didirikan, aku mendapat kejutan luar biasa karena Pemerintah bersedia memberikan suntikan dana untuk kemajuan perpustakaanku. Mulai dari dana pembelian ratusan buku sampai dana rekonstruksi istana ilmuku itu. Aku menyambutnya dengan penuh suka cita. Tidak hanya aku tapi juga anak-anak kecil pedalaman yang haus akan ilmu. Anak-anak yang awalnya dianggap sepele dan tak pernah dipedulikan. Anak-anak yang akhirnya membuatku bangga karena mereka mampu mencapai impian mereka satu per satu. Tak sedikit dari mereka melanjutkan pendidikan baik itu di dalam maupun di luar negeri. Keterbatasan dana tak sedikitpun menyurutkan langkah mereka dalam menggapai cita. Mereka membuatku benar-benar menjadi seorang manusia yang penuh dengan rasa syukur. Bahkan untuk tiap kalimat syukur yang terucap, seakan belum cukup untuk memperlihatkan betapa beruntungnya aku memiliki ini semua.
Beberapa hari yang lalu aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka yang saat ini tengah melakukan kegiatan pertukaran pelajar di Negara Jerman. Dia sama sekali tidak lupa dengan perempuan tua sepertiku. Dia masih memberikan senyum hangat seperti pertama aku melihatnya dulu. Saat ia tengah asyik dengan pensil tumpulnya sembari duduk di bawah pohon kelapa tua. Saat dimana tangan kecilnya memberiku kekuatan untuk mengumpulkan bongkahan-bongkahan semangat yang ku punya saat itu demi mewujudkan sebuah istana baca baginya dan teman-teman pedalamannya yang lain.

Berapapun jumlah angka yang akan diberikan Tuhan untukku dalam menjalani hidup, aku akan menerimanya dengan senang hati. Berapapun sisa umur yang ku punya saat ini, aku tak pernah menjadikannya beban. Aku hanya ingin mengabdikan sepenuhnya hidupku pada dunia pengetahuan. Kuakui, aku bukanlah seorang profesor yang berkesempatan mengunyah banyak ilmu di luar negeri sana, aku juga bukanlah seorang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga aku mengetahui segala hal yang tak diketahui oleh orang lain. Aku hanya seorang perempuan biasa yang ingin melihat generasi penerusku menjadi manusia maju dan memiliki banyak ilmu, itu saja.


0 komentar on "Aku di Tahun 2032"

Posting Komentar

Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea