Pagi
pertama di tanah Sulawesi. Lihat! ini dia suguhan Pantai Losari untuk saya yang
bangun di lantai 7 Hotel M. Regency. Keren kan? Oiya, sebelum lanjut cerita
sana sini, saya ada sedikit masukan untuk manteman semua. Kalo ada rencana
bertandang ke daerah ini, nyari penginapan atau hotel yang terletak disekitaran
Pantai Losari aja. Seperti hotel M.Regency ini, yang terletak di Jalan Daeng
Tompo. Lebih baik lagi jika kamar yang kamu pilih itu ada di lantai atas dan jendelanya
menghadap langsung ke arah laut. Mata serasa dimanjakan langsung dari atas
tempat tidur! What a wonderful life. Haha.
selamat pagi Makassar dari jendela kamar kami :) |
*balik
ke setengah jam sebelumnya*
Karena
lupa menyamakan waktu setempat dengan jam tangan yang saya punya dan digital
clock yang ada di handphone (yang mati total begitu pesawat mendarat karena
malangnya provider yang saya pake tidak berlaku di daerah tersebut), saya
bangun cantik pada saat matahari sudah senyam senyum dari arah pantai. Dengan
memohon ampun pada Sang Pemilik Bumi, saya shalat Subuh pada waktu yang sudah
tak selayaknya. Harap maklum, jam di pergelangan tangan saya masih menunjukkan
pukul 05.17 pagi.
*kembali
ke laptop*
Kelar
sarapan pagi bersama (iya. pilihan saya selalu jatuh pada bubur ayam. Bagaimana
lagi? cinta saya padanya sudah jatuh berkali-kali), kami bertolak ke Dinas
Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Makassar. Dinas ini berada di jalan Urip
Sumoharjo, sekitar 30 menit dari hotel.
mejeng dulu sehabis sarapan, sembari menunggu yang lain selesai. |
Pertemuan
diawali dengan laporan perjalanan dari bapak Sekretaris Daerah Kota Solok,
Bapak Suryadi Nurdal. Kemudian pemaparan tentang sistem dan mekanisme pemungutan
PBB-P2 dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar, Bapak M. Khaidir
Hasan Saleh. Kebetulan kota tersebut telah melaksanakan sistem pemungutan
berbasis IT. Sedangkan Kota Solok sendiri baru akan melaksanakan hal yang sama
pada tahun 2014.
Kota
Makassar mengelola 11 jenis pajak. Pajak-pajak tersebut meliputi pajak hotel,
pajak restoran, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak hiburan, pajak
bukan logam dan bebatuan, pajak parkir, pajak bangunan, pajak air bawah tanah,
pajak sarang burung wallet, PBB dan BPHTB. Pemungutan pajak sarang burung wallet
disinyalir menjadi yang paling bermasalah. Pemanfaatan ruko sebagai tempat
pengembangbiakan burung wallet diduga menjadi penyebab utamanya.
Pencapaian
PBB Kota Makassar tahun ini adalah 110% yang jatuh tempo pada bulan September
2013. UPTD PBB Kota Makassar memiliki 50 orang pegawai. Sementara wajib pajak
berjumlah 320.000 objek dengan potensi sebesar 105 Milyar Rupiah. Keberhasilan
Kota Makassar dalam mencapai target pemungutan didukung oleh tenaga kolektor
yang aktif dan profesional. Selain itu, NJOP di beberapa titik dinaikkan satu
kelas tanpa menimbulkan riak pada masyarakat.
Kota
Makassar memiliki 14 kecamatan dan 143 kelurahan (bedakan dengan Kota Solok
yang hanya memiliki 2 kecamatan dan 13 kelurahan). Dalam mekanisme pemungutan
pajak, penyalurannya tetap melibatkan lurah dan kolektor. Selanjutnya lurah
akan memberikan informasi dan laporan kepada Dispenda Kota Makassar. Sementara
Dispenda sendiri menurunkan koordinator lapangan di setiap kelurahan yang akan
menyampaikan laporan pada rapat koordinasi yang biasanya dilaksanakan setiap 1
kali dalam seminggu.
Sayangnya
yang hadir di dalam ruangan hanya sebahagian dari kami. Aula dinas tidak memadai untuk rombongan kami yang
berjumlah 62 orang. Masukan dari Dispenda Kota Makassar diharapkan mampu
menjadi acuan bagi Kota Solok untuk menerapkan pola yang sama atau lebih baik
lagi.
penyerahan cenderamata dari Sekda Kota Solok (kiri) kepada Kadispenda Kota Makassar (kanan) |
photo by: Wahyudi Agustian |
Berhubung
Bapak Kepala Dinas sedang berulang tahun, kami semua diboyong untuk mencicipi
coto putih Makassar. Coto Daeng Sirua yang berada di Jalan Abdul Daeng Sirua
No.10 Kota Makassar. Rasanya jangan ditanya lagi. Sedap bin nikmat. Apalagi
pecinta masakan pedas seperti saya. Jadilah hari itu saya menuangkan Lombok cukup
banyak ke dalam mangkok. Coto ini dimakan bersama ketupat yang sudah disediakan
terlebih dahulu di atas meja. Cotonya terdiri dari potongan-potongan daging, tanpa
mie seperti yang kita jumpai pada soto. Saya kurang suka dengan ketupatnya.
Mungkin karena biasa makan ketupat “bareh solok”, ketupat di daerah ini terasa
lebih lembek dan kurang greget. Namun untuk coto, rasanya sempurna. Ditengah
rasa pedas yang membara, ada kenikmatan masakan yang luhaaarr biasyaaahh.
Sedaaaaaappp.
bareng senior :) |
penampakan coto putih Makassar (before) |
....after |
Karena
makan coto putih Makassar ada di luar rencana, maka kami harus menyiapkan perut
sekali lagi untuk menikmati makan siang di restoran Wong Solo. Jarak makan
pertama dengan makan berikutnya hanya sekitar 15 menit. Dan saya menyerah
kalah. Tidak sanggup lagi. Hahaha. Sementara bapak ibu uda uni yang lain, ada
yang masih kuat untuk melanjutkan makan kedua mereka. Oya, didalam perjalanan
menuju Wong Solo, kami bertemu dengan rombongan demonstran. Hal yang terlihat
lazim di Kota Makassar. Jumlah pendemo tidak terlalu banyak, namun aksi mereka
cukup mengganggu arus lalu lintas.
Lokasi makan kedua: Wong Solo |
ini becak unik yang ada di Makassar. Saya abadikan dalam perjalanan menuju Wong Solo. |
Puas
makan siang (dua kali tentunya), kami melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Gowa.
Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kota Makassar. Tujuan kami adalah
Museum Balla Lompoa. Menurut penjelasan dari tour guide, Balla Lompoa sendiri
berarti rumah besar yang ditinggali oleh raja (di daerah Sumatera Barat namanya
Rumah Gadang). Raja pertama Gowa adalah
seorang perempuan cantik bernama Tummanurung Baimea (1320 SM).
Museum Balla Lompoa |
Istana Tamalate, bersebelahan letaknya dengan Museum Balla Lompoa dan masih dalam lokasi yang sama |
*gugling
bentar*
Museum Balla Lompoa merupakan rekonstruksi dari
istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I
Mangngi-mangngi Daeng Matutu, pada tahun 1936. Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoa berarti rumah besar
atau rumah kebesaran. Arsitektur bangunan museum ini berbentuk rumah khas orang
Bugis, yaitu rumah panggung, dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter
untuk masuk ke ruang teras. Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu
besi. Bangunan ini berada dalam sebuah kompleks seluas satu hektar yang
dibatasi oleh pagar tembok yang tinggi.
Museum ini berfungsi sebagai tempat menyimpan
koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Benda-benda bersejarah tersebut dipajang berdasarkan
fungsi umum setiap ruangan pada bangunan museum. Di bagian depan ruang utama
bangunan, sebuah peta Indonesia terpajang di sisi kanan dinding. Di ruang utama
dipajang silsilah keluarga Kerajaan Gowa mulai dari Raja Gowa I, Tomanurunga
pada abad ke-13, hingga Raja Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A.
Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957).
Di ruangan utama ini, terdapat sebuah
singgasana yang diletakkan pada area khusus di tengah-tengah ruangan. Beberapa
alat perang, seperti tombak dan meriam kuno, serta sebuah payung lalong sipue (payung yang dipakai
raja ketika pelantikan) juga terpajang di ruangan ini.
Museum ini pernah direstorasi pada tahun
1978-1980 dan diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Subadio yang pada waktu itu
menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan. Hingga saat ini, pemerintah
daerah setempat telah mengalokasikan dana sebesar 25 juta rupiah per tahun
untuk biaya pemeliharaan secara keseluruhan.
Setelah
berpuas hati mengenal sejarah kerajaan Gowa, kami dibawa menuju pusat
perbelanjaan oleh-oleh. Kami semua diarahkan ke toko Keradjinan yang terletak
di jalan Somba Oppu (setelah itu saya tahu bahwa ternyata tempat ini hanya
berjarak beberapa blok dari hotel tempat kami menginap). Disana kita bisa
membeli kain khas Sulawesi, makanan tradisional mereka, bahkan kerajinan tangan
yang akan sangat jarang kita temukan di tempat lain. Kalaupun ada, mungkin
dengan harga yang jauh lebih mahal.
Acara
hari itu ditutup dengan kunjungan melepas lelah ke Pantai Losari, sembari
menunggu adzan Maghrib berkumandang di mesjid terapung yang berada di lokasi
yang sama. Namun karena rasa lelah yang luar biasa setelah menghabiskan pundi-pundi
uang kami, saya dan 4 orang rekan lainnya langsung menuju hotel. Istirahat.
Memulihkan tenaga untuk kegiatan dan kunjungan berikutnya.
Perkiraan
saya meleset jauh.
Kebetulan
malam itu uni yang sekamar dengan saya bertemu dengan calon adik iparnya (uhuk)
yang tengah melanjutkan pendidikan di tanah angin mamiri ini. Si adek ngajakin
kami makan malam di Kampoeng Popsa. Tempat kuliner ini mirip pujasera kalo di
daerah Bandung. Ada banyak masakan tradisional dan spesifik yang bisa kita
pesan. Pun begitu halnya dengan minuman. Namun ketiadaan pisang ijo cukup
membuat saya kecewa malam itu. Jadilah akhirnya saya memesan hotplate sapi lada
hitam (yang ga ada khas Makassarnya sama sekali) dan campuran buah segar yang
disediakan dalam kelapa muda utuh. Kalo minumannya seger dan enak banget, cuma
untuk makanannya agak kurang asik. Kurang kuat bumbunya menurut saya. Lebih
dari itu semua, Kampoeng Popsa memiliki tempat yang sangat nyaman.
Keberadaannya yang terletak di bibir pantai membuat lokasinya menjadi favorit
anak-anak muda Makassar.
minuman seger yang saya pesan di Kampoeng Popsa |
salah satu sudut Kampoeng Popsa. Lihat ada kapal kecilnya. Dan itu bukan kolam, tapi lauuuutt...!!! |
Si
uni dan si adek melanjutkan malamnya di pinggiran Pantai Losari, makan pisang
epek (senengnya saya juga dibelikan). Sementara saya langsung kembali ke hotel,
ngorok.
senja penuh cinta dari ketenangan Losari |
be
continued..
3 komentar:
Setiap berkunjung ke suatu daerah pasti tidak lupa untuk mencicipkan kulinernya ya mbak :D
Thanks sudah berkunjung di kota kami.
Makassar memang selalu ramah untuk pengunjungnya,
Jika sebagian orang agak takut kemakassar, karena mereka belum pernah ke makassar.
Sekali ke makassar maka akan terkenang selamanya.
www.indonesianholic.com
titis : iya saii..itu poin pertama yang harus dilakukan
muhammad akbar: kota yang indah. waktu 4 hari masih terlalu kurang untuk menjelajahi indahnya bumi selatan sulawesi :)
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)