Hujan gerimis di luar sana. Cintya merapatkan baju hangat
yang ia pakai di luar piyama berwarna merah muda miliknya. Memang tak deras dan
mereka terpisahkan oleh sebuah jendela besar berkaca tebal, tapi dinginnya
mampu menusuk hingga tulang. Ditangannya tampak secangkir minuman yang masih
mengepul, pertanda baru saja diseduh. Cintya tengah menatap hujan dari jendela
apartemennya di lantai 27 yang berdiri tegak di jantung Kota Jakarta. Jendela
besar berukuran kira-kira 3 x 2 meter ini memang menjadi tempat favoritnya.
Sengaja ia meletakkan sebuah sofa besar disana agar ia bisa lebih leluasa dan
nyaman menikmati pemandangan dari kamarnya sendiri. Jendela ini memang hampir
menghabiskan satu dinding untuk terpatri dengan rapi. Dari jendela ini pula
Cintya berhasil menangkap banyak hal dan pelajaran. Bersamanya ia menemukan
pagi cerah tanpa awan, malam dingin berhujan, kebisingan kota dengan ribuan
kendaraannya yang tanpa henti, warna-warni kebahagiaan dan juga kesendirian
yang tak mampu ia pahami. Di sofa tersebut Cintya selalu menyelesaikan
pekerjaannya di salah satu perusahaan IT terbesar milik seorang Jepang bernama
Miwa Miyoshi. Kegemarannya menulis puisi juga sering ia tuangkan di tempat ini.
Tak hanya itu saja, bahkan makan, membaca buku, menonton puluhan film dari notebook, semua ia lakukan di depan
jendela kebanggaannya, dipelukan si sofa putih besar.
Cintya menyesap minumannya. Matanya terpejam. Meresapi tetes
demi tetes hujan yang masih membuai pagi. Minggu yang menyenangkan baginya
walaupun hanya akan dihabiskannya di dalam kamar seperti ini seharian penuh.
Libur akhir pekan memang menjadi sesuatu yang sangat jarang sekali ia dapatkan.
Kesibukannya yang bagai tak berujung memaksanya untuk tetap bekerja, sementara
ada banyak orang di luar sana yang bisa menikmati waktu-waktu berharga bersama
keluarganya. Dan setelah bekerja keras berhari-hari dalam sebuah proyek, ia
mendapatkan kembali waktu senggangnya.
Bibirnya siap untuk menyesap minumannya kembali. Namun tanpa
disadarinya, cangkir itu telah kosong. Dengan gerakan malas, Cintya tertatih
menuju dapur kecil miliknya. Apartemen ini memang sangat cocok dihuni oleh satu
orang saja. Istananya ini hanya terdiri dari tiga ruangan: kamar tidur, kamar
mandi dan dapur. Jangan bayangkan dapur lengkap milik seorang nyonya di sebuah
rumah mewah. Cintya cukup sulit menemukan meja makan mungil yang sekarang
menghiasi dapur yang ia dekorasi dengan sangat apik. Cintya memang suka sekali
mengoleksi barang-barang unik. Ia bisa membeli dengan harga tinggi jika barang
tersebut memang terlihat cantik dimatanya. Namun tak sedikit yang ia dapatkan
dengan harga murah. Jadilah dapurnya yang kecil ini terlihat meriah dengan
pernak-pernik warna-warni yang bertebaran di segala penjuru. Tangannya mengaduk
minuman untuk cangkir kedua di pagi ini.
Saat ia hendak berjalan kembali kesinggasananya di sofa
besar putih di ujung ruang tidur, mata Cintya menangkap sebuah buku yang
tergeletak dibawah rak buku gantungnya. Cintya memang hobi sekali membaca buku.
Jumlah buku yang sudah mencapai ratusan dan ruang apartemen yang sempit
membuatnya menemukan ide baru untuk menyulap satu dinding kamarnya menjadi
sebuah rak buku cantik. Jemarinya menggapai buku tersebut. Sebuah buku sastra.
Seketika air matanya berlinang. Bukan karena isi buku yang menyayat hati, tapi
lebih disebabkan pada ingatan tentang seseorang yang tiba-tiba saja hadir dalam
bayangannya. Seseorang yang beberapa bulan lalu menghadiahkan buku itu
untuknya. Seseorang yang ia rindukan, Bagas.
“Aku tadi nemenin klien ke toko buku. Kebetulan mau nyari
referensi untuk proyek kami berikutnya.” ujar Bagas dengan senyum menawan yang
sedari dulu membuat Cintya jatuh cinta berulang kali. “Dan aku nemu buku ini.
Kayaknya cocok buat kamu Tya.” tambahnya lagi.
Mereka sedang makan malam saat itu. Bagas menemukan sebuah cafe baru di pinggiran Jakarta yang cukup menampik suara bising seperti yang setiap hari mereka temui. Malam itu malam istimewa untuk mereka karena dua tahun yang lalu mereka memulai hubungan spesial tersebut. Tidak hanya buku, malam itu Bagas juga menghadiahkan sebuah cincin untuknya, sembari berjanji akan membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Sesuatu yang selama ini seakan terkubur begitu saja. Kesibukan mereka berdua membuat mereka bahkan tidak lagi memiliki banyak waktu untuk bersama, banyak waktu untuk merenda asa dan merencanakan masa depan. Walaupun hidup di kota yang sama, bernafas di bawah langit Kota Jakarta, Cintya dan Bagas seakan bekerja di dua benua yang berbeda karena sulit dan sedikitnya kuantitas pertemuan mereka dalam beberapa tahun terakhir.
Mereka sedang makan malam saat itu. Bagas menemukan sebuah cafe baru di pinggiran Jakarta yang cukup menampik suara bising seperti yang setiap hari mereka temui. Malam itu malam istimewa untuk mereka karena dua tahun yang lalu mereka memulai hubungan spesial tersebut. Tidak hanya buku, malam itu Bagas juga menghadiahkan sebuah cincin untuknya, sembari berjanji akan membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Sesuatu yang selama ini seakan terkubur begitu saja. Kesibukan mereka berdua membuat mereka bahkan tidak lagi memiliki banyak waktu untuk bersama, banyak waktu untuk merenda asa dan merencanakan masa depan. Walaupun hidup di kota yang sama, bernafas di bawah langit Kota Jakarta, Cintya dan Bagas seakan bekerja di dua benua yang berbeda karena sulit dan sedikitnya kuantitas pertemuan mereka dalam beberapa tahun terakhir.
Cintya tersenyum. Kenangan indah itu terlalu sulit untuk
dilupakan. Ia meraih buku tersebut. Mendekapnya. Seakan dengan bersikap seperti
itu, Bagas ada bersamanya, ada didekatnya. Kakinya melangkah pelan kembali ke
jendela besar dengan sofa putih. Dihempaskan badannya begitu saja sembari
mendesah pelan. Ia buka kembali buku sastra tersebut. Tidak hanya sekali, buku
itu sudah ia tamatkan hingga berkali-kali. Namun hanya dengan membacanya saja,
Cintya selalu merasa sosok Bagas hadir bersamanya.
Hujan sekarang turun lebih deras. Jakarta di akhir pekan
seperti ini terlihat lebih lengang dibandingkan hari biasa. Namun bukan berarti
jalan raya yang terbentang di bawah sana kosong. Masih ada puluhan bahkan
ratusan mobil yang melintas. Jalan Raya. Ingatannya kembali pada pertemuan
pertamanya dulu dengan Bagas. Sore itu, akhir pekan yang juga berhujan seperti
pagi ini. Cintya yang sengaja datang ke toko buku dengan bus kota dan tanpa persiapan
sama sekali, tiba-tiba saja disambut oleh hujan yang luar biasa derasnya.
Setelah menunggu selama beberapa jam dan hujan tak kunjung reda, Cintya memutuskan
untuk menunggu taksi di sebuah halte yang memang terletak persis di depan toko
buku tersebut. Baru saja hendak melangkahkan kaki, ada seseorang yang
menubruknya dari belakang. Kantong plastik berisi penuh buku yang tergenggam
erat ditangannya jatuh berantakan dan basah. Seketika kemarahan menguasainya.
Ingin berteriak sekuat mungkin pada si pelaku yang dengan sigap segera
mengemasi buku-bukunya yang sebahagian besar sudah hancur berantakan. Tapi
teriakannya tak pernah sampai. Lelaki dengan tinggi hampir mencapai 180 cm
dengan postur sempurna, berkulit sawo matang dengan mata gelap menawan itu menatapnya
dengan penuh penyesalan.
“Maaf Mbak. Saya tadi buru-buru.” ucapnya sambil menyerahkan kantong buku Cintya tadi.
Masih dengan tatapan kekaguman, Cintya kehilangan kata-kata untuk diutarakan. Bahkan ia sendiri tidak menyadari bahwa saat itu mereka berdua tengah berdiri di bawah guyuran hujan yang semakin menjadi. Tangan kokoh Bagas mencengkram lengannya, mengajaknya berteduh di halte tujuannya tadi.
“Sekali lagi saya minta maaf Mbak. Kalau boleh di cek dulu bukunya. Yang rusak akan saya ganti.” tambah Bagas lagi berusaha untuk membuat keadaan membaik.
Cintya menatap sekantong buku yang ada ditangannya, ia memilih tersenyum dan berkata, “Nggak apa-apa Mas. Ini kayaknya masih bisa dibaca kok.” jawabnya sembari tersenyum getir.
Getir karena ia sendiri tidak yakin dengan jawabannya. Bagas kemudian memberikannya tumpangan sebagai bentuk permohonan maaf atas ketidaksengajaan yang membuatnya terlihat seperti orang yang akan dijatuhi hukuman pancung. Namun dengan sopan Cintya menolaknya. Selain karena mereka memang baru saja berkenalan, jantungnya yang tak mau berdetak normal membuat Cintya ragu akan baik-baik saja dalam perjalanan pulangnya nanti bersama Bagas. Maka berpisahlah mereka sore itu. Jauh di dalam hatinya, Cintya berharap akan dipertemukan kembali dengan lelaki tampan, baik, memikat, bertanggung jawab dengan senyum sempurna milik Bagas.
“Maaf Mbak. Saya tadi buru-buru.” ucapnya sambil menyerahkan kantong buku Cintya tadi.
Masih dengan tatapan kekaguman, Cintya kehilangan kata-kata untuk diutarakan. Bahkan ia sendiri tidak menyadari bahwa saat itu mereka berdua tengah berdiri di bawah guyuran hujan yang semakin menjadi. Tangan kokoh Bagas mencengkram lengannya, mengajaknya berteduh di halte tujuannya tadi.
“Sekali lagi saya minta maaf Mbak. Kalau boleh di cek dulu bukunya. Yang rusak akan saya ganti.” tambah Bagas lagi berusaha untuk membuat keadaan membaik.
Cintya menatap sekantong buku yang ada ditangannya, ia memilih tersenyum dan berkata, “Nggak apa-apa Mas. Ini kayaknya masih bisa dibaca kok.” jawabnya sembari tersenyum getir.
Getir karena ia sendiri tidak yakin dengan jawabannya. Bagas kemudian memberikannya tumpangan sebagai bentuk permohonan maaf atas ketidaksengajaan yang membuatnya terlihat seperti orang yang akan dijatuhi hukuman pancung. Namun dengan sopan Cintya menolaknya. Selain karena mereka memang baru saja berkenalan, jantungnya yang tak mau berdetak normal membuat Cintya ragu akan baik-baik saja dalam perjalanan pulangnya nanti bersama Bagas. Maka berpisahlah mereka sore itu. Jauh di dalam hatinya, Cintya berharap akan dipertemukan kembali dengan lelaki tampan, baik, memikat, bertanggung jawab dengan senyum sempurna milik Bagas.
Cintya meletakkan buku tersebut dipangkuannya. Diteguknya
coklat panas tadi dua kali. Tangannya menyusuri jendela besar berkaca tebal
didepannya. Dia mulai mengukir sebuah nama, Bagaskara. Pikirannya melayang
kembali pada kisah berikutnya. Masih bersama hujan.
“Aku pikir kamu masih kuliah lo.” ujar Bagas dari kursi
depan mercedes hitam yang setengah jam lalu menjemput Cintya dikantornya,
“Ternyata cuma beda dua tahun.” tambahnya lagi sembari memamerkan deretan gigi
putihnya yang rapi dan bersih.
Senyumnya masih memikat seperti pertama kali mereka bertemu. “Iya.” jawab Cintya singkat. Dia seakan kehilangan kosakata dan kemampuan untuk berbicara banyak hal bila berhadapan dengan lelaki ini. Padahal di lingkungan kantor dan sahabat-sahabatnya, Cintya dikenal sebagai pribadi heboh yang tak pernah bisa diam. Pagi itu, Naomi, rekan satu divisinya memang sudah mengatur jadwal pertemuan antara perusahaan mereka dengan perusahaan asing yang juga sedang berkembang di Kota Jakarta. Sesuai dengan perencanaan program dan kegiatan tahun ini, kedua perusahaan tersebut akan berkolaborasi dan bekerja sama dalam mengembangkan sebuah proyek. Dan takdir kemudian mempertemukan Cintya dan Bagas sebagai wakil dari perusahaan mereka masing-masing. Setelah selesai membahas tentang proyek dalam rapat yang menghabiskan waktu berjam-jam lamanya, Bagas dan beberapa orang rekan yang lain mengajak Cintya untuk makan malam di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota mereka. Rasa lapar dan lelah luar biasa membuat Cintya segera mengangguk pada tawaran pertama. Lagipula ia berharap kesempatan ini bisa menjadi sebuah peluang untuk bisa mengenal Bagas lebih dekat lagi. Malam itu hujan turun dengan deras. Rasa lelah luar biasa yang ia rasakan, sekali lagi membuat Cintya tidak menolak ketika Bagas mengajaknya berangkat dengan mobil yang sama. Maka disitulah kini ia berada, persis di kursi belakang mobil Bagas. Kebetulan yang menjadi driver mereka malam itu adalah rekan kerja sekaligus sahabat Bagas sendiri, Aryo. Sementara ajakan Cintya pada Naomi agar menemaninya malam itu ditolak mentah-mentah oleh temannya tersebut karena ia juga sudah punya janji makan malam dengan kekasihnya. Bagas dan Aryo terlibat pembicaraan seru tanpa sedikitpun sadar akan keberadaannya. Maka ia mulai menuliskan namanya di kaca mobil yang sedikit buram karena Aryo sengaja mengecilkan volume air conditioner mobil tersebut. Cintya mulai menuliskan namanya, menggambar kartun-kartun lucu yang terlintas begitu saja dipikirannya dan tanpa ia sadari, Bagas diam-diam memperhatikan kelakuannya sambil tersenyum kecil. Malam itu mereka menghabiskan malam dengan menceritakan banyak hal, walaupun sebahagian besar pembicaraan lebih mengarah pada prospek proyek mereka kedepannya. Malam itu juga Bagas dan Aryo mengantarnya ke apartemen.
Senyumnya masih memikat seperti pertama kali mereka bertemu. “Iya.” jawab Cintya singkat. Dia seakan kehilangan kosakata dan kemampuan untuk berbicara banyak hal bila berhadapan dengan lelaki ini. Padahal di lingkungan kantor dan sahabat-sahabatnya, Cintya dikenal sebagai pribadi heboh yang tak pernah bisa diam. Pagi itu, Naomi, rekan satu divisinya memang sudah mengatur jadwal pertemuan antara perusahaan mereka dengan perusahaan asing yang juga sedang berkembang di Kota Jakarta. Sesuai dengan perencanaan program dan kegiatan tahun ini, kedua perusahaan tersebut akan berkolaborasi dan bekerja sama dalam mengembangkan sebuah proyek. Dan takdir kemudian mempertemukan Cintya dan Bagas sebagai wakil dari perusahaan mereka masing-masing. Setelah selesai membahas tentang proyek dalam rapat yang menghabiskan waktu berjam-jam lamanya, Bagas dan beberapa orang rekan yang lain mengajak Cintya untuk makan malam di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota mereka. Rasa lapar dan lelah luar biasa membuat Cintya segera mengangguk pada tawaran pertama. Lagipula ia berharap kesempatan ini bisa menjadi sebuah peluang untuk bisa mengenal Bagas lebih dekat lagi. Malam itu hujan turun dengan deras. Rasa lelah luar biasa yang ia rasakan, sekali lagi membuat Cintya tidak menolak ketika Bagas mengajaknya berangkat dengan mobil yang sama. Maka disitulah kini ia berada, persis di kursi belakang mobil Bagas. Kebetulan yang menjadi driver mereka malam itu adalah rekan kerja sekaligus sahabat Bagas sendiri, Aryo. Sementara ajakan Cintya pada Naomi agar menemaninya malam itu ditolak mentah-mentah oleh temannya tersebut karena ia juga sudah punya janji makan malam dengan kekasihnya. Bagas dan Aryo terlibat pembicaraan seru tanpa sedikitpun sadar akan keberadaannya. Maka ia mulai menuliskan namanya di kaca mobil yang sedikit buram karena Aryo sengaja mengecilkan volume air conditioner mobil tersebut. Cintya mulai menuliskan namanya, menggambar kartun-kartun lucu yang terlintas begitu saja dipikirannya dan tanpa ia sadari, Bagas diam-diam memperhatikan kelakuannya sambil tersenyum kecil. Malam itu mereka menghabiskan malam dengan menceritakan banyak hal, walaupun sebahagian besar pembicaraan lebih mengarah pada prospek proyek mereka kedepannya. Malam itu juga Bagas dan Aryo mengantarnya ke apartemen.
Ting
Tong. Ting Tong. Ting Tong. Bunyi
bel membuyarkan lamunannya. Cintya bangun dari sofa dan dengan malas menyeret
langkahnya ke pintu masuk. Begitu daun pintu terbuka, ia melihat seorang lelaki
tua yang sudah sangat dikenalnya, Pak Burhan. “Ini Mbak Tia. Ada titipan dari
ibu. Kemaren malam Ibu liat Mbak Tia pulangnya sudah larut. Pasti belum
sarapan.” kata Pak Burhan sambil menyerahkan sebuah rantang makanan. Pak Burhan
dan istrinya adalah tetangga Cintya yang sudah dianggapnya seperti orangtuanya
sendiri. Cintya memang tinggal jauh dari keluarganya. Ayahnya sekarang berada
di Malaysia, sementara Ibunya yang sudah bercerai dengan ayahnya sejak Cintya
berumur 7 tahun saat ini berdomisili di Kota Padang. Sementara satu-satunya
adik yang ia miliki, tengah menyelesaikan pendidikannya di Florida, Amerika
Serikat. Cintya memang berasal dari keluarga broken home. Kegagalan rumah tangga kedua orangtuanya membuat
Cintya tumbuh menjadi gadis yang kesepian dan selalu mendambakan kasih sayang.
Hal itu pula lah yang akhirnya membuat ia dekat dengan Bapak Burhan dan
istrinya. “Bapak mau jalan sama Ibu. Mau nyari buah dulu. Kamu mau ikut?” tanya
Pak Burhan kemudian. “Nggak Pak. Aku mau istirahat aja. Tiduran.” jawab Cintya
yang langsung dibalas anggukan oleh orang tua tadi. Cintya kembali masuk
kekamarnya. Sambil menenteng rantang makanan tadi, pikirannya kembali pada
Bagas. Bahkan kerinduannya meluap hanya dengan melihat sebuah rantang.
Mumpung
masih panas, sup ayam buatan Bu Burhan sepertinya bisa jadi makan malam yang
pas untuk Bagas. Malam itu
Cintya memang baru saja diantarkan makan malam oleh Bu Burhan. Namun pesta
ulang tahun Naomi sepulang dari kantor tadi, sudah membuat perutnya benar-benar
kenyang. Seketika ia teringat Bagas dan pekerjaannya yang menumpuk. Tadi
sebelum pulang, Cintya sempat menghubunginya lewat telepon genggam dan ia
mendapat kabar bahwa Bagas mungkin saja akan menginap dikantornya malam ini.
Setelah mandi dan berdandan secantik yang Bagas suka, Cintya melangkahkan
kakinya ke kantor Bagas malam itu dengan riang gembira. Cintya yang hari itu
bisa pulang sore merasa bahwa ini adalah kesempatan langka, menemui Bagas yang
masih sibuk bekerja, membawakan malam malam kejutan khusus untuknya dan
menyediakan waktu sebanyak mungkin yang Bagas butuhkan. Ya. Setidaknya hanya
untuk malam itu saja. Cintya menekan tombol lift di lantai yang ia yakini
adalah tempat dimana Bagas sedang sibuk dengan tugasnya. Lift terbuka dan Cintya
harus menahan napas agar degup jantungnya tidak sampai ke seberang sana. Jauh
dari tempatnya kini berada, Bagas sedang duduk bersama seorang perempuan muda,
cantik dan tampak sedikit agresif. Mata perempuan itu tak henti-hentinya
memandang wajah tampan kekasihnya. Hal itu membuat perut Cintya terasa
bergolak. Ada sesuatu didalam tubuhnya yang ingin meluap. Kakinya membeku,
lidahnya kelu. Ia tak sanggup bergerak dan berkata apalagi ketika tangan Bagas
mulai menyentuh anak-anak rambut si perempuan muda. Matanya mulai memanas.
Jantungnya berdegup sangat cepat. Tangannya mulai lemah dan ia tak bisa menahan
lebih lama lagi ketika rantang yang sedang ia genggam jatuh. Suara rantang yang
beradu akting dengan lantai menggema di seluruh ruangan. Puluhan mata memandangnya.
Tak terkecuali kedua mata Bagas, mata yang padanya Cintya jatuh cinta bahkan
hingga detik ini. Bagas menghambur kearahnya. Begitu juga dengan perempuan muda
cantik yang tampak sangat terkejut. Setelah itu Cintya tidak lagi tahu apa yang
berlaku disana, dibalik yang tertutup rapat, jauh sebelum Bagas sampai
didekatnya.
Cintya menghapus airmata yang mengalir sehebat hujan di luar
jendela. Tanpa ia sadari, tangannya tengah memeluk rantang berisi bubur ayam
yang dengan penuh kasih dimasak oleh Bu Burhan untuknya. Cintya memandang sendu
keluar jendela. Apakah ada sebuah
penelitian yang berhasil membuktikan bahwa hujan berbanding lurus dengan
perasaan seseorang? tanyanya membatin. Matanya menatap hujan yang masih
bersuka ria. Pikirannya kembali menerawang.
Kamu
nggak bisa main hilang kayak gini Tia. Ada banyak hal yang harus aku jelaskan
sebelum semuanya kamu nilai dari sudut pandangmu sendiri. Aku memang salah.
Maafkan.
Pesan terakhir yang Cintya terima dari Bagas setelah hampir
selama satu bulan penuh sejak kejadian memiriskan itu. Sudah puluhan, mungkin
ratusan kali Bagas mencoba menghubunginya, namun Cintya sudah kehilangan rasa
percaya. Walau cinta itu masih melekat kuat dihatinya, kata-kata maaf dari
Bagas seolah menyiratkan hubungannya dengan perempuan muda cantik itu bukanlah
hubungan biasa. Satu alasan Cintya menolak semua permintaan Bagas adalah
hatinya sendiri yang belum siap untuk tersakiti lebih dalam lagi. Beberapa kali
pula Bagas mencoba datang langsung ke apartemennya, tapi Cintya tetap teguh
memegang keputusannya untuk tidak lagi menemui Bagas. Ia belum siap dan tak
pernah tahu kapan akan bisa menyiapkan hatinya.
“Aku dapat bonus dari perusahaan. Mau nggak ikut aku
jalan-jalan ke Lombok?” tanya Bagas suatu malam, tengah malam tepatnya karena
jam dinding di kamar Cintya sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.
Malam itu Cintya baru saja sampai di apartemen setelah selesai meeting dikantornya, begitu pula halnya dengan Bagas. Bahkan parahnya, Bagas masih dalam perjalanan pulang. “Oya? Pengen banget Gas. Tapiii..gimana caranya ijin dari kantor?” suara Cintya tiba-tiba berubah memelas karena ingat dengan tumpukan pekerjaan yang tak mungkin ia tinggalkan begitu saja.
Bagas tertawa diseberang sana, “Iya. Aku ingat kok sama kerjaan kamu yang segunung itu.” ucapnya masih diselingi tawa, “Kamu nyusul pas weekend aja bisa kan?” tawarnya lagi.
Dan demi tercapainya planning mereka malam itu, Cintya bekerja mati-matian selama lima hari agar surat ijin yang ia layangkan pada atasannya bisa dipenuhi. Setiap malam ia pulang hanya untuk berganti pakaian dan kembali lagi ke kantor, sementara Bagas sudah terlebih dahulu menikmati liburannya bersama Aryo dan teman-temannya yang lain. Sabtu pagi berikutnya, dengan mata merah dan rasa kantuk luar biasa, Cintya terbang dengan pesawat pertama menuju Denpasar. Dan ketika matanya menemukan mata teduh menenangkan milik Bagas, semua rasa lelah yang ia bawa dari Jakarta seakan menguap begitu saja. Setelah menghabiskan beberapa jam di Denpasar, mereka melaju ke tanah Lombok. Cintya benar-benar menikmati liburan super singkat yang ia lalui bersama Bagas. Malam terakhir sebelum kepulangannya ke Jakarta, langit Lombok menghadiahkan hujan. Cintya tengah menikmati angin malam di daerah pesisir pantai. Rencana mereka menikmati langit malam berbintang hancur berantakan karena hujan yang datang tanpa diduga. Mereka memutuskan untuk bernaung di sebuah pondokan yang dijadikan sebuah kedai minuman oleh seorang ibu paruh baya. Setelah memesan minuman untuk menghangatkan badan, Cintya dan Bagas memulai kebiasaan mereka jika sudah bertemu satu sama lain. Lalu mengalirlah cerita-cerita yang tak usai mereka perbincangkan melalui sambungan telepon. Hujan masih menemani mereka saat Bagas berkata, “Tya. Apapun yang terjadi nanti, jika Tuhan tidak menginginkan kita bersatu, kamu harus percaya bahwa aku mencintaimu dengan cinta sesungguhnya. Mungkin apa yang kulakukan sekarang belum ada apa-apanya dibandingkan dengan kesetiaan yang selalu kamu berikan. Jika nanti aku salah, kamu jangan pernah pergi. Kamu lah satu-satunya orang yang akan mengingatkan kesalahan-kesalahan itu. Jika tidak, maka aku akan tetap ada dalam lubang kelam tanpa pernah tau bahwa ada cahaya terang yang tengah menungguku di luar sana.” Cintya hanya bisa mengangguk kala itu. Ia berjanji akan menjadi seperti yang Bagas mau. Ia percaya dan yakin bahwa Bagas lah laki-laki yang dipersiapkan Tuhan untuknya nanti.
Malam itu Cintya baru saja sampai di apartemen setelah selesai meeting dikantornya, begitu pula halnya dengan Bagas. Bahkan parahnya, Bagas masih dalam perjalanan pulang. “Oya? Pengen banget Gas. Tapiii..gimana caranya ijin dari kantor?” suara Cintya tiba-tiba berubah memelas karena ingat dengan tumpukan pekerjaan yang tak mungkin ia tinggalkan begitu saja.
Bagas tertawa diseberang sana, “Iya. Aku ingat kok sama kerjaan kamu yang segunung itu.” ucapnya masih diselingi tawa, “Kamu nyusul pas weekend aja bisa kan?” tawarnya lagi.
Dan demi tercapainya planning mereka malam itu, Cintya bekerja mati-matian selama lima hari agar surat ijin yang ia layangkan pada atasannya bisa dipenuhi. Setiap malam ia pulang hanya untuk berganti pakaian dan kembali lagi ke kantor, sementara Bagas sudah terlebih dahulu menikmati liburannya bersama Aryo dan teman-temannya yang lain. Sabtu pagi berikutnya, dengan mata merah dan rasa kantuk luar biasa, Cintya terbang dengan pesawat pertama menuju Denpasar. Dan ketika matanya menemukan mata teduh menenangkan milik Bagas, semua rasa lelah yang ia bawa dari Jakarta seakan menguap begitu saja. Setelah menghabiskan beberapa jam di Denpasar, mereka melaju ke tanah Lombok. Cintya benar-benar menikmati liburan super singkat yang ia lalui bersama Bagas. Malam terakhir sebelum kepulangannya ke Jakarta, langit Lombok menghadiahkan hujan. Cintya tengah menikmati angin malam di daerah pesisir pantai. Rencana mereka menikmati langit malam berbintang hancur berantakan karena hujan yang datang tanpa diduga. Mereka memutuskan untuk bernaung di sebuah pondokan yang dijadikan sebuah kedai minuman oleh seorang ibu paruh baya. Setelah memesan minuman untuk menghangatkan badan, Cintya dan Bagas memulai kebiasaan mereka jika sudah bertemu satu sama lain. Lalu mengalirlah cerita-cerita yang tak usai mereka perbincangkan melalui sambungan telepon. Hujan masih menemani mereka saat Bagas berkata, “Tya. Apapun yang terjadi nanti, jika Tuhan tidak menginginkan kita bersatu, kamu harus percaya bahwa aku mencintaimu dengan cinta sesungguhnya. Mungkin apa yang kulakukan sekarang belum ada apa-apanya dibandingkan dengan kesetiaan yang selalu kamu berikan. Jika nanti aku salah, kamu jangan pernah pergi. Kamu lah satu-satunya orang yang akan mengingatkan kesalahan-kesalahan itu. Jika tidak, maka aku akan tetap ada dalam lubang kelam tanpa pernah tau bahwa ada cahaya terang yang tengah menungguku di luar sana.” Cintya hanya bisa mengangguk kala itu. Ia berjanji akan menjadi seperti yang Bagas mau. Ia percaya dan yakin bahwa Bagas lah laki-laki yang dipersiapkan Tuhan untuknya nanti.
Gelegar petir di luar sana membawa Cintya kembali dari masa
lalu. Ia lupa pada apa yang pernah diucapkan Bagas padanya dulu ketika mereka
menghabiskan malam di salah satu pantai Lombok. Cintya memandang sebuah
gedung-gedung tinggi di luar sana dari jendela kamarnya. Di salah satu gedung
itu ada Bagas, lelaki yang sudah ia diamkan selama hampir satu bulan lamanya.
Lelaki yang tak lagi ia acuhkan walaupun hatinya tak menginginkan itu semua.
Airmatanya kembali menetes. Bukankah kelakuan yang seperti ini hanya membuatnya
menjadi seorang yang munafik? Berbohong pada dirinya sendiri.
Tangannya menyambar handphone yang tergeletak di sebelah
notebook yang masih setengah terbuka, hasil rutinitas kantor yang ia selesaikan
tadi malam di sofa ini. Dengan lincah jemarinya mencari nama Bagas dan klik.
Telpon itu terhubung.
“Tya.” ucap Bagas lirih.
“Gas. Aku pengen ketemu. Bisa?” tanya Cintya langsung tanpa
basa-basi lagi.
“Bisa. Aku juga pengen ngomong sesuatu sama kamu. Maafin aku
Tya.” jawab Bagas lagi.
“Maaf-maafnya nanti aja ya Gas. Aku tunggu kamu di Cafe Coffe
yang waktu itu. Satu jam lagi aku udah disana.” jelas Cintya lalu segera memutuskan
hubungan teleponnya tanpa mendengarkan keputusan Bagas untuk datang atau tidak.
Detik berikutnya Cintya langsung disibukkan oleh kegiatan
pilah-pilih baju yang akan ia kenakan nanti. Rasanya seperti kencan pertama
dulu. Cintya yang dihadapkan pada lelaki super modis seperti Bagas selalu
merasa harus tampil cantik dimana pun ia berada. Selain tampan, bagas memang
selalu tampil sempurna. Pilihan pakaian dan aksesoris yang ia kenakan tidak
pernah membuatnya terlihat buruk dimata setiap orang yang memandangnya. Setelah
membuat lemari pakaiannya porak poranda, Cintya menemukan sebuah terusan
berwarna soft peach dengan garis leher berbentuk V. Terusan selutut itu
terlihat cocok dengan kulit putihnya. Cintya memakai stiletto untuk menunjang
penampilannya. Setelah memoles wajahnya dengan make up minimalis yang disukai Bagas, ia melangkah anggun dan
berharap bahwa keputusannya untuk memaafkan Bagas akan membuat hubungan mereka
kembali lagi seperti sedia kala.
Hujan masih deras. Namun kali ini tak menyurutkan langkah
Cintya untuk bertemu dengan lelaki yang sudah membuat rindunya sampai ke
ubun-ubun. Setelah memantapkan hatinya untuk memaafkan apapun kesalahan Bagas,
sesuatu yang akan diceritakannya nanti, Cintya turun dari mobilnya dengan
sebuah payung hitam yang melindunginya dari tetes-tetes hujan yang semakin
menggila. Lelaki itu tengah duduk di sebuah kursi yang sengaja ia pilih berada
persis di samping jendela cafe. Matanya menatap air yang mengalir deras dari
langit. Lelaki berhidung bangir dengan gaya macho dan penuh kharisma
sepertinya, membuat Cintya dengan mudah menemukan Bagas diantara kerumunan
banyak orang di cafe ini. Bagas tak menyadari kehadirannya di cafe itu, bahkan
Cintya sangat yakin bahwa ia sudah cukup banyak menyemprotkan parfum favorit
Bagas. “Mungkin pikirannya sedang tak ada
ditempat ini.” ucap Cintya membatin.
“Sudah lama Gas?” sapa Cintya sedikit tergugup karena sudah
lama tak bertatapan langsung dengan kekasih hatinya ini.
“Oh kamu. Hmm..belum..belum lama kok Tya.” jawab Bagas
sedikit gugup, “Duduk.” tambahnya lagi sembari menggeser kursi untuk Cintya.
Perlakuan kecil yang membuat wanita mana saja akan merasa tersanjung dan
dilindungi.
“Gas..aku pengen minta maaf sama kamu. Aku tau kalo..”
“Nggak Tya. Bukan kamu kok yang salah. Aku yang seharusnya
jujur sedari awal.” ujar Bagas seketika tanpa memberikan kesempatan bagi Cintya
untuk menjelaskan apa yang ia rasakan.
Jujur?
Kejujuran apa yang sedang dibicarakan Bagas saat ini? Seharusnya jujur? Jadi
selama ini dia memang sudah berbohong? Apa yang Bagas sembunyikan? Sedari dulu?
Dari kapan ia hidup dengan lelaki pembohong seperti ini?
Segala macam pertanyaan mulai berkecamuk di benak Cintya. Ia memutuskan untuk tidak berbicara apapun lagi sebelum Bagas menjelaskan maksud perkataannya tadi.
Segala macam pertanyaan mulai berkecamuk di benak Cintya. Ia memutuskan untuk tidak berbicara apapun lagi sebelum Bagas menjelaskan maksud perkataannya tadi.
“Ada satu hal yang tak pernah kamu ketahui dari awal
pertemuan kita. Aku minta maaf banget Tya. Aku tahu kesalahan ini memang tak
akan mudah untuk kamu maafkan. Aku mohon kamu mengerti.” ujar Bagas panjang
lebar sambil menatap kedua mata Cintya yang masih bingung.
Cintya masih diam, menunggu kalimat berikutnya.
“Aku memang mencintai seseorang dari dulu. Dan maafkan aku sudah menjadikanmu tameng untuk menutupi perasaan dan hubungan kami.”
Bagas menyudahi kalimatnya dengan menunduk. Ia tak lagi memiliki keberanian untuk bertatapan dengan Cintya. Sementara Cintya tampak meremas baju yang ia pakai dengan kedua tangannya. Matanya memerah. Perlahan tetesan airmata menganak sungai tanpa bisa ia kendalikan. Seandainya ia mampu, mungkin Cintya sudah melayangkan tamparan ke wajah tampan Bagas. Namun logikanya masih bisa mencerna dengan baik walaupun hatinya sudah hancur berkeping-keping.
Cintya masih diam, menunggu kalimat berikutnya.
“Aku memang mencintai seseorang dari dulu. Dan maafkan aku sudah menjadikanmu tameng untuk menutupi perasaan dan hubungan kami.”
Bagas menyudahi kalimatnya dengan menunduk. Ia tak lagi memiliki keberanian untuk bertatapan dengan Cintya. Sementara Cintya tampak meremas baju yang ia pakai dengan kedua tangannya. Matanya memerah. Perlahan tetesan airmata menganak sungai tanpa bisa ia kendalikan. Seandainya ia mampu, mungkin Cintya sudah melayangkan tamparan ke wajah tampan Bagas. Namun logikanya masih bisa mencerna dengan baik walaupun hatinya sudah hancur berkeping-keping.
“Aku seharusnya tidak datang ke tempat ini Gas.” ucap Cintya
lirih.
“Perempuan itu..aku tahu..dia..kalian..” Cintya merasa kesulitan meneruskan kata-katanya. Sulit untuk menerima pengakuan Bagas dengan akal sehat.
“Mungkin sebaiknya aku pergi.” ucap Cintya sambil berdiri dari kursinya.
Bagas juga ikut berdiri dan menahan pergelangan tangan Cintya, “Bukan dia Tya. Tapi..tapi orang itu adalah Aryo.” ucap Bagas lagi.
Cintya terhenyak dan menatap lurus ke mata Bagas yang berusaha mengalihkan pandangan darinya. Ia melepaskan cengkeraman tangan Bagas perlahan dan duduk kembali kekursinya dengan muka pucat pasi. Cintya baru saja mendengar sebuah berita yang membuatnya sulit untuk bernapas.
“Perempuan itu..aku tahu..dia..kalian..” Cintya merasa kesulitan meneruskan kata-katanya. Sulit untuk menerima pengakuan Bagas dengan akal sehat.
“Mungkin sebaiknya aku pergi.” ucap Cintya sambil berdiri dari kursinya.
Bagas juga ikut berdiri dan menahan pergelangan tangan Cintya, “Bukan dia Tya. Tapi..tapi orang itu adalah Aryo.” ucap Bagas lagi.
Cintya terhenyak dan menatap lurus ke mata Bagas yang berusaha mengalihkan pandangan darinya. Ia melepaskan cengkeraman tangan Bagas perlahan dan duduk kembali kekursinya dengan muka pucat pasi. Cintya baru saja mendengar sebuah berita yang membuatnya sulit untuk bernapas.
Aryo?
Maksudnya Aryo sahabat Bagas yang sedari dulu ia kenal? Jadi Bagas?
Cintya menangkupkan kedua telapak tangan kewajahnya.
Ia tidak menyangka cerita cinta mereka akan berakhir dengan cara tragis seperti
ini. Tangannya bergetar hebat, begitu pun hatinya. Bagas memilih mencintai
seorang lelaki dan selama ini hanya menjadikannya alasan untuk menutupi
kebusukannya. Ia pandang sekali lagi lelaki yang beberapa tahun ini mengisi
hatinya dengan cinta. Semakin lama pandangannya semakin mengabur. Lalu hitam,
kelam. Airmata masih menetes dari kedua matanya. Semua berakhir. Ya. Ia kalah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)