Wajahnya
terlihat sangat kuyu malam itu. Kemeja lusuh yang kami beli beberapa tahun yang
lalu basah oleh keringat. Namun senyum yang sama tetap bertahan disana, senyum
yang sedari dulu ia persembahkan untukku. Aku yang tengah menyusui puteri kecil
kami, berdiri menyongsongnya, mencium tangannya dan membawanya ke keningku.
Kening yang kemudian ia kecup dengan penuh kasih sayang sebelum mencium mesra
Khaila, buah hati kami.
“Udah
makan Ummi?” tanyanya sembari berganti pakaian.
Mataku
terbeliak mendapati lebam di bahu kirinya. “Bahu Abi kenapa?” tanyaku tanpa
terlebih dulu menjawab pertanyaannya.
Ia
berbalik menatapku dan kembali tersenyum, “Tadi ketimpa balok Mi. Nanti Abi
olesin balsem aja. Aman kok. Ummi masak apa malam ini? Abi lapar.” jawabnya
panjang lebar. Aku tahu ia tengah mengalihkan pembicaraan. Kebiasaan suamiku
yang tak pernah mau membebaniku walau hanya karena masalah yang ia anggap
sepele.
Aku
ikut tersenyum, menyerahkan Khaila yang sudah kenyang kepangkuannya dan
menyiapkan makan malam untuk suami tangguhku. Makan malam sederhana. Sepiring
nasi putih dengan lauk tempe, sedikit sambel (karena ia tak suka pedas) dan
sayur bayam rebus favoritnya. Aku menyerahkan makan malam minimalis yang ia
terima dengan penuh suka cita. Ia makan dengan lahap, sementara aku menontonnya
dengan mata berlinang.
Sehat terus ya Bi.
Maafkan Ummi jika belum bisa membantu. Laraku
dalam hati.
***
Imran
Wahyudi. Lelaki keturunan Tionghoa yang berkomitmen untuk menikahiku secara
Islam dengan resiko meninggalkan hidupnya yang penuh kemewahan. Mas Imran
memang putera sulung seorang pengusaha terkenal di kota kami, Surabaya.
Kenekatannya untuk mempersunting perempuan biasa sepertiku mendatangkan amarah
dari seluruh keluarga besarnya. Belum lagi keinginannya untuk memeluk agama yang
sama denganku. Puncaknya, ia diusir dari rumah, fasilitas hidup dari
orangtuanya disita dan sekarang, ia hidup melarat bersamaku.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup kami, Mas Imran bekerja sebagai kuli bangunan. Pilihan
terakhir ketika ijazah perguruan tinggi yang ia miliki tidak diterima oleh satu
perusahaan pun. Ia yang dahulunya hidup serba ada, harus membanting tulang
sepanjang hari. Di awal-awal pekerjaannya, tak jarang Mas Imran jatuh sakit.
Namun ia tak pernah sedikit pun mengeluh.
Aku
yang sering tidak tahan melihat kesakitannya, sering menangis dalam sujudku.
Bahkan pernah menyesali keputusanku untuk menikah dengannya.
“Jika
menyesal, berarti Ummi nggak cinta dong sama Abi?” ucapnya suatu hari karena
tangisanku yang tak kunjung berhenti.
“Cinta
Abi, tentu saja. Ummi hanya tidak sanggup melihat Abi seperti ini. Andai Ummi
bisa bantu, Ummi akan lakukan apa saja.” jawabku sambil memeluk tubuhnya yang
dulu berkulit putih bersih, sekarang berganti hitam legam karena terbakar
matahari.
Ia
mengusap kepalaku. “Kalau cinta, Ummi harus jadi penguat untuk Abi. Kalau Ummi
selalu cinta, Abi akan kuat menjalani ini semua. Abi hanya ingin Ummi dan
Khaila berkecukupan.”
“Maafin
Ummi..”
“Sudah..jangan
minta maaf terus. Lagian ini semua juga Abi lakukan demi tanggung jawab Abi
sebagai suami dan ayah yang baik. Ummi mau lihat Abi mendekam di neraka sana
karena menelantarkan anak istri? Nggak kan?” tanyanya lagi sembari tersenyum
memamerkan gigi-giginya.
Aku
menyuruk lebih dalam ke pelukannya. Ah. Andai aku punya kekuatan lebih. Semua
yang ku punya kan kutransferkan untuknya.
***
“Kalau
Bu Aida bisa, hari ini saya tunggu di rumah.” Bu Hasan, pemilik rumah kontrakan
kami baru saja datang menagih uang bulanan. Beliau orang yang baik dan mengerti
dengan kehidupan keluarga kami yang sedang sulit. Bahkan tidak sedikitpun
wajahnya menunjukkan kemarahan ketika sekali lagi aku terlambat membayar
kontrakan.
Aku
baru saja meminta kemurahannya untuk memberikan pekerjaan untukku. Kuli cuci.
Hanya itu kepandaian yang kumiliki. Aku sudah bertekad untuk membantu suamiku.
Sebagai perempuan yang berperasaan, aku tidak bisa berdiam diri saja menunggu
nafkah yang bahkan tidak mampu mencukup kebutuhan hidup kami setiap harinya.
Kugendong
Khaila. Dengan berjalan kaki, aku menyusuri jalan berkerikil menuju rumah Bu
Hasan. Setibanya disana, kutidurkan Khaila di sebuah dipan bambu yang terletak
di bagian belakang rumah, bersebelahan dengan sumur, kantor baruku. Khaila yang
tidak pernah rewel membuatku nyaman dalam menyelesaikan pekerjaan. Di umur sekecil
ini ia sudah mampu memahami kesulitan orangtuanya.
“Kalau
cuciannya udah beres, jangan lupa makan dulu ya Bu Aida. Kebetulan tadi saya
bikin nasi goreng.” teriak Bu Hasan dari dalam rumah.
“Iya
Bu.” jawabku yang tengah sibuk menjemurkan pakaian-pakaian itu.
“Kardus-kardusnya
taruh di dapur saja Pak Imran. Di depan sudah penuh.” teriakan Bu Hasan
berikutnya menghentikan kegiatannya. Deg.
Dadaku berdegup kencang mendengar nama itu diucapkan. Bukankah itu nama
suamiku? Tapi apa yang sedang dikerjakannya di rumah ini? Bukankah tadi pagi
Mas Imran pamit untuk bekerja di tempat biasa?
Kubereskan
pekerjaanku secepatnya, kuambil Khaila yang tengah tertidur lelap dan
kulangkahkan kakiku ke dalam rumah Bu Hasan dengan kaki bergetar.
“Abi..”
suaraku tercekat saat melihat lelaki tangguhku tengah mengangkat puluhan dus ke
dalam dapur. Wajahnya bersimbah keringat. Badannya terbungkuk-bungkuk karena
membawa beban yang sangat berat.
“Ummi..lagi
ngapain disini?”
Aku
tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku tercekat. Mataku panas. Aku
berlari pulang dan menangis sejadi-jadinya.
Ya Allah..bagaimana
mungkin aku sanggup menatap matanya yang sudah layu seperti itu? Bahkan tadi
pagi pun hanya air putih yang mampu kuhidangkan untuk sarapannya.
Kudekap
Khaila ke dadaku. Bayi itu ikut menangis bersamaku.
***
“Abi
melakukan kesalahan besar kemaren di tempat kerja. Hadiahnya, Abi harus rela
kehilangan pekerjaan lagi. Abi pikir daripada berkeluh kesah di rumah, lebih
baik mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Khaila perlu ASI yang sehat Mi.
Dan untuk itu semua, Ummi juga harus sehat, makan makanan yang bergizi.” Mas
Imran berbicara sembari menunduk dihadapanku. Kami baru saja selesai
melaksanakan Shalat Isya berjamaah.
“Ini
Bi.” Kusodorkan beberapa lembar rupiah ke tangannya. “Istri tercinta Abi tadi
udah coba-coba kerja. Dapet segini. Buat beli peci Abi. Yang ini udah jelek.”
tambahku sambil menyambar peci kusamnya. Kudekap peci itu.
“Peci jelek bukan masalah besar Ummi. Yang penting
imannya tambah bagus. Sudah. Uangnya Ummi simpan. Dan besok, tugas utama Ummi
hanya menjaga Khaila dengan baik.” jawabnya tersenyum padaku. Kupeluk tubuhnya
sembari bersyukur pada Allah telah mempercayakan hidupku pada lelaki tangguh
sepertinya.
2 komentar:
hiks... ceritanya bikin aku ....
salam kunjungan... keren dan subhanallah ya ceritanya
salam. terimakasih sudah berkunjung. semoga karya kecil ini bisa membuka mata hati banyak orang :)
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)