Aku
kembali. Dengan beberapa cerita yang saat ini tergenggam ditanganku, terpatri
kuat dalam ingatan dan hatiku. Tak banyak memang. Tapi cukup membuatmu melepaskan
menit-menitmu demi meraba rasa yang akan kutumpahkan disini. Aku hanyalah
seorang perempuan biasa penerus tahta nasehat cinta yang diserahkan Hamka lewat
karya besarnya, Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck.
Buku
bersampul biru yang kudapat dari seorang teman pada akhirnya membuatku sadar
bahwa apa yang pernah kualami, apa yang pernah kurasakan hingga
meluluhlantakkan hidupku di waktu yang lalu, belumlah seberapa sulit dan sakit
dibandingkan kisah cinta dua anak manusia yang ditakdirkan Tuhan untuk tak
bersatu didunia-Nya yang tak mengenal arti sebuah keabadian.
Zainuddin
yang menjadi sosok utama dalam cerita ini memperlihatkan bagaimana lelah dan
sepinya perjalanan hidup yang ia punya tanpa didampingi seorang perempuan yang
telah membuatnya jatuh pada pertemuan pertama mereka di sebuah kampung kecil di
pelosok Sumatera Barat. Begitu pun sebaliknya Hayati, si perempuan yang juga
berusaha menjalani dan menghabiskan hidupnya tanpa pernah bisa menyerahkan
seluruh asanya pada lelaki yang sangat ia sayangi, Zainuddin.
Petikan
kisah cinta di tahun 1930-an yang akan sulit kita temui di era modernisasi saat
ini. Sebuah ketulusan, kesetiaan dan pengorbanan akibat merajanya kungkungan
adat yang yang sekarang mungkin saja telah menjelma menjadi sesuatu yang langka.
Cinta sejati yang pada akhirnya membawa dan memaksa mereka untuk berpisah,
selamanya. Perpisahan yang tak hanya sekedar berlalu dari pandangan mata. Namun
menempatkan mereka di dua dunia yang berlainan. Perpisahan yang sejatinya
menjadi perpisahan paling menyakitkan, KEMATIAN.
Sastra
bercerita. Hamka dengan untaian kalimat demi kalimatnya mampu membuatku
terhanyut dan hadir dalam cerita yang ia lantunkan. Walau tak mungkin bertemu
mata, bertatapan langsung dengan tokoh-tokoh dalam cerita ini, utamanya
Zainuddin dan Hayati, aku merasa hidup dalam kisah mereka, merasakan getir dan
pahitnya hidup yang harus mereka lakonkan.
Akan
kusampaikan beberapa rangkaian kata yang terunduh dalam beberapa surat yang
dikirimkan oleh Zainuddin kepada Hayati, pun sebaliknya, kata-kata yang mungkin
akan membuatmu berkaca-kaca sama sepertiku atau bahkan menjatuhkan tetes
airmata kesedihan. Kata-kata cinta yang mampu membuatku menyelami perasaan si
penulis kata hingga ke dasarnya. Perasaan mengharu-biru yang datang tatkala aku
menapaki kisah demi kisah, perjalanan demi perjalanan yang dengan sangat
sempurna dipersembahkan oleh Hamka.
ZAINUDDIN
:
“Apakah dalam masa sebulan
dua saja istana kenang-kenangan yang telah kita dirikan berdua dihancurkan oleh
angin puting beliung sehingga bekas-bekasnya sekalipun tidak akan bertemu
lagi?”
“Kadang-kadanag derajat
cintaku sudah terlalu amat naik, sehingga hanya dua yang menandingi kecintaan
itu, pertama Tuhan dan kedua mati.”
“Kaukah yang begitu kejam
mendorongkan diriku kepada lautan cinta, setelah saya berenang, kau segera
keluar, dan kau biarkan saya karam sendiriku?”
“Ingat akan dikau adalah
nyawa yang menimbulkan kekuatan ruhani dan jasmani untuk menempuh perjuangan
dalam alam ini.”
“Adalah nasibku sekarang
laksana bangkai burung kecil yang tercampak di tepi jalan sesudah ditembak
anak-anak dengan bedil angin, atau seakan-akan batu kecil yang terbuang di
halaman tidak dipedulikan orang.”
“Katakanlah agak sepatah kalimat
saja, bahwa kau masih tetap mencintaiku, meskipun ucapan itu benar atau dusta sekalipun,
cukuplah itu bagiku.”
“Lebih seratus kali nama kau
ku sebut dalam sehari! Kadang-kadang saya panggil dalam nyanyianku,
kadang-kadang dalam ratapku.”
Saya tanyai diri saya, adalah
saya berdosa kepadamu? Tidak rasanya, bahkan dosa yang lain yang kerap saya
perbuat untuk mencukupkan cintaku kepadamu.”
HAYATI
:
“Saya merasa bahwa saya
sanggup memberimu bahagia pada tiap-tiap saat hidupmu, yang tiada seorang
perempuan agaknya yang sanggup menandingi saya di dalam alam ini dalam
kesetiaan memegangnya, sebab sudah lebih dahulu digiling oleh sengsara dan
kedukaan, dipupuk dengan air mata dan penderitaan.”
“Engkau ulurkan kepadanya
tanganmu yang kuat dan kuasa, engkau tikam dia dengan keris pembalasan,
mengenai sudut jantungnya, terpancur darah dan akan tetap mengalir sampai
sekering-keringnya, mengalir bersama dengan jiwanya.”
“Dan agaknya kelak, engkaulah
yang akan terpatri dalam doaku, bila saya menghadap Tuhan di akhirat.”
“Moga-moga jika banyak benar
halangan pertemuan kita di dunia, terlapanglah pertemuan kita di akhirat,
pertemuan yang tidak akan diakhiri lagi oleh maut dan tidak dipisahkan oleh
rasam basi manusia.”
Buku
ini telah lusuh ditanganku. Akibat beberapa kali kubolak-balik demi mendapatkan
makna hidup darinya. Tak perlu ratusan halaman untuk menyampaikan pelajaran
hidup. Tak perlu cover mewah dan mencolok untuk membuatku tertarik dan hanyut
didalamnya. Buku ini dan Hamka memberikanku sebuah pelajaran berharga lewat
sebuah kesederhanaan. Berharap hal yang sama berlaku untukmu.
NB
: Sayup terdengar lantunan lagu Christina Perry berjudul A Thousand Years yang
beberapa hari ini terlalu sering menemaniku mengarungi sang waktu.
“I have died everyday waiting
for you
Darling dont be afraid
I have loved you for a
thousand years
I Love you for a thousand
more...”
Hakekatnya, cinta yang
sebenar-benarnya cinta akan mengindahkan segala yang ada.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)