Seringkali kita lupa pada
lelaki tangguh ini. Seringkali yang pertama kali kita peluk saat menangis
adalah mama, lupa bahwa papa juga menantikan kedatangan kita dengan ribuan
keluh kesah yang ingin diredamnya juga, sama seperti yang dilakukan mama untuk
kita. Seringkali yang kita temui saat tawa bahagia membuncah adalah mama,
sekali lagi lupa bahwa papa juga tengah merentangkan kedua lengannya untuk
mendapat pelukan yang sama, sama seperti yang kita berikan pada mama.
Namun jauh dari itu semua, yakinlah Pa. Sayang padamu
tak mampu menandingi apapun di dunia ini.
Bicara papa, bicara tentang
lelaki besar (alias gendut) yang ada dirumah. Wajah tambunnya membuat papa
terlihat sangat lucu. Begitulah dimataku. Dan aku yakin juga dimata mereka,
adik-adikku tercinta. Bagi kami, papa adalah sosok tegar dan kuat yang selalu
menjadi penopang. Bersama mama, papa mengajarkan kami untuk bertahan dan
berjuang menggapai mimpi, sesulit apapun rintang yang menghadang. Di rumah,
papa tak pernah ditakuti, tapi disegani dan dihormati. Tak ada yang berani
bilang “iya” kalau papa sudah memutuskan untuk berkata “tidak”. Namun
adakalanya papa memberikan dispensasi khusus pada keputusannya dengan
mempertimbangkan alasan yang diajukan tentunya, alasan yang bisa diterima
dengan akal sehat, akal sehat papa.
Dulu, saat meragukan
pilihan untuk melanjutkan pendidikan, aku pernah berkata pada papa bahwa
ketakutan mulai datang karena kami (yang notabene adalah orang biasa-biasa
saja) tak memiliki “orang atas” yang bisa diberdayagunakan untuk
“meluluskan”ku dari seluruh ujian masuk yang diselenggarakan oleh salah satu
perguruan tinggi kedinasan yang kuikuti kala itu. Jawaban papa sederhana,
sebuah jawaban yang masih terngiang hingga detik ini.
“Kita punya Allah. Dan kekuatan “orang atas” yang
mereka miliki, tak akan mampu menandingi kekuatan-Nya”
Semangatku kembali menggebu
karena dukungan papa. Tak hanya nasehat kala itu yang beliau dongengkan setiap
hari ditelingaku, namun juga tindakan nyata. Kala itu papa masih belum divonis
menderita kelainan jantung. Setiap hari, papa dengan senang hati akan
menemaniku lari pagi. Tak jarang, aku lah yang selalu menyerah kalah. Namun
dengan semangatnya yang selalu hidup, papa menghidupkan semangatku,
menghidupkan mimpiku untuk melangkah ke kehidupan yang lebih baik. Dan pada
akhirnya semua yang papa lakukan tak pernah sia-sia. Aku lulus. Aku
berkesempatan untuk mengecap pendidikan di sana.
Terimakasih Pa.
Papa juga selalu berpesan
agar aku berbaik-baik dengan hidup, berbaik-baik dengan kehidupan. Sebagai anak
sulung papa, aku diberi tanggung jawab besar untuk memberikan teladan bagi
ketiga adikku, memberikan mereka dorongan untuk bergerak maju, dorongan yang
dulu selalu diberikan papa padaku. Papa bilang. orang kecil tak berpendidikan
tinggi seperti papa juga punya cita-cita berharga, melihat kami sukses di masa
depan. Dan demi mencapai itu semua, aku akan berusaha sekuat yang ku bisa.
Dengan perjuangan yang lebih banyak, dengan usaha yang lebih gigih, dengan
mimpi yang lebih tinggi. Aku ingin kelak papa bisa tersenyum bangga.
Agustus tahun ini papa
genap berumur 52 tahun. Papa mulai menua dalam angka. Namun tak demikian
jiwanya. Papa masih seperti dulu. Masih selalu menguatkan, selalu menyemangati,
selalu mendorong, selalu memberi sanksi, selalu penuh cinta dan selalu ada
untuk kami.
We love you Pa. Selamanya.
Catatan: Papa itu punya
putra bungsu kesayangan yang selalu dijagoin dalam segala hal. Namun sayang,
jagoan papa nggak pernah mau nongol didepan kamera. Hasilnya, selalu banyak
yang nanya berapa jumlah kami bersaudara. Haha. Namanya Bang Aris. Nanti akan
ada halaman khusus untuk si bungsu. Bye :)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)