Aku,
Orestilla. Aku bukanlah orang besar yang dengan menyebut namaku saja semua
orang akan segera tahu. Aku bukan seorang motivator sukses yang bisa
menaklukkan jutaan orang hanya dengan berbicara satu atau dua patah kata saja. Aku
juga bukan seorang wanita berpengaruh yang memiliki banyak andil dalam berbagai
kegiatan dan peristiwa. Aku hanya seorang perempuan muda biasa di ambang usia
seperempat abad dengan segudang mimpi dan banyak ambisi yang membuatku selalu
membisikkan satu kata setiap kali sinar matahari mendatangiku di pagi hari,
SUKSES..!!!
Sukses
di mata perempuan muda sepertiku bukan berarti harus memiliki banyak uang,
meraih pendidikan hingga mencapai batas akhir, berkarier tanpa kenal waktu atau
mampu melakukan apapun di bawah kendaliku. Sukses bagiku adalah pencapaian satu
mimpi dari setiap target yang sebelumnya telah kucatat dalam daftar impian,
sedikit apapun pencapaian itu. Pencapaian yang pada akhirnya membuahkan
sebentuk kebahagiaan dan makna syukur tak terhingga. Namun bahagia saja tentu
tidaklah cukup. Dikatakan sukses, apabila kebahagiaan yang ku punya, khususnya
proses yang kujalani untuk merengkuh kebahagiaan tersebut, bisa menjadi
pembelajaran berharga untuk orang lain.
Dilahirkan
dari keluarga dengan papa yang hanya berprofesi sebagai seorang pegawai biasa
di lingkungan birokrasi dan mama yang mengabdikan seluruh hidupnya di rumah
demi memberikan perhatian yang terbaik untuk keluarganya, tak membuatku
mengurungkan niat untuk menjadi orang yang berhasil. Setidaknya berhasil dalam
pendidikan. Bagaimana tidak? Jaman sekarang menuntut kita untuk saling berlomba
demi menapak kehidupan yang lebih baik. Dan salah satu syarat penting yang
selalu dimunculkan ke permukaan adalah tingkat pendidikan. Dari yang berhasil
ku pantau selama ini, semakin tinggi tingkatan pendidikan seseorang akan
semakin memberikan peluang kepada yang bersangkutan untuk mendapatkan posisi
yang lebih baik dalam segala hal.
Maka
dimulailah perjuanganku saat masih duduk di bangku sekolah. Mungkin sebahagian
besar teman-temanku kala itu hanya berpikiran bahwa bangku sekolah yang sedang
mereka tempuh adalah salah satu syarat wajib yang dibebankan orangtua kepada
mereka. Lihat saja, tak sedikit dari mereka yang tidak mengikuti kegiatan
belajar mengajar, nongkrong di kantin, bahkan bolos sekolah. Mungkin saja
mereka berpikir bahwa hidup mereka yang serba ada tentu akan menjadi penyelamat
ketika mereka dewasa nanti. Mungkin juga mereka berpikir bahwa terlalu dini
untuk memikirkan masa depan yang akan mereka hadang beberapa tahun berikutnya.
Mungkin juga ada yang berpikir bahwa masa-masa sekolah tentunya harus dilewati
dengan bersenang-senang, menikmatinya dengan melakukan hal-hal menyenangkan
bersama teman-teman tanpa harus dibebani oleh pemikiran tentang masa depan yang
hanya dijatahkan untuk orang-orang dewasa, dan mereka belum termasuk ke dalam
bagian itu.
Gambaran-gambaran
tersebut sangatlah berbeda denganku yang berasal dari keluarga sederhana. Namun
kesederhanaan hidup yang diajarkan kedua orangtuaku, tak membuatku menciptakan
impian-impian sederhana. Sedari dulu aku tak memimpikan bisa melanjutkan
pendidikanku di bangku perkuliahan biasa, PTN ataupun PTS. Saat itu yang ada
dibenakku hanya satu, aku harus bisa bersekolah di sekolah kedinasan yang menggratiskan
pendidikan namun menjamin masa depan. Aku berharap bisa menggapai seluruh
mimpiku tanpa membebani mama dan papa. Selain tingginya biaya pendidikan, aku
masih memiliki tiga orang adik yang tentunya juga membutuhkan banyak dana demi
kelanjutan pendidikan mereka. Aku bertekad untuk sukses di usia mudaku sehingga
bisa menjadi contoh dan cambuk semangat bagi adik-adikku yang saat itu masih
terlalu kecil untuk mengerti kerasnya hidup.
Dewasa
sebelum usianya mungkin juga bisa dialamatkan pada kondisiku kala itu. Ketika
teman-teman yang lain bersuka ria dengan kehidupan sekolah mereka, aku
membiasakan diriku untuk menilai dunia dari sudut pandang yang berbeda.
Menyesal? Tentu tidak. Karena aku yakin tempaan hidup yang demikian keras akan
menjadi sebuah alasan bagiku untuk terus maju demi mengubah hidup. Tahun kedua
di bangku Sekolah Menengah Atas, aku mulai mencari informasi terkait
sekolah-sekolah kedinasan yang telah menjadi pilihanku sedari awal. Aku pun
memutuskan untuk memilih salah satu Sekolah Tinggi. Hari demi hari kujalani
dengan mendekatkan diri pada impianku. Sepulang dari sekolah, aku akan membahas
buku-buku terkait sekolah tersebut. Buku yang kudapat dengan menyisihkan
sedikit demi sedikit uang jajan yang mama berikan. Waktu luang yang ada tak
kubuang percuma. Aku begitu berhasrat untuk diterima di tempat tersebut. Ketika
lulus sekolah, papa memberikan alternatif lain. Masih sekolah kedinasan, tetapi
belum familiar bagiku. Aku mengangguk setuju saat papa menyuruhku untuk
mendaftar di sekolah tersebut. Walaupun hatiku lebih bertekad untuk lulus di
sekolah yang telah kupilih.
Namun
Tuhan memilihkan sesuatu diluar perkiraanku. Setelah menempuh tahapan-tahapan
tes untuk bisa masuk ke sekolah tinggi yang kuidam-idamkan sedari dulu, aku
dinyatakan gagal. Kekecewaan tentu saja menghantui hidupku saat itu. Bagaimana
tidak? Aku telah bersungguh-sungguh untuk menggapainya. Aku juga menggantungkan
banyak harapan padanya. Aku mulai dihinggapi kegelisahan tak berujung. Apa yang
harus kulakukan setelah itu? Bagaimana dengan pendidikanku? Apakah prestasi
yang kuraih di bangku sekolah akan berakhir sia-sia? Apakah mama dan papa akan
mampu membiayai pendidikanku di perguruan tinggi dengan biaya pendidikan yang
tak sedikit? Atau aku harus mencari pekerjaan secepatnya? Ratusan pertanyaan
berkecamuk didalam kepalaku. Seringkali aku jatuh tertidur dengan airmata yang
belum mengering. Resah memikirkan masa depan seperti apa yang akan kuhadang
setelah impianku hancur berantakan.
Takdir
mengarahkanku pada jalan lain. Tuhan memang tak memberikan apa yang kuinginkan,
namun menghadiahkan apa yang kubutuhkan. Dengan doa-doa mulia yang selalu mama
dan papa haturkan pada Sang Pencipta demi kebahagiaanku, aku dinyatakan lulus
pada sekolah tinggi yang papa pilihkan. Bahagia sekaligus bingung dengan apa
yang kuperoleh kala itu. Bahagia karena pada akhirnya cita-citaku untuk bisa
bersekolah di sekolah kedinasan yang tentunya tak memaksaku untuk mengeluarkan
banyak biaya akhirnya terkabul. Bingung karena memang belum ada gambaran yang
jelas tentang sekolah tinggi yang akan menjadi bahagian penting dalam hidupku
nantinya. Namun sekali lagi kubulatkan tekad untuk bisa melaluinya dengan
kebahagiaan dan rasa syukur. Karena memang tak banyak yang memiliki kesempatan
untuk bisa mengecap pendidikan di tempat tersebut.
Hidup
yang kujalani di sana tidaklah mudah. Berjauhan dengan orangtua menjadi alasan
terkuat bagiku karena memang sebelumnya aku belum pernah terpisahkan dengan
keluarga dengan jarak ribuan kilometer. Belum lagi aturan pendidikan yang
menempatkanku dalam lingkungan dengan tingkat kedisiplinan yang tak bisa
ditawar dengan apapun. Segala hal bahkan bagian terkecil seperti lipatan
pakaian pun telah diatur sedemikian rupa. Pola hidup yang tentunya sangat berat
bagiku dan teman-teman se-nusantaraku saat itu. Ada kalanya aku ingin berhenti
dan pulang, lepas dari semua aturan-aturan yang kadang kala tak mampu kuterima
dengan logika. Namun setiap kali mengingat raut wajah bahagia kedua orangtua
saat aku dinyatakan lulus ditempat tersebut, aku segera mengurungkan niatku,
menguatkan hatiku kembali untuk kemudian melanjutkan pendidikanku. Kesabaran
itulah yang pada akhirnya mengantarkanku pada sebuah peristiwa sakral, 4 tahun
yang lalu. Di lapangan yang sama dengan 3 tahun sebelumnya, aku dan teman-temanku
dikukuhkan untuk seterusnya dikembalikan ke daerah masing-masing, mengabdikan
diri sepenuhnya pada bangsan dan negara.
Apakah
kemudian aku menghentikan mimpiku? Tentu saja tidak. Setelah berkutat dengan
lingkungan kerja yang baru, aku mulai menghidupkan kembali mimpiku untuk bisa
bersekolah lagi. Kali ini tak ada pilihan lain selain memilih perguruan tinggi
dengan biaya pendidikannya yang cukup mencekik untuk seorang pegawai negeri
biasa sepertiku. Mama dan papa juga tak pernah memaksaku untuk bersekolah lagi.
Mereka berdua berpikir bahwa apa yang telah kudapatkan sudah cukup. Namun
hatiku masih ingin kembali menuntut ilmu. Dan selama aku bisa mengendalikan
keuanganku, aku berpikir akan mampu melakukannya, sekali lagi. Tekad, kerja
keras dan perjuanganku pada akhirnya tak menjadi hal yang percuma, kemaren aku
kembali di wisuda untuk gelar magisterku. Aku benar-benar bahagia dan bersyukur
untuk segala mimpi yang telah berhasil kurealisasikan.
Pencapaian
demi pencapaian yang menghampiri hidupku tak terlepas dari sebuah kalimat
singkat yang dulu pernah dilontarkan oleh seseorang untukku. Kalimat yang tak
akan pernah bisa kulupakan seumur hidup. Kalimat yang mungkin saja akan membuat
seseorang jatuh dan terpuruk, tapi tidak bagiku. Kalimat yang kujadikan cambuk
agar aku bisa selalu kuat dalam menapak jalan demi mencapai apa yang kuimpikan.
Kalimat yang begitu menyakitkan namun berhasil membuatku bangkit untuk
menunjukkan pada dunia bahwa aku pun bisa. Bahwa kekurangan yang ku punya di
mata manusia, tak menjadikanku hina dimata Tuhan.
“Anak
pegawai rendahan seperti dia tak akan pernah mampu melanjutkan sekolahnya.
Jangan dekati dia. Apalagi berteman dekat dengannya”.
Miris
bukan? Namun kalimat itulah yang kujadikan alasan untuk tetap bersemangat dan memberikan
sebuah pembuktian pada orang-orang yang dulu pernah meremehkan keberadaanku.
Semangat yang akhirnya membawaku pada sebuah cerita hidup yang penuh liku dan
kerikil. Apa yang telah kucapai saat ini bukanlah buah dari sebuah pengorbanan
tanpa perjuangan dan airmata. Kerja keras, kegigihan dan doa yang kupanjatkan selalu kepada Yang Maha
Kuasa akhirnya mampu menciptakan sebuah kado berbalut kebahagiaan saat ini.
Sebuah pencapaian yang tak begitu saja mampu kuraih tanpa dukungan penuh dan
dorongan semangat dari keluargaku tercinta.
Aku
adalah perempuan biasa dengan impian luar biasa. Mimpi untuk menjadi lebih
baik lagi dari hari ke hari. Merealisasikan satu mimpi dan menciptakan banyak
mimpi berikutnya. Tak berharap lebih dari kisah ini, aku hanya ingin menguatkan
siapapun di luar sana. Menguatkan lewat kata. Menguatkan lewat cerita. Apapun
halangan dan rintangan yang ada di depan, tak berarti sama sekali jika kita
memiliki niat, semangat, kerja keras dan tekad yang tak mampu dimusnahkan oleh
alasan apapun juga. Seperti halnya ibu Kartini, aku yang dilahirkan pada
tanggal yang sama dengan beliau, juga ingin menjadi perempuan kuat yang tak
gentar dalam menapak hidup.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)