Akan
ada 20 tahun lagi sebelum kedatangan tahun 2032 setelah aku menulis rangkaian
kata demi kata disini, hari ini. Bagaimanakah keadaanku pada waktu itu? Tak ada
yang tau. Berhasilkah aku menggapai keseluruhan mimpi yang telah kurajut
jauh-jauh hari, mimpi yang mengajakku bergerak untuk terus maju menuju gerbang
keberhasilan. Mimpi yang tak akan pernah kupadamkan sedikitpun karena aku tau
tanpa mereka, aku tak akan pernah berubah menjadi manusia yang lebih baik lagi. Masih banyak waktu yang tersedia bagiku untuk
mengagungkan mimpi, berjuang menjangkaunya dan tak mengenal rasa lelah agar
suatu saat nanti aku mampu merengkuhnya ke dalam duniaku. Dan disinilah aku
akan menceritakan segala asa yang ingin kumiliki 20 tahun mendatang, di tahun
itu, tahun 2032..
Mengawali
hari, pagi yang cerah di tahun 2032.
Aku
di usiaku yang telah menginjak angka 44 tahun, usia yang hampir mencapai
pertengahan abad. Namun deretan angka yang semakin bertambah dari hari ke hari
tak menjadikanku lelah dalam merenda asa dan menggantungkan harapan akan
kehidupan yang lebih baik. Seperti biasa, rutinitasku berawal pada jam 3 pagi.
Jam dengan waktu paling berharga karena kusediakan khusus untuk bertemu dengan
Tuhanku. Waktu dimana tak seorangpun manusia dan tak satupun masalah menjadi
penghalang bagiku untuk bercengkrama dengan-Nya. Jam-jam berikutnya kuhabiskan
dengan berkutat didapurku yang mungil namun asri. Mempersiapkan menu pagi dan
kebutuhan seluruh anggota keluargaku. Ya, inilah aku. Seorang wanita karir yang
tak ingin membuang peran pentingku sebagai ibu rumah tangga yang baik. Tentu
saja bagiku keluarga adalah segalanya.
Ditemani
semilir angin dan curahan cahaya mentari pagi, aku keluar dari gerbang rumahku.
Rumah yang kudirikan dengan hasil kerja keras dan kujadikan sebagai istana
bagiku dan keluarga kecilku. Dengan penuh semangat, tak seperti biasanya, hari
ini aku berencana mengunjungi sebuah tempat istimewa lain yang kumiliki. Istana
keduaku. Tempat ini tak berada di pusat kota yang penuh dengan hingar bingar
keramaian tetapi berdiri tegak di pedalaman sebuah desa. Butuh waktu berjam-jam
untuk menyinggahinya. Disana, di tempat sederhana dengan luasnya yang tak
seberapa, tempat yang akhirnya kusulap menjadi sebuah perpustakaan kecil namun besar
manfaatnya. Tempat yang kuharapkan mampu menjadi wadah bagi generasi muda di
daerah pedalaman itu agar mampu menyulap mimpi mereka menjadi sebuah realita. Karena
menurutkan keterisolasian mereka dari kehidupan perkotaan bukanlah hambatan
bagi mereka untuk bergerak maju. Bahkan apabila mereka mau dan mampu, mereka
akan bisa mengalahkan siapapun yang hidup dengan segala kemewahan dan
kemudahan. Tentu saja hal itu akan terwujud apabila keinginan mereka tidak
hanya menjadi sebuah mimpi yang mereka gantungkan untuk dijangkau tetapi
keinginan yang selalu disertai dengan usaha dan kerja keras.
Apa
yang kulakukan saat ini adalah apa yang telah kuimpikan sejak lama, sejak aku
masih belia, sejak aku mulai menggilai ratusan buku. Bagiku, buku benar-benar
menjadi sebuah jendela dunia yang mampu membuka mata hati dan pikiranku untuk
melihat bahwasanya ada begitu banyak hal yang belum kuketahui. Namun adakalanya
impianku mendapat celaan dan hinaan dari orang lain. Mereka menganggap bahwa
apa yang kulakukan hanyalah sebuah tindakan bodoh yang tidak akan mendapat
apresiasi dan dukungan dari banyak pihak. Padahal bila kupikirkan lagi, impian
kecilku ini memiliki niat dan tujuan yang sangat mulia. Aku ingin mereka yang tinggal
jauh dari gemerlap kemewahan, yang masih peduli dengan ilmu, mereka yang masih setia
pada tiap lembaran buku, dapat mengasah lagi pengetahuannya, menambah lagi
wawasannya sehingga tak akan pernah ketinggalan dalam berbagai hal.
Penolakan
dari beberapa pihak kuanggap sebagai ujian dalam menggapai harapanku, bukan
lubang kelam yang membuatku jatuh dan melupakan semua yang pernah kuimpikan.
Aku tidak ingin menjadi perempuan lemah dan mudah menyerah dengan kerasnya liku
hidup. Maka aku pun mulai menabung dan menyisipkan receh demi receh
penghasilanku sebagai seorang abdi negara. Penghasilan yang mungkin terlalu
kecil untuk membantu mewujudkan mimpi besarku. Aku hanya percaya bahwa niat
baikku akan mendapat kemudahan nantinya. Aku mulai mencari beberapa sponsor dan
menghubungi rekan-rekanku yang telah sukses. Aku meyakinkan mereka bahwasanya
yang akan kulakukan akan membawa dampak gemilang nantinya. Aku bersyukur
sebahagian besar dari mereka memiliki kepedulian yang tinggi akan ide-ideku
saat itu. Dengan kesabaran, keyakinan, kerja keras dan kerjasama dengan
merekalah akhirnya aku bisa mendirikan istana keduaku ini. Istanaku yang juga
dijadikan istana oleh anak-anak pedalaman itu. Hatiku membuncah dan diselimuti
ribuan kebahagiaan ketika melihat senyum dan semangat mereka dalam menggali
ilmu. Betapa bahagianya hatiku.
Kebahagiaanku
bertambah tatkala Pemerintah memperlihatkan kepeduliannya pada hasil kerja
kerasku. Hanya berselang satu tahun setelah didirikan, aku mendapat kejutan
luar biasa karena Pemerintah bersedia memberikan suntikan dana untuk kemajuan
perpustakaanku. Mulai dari dana pembelian ratusan buku sampai dana rekonstruksi
istana ilmuku itu. Aku menyambutnya dengan penuh suka cita. Tidak hanya aku
tapi juga anak-anak kecil pedalaman yang haus akan ilmu. Anak-anak yang awalnya
dianggap sepele dan tak pernah dipedulikan. Anak-anak yang akhirnya membuatku
bangga karena mereka mampu mencapai impian mereka satu per satu. Tak sedikit
dari mereka melanjutkan pendidikan baik itu di dalam maupun di luar negeri.
Keterbatasan dana tak sedikitpun menyurutkan langkah mereka dalam menggapai
cita. Mereka membuatku benar-benar menjadi seorang manusia yang penuh dengan
rasa syukur. Bahkan untuk tiap kalimat syukur yang terucap, seakan belum cukup
untuk memperlihatkan betapa beruntungnya aku memiliki ini semua.
Beberapa
hari yang lalu aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka yang saat ini
tengah melakukan kegiatan pertukaran pelajar di Negara Jerman. Dia sama sekali
tidak lupa dengan perempuan tua sepertiku. Dia masih memberikan senyum hangat
seperti pertama aku melihatnya dulu. Saat ia tengah asyik dengan pensil
tumpulnya sembari duduk di bawah pohon kelapa tua. Saat dimana tangan kecilnya
memberiku kekuatan untuk mengumpulkan bongkahan-bongkahan semangat yang ku
punya saat itu demi mewujudkan sebuah istana baca baginya dan teman-teman pedalamannya
yang lain.
Berapapun
jumlah angka yang akan diberikan Tuhan untukku dalam menjalani hidup, aku akan
menerimanya dengan senang hati. Berapapun sisa umur yang ku punya saat ini, aku
tak pernah menjadikannya beban. Aku hanya ingin mengabdikan sepenuhnya hidupku
pada dunia pengetahuan. Kuakui, aku bukanlah seorang profesor yang
berkesempatan mengunyah banyak ilmu di luar negeri sana, aku juga bukanlah
seorang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga aku mengetahui segala hal
yang tak diketahui oleh orang lain. Aku hanya seorang perempuan biasa yang
ingin melihat generasi penerusku menjadi manusia maju dan memiliki banyak ilmu,
itu saja.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)