Bandung, 2 april 2008
Semilir
angin sejuk menerpa sekujur tubuh saat aku mulai turun dari bus
yang kutumpangi.
Jam yang
melingkar dipergelangan tangan menunjukkan pukul lima sore. Aspal
yang kuinjak masih lembab karena hujan yang beberapa waktu lalu mengguyurnya dalam dingin. Dedaunan
masih meneteskan bening-bening
air. Begitu segar terlihat hingga tanah dibawahnya pun seperti bersuka ria menampungnya.
Bandung.
Sebuah kota yang begitu kuidamkan sejak dulu. Begitu banyak bayangan yang terlintas dibenakku tentang kota ini, dari keadaan kotanya hingga orang-orang yang
mendiaminya. Kota ini terlalu indah bila dibayangkan, hingga
untuk melewatinya saja seperti berjalan dalam mimpi besar. Tapi takdir baik memang berpihak padaku kali ini karena sekarang aku
telah menjadi bagian kecil dari Bandung. Pendidikan yang harus
kutempuh membawaku ke kota kembang ini.
Aku
melangkah melewati jalanan yang dikiri dan kanannya ditumbuhi banyak
pohon. Mereka lah
yang berkontribusi besar dalam menyediakan asupan oksigen
bagi jutaan makhluk hidup di kota ini. Langkahku terhenti saat dikejauhan terlihat sebuah angkot jurusan Dago, arah yang akan mengantarkanku ke sebuah kamar kos, tempat yang
kujadikan istana peristirahatan. Aku menaiki
kendaraan itu, interiornya yang terlihat usang menunjukkan bahwa kendaraan ini mulai
menua. Catnya terkelupas disana-sini, lantai bawahnya diseraki puluhan puntung rokok. Pemandangan
itu tentu saja membuatku senang. Sebagai pecandu rokok,
fenomena seperti ini semakin membuatku merasa bahwa merokok
adalah hal yang wajar dilakukan
di kendaraan umum seperti ini.
Aku merogoh
sebungkus rokok beserta korek api dari saku jaket yang ku pakai. Dengan
santai ku sulut
rokok pertama. Klik. Korek
api yang
kupegang melontarkan si
jago merah. Huff. Paru-paruku
mendapat asupan gizi darinya,
segar sekali.
“Punten
a’..rokoknya bisa dimatiin? Saya nggak bisa terkena asap rokok”.
Kata-kata sopan
seperti itu terdengar kasar ditelingaku. Mataku
langsung mencari sumber
suara. Kerudung merah dengan dengan bros kupu-kupu
terlihat membungkus kepalanya, matanya yang sipit dan raut wajah sedikit marah
mulai menatapku tajam. Yap.
Ini dia pelakunya yang sukses membangunkan kekesalanku. Gelap yang mulai menjalar
diluar sana ditambah penerangan angkot yang terbatas tak menjadi
halangan bagiku untuk memastikan bahwa gadis yang tadi telah membuatku kesal ternyata memiliki paras yang luar biasa cantiknya.
Rokok
yang tadinya kupegang dengan jemariku kini kuhisap. “Lah..inikan
angkot. Sarana
umum dan semua orang toh punya hak merokok disini. Tuh liat
banyak puntung dilantainya.” ucapku sembari menunjuk lantai. “Jadi
saya bukan orang pertama yang merokok di angkot ini.”
“Tapi
saya gak bisa kena asap rokok..!!!” dengan lantang dia menjawab. Jawaban yang
sedikit mengagetkanku. Kebetulan penumpang angkot hanya kami berdua saja
sehingga tidak akan memalukan harus ribut dengan gadis ini.
“Jadi maunya kamu, rokok
ini dimatiin
gitu? Enak aja..belinya pake uang woi.” jawabku lagi dengan suara yang
lebih lantang dari sebelumnya.
Dengan
pelan ia memukul pundak sang supir angkot, ”Mang,
berhenti disini aja. Saya muak liat muka
dia” ucapnya pada sang supir. Angkot pun
berhenti, dengan sigap ia turun dan langsung memberikan beberapa recehan kepada
si supir angkot. Kepergiannya
malah mendatangkan perasaan tak enak yang tiba-tiba saja
menjalari hatiku. Aku baru saja membuat orang
lain marah hanya karena sebatang rokok. Bukankah itu keterlaluan? Tapi ya
sudahlah. Mau bagaimanapun sosoknya telah menghilang.
Sebuah
gang terlihat di ujung
sana ketika aku bersiap turun dari angkot. Setelah membayar, kaki ku
menjejali meter per meter jalan tersebut. Tanah becek menghiasi
perjalananku sore itu, mengitari lorong lurus yang memang sudah setiap hari
kulewati. Kuhembuskan
nafas panjang ketika sebuah rumah dengan berpagar besi yang sudah
berkarat terpampang nyata didepan mataku. Ya. Inilah
kos tempatku tinggal selama dibandung. Sudah genap tiga tahun aku disini, berkecamuk dengan udara
Bandung yang terkenal segar, melewati ribuan suka
duka. Sedikit
kasar, ku buka pintu pagar
hingga mendendangkan derit yang masih sama. Aku melangkah memasuki rumah.
Aroma kurang sedap yang berasal dari onggokan
sampah di kiri
kanan lorong rumah ini menyergap indera penciumanku. Tak hanya bau,
sampah-sampah tersebut juga tampak sangat menjijikkan. Suara
bising yang tidak jelas terdengar saat aku melewati kamar-kamar lain dirumah
ini. Asap rokok menyeruak. Pandanganku beralih pada sebuah kamar bernomor lima yang di pintu masuknya
ditempeli sebuah papan kecil bertuliskan “homo
dilarang masuk”. Kamarku.
***
Air
keran itu
berhenti mengalir saat aku telah menyelesaikan ritual wajibku pagi ini, mandi. Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Belum
telat karena perkuliahan pagi ini dimulai pukul Sembilan. Kuambil
rokok dari atas
sebuah meja kecil yang kujadikan sebagai tempat meletakkan
hiasan-hiasan kecil kamarku. Sebuah
figura hitam tempat aku selalu menemukan senyum Ibu, Sebuah miniatur jam
gadang, kebanggaan daerahku, dan sebuah asbak using yang dulu kubeli di sebuah
pasar loak. Ruangan kamarku mulai dipenuhi asap rokok. Tak lama setelah itu, aku
segera beranjak menuju kampus dengan sebuah tas yang tersandang dipundakku. Ketika
berasa di atas angkot, tiba-tiba saja aku teringat kembali akan kejadian kemarin sore.
Kenangan singkat yang mengundang senyum sungging dibibirku. Ah,
ada-ada aja. Batinku.
Jam perkuliahan selesai saat matahari telah berdiri tegak diatas kepala, menandakan pagi hari telah berlalu pergi. Perutku yang belum terisi sedari pagi seolah-olah mulai berorasi dan meminta haknya padaku. “Oke. Ini
namanya lapar” ucapku lebih pada diri sendiri sembari mengelus perut.
Lapar membawaku pada sebuah kantin yang terlihat ramai. Dan lapar juga lah yang
membuat otak ku semakin gaduh hanya dengan mendengar banyak ucap dan pembicaraan
di tempat ini.
Bagiku tak ada logika tanpa logistik. Tak peduli dengan apa
yang sedang terjadi disekitarku,
makan adalah target yang harus segera kutuntaskan. Dalam sekejab, meja persegi didepanku berhiaskan sepiring nasi ayam dan segelas jus strawberry favoritku. Terlihat
sangat menantang segera dihabiskan. Layaknya seorang kesatria, aku menggenggam sendok dan garpuku laksana pedang dengan gagahnya. Suapan pertama terasa begitu nikmat.
Praaannngg..!!!
Bunyi gaduh itu tiba-tiba saja
terdengar saat piring makananku jatuh kelantai, pecah dan semua isinya berhamburan di lantai. Seseorang telah
menyenggolnya. Semua pengunjung kantin menatapku. Tak hanya kaget,
kebanyakan dari mereka malah tersenyum bahkan tertawa cekikikan. Tubuhku membeku malu, nafasku
tercekat. What the fuck’s going on? teriakku dalam hati.
Mataku perlahan mencari biang kerok
siang ini. Ia masih berdiri didepanku. Baju kaos lengan panjang
dengan motif garis-garis putih dan merah membalut badannya. Kerudung
berwarna jingga lembut melengkapi gaya berpakaiannya. Dan betapa
kagetnya aku dengan apa yang kulihat, seorang gadis dengan wajah familiar menatapku
dengan wajah datar. “Maaf, nggak sengaja.” ucapnya
dengan ekspresi datar tanpa penyesalan.
Dengan
cepat aku berdiri dari kursiku dan menatapnya dengan tajam. “Nggak
sengaja kamu bilang? Nggak
punya mata ya kamu sampai-sampai meja segede gini bisa kamu senggol?” teriakku
dengan lantang hingga semua pengunjung kantin dapat mendengar dengan jelas
apa yang sedang
kukatakan.
“Aku
nggak sengaja.
Lagian udah minta maaf juga kan tadi?” jawabnya. “Trus
aku harus gimana dong? Gantiin makanan kamu?" tambahnya dengan nada dan
ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya.
Tanpa
sepatah kata
pun aku beranjak dari tempat itu. Perasaan malu, marah, dongkol
dan sakit hati seakan-akan melebur, bercampur menjadi
satu. Bahkan untuk menoleh kebelakang saja, aku sudah tak punya muka.
Sebuah pohon besar yang
berdiri tegak dengan kesombongannya menjadi tujuanku. Bangku kayu tua yang didesain apik mengelilinginya, menjadi tempatku bersandar untuk meredakan emosiku yang sedang meledak. Kayunya berderak pilu saat aku mendudukinya
dengan emosi yang masih membara. Belum hilang kedongkolan itu, tiba-tiba saja
aku terbayang dengan gadis tadi. Bukankah dia orang yang sama dalam kejadian kemarin sore diangkot? Batinku. Oh
tuhan, aku bangkit
berdiri. Sejenak aku berpikir tentang apa yang telah terjadi,
bukankah perlakuanku di angkot dan kejadian yang barusan itu terlihat sama? Dalam dua kejadian berbeda, aku dan dia menjadi si pelaku
dan si tersangka. Dan korban hanya bisa
berlalu tanpa ada perlawanan. Apa maksud ini semua? Apakah gadis
tadi sengaja berbuat begitu untuk membalas perlakuanku? Ataukah ini hanya
kebetulan semata?
***
Suara
gelak tawa memenuhi ruangan cafe malam itu. Malam selasa, dimana
rutin diadakan stand up nite atau
dalam bahasa awamnya malam ketika para comic atau stand up
comedian menguji materi yang
mereka punya. Lucu atau tidaknya penonton yang hadir. Kebetulan aku adalah salah seorang dari mereka, para stand up comedian. Aku
menggeluti hal ini bukan untuk popularitas, hanya sekedar ajang untuk menghibur
diri sendiri, seorang perantauan yang jauh dari
keluarga. Seperti biasa aku duduk di hamparan sofa cafe yang letaknya disudut ruangan, tempat para comic berkumpul. Tibalah giliranku. Aku maju
keatas panggung,
berbicara dan mengeluarkan materi-materi yang sebelumnya
telah kusiapkan sedari
awal. Kalimat demi kalimat kulontarkan didepan pengunjung
cafe agar mereka tertawa atas pemikiran yang kutuangkan malam
itu. Selain
menghibur diri, kepuasan yang kuperoleh ketika
menghibur orang lain
juga menjadi alasan aku berkecimpung dalam dunia penuh tawa seperti ini. Tepuk
tangan meriah dari penonton memuaskan hasratku malam itu. Aku puas. Dengan perasaan senang aku berniat kembali duduk di tempatku semula. Namun ketika mendapati sofa-sofa
disana telah terisi penuh, aku mencoba
mencari tempat lain yang sekiranya masih kosong. Walaupun itu berarti, aku harus berpisah dari rombongan teman-teman stand up.
Sebuah
meja kayu bundar dengan dua kursi kosong menarik perhatianku. Tempat menarik. Akupun menuju meja tersebut. Namun ada kejanggalan ketika aku mendapati segelas minuman yang masih penuh tertata dengan rapi diatasnya. Mungkinkah
si pemilik minuman ini sudah pergi tanpa sedikitpun menyentuhnya karena terlalu
buru-buru? Setelah
menunggu beberapa lama dan tak ada yang datang, aku duduk dengan tenang di
singgasana baruku. Aku mulai tertawa lagi dengan suguhan rekanku di
atas panggung sana. Adrenalinku terpacu cepat saat
apa yang ia bicarakan mengundang selera humorku membelit otak. Tiba-tiba
saja kursi kosong disampingku diduduki seorang gadis. Tawaku terhenti, mataku
menatapnya.
“Wah..nggak nyangka ternyata orang sadis kayak kamu punya selera humor juga ya?” Suara
itu terdengar jelas oleh indera pendengaranku. Cambuk panas seolah menampar
dan menggores pipiku berulang kali. Perih rasanya.
Slrupp. Ia menyeruput minuman yang
sedari tadi menjadi perhatianku, minumannya..!!
“Kenapa
diam? Lupa sama aku? Atau sekarang kamu lagi grogi atas dosa yang telah kamu
perbuat?” ucap gadis itu lagi.
“Apa?
Dosa? Helloooo..Kamu pikir aku lupa sama kejadian tadi siang di kantin? Otakku masih normal
dan masih bisa mengingat dengan
sangat jelas kalo yang numpahin makananku itu kamu!” balasku dengan
nada penuh amarah.
Bibirnya
mengerucut. Tatapannya datarnya berubah sinis.
“Berarti impas
kan?” jawabnya sembari memegang tanganku yang terbaring disamping
kursi. Seketika
badanku terasa dingin dan didetik lain langsung berubah menjadi
hangat. Walau
hanya berlangsung sekian detik saja, tindakannya membuatku salah tingkah. Aku bingung dengan apa
yang menimpaku. Ada apa ini? Kenapa
perasaan aneh ini tiba-tiba datang begitu saja tanpa izin logika? Aku menggeleng perlahan
dan mengenyampingkan respon aneh itu.
“Impas?
Jadi kejadian tadi siang kamu sengaja ya? tanyaku.
“Iya dong. Aku nggak mau
dan nggak akan kalah dari orang sadis kayak kamu.” balasnya sembari tersenyum. “Ya. Setidaknya aku bisa balas perlakuan kejam kamu diangkot waktu itu.”
“Namaku
yoana.” ucapnya tegas sembari menjulurkan tangan kanannya kearahku. Matanya yang sipit terlihat berbinar di bawah pantulan cahaya lampu cafe. Begitu magis dan seakan membius retina mataku
untuk terus menikmatinya.
“Dean.” jawabku
dengan suara agak bergetar namun jelas terdengar. Kehangatan yang mengalir
dari telapak tangannya seakan mampu mematahkan sifat beku dan
kerasku. Sejenak
kurasakan keadaan disekitarku berputar pelan. Tak pernah kurasakan sebelumnya kondisi seperti
ini dalam hidupku. Aku bingung setengah mati.
“Udah
lama kamu jadi comic?” tanya yoana dengan suara yang lebih lembut, setidaknya tanpa emosi
lagi.
“Aku juga
orang baru. Ya.
Setidaknya bisa dijadiin ajang pembelajaran biar bisa ngomong depan orang banyak kayak gini.” jawabku.
“Ooo..Aku juga
suka komedi. Pengen
sih nyoba openmic juga tapi takut nggak
lucu. Ntar malah diketawain gara-gara garing.” ucapnya
sambil tertawa kecil.
“Jangan
takut nyoba. Dulu aku
juga takut buat openmic. Tapi nekat aja sih akhirnya. Masalah lucu nggak lucu
mah urusan belakangan.” .jelasku
lagi.
“Yo..Aku
minta maaf ya soal kejadian diangkot
kemaren. Aku ngerasa nggak enak sama kamu.” ucapku akhirnya.
Ia tersenyum. “Lupain aja. Aku juga minta maaf ya sama kamu soal makanan kamu tadi siang.
Kayaknya aku harus traktir kamu deh.” ucapnya sambil kembali menyeruput
minuman yang ada dimeja.
“Hahaha..Boleh juga
tuh. Tapi jangan sekarang deh. Aku lagi
nggak laper. Besok aja gimana?” tawarku.
“Oke.
Dimana? Dikantin kampus aja
gimana? Kan aku numpahin makanan kamu disana.” tanya Yoana lagi sambil
tersenyum.
“Boleh. Deal ya? Besok pas makan siang kita ketemu disana.” jawabku.
Suasana yang awalnya kaku dan tegang,
sedikit demi sedikit mulai mencair dengan banyaknya gelak tawa yang tercipta
malam itu. Kedekatan
tercipta. Gunung es kemarahan diantara kami seolah tertabrak oleh tawa
kami berdua. Luluh lantak dan hilang begitu saja.
***
Asap rokokku
menari, meliuk diantara fentilasi jendela kantin, seakan ingin segera
berlalu dari hadapanku, terbang dibawa angin
dan tak pernah kembali lagi. Aku sedang menunggu seseorang. Seseorang yang dipertemukan
denganku dengan cara aneh. Seseorang yang mengganggu tidurku malam ini.
Seseorang yang awalnya membuatku selalu marah, namun pada akhirnya mampu
mengubah pandangannya seratus delapan puluh derajat.
“Hai De. Udah
lama?” sapa Yoana.
“Eh Yo. Silahkan
duduk. Nggak lah, baru juga dua hari.” jawabku mencoba menyenangkan suasana
sembari mematikan rokok yang masih menyala diujung jemari kiriku.
“Kenapa
dimatiin? Kan belom
habis.” tanya Yoana.
“Nggak enak
sama kamu. Ntar kamunya kabur lagi.” jawabku sambil tertawa kecil.
“Kamu
bisa aja” timpal Yoana tertawa lepas. Tawa
yang belum pernah sebelumnya kulihat dari seorang Yoana. Ekspresi tanpa beban yang membuat rasa penasaranku
pada sosoknya semakin bertambah.
Cuaca
siang itu terasa
sejuk, sesejuk hatiku. Matahari menyembunyikan keangkuhannya. Pembicaraanku
dan yoana membuat kami semakin akrab. Tanpa rasa canggung,
sesekali Yoana mencubit tanganku ketika ada hal konyol dan lucu
yang kuutarakan. Tak ada
lagi permusuhan. Genderang perang telah berganti dengan
bendera perdamaian.
***
Bandung, 26 oktober 2009
Satu tahun berlalu. Hampir setiap hari aku dan yoana bertemu. Keakrabanku dan Yoana menjelma menjadi sebuah
kedekatan. Banyak hal lucu dan konyol yang kami lalui bersama. Terkadang secara sembunyi-sembunyi aku menyimpan cemburu jika ada laki-
laki lain yang berusaha mendekatinya. Namun
sebisa mungkin aku tak memperlihatkan perasaanku.
Hari ini hari kelahiranku. Genap dua puluh satu tahun yang lalu aku dilahirkan disebuah
kampung kecil di
Sumatera sana. Aku hadir saat hujan dan petir
menerjang bumi secara bersamaan. Tepat pukul enam tiga puluh sore.
Aroma
asap rokok yang kuat tercium saat aku mulai memasuki rumah kos. Seperti biasa. Tak banyak hal baik yang bisa dilihat di temapt ini, hanya puntung rokok dan
sampah yang berserakan dimana-mana. Tangan kananku merogoh saku dan mendapati sebuah kunci dengan
mainan berbentuk gitar favoritku yang menggelantunginya. Suara berdenyit pelan terdengar saat aku membuka pintu yang memang sudah
mulai reot.
Teeettt..toooottt..teeeet. Suara terompet seakan menghancurkan gelembung jantungku. Aku tersentak
dan kaget saat bunyi itu melengking di daun telingaku.
“Happy
birthday to you..happy birthday to you..” nyanyian itu kini
memenuhi ruangan kamar kosku yang kecil. Suara yang sangat ku kenal. Yoana. Gadis
itu kini mengenakan gaun berwarna ungu dengan motif bunga-bunga yang sangat pas
sekali dengan paras manis khas wanita sunda. Ia terlihat
sempurna.
Ditangannya bertengger sebuah tart cokelat dengan puluhan lilin menyala. Ia
tersenyum. “Ayo tiup de..” ujar
Yoana. Dengan sigap aku mendekati kumpulan ranting-ranting
menyala itu dan bersiap untuk meniupnya. “Eitss..tunggu..tunggu..Make a wish dulu dong.” ucapnya lagi. Kupejamkan
mata dan berdoa di dalam hati, Semoga aku dan yoana selalu
bahagia dalam kebersamaan. Dengan
nafas panjang teratur aku meniup lilin-lilin itu.
“De, ini
kado ulang tahun dari aku. Tapi kamu jangan buka sekarang. Tunggu ijin dari aku dulu. Yaaa…mungkin besok, lusa, seminggu, sebulan, atau setahun lagi.” ucap
yoana sembari memberikan sebuah kotak berwarna coklat dengan ikatan pita kecil diatasnya.
“Masa
kado ulang tahun kayak gini Yo. Ribet ah.” jawabku pura-pura kesal.
“Udah
deh. Kamu nurut aja. Ntar kamu juga tau betapa spesialnya benda ini” tambah Yoana. Mendengar ucapannya aku hanya bisa menganggguk, isyarat
bahwa aku setuju dengan perjanjian dan permainan aneh yang sedang Yoana lakukan.
Kamar ini
sekarang seakan
berada di ujung pantai yang sepi. Tak ada
satu diantara
kami yang berniat untuk bersuara. Dengan pelan kupeluk tubuh
yoana, mengalungkan kedua tanganku dipinggangnya nan mungil. Inilah kali
pertamanya aku menyentuh yoana secara sengaja. Walaupun telah setahun lebih
kami berteman akrab, namun tak pernah sebelumnya aku berani melakukan hal seperti ini. Yoana pun membalas pelukanku, ia mengalungkan kedua tangannya dileherku. Perpaduan aroma buah
dan bunga menyentuh indera penciumanku. “Makasih
ya yo.” bisikku ditelinganya. Yoana
mendekapku kian erat sebagai balasan rasa terima kasihku.
Alunan lagu end of the rainbow yang
dinyanyikan sandy sandoro kemudian mengisi aliran udara kamar kos ku.
Lagu ini adalah lagu favorit kami berdua. Ia seakan menjelma menjadi soundtrack
kedekatan kami selama ini. Punggungku bersandar didinding kamar. Rokok
yang kuhisap kini mengeluarkan asap yang segera saja menghadirkan rasa sesak. Hanya ada
satu jalan keluar bagi asap tersebut. Fentilasi kecil
diatas jendela kaca yang sudah kelihatan usang di sudut sana. Kepalaku terasa berat, seakan-akan susunan tata surya di galaksi bima sakti
tengah mengitari otakku dengan cepat. Ada satu perkara besar yang saat ini
tengah kupikirkan. Malam ini adalah hari ulang tahunku dan aku berniat mengungkapkan sebuah agenda besar yang selama ini kupendam
rapat-rapat dalam peti kediamanku.
Aku
mencintai yoana.
Dan aku
harus mengungkapkannya sekarang. Malam ini juga. Keberanian seolah-olah terlalu
susah untuk kuraih saat itu. Begitu berat rasanya lidah
untuk bernarasi dan merangkai abjad menjadi kalimat.
Yoana
tengah asik melihat-lihat album foto yang tersimpan di folder
laptopku. Ada ratusan
foto disana, potret kami berdua. Rekapan kegiatan yagn kami lewati, jalan-jalan, gila-gilaan bareng, sampai hal-hal konyol yang sepertinya
terlalu bodoh untuk diabadikan. Sesekali tawa kecil terlontar dari mulutnya.
“Yo, sini
deh. Ada yang perlu diomongin.” ucapku pelan sambil kembali menghisap rokok di jemari
tangan kiriku.
Pandangan
yoana kini beralih kepadaku, ia menatapku serius. “Kenapa De? Kamu mau
ngomgong apa?” tanya yoana sambil menjauh dari laptop dan melangkah
pelan kearahku.
Ia memilih bersandar di dinding yang sama sepertiku.
Yoana
menampar paha kananku dengan tangannya. Aku kaget, tentu saja. “Kenapa
de? Itu muka
serius amat.” ucap sembari
tertawa lebar.
“Aku lagi nggak becanda. Ini serius lo.” jawabku
yang kemudian mengubah raut muka Yoana. Lidahku
terasa kelu saat aku ingin mengucapkan kata pertamaku untuk yoana. Bibirku
serasa terikat kawat berduri yang sakit apabila kupaksa untuk membukanya.
“De, aku
juga mau
ngomongin sesuatu sama kamu.” tiba-tiba
saja ucapan
Yoana menghentikan niat besarku.
“Oh ya? Mau
ngomong apa
emangnya?” tanyaku pada yoana yang kini telah mendekap
pergelangan tanganku.
“Kamu
duluan deh, ini nggak penting-penting banget
kok” ucap Yoana datar, senyumannya terlihat
terlalu dipaksakan. Tangannya mendekap lebih erat,
seolah sedang takut dengan sesuatu.
“Kamu duluan dong.” balasku sambil
tersenyum, menenangkan keadaan, menenangkan hatiku.
Yoana menatapku. “De, kamu pernah nggak ngebayangin temen deket kamu sekarang ternyata harus pergi jauh dari
kamu karena satu alasan yang menurut kamu menyakitkan?” tanya Yoana
masih dengan mendekap tanganku.
“Kamu
ngomong apa sih Yo? Kok jadi
ngawur gini?” jawabku
merasa tak enak dengan pertanyaannya.
“Aku..aku dijodohin
sama anak temennya papa.
Perjanjian masa lalu, begitu papa bilang. Dia kerja di Jerman dan itu berarti aku harus ikut dia ke jerman setelah kami menikah nanti.”
Pernyataan Yoana membuatku
tersentak. Palu baja panas yang dililit rantai besi tajam dan
berduri menghantam belakang kepalaku dengan telak. Pukulan itu melumpuhkanku. Panca
inderaku serasa tak ada satupun yang dapat berfungsi dengan baik. Aku layaknya orang cacat.
Telapak tanganku basah seakan airmata merembes melewatinya, saat aku tak mampu
menghadirkannya lewat mata. Dadaku bergemuruh. Darahku
mendesir seolah butiran batu magma tenggelam didasarnya.
“Kamu
serius? Nggak lagi bercanda kan?” tanyaku dengan suara gemetar dan serak.
Yoana menunduk. “Iya de, aku nggak bercanda. Aku
nggak bisa lagi bareng-bareng kamu.” Genggaman tangan yoana di
pergelangan tanganku kini kubalas. Seperti berhimpitan, tanganku dan tangan yoana
kini saling menggenggam.
“Trus
gimana? Kamu setuju dengan perjodohan itu?” tanyaku.
“Mau nggak mau
aku harus mau De. Ini
semua juga demi keselamatan perusahaan papa. Kalau aku menolak, berarti aku siap liat papa
bangkrut. Aku mohon kamu bisa ngertiin kondisi aku.” Airmata
pertama yoana menetes ditanganku saat ia mengakhiri kalimatnya. Yoana
memelukku erat. Seakan ini hari terakhir ia akan bertemu denganku.
***
Ban
mobil berdecit saat supir taksi itu menghentikan laju kendaraanya
tepat di
depan bandara Soekarno Hatta.
Ini lah hari terburuk sepanjang
hidupku. Hari dimana aku dan gadis yang kucintai harus berpisah tanpa mengetahui kapan kami akan dipertemukan kembali. Gadis
yang padanya saja belum kuutarakan perasaanku. Rasa yang kini kusimpan jauh di
dasar sana, masih tetap tersembunyi dan hanya akan kunikmati sendiri, entah
sampai kapan.
“De, aku
pergi ya. Jangan kebanyakan ngerokok. Nggak baik.” ucap yoana sambil tersenyum, matanya yang ditutupi kacamata hitam tak membuatku kehilangan
tatapan lembut yang ia punya.
“Iya Yo. Kamu
juga. Janji
buat selalu bahagia disana.” jawabku dengan senyum
penuh keterpaksaan.
Pelukan
terakhir Yoana mendarat hangat ditubuhku. Pelukan yang akan selalu membuncahkan kerinduan
besar tentangnya.
***
Bandung, 13 april 2010
Bom
atom pecah di
kamar kos ku, serpihannya meluluhlantakkan
semua yang ada didalamnya. Boom..!!!
Aku tersentak
dari tidur siangku. Suara ketukan keras dan kasar terdengar dari
luar pintu kamar. “Bang, ada surat nih.” suara itu sayup terdengar ditelingaku.
“Iya,
bentar.” jawabku dengan berat hati. Masih sempoyongan aku berjalan
mendekati pintu
dan membukanya. Terlihat seorang lelaki bertubuh gempal berdiri didepanku.
“Ada apa Rud?
Siang-siang gini ngetok pintu? macam om-om kebakaran jenggot”
tanyaku kesal.
“Ini bang. Ada
surat. Dari Jerman. Ciyeee..jauh amat
penggemarnya.” ucap
Rudi sambil menyerahkan sebuah surat padaku dan segera berlalu.
Mendengar
kata jerman saja
ragaku langsung
hidup kembali, serasa dialiri semangat kehidupan menggebu-gebu. Inikah surat dari Yoana? Surat dari gadis yang sudah lama tak pernah lagi kudengar
kabarnya. Benar saja, di
sudut kanan atas surat itu tertulis nama Yoana Marisa. Sebuah nama yang
belum mampu kuhapus dari tembok hatiku. Kertas surat beraroma
bunga mawar itu
kubuka perlahan.
Dear Dean,
Apa kabar
kamu? Sehat kan? Masih doyan ngerokok? J
Maaf ya De, semenjak aku pergi ke Jerman aku belum pernah ngasih kabar lagi ke kamu. Bukannya aku sombong apalagi lupa, tapi aku nggak tega aja kalau pada akhirnya kita hanya sama-sama merindu tanpa bisa ketemu. Aku dijerman sementara kamu di Indonesia. Bukan jarak yang dekat bukan?
Oya, kamu masih inget kado ulang tahun dariku waktu itu? Masih
disimpen kan? Sekarang kamu boleh buka de dan maaf kalo aku terlalu
takut untuk ngomong secara langsung ke kamu. Jaga diri baek-baek ya De, jaga kesehatan dan jangan ngerokok terus.
Salam
rindu, Yoana.
Begitu surat itu kulipat,
otakku langsung memerintahkan satu hal penting, temukan kado itu secepatnya! Tak butuh waktu lama mencarinya. Kado itu kusembunyikan di laci bawah meja
belajarku,
tersembunyi bersama beberapa barang yang jarang kugunakan.
Sedikit berdebu namun masih indah untuk dilihat. Perlahan kukeluarkan ia dari kediamannya. Kutiup
debu yang menempel diatasnya. Kubuka bungkusan kertas kado dan pita yang mengikatnya. Kotak itu memiliki kunci layaknya
kunci kuno pada pintu rumah zaman dahulu. Antik. Rasa penasaranku
meningkat saat kulihat isi kotak tersebut. Hanya sebuah kotak rokok kosong dan secarik kertas yang mulai lusuh dan
menguning. Surat
lagi. Dengan cepat kuambil surat itu dan mulai
membaca isinya.
Hai De..
Sekali lagi maaf. Kali ini untuk kado ulang tahun yang aneh menurutmu.
Hanya bungkusan rokok kosong dan selembar kertas ini. Sangat jauh dari harapan ya
De?
Kamu tau nggak kenapa aku ngasih kotak rokok kosong? Itu
karena aku nggak mau kamu ngerokok lagi De. Aku nggak mau kamu menderita sepertiku, mati
perlahan dalam keganasan kanker paru-paru. Ya. Aku memang
sudah membohongimu sedari awal. Aku ke Jerman bukan untuk
sebuah pesta pernikahan. Aku kesana untuk berobat De. Aku terpaksa
ngelakuin ini semua karena aku nggak mau kamu sedih. Karena kesedihanmu hanya
akan menjadi airmata bagiku disini, saat aku jauh darimu.
Ketika kamu membaca
surat ini, aku sudah nggak ada lagi di dunia ini De. Karena itu
berarti pengobatanku gagal dan prediksi dokter akan jatah umurku
tak bisa lagi ditawar.
Maafin
aku De.
Satu hal yang
haus kamu tahu. Aku mencintaimu. Bahkan sebelum kamu menyadarinya. Aku berharap
Tuhan akan mempertemukan kita dikehidupan lain.
Salam sayang, Yoana.
Kertas
itu jatuh dari genggamanku, bumi terasa berguncang hebat. Aku
seperti dihimpit batu besar jutaan kilo. Tak dapat bergerak dari liangku
sendiri. Tetesan
airmata tak mampu kutepis, sekuat apapun aku berusaha untuk menghentikannya.
***
Cinta dan kerinduan
mengantarkanku pada sebuah rumah mewah berpagar tinggi. Rumah Yoana. Pintunya kuketuk dan tak lama kemudian keluar seorang perempuan paruh baya,
mamanya Yoana.
Sofa
empuk yang kududuki terasa berduri saat aku dan mama yoana duduk di sana. Mamanya menggenggam tanganku erat. “De, apa yang Yoana
tulis itu benar. Yoana sudah meninggal sebulan yang lalu. Ibu
nggak ngasih tau kamu karena itu pesan dari Yoana
sendiri.” ucapnya
sambil menahan airmatanya. “Yoana
minta dimakamkan di Jerman karena dia nggak mau kamu nanti menangis didepan nisannya. Yoana sayang kamu Dean. Dia hanya tidak ingin melihatmu terluka. Ibu
mohon kamu ngerti ya nak.” tambahnya lagi.
Aku mengangguk lemah. Sekali
lagi, airmataku menyeruak. Tangis kehilangan dan luapan kerinduan yang tak kan pernah kering meski panas mentari bersenandung
diatasnya.
Hujan, rokok, dan kamu adalah secangkir rindu yang sedang
kuseruput saat malam menjelang. Tiap tetesan yang jatuh mengungkap rahasia
bagaimana bumi dan seisinya mempertemukan kita. Jauh disana, dipulau tak akan pernah lagi kita datangi.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)