Cerita hari ini berbeda. Sangat. Karena
ia tercipta bersama lembar-lembar kerinduan yang sudah menggunung. (Haha. Malam
pekat dingin dan melelahkan boleh lah ya mendayu-mendayu cam ini). Awalnya tak
ada niat berkisah di malam yang sudah mendekati pagi ini (01:44AM) tapi
berhubung potongan chating bersama seorang sahabat barusan, ada riak
menggelitik yang bila tak tersalurkan akan menjadi bunga tidur saat lelap
datang.
Oke. Kita mulai saja secepatnya.
Setelah menunggu sekian lama akhirnya
punya kesempatan lagi bertandang ketempat keramat ini. Keramat? Eittss..jauhkan
pikiran negatif anda tentang hal-hal mistis dan menakutkan karena cerita ini
bukan cerita horror yang membuat malam anda tak hanya pekat gelap namun juga
kiamat. Haha. Tidak tidak. Kembali ke awal. Tempat keramat, karena hanya dengan
melihat gerbang penyambutnya saja, jantung detaknya menjadi lebih cepat dari
yang seharusnya. Bukan karena takut namun bahagia membuncah. Ya. IPDN selalu
saja mampu menyampaikan letup kesenangan yang yaaaaa..mungkin hanya aku dan
kamu yang tau. Ehm.
Ingat gerbang ini teman? Disini
(katanya) dulu pernah terpampang sebuah spanduk besar bertuliskan “Ragu-ragu?Kembali!”.
Benar atau tidaknya, tentu yang terdahulu yang lebih tau. Benar atau tidaknya,
memang itulah yang tergambar dan terasa di hati saat pertama kali melangkah ke
tempat ini. Gerbang dengan dua patung putih besar menjadi penyambut langkah
pertama dalam kilas balik hari itu. Kilas balik pertama setelah remah-remah
rindu bergabung menjadi satu dan menggunung setelahnya.
Ini lapangan parkir timur yang dulunya
sering dijadikan tempat apel kabupaten, apel gabungan praja putra dan putri.
Nah. Jangan ditanya bagaimana rasanya beradu pandang dengan sang kekasih hati
di lapangan ini. Jangan ditanya bagaimana rasanya menahan letup bahagia, sekecil
apapun itu, ketika tanpa sengaja seseorang yang membuat hati bertekuk lutut
menghadiahkan senyum hangatnya di pagi yang biasanya masih berselimut embun.
Dan jangan ditanya, ada berapa hati yang terpaut ditempat ini. Tentu saja.
Mesjid kampus. Saksi bisu yang menjadi
satu-satunya tempat pelampiasan praja dalam memperbaiki gizi (salah. seharusnya
memperbaiki nafsu makan). Bala-bala, buah dengan segala variasinya, nasi
padang, pempek lenggang, dan bla bla bla. Bukan. Bukan berarti penyalahgunaan
tempat ibadah. Setidaknya kita tak melakukan itu semua didalam rumah Allah kan
teman? Ada aturan, ada sopan santun, ada etika.
Lapangan kebanggaan kita semua. Lapangan
parade. Tempat dulu peluh menetes hingga membasahi hampir seluruh baju yang
sedang kita pakai. Ingat kan teman kala kita berpanas-panas dibawah semburan
cahata mentari? Persiapan pengukuhan muda praja. Bahkan kejadian yang sama pun
kembali terulang saat mempersiapkan pengukuhan pamong praja muda. Ditempat ini
pernah ada ratusan bahkan ribuan anak bangsa yang menangis dalam rasa bangga,
haru, syukur tak terhingga. Di lapangan hijau ini ada hati-hati yang selalu
merindu pada ibu di rumah, pada pelukan atau pada masakan beliau.
Hayoo. Mana yang airmatanya kembali
menyeruak? Kangen? Iya. Sama.
Love
You 18.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)