DUA HATI
SATU CINTA, SATU UNIT BANYAK CERITA
Kami tiba di Padang Sidempuan 19
Agustus 2014 pukul 12.00 dini hari.
Berkat bantuan sahabat saya Eva Yuliana Harahap, kami bisa beristirahat di
Hotel Sitamiang, pusat kota Padang Sidempuan. Eva adalah purna praja asal
pendaftaran Kepulauan Riau. Kebetulan orangtuanya bekerja di Padang Sidempuan.
Semula saya berharap bertemu dengannya di kota ini, namun Eva ternyata masih
berada di Tanjung Pinang.
Selasa pagi menjelang siang
tepatnya pukul 10:30 waktu setempat kami melanjutkan perjalanan menuju Kaban
Jahe. Prediksi mas suami kami akan menginjakkan kaki di tanah tersebut malam
harinya. Perjalanan awalnya agak tersendat karena trouble kecil di bagian rem.
Namun Alhamdulillah bisa diatasi. Jalan lintas di daerah ini kecil dan
bergelombang sehingga dibutuhkan konsentrasi tinggi dalam berkendara. Jadi
daripada membuat masalah karena mengganggu, saya pilih mengeluarkan laptop dan
mulai merangkai narasi lagi. Saya mendapatkan ide untuk menamai perjalanan ini
dengan “Honeymoon Trip; Road to Sumatera”. Kita akan lihat berapa chapter yang
akan saya selesaikan nantinya.
Padang Sidempuan cukup panas. Setidaknya
begitulah yang kami rasakan ketika melintasi daerah tersebut. Sengaja saya
pilihkan kaos buntung untuk mas suami demi menghindari produksi keringat yang
berlebihan. Volkswagen kami memang tidak dilengkapi dengan air conditioner,
sehingga bisa dibayangkan betapa gerahnya perjalanan kami ketika memasuki
kawasan panas seperti ini. Saya? Alhamdulillah tentu saja masih istiqamah dengan
jilbab yang saya pakai.
Memasuki kawasan Siporok, sisi kanan
dan kiri jalan terhampar padang rumput seluas mata memandang. Cuaca masih cukup
gerah. Jalanan masih kecil namun lebih mulus dari yang sebelumnya. Tidak banyak
kendaraan yang berpapasan dengan kami disini. Nun jauh disana, bukit barisan berjajar
dengan sangat indah di sisi kanan kami. Ah. Indonesia memang amat sangat
mengagumkan. Betapa hanya dengan melakukan perjalanan seperti ini, rasa syukur
pada Sang Khalik semakin bertambah setiap detiknya.
11:50 siang kami kami masih di
daerah Tapanuli Selatan. Kondisi jalan parah dan bergelombang. Kekecewaan saya
sedikit terobati ketika melihat sebatang pohon mati yang masih berdiri dengan kokoh
di tengah lahan tandus. Ingin sekali mengabadikan fotonya, tapi mas suami
menolak karena memang cuaca sedang panas-panasnya. Yasudah lah..yang penting
saya telah mengabadikannya didalam ingatan. Keren. Saya senang. Hehehehe.
By the way, menyusuri daerah yang
panas dan gersang seperti ini mengingatkan saya pada film-film amerika jaman
dahulu kala. Ingat kan film koboy? Nah itu dia. Hahaha. Belum lagi ketika
bertemu dengan orang-orang tua yang tersenyum sumringah ketika VW kami
melintas. Entahlah. Mungkin saja mobil tua ini mengembalikan kepingan kenangan
mereka di masa lalu. Siapa tahu.
40 menit setelah memasuki Tapanuli
Utara, cuaca yang tadinya panas berubah mendung. Dan secara kebetulan kami juga
tengah asyik mendengarkan Set Fire to The Rain nya Adele. Klop lah ya.
Temen-temen mas suami di VOCPA (Volkswagen Padang) juga terus ngecek dan
menemani perjalanan kami. Alhamdulillah sampai sejauh ini semuanya masih
berjalan baik dan lancar. Pemandangan disekitar pun ikut berubah. Sudah
terlihat banyak pemukiman penduduk, walau sebagian besar dari rumah-rumah tersebut
terlihat kosong tanpa penghuni. Mungkin mereka sedang berada di ladang masing-masing.
Pekuburan suku batak dengan bangunannya yang kokoh dan mewah juga terlihat di
sepanjang jalan. Jalanan belum lagi ramai, masih cukup sepi. Beberapa kali kami
bertemu dengan anak-anak berseragam sekolah yang asyik bercengkrama satu sama
lain. Mereka anak-anak desa yang tampak begitu bahagia hanya dari caranya
tertawa dan menatap mata kami.
Pukul 14.00 kami baru berhasil
menemukan masjid untuk melaksanakan ibadah shalat dzuhur. Alhamdulillah lagi
disamping masjid ada yang jualan makanan. Jadilah akhirnya kami makan siang
disana. Setelah puas mengisi perut, kami lanjutkan perjalanan menuju Siborong-borong.
Perjalanan menuju Balige kami
batalkan karena takutnya sesampai disana malam sudah mulai merambah bumi.
Tujuan kami kesana hanya satu, menyaksikan keindahan Danau Toba dari dekat,
walau tak bisa menyentuh airnya yang sejuk seperti halnya ketika kita berada di
Prapat. Kebetulan mas suami belum pernah melihat Danau Toba secara langsung.
Saya sedikit lebih beruntung karena pernah mengunjunginya tahun 2010 silam.
Untuk menghemat waktu kami bertolak ke daerah Sidikalang, untuk selanjutnya
menuju Tapak Tuan.
Sepanjang perjalanan menuju
Sidikalang kami kembali dihadang jalanan yang hancur. Badan dan bahu jalan
rusak berat sehingga si pikun (ini nama kesayangan Volkswagennya mas suami)
terpaksa berjalan tertatih demi menghindari kerusakan dan lain sebagainya.
Ditambah lagi gerimis yang masih mengintai perjalanan kami. Jalan relatif sepi,
jauh dari pemukiman penduduk. Yang terlihat hanya jajaran pohon pinus yang
menandakan bahwasanya kami tengah berada di dataran tinggi. Namun sayang, saya
dan mas suami juga banyak melihat tindak pembalakan terhadap flora tersebut.
Setelah kami perhatikan, tak tampak proses reboisasi. Ah semoga saja apa yang
kami pikirkan tidaklah benar. Karena bisa dibayangkan bagaimana dampak yang
bisa disebabkan oleh pembalakan tersebut, apabila tidak diiringi dengan tindak
penghijauan kembali. Jam menunjukkan pukul 17:25 . Alhamdulillah semua masih
dalam keadaan baik.
Kabut pekat menanti kedatangan kami
ketika berada di sepanjang jalan Dolok Sanggul - Dairi. Jalanan masih saja
sepi. Eh tiba-tiba suasana jadi horror gitu. Saya jadi ingat lagi film-film
seram kelahiran Hollywood. Kan sering tu tiba-tiba saja ditengah jalan yang
sepi muncul alien dan sebangsanya. Hahahaha. Cuaca dingin menusuk tulang. Saya
dengan senang hati pindah ke belakang dan melingkar manis di dalam selimut.
Sementara mas suami dengan sumringahnya masih bertahan dengan kaos kutangnya.
Ckckckck.
18:54 pm kami menapak di
Sidikalang. Akhirnyaaaa..saya dan mas suami langsung tos begitu melihat
lampu-lampu kota. Bayangan terdampar di hutan amazon pun hilang seketika.
Hahahaha.
Rute selanjutnya adalah
Subulussalam. Dari namanya yang bernuansa islami, sepertinya daerah tersebut
sudah masuk dalam kawasan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Ya. Semoga saja
demikian. Saya sedih ketika harus meninggalkan shalat Ashar hari ini karena
susahnya menemukan masjid di tanah batak. Alhamdulillah kami sempat nyasar
ketika menuju Subulussalam, beruntungnya malah nyasar ke depan masjid dan
ketemu seorang bapak tua yang memberi petunjuk jalan. Beliau bilang Sidikalang
– Subulussalam membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan. Syup.
Perjalanan kami berlanjut.
Pukul 23.30 kami mendarat sempurna
di tanah Aceh. Setelah berdebat tentang penginapan, akhirnya pilihan kami jatuh
pada penginapan bergaya cottage yang nyaman dan bersih. Waktunya istirahat,
recharge energi untuk perjalanan berikutnya.
Nah. Itu dia cerita perjalanan kami
hari kemaren di chapter pertama. Hari ini rabu 20 Agustus 2014, saya tengah
menunggu mas suami yang sedang cek kondisi si pikun. Dari penginapan Maulida
Citra, kami akan melanjutkan perjalanan hingga nantinya sampai di ujung barat
Indonesia, Sabang.
See you. Bye.
3 komentar:
subhanallah, indahnya perjalanan kalian kak. pasti seru ya bisa keliling sumatera dengan kekasih halal :) pengen juga ah #eh masih harus nyelesain kuliah dulu Hahahaha..
Duh kapan bisa gitu. :))
subhanallah... seneng bgt diriq mendengar cerita bulan madu dari kalian berdua.keindahan negeri indonesia, bener2 mebuat diriq berdecak kagum syg.. selamat bulan madu ya..
semoga saat dirimu dan mas suami pulang ke tanah kelahiran, sudah mendapatkan rezeki luar biasa dari allah swt..
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)