Yeay..!!!
Akhirnya saya berhasil
menjelajahi kehidupan Salander detail sedetail detailnya dengan menyelesaikan
buku terakhir trilogi ini. Senengnya pake buanget beb. Hahaha.
Seriusan deh. Yang ngaku
gila buku, rugiiii banget nggak baca ketiga buku ini. Njelimet sih iya. Tapi
kepuasan setelah melahap mereka bertiga jangan ditanya. PUAS! Hahaha.
Setelah mengulas buku
pertama disini dan buku kedua disini, hari ini Tilla dengan senang hati dan
semangat ulang kemerdekaan akan menceritakan sensasi buku penutup dari trilogi
millennium ini. Judulnya, seperti judul laman ini: The Girl who Kicked The Hornets’s Nest. Gadis yang menendang sarang
lebah? Hehe. Begini ceritanya. Tarara tereeeettt..
Buku pertama; The girl with
the dragon tattoo..membuat kita merangkai sosok gadis bertato naga dibahunya,
lengkap dengan semua rahasia yang ia bawa dalam hidupnya yang kelam. Dirinya
belum jadi tokoh sentral dalam buku ini (menurut pandangan mata hati dan mata
baca saya pribadi).
Buku kedua; The girl who
played with fire..sedikit demi sedikit, kehidupan dan masa lalu gadis ini mulai
terungkap. Tentang kepintarannya, tentang ibunya yang sekarat, tentang ayahnya
yang kejam, tentang sikapnya yang memuakkan..namun ketika menyelesaikannya,
masih ada tanda tanya besar dalam hati pembaca (utamanya hati saya).
Buku ketiga; menjawab semua
pertanyaan saya di dua buku sebelumnya.
Berawal dari akhir buku
kedua, Salander yang hampir saja terbunuh oleh kakak tirinya bernama Niedermann,
dalam perjalanannya mencari sang ayah, keinginan kuatnya untuk membunuh lelaki
renta yang menjadi biang kerok kekelaman hidupnya. Namun Salander salah
perhitungan, ia berhasil ditembak Zalachenko di tiga bagian tubuh, ia ambruk,
kemudian dikubur dalam keadaan hidup oleh Niederman. Takdir lah yang akhirnya
memberikan Salander kesempatan sekali lagi untuk menyelesaikan perhitungan
dengan kedua monster tersebut. Dengan tekad kuat berlatar belakang dendam
kesumat, ia mampu menancapkan kapak di kepala ayahnya dan membuat kakaknya,
yang tak pernah merasakan sakit, lari terbirit-birit.
Bloomkvist berhasil
menemukannya yang sudah setengah mati di rumah peternakan milik Zalachenko. Dan
ia harus merelakan dirinya menjadi pasien di sebuah rumah sakit selama
berbulan-bulan untuk menemukan kembali kekuatan tubuhnya. Sementara Niedermann
melarikan diri ke tempat persembunyiannya, Zalachenko yang juga hampir
meninggal, ditempatkan dua ruangan dari kamar putri kandungnya, Salander. Namun
konspirasi yang ia tuai sedari awal, membawa kembali beberapa tokoh Polisi
Keamanan. Zalachenko mati menggenaskan di tangan salah seorang dari mereka.
“Tokoh” pembunuh berumur 72 tahun yang langsung menembakkan peluru ke
pelipisnya sendiri beberapa saat setelah membunuh Zalachenko.
Bermodal bantuan seorang
dokter di rumah sakit tersebut, Salander berhasil mendapatkan kembali komputer
tabletnya. Ia yang merupakan salah satu anggota klub hacker terbaik di seluruh
dunia, mulai mencari rahasia demi rahasia yang berkaitan dengan masa lalunya
yang kelam dan menjijikkan. Ketika menemukan kunci-kunci tersebut, ia segera
membaginya dengan Bloomkvist, teman yang ia percaya sekaligus ia benci karena
telah dengan sembrononya ia cintai (nggak bingung kan ya baca kalimat yang ini?
hehehe). Salander juga mulai mempercayai Annika Giandini, adik Bloomkvist yang
berprofesi sebagai pengacara, wanita muda pintar dan enerjik yang akan membela
kepentingan Salander nantinya di pengadilan. Karena walaupun Salander telah
dibebaskan dari tuduhan dua pembunuhan sebelumnya, ia tetap dianggap memiliki
peran penting dalam rencana penghabisan nyawa Zalachenko.
Dalam pemecahan kasus ini,
tak hanya nyawa Salander yang dipertaruhkan. Setelah penculikan Mirriam Wu,
kehidupan Bloomkvist, Annika dan Erika juga ikut terancam. Tak terhitung berapa
kali penggeledahan dilakukan di apartemen Bloomkvist, penyadapan telepon
genggamnya, perampokan salinan bukti yang ada di tangan Bloomkvist dan Erika hingga
penembakan yang langsung ditujukan pada Bloomkvist di sebuah kafe.
Kasus Salander memang bukan
hanya perkara pemberian suaka pada seorang agen Rusia. Namun sudah menyangkut
pada harga diri pemerintah Swedia sendiri. Keterlibatan Polisi Keamanan bukan
lagi perkara kecil sehingga siapa saja yang terlibat dalam peristiwa di tahun
1960an tersebut dilenyapkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi, pembunuhan.
Dan jauh dari itu semua,
Salander hanyalah seorang korban. Gadis yang terpaksa merelakan kebahagiaan
masa kecilnya, berubah menjadi serigala dan menarik diri dari pergaulan. Ia
kehilangan segala macam haknya sebagai manusia dan warga negara. Bahkan demi
mempertahankan eksistensi ayahnya, pejabat-pejabat negara pada masa itu dengan
sadisnya mengirim Salander pada sebuah panti rehabilitasi. Disana ia dikurung
selama ratusan hari, dirongrong jiwanya, disakiti fisiknya. Ia sungguh hanyalah
seorang korban kepentingan politik.
Namun berkat kegigihannya,
dibantu oleh banyak orang yang masih memiliki kepedulian, Salander memenangkan
pertarungan tersebut. Ia dibebaskan. Semua kaki tangan yang membantu penyekapan
legalnya di tahun 1991 ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Nama baiknya
dibersihkan kembali dari pandangan dunia. Dan ia, dengan mata kepalanya
sendiri, melihat kematian Niedermann.
979 halaman yang
menegangkan, membuat penasaran dan mengharu biru.
Keren!
Saya punya lima bintang
untuk buku ini. *****.
Dari keseluruhan inti cerita
yang dipaparkan Stieg Larsson, saya menarik sebuah kesimpulan: Don’t
judge a book by the cover. Don’t judge a human by performance. Ya.
Jangan pernah menilai sesuatu, apalagi seseorang, hanya dengan pengamatan mata
kita saja, tanpa melibatkan hati, tanpa mengikutsertakan logika.
Saran saya, segera miliki
buku ini dan kamu nggak akan berhenti sebelum menutup halaman akhir buku
ketiganya.
Judul
|
:
|
The girl who kicked the
hornet’s nest
|
Penulis
|
:
|
Stieg Larsson
|
Halaman
|
:
|
979
|
Penerbit
|
:
|
Qanita, Mei 2011
|
Salam!
2 komentar:
Nice! Buku yg menarik kayanya
Vika: Iya. Banget saii. Millenium Trilogy. Jangan baca buku ketiga ini sebelum membaca tuntas buku pertama dan kedua. Selamat membaca :)
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)