Malam
ini nggak usah masak ya Bun. Kita makan di luar.
Pesan itu kuterima dari Mas Tondi, lelaki yang sudah tujuh
tahun ini menjadi suamiku. Aku tersenyum menatap layar smartphone yang sedang kugenggam. Dia tak pernah berubah. Masih
seperti dulu saat kami berpacaran, saat seragam putih abu masih menjadi sebuah
kebanggaan. Makan di luar. Itu pertanda ada hal penting yang akan ia bicarakan
denganku. Makan di luar, adalah alasan saat pertama kali ia menyatakan
perasaannya. Makan di luar, juga menjadi sebuah ajakan saat ia memutuskan untuk
memilihku menjadi pendamping hidupnya.
Dan akan ada kejutan apa dalam “makan di luarnya” kali ini?
Ku patut diri di depan cermin. Bingung memilih baju apa yang
akan kukenakan nanti. Aku harus tampil cantik untuknya. Walau tak begitu
menyukai warnanya, aku memutuskan untuk memakai sebuah gaun mewah berwarna
hitam yang tahun lalu ia hadiahkan pada perayaan ulang tahun pernikahan kami.
Mas Tondi memang sangat menyukai warna hitam. Baginya hitam adalah lambang
kesederhanaan, keanggunan. Namun bagiku, hitam laksana petaka dan duka
mendalam. Kuraih gaun tersebut dan kupastikan sekali lagi bahwa memang itu lah
pilihan terbaik untuk malam ini.
***
Seperti janjinya, Mas Tondi datang 15 menit sebelum jam
menunjukkan pukul tujuh malam. Masih dengan seragam kantor, suamiku tampak
membawa setangkai mawar putih kesukaanku. Bergegas ia menghampiriku yang sedang
sibuk membereskan ruang baca kami. Ruang baca yang sedari dulu kuimpikan untuk
kami miliki. Ruang baca yang tak hanya kugunakan untuk menggali lebih banyak
lagi ilmu, tetapi juga mendiskusikan banyak hal dengan suamiku. Berbagi. Saling
menguatkan.
“Ada mawar cantik untuk perempuan tercantik malam ini.”
ucapnya sembari mencium keningku. Aroma khas tubuhnya segera menyeruak memenuhi
rongga pernafasanku. Aku tersenyum sembari menerima pemberiannya. Tanpa bisa
kutahan, setetes airmata haru hadir di sudut mataku. Ada sesuatu yang tiba-tiba
menusuk dan mengenyampingkan kebahagiaan yang baru saja kurasakan. Kesadaran
seolah menamparku dan memaksaku untuk berlabuh pada kenyataan sebenarnya.
Sederetan kenangan pahit yang dengan susah payah kukubur dalam-dalam seakan
hadir kembali.
Rahim
ibu harus diangkat.
Sebuah pernyataan paling membunuh yang pernah kudengar
seumur hidupku. Kenyataan yang harus kuterima saat usia pernikahan kami
menginjak tahun ketiga. Waktu yang cukup lama bagiku karena tidak pernah mampu
memberikan seorang anak pun untuk suamiku. Penyakit kanker rahim yang kumiliki
telah menjadi perenggut harapanku akan masa depan. Saat itu aku benar-benar
terpuruk. Aku mulai mengasingkan diri dari pergaulan. Berhari-hari tak
menyentuh makanan. Berkali-kali membiarkan tubuh kurusku tertidur di kamar
rumah sakit.
Namun betapa pun buruknya kondisiku saat itu, Mas Tondi
selalu berusaha ada untukku. Dengan kesetiaannya tetap berada disampingku. Sikapnya
tak pernah berubah sedikitpun. Bahkan lebih memperhatikan perasaanku, menjagaku
agar tetap stabil, nyaman dalam zona yang kutata untuk diriku sendiri. Pada
akhirnya waktu dan Mas Tondi lah yang mengobati kesakitanku. Pelan tapi pasti
aku kembali seperti sedia kala. Walaupun sudah tak memiliki kesempatan lagi
untuk menghadirkan seorang anak dalam keluarga kami, aku berjanji dengan sepenuh
hatiku akan membahagiakannya seumur hidup, bagaimanapun caranya.
Mas Tondi merasakan kegetiranku. Sekali waktu, kepedihan itu
hadir tanpa bisa kukendalikan. Aku hanya manusia biasa. Aku bukan perempuan
perkasa yang bisa bersikap biasa-biasa saja dengan kondisi luar biasa yang ku
punya.
“Udah..cantiknya luntur tu kalo sedih-sedih terus.” ujarnya
sembari tersenyum. Tangan hangatnya menggenggam tanganku.
***
Tanganku gemetar. Cangkir teh yang sedang kupegang ikut
bergetar karenanya. Mataku memanas seolah ingin melontarkan jutaan magma dari
sana. Tatapanku mengabur karena ada genangan airmata yang sedikit demi sedikit
mulai menjatuhi gaun hitam yang ku pakai.
Hitam.
Petaka. Aku mengulang-ulang
kalimat itu di dalam hati sembari memandangi gaun hitam itu. Gaun hitam yang
sedang menyeringai lebar. Tertawa diatas kesakitanku saat ini.
Mas Tondi yang duduk di depanku menunduk dalam-dalam.
Mencoba bersikap senetral mungkin. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa aku
siap. Dan aku dengan segenap kekuatanku yang tersisa berusaha untuk membantunya
mencapai keinginannya tersebut. Aku akan siap. Aku tak akan memberontak.
Walaupun hatiku merajam luka yang tak bisa kupastikan lagi kapan akan
sembuhnya. Beberapa menit yang lalu, suami kebanggaanku, suami yang sedari dulu
memperlakukanku dengan sangat istimewa, suami yang menjadi sumber kekuatanku,
baru saja menyampaikan sebuah permohonan penting untuk hidupnya, namun petaka
bagiku. Ia ingin menikah lagi. Minggu depan. Satu minggu sebelum Ramadhan
datang.
“Aku mencintaimu. Kamu tau itu. Tapi aku butuh seorang
penerus. Aku mendamba seorang anak dipangkuanku. Dan aku tak ingin berbohong
lagi Bun.” ujarnya lirih. “Biarkan aku menikahi perempuan lain. Aku tetap lah
suamimu yang dulu. Kamu tetap memilikiku seperti yang kamu mau Bun. Tapi tolong
kabulkan permintaanku ini.” tambahnya lagi. Matanya menatap mata batinku.
Aku kehilangan kata-kata. Tak menemukan satu kalimat pun
untuk menjawab permohonannya. Risa. Nama yang menjadi pilihan baginya untuk
menutupi kekuranganku. Risa, sahabat semasa kuliahnya dulu. Seseorang yang
sering ia ceritakan padaku saat kami tengah membongkar buku-buku baru di ruang
baca. Seseorang yang ia perkenalkan
padaku saat resepsi pernikahan kami waktu itu. Seseorang yang ternyata mencuri
hati suamiku. Seseorang yang dulu pernah sangat kutakuti kedatangannya,
merampas apa yang ku punya.
Ingatanku kembali pada beberapa hari yang lalu. Saat dalam
perjalanan pulang dari kantornya, Mas Tondi menghadiahkan sebuah mukena
untukku. “Dipakai buat tarawih nanti ya Bun. Bentar lagi kan Ramadhan.” ujarnya
saat itu. Mungkinkah pada saat yang sama, Mas Tondi juga menghadiahkannya pada
Risa, calon istrinya itu? Kugelengkan pelan kepalaku yang sudah terasa berat.
Aku berusaha tersenyum. Tak ada yang perlu disesali. Toh pada awalnya aku sudah
memprediksi bahwa kejadian seperti ini akan datang dalam kehidupanku. Prediksi
yang sudah kulupakan dalam beberapa tahun belakangan ini.
“Aku ikhlas Mas.” jawabku pelan, hampir tak terdengar. Aku
masih menunduk, menatap gaun hitam itu. Tanda petaka dan dukaku hari ini. “Aku boleh
minta pena dan sehelai kertas?” pintaku. Mas Tondi mengangguk dan merogoh tas
kerjanya lalu mengeluarkan barang-barang yang ku minta. Butuh waktu beberapa
menit untuk merampungkan rangkaian kata yang kutulis dalam kertas putih itu.
Begitu selesai, dengan tangan yang masih bergetar kuserahkan surat itu padanya.
“Tolong sampaikan pada Risa.” pintaku padanya. Dan ketika tangan kami
bersentuhan, duniaku menjadi gelap. Pekat. Hitam.
***
Sore, 4
Juli 2013
Aku
perempuan paling hina dan kamu yang sempurna.
Aku
mencinta dan kamu dicinta.
Aku
kalah dan kamu pemenangnya.
Tapi
satu yang harus kamu ketahui, suamimu nanti adalah cinta sejatiku selamanya.
-Dini-