“Apa
sih gunanya nulis ini itu? Ga penting banget deh kayaknya buat seorang PNS
seperti kamu? Udahlah. Nikmati saja apa yang ada. Syukuri. Toh kewajiban kamu
itu mengabdi pada negara, bukannya menciptakan tulisan-tulisan seperti itu.
Sudah ada penulis-penulis terkenal yang akan menyelesaikannya. Bukan amatiran
seperti kamu.”
Glek. Setiap kali mengingat kata-kata
itu, saya hanya bisa mengurut dada, tersenyum, menggeleng-gelengkan kepala dan
kembali berkonsentrasi pada setiap kalimat yang sedang saya rangkum menjadi
sebuah bacaan. Bacaan untuk orang-orang yang tentunya masih menghargai saya
sebagai seorang penulis, walau masih amatiran.
Ya. Saya memang sedang gencar-gencarnya
menulis. Sekali lagi bukan untuk uang, prestise, apalagi kesombongan. Saya
hanya sedang menyalurkan hobi yang saya nilai berkontribusi positif untuk hidup
saya kedepannya. Saya juga sedang tidak merugikan orang lain dengan kegiatan
ini. Yang saya butuhkan hanya laptop dan sebuah otak dengan kapasitas besar
yang saya gunakan untuk menghasilkan ide-ide brilian demi lahirnya sebuah
karya. Saya tak butuh mereka yang menghina, meremehkan.
Pernyataan tadi bukanlah kalimat pedas
pertama yang saya dengar dari orang-orang tentang hobi aneh yang saya miliki.
Bagaimana tidak aneh bila orang melihat background pendidikan dan profesi saya
saat ini. Tapi bila diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, maka saya
akan menjadikan sastra sebagai pilihan jurusan pendidikan. Haha. Tapi itu
hanyalah sebuah mimpi tanpa landasan. Mimpi yang tak akan pernah menjadi nyata
bukan? Dan benar. Saat ini saya sedang dan akan bekerja selama puluhan tahun ke
depan di kancah birokrasi. Kesempatan yang diberikan Allah kepada saya untuk
mengecap pendidikan di lembah manglayang IPDN, memberikan saya tanggung jawab
besar untuk bisa memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Tugas penting
inilah yang selalu menjadi momok bagi setiap orang untuk memberi penilaian
buruk terhadap hobi saya dalam menulis. Mungkin sebagian besar dari mereka
berpikir bahwa apa yang sedang saya lakukan merupakan salah satu bentuk
ketidaksyukuran saya pada Sang Pencipta. Bahwa apa yang saya lakukan
seakan-akan melenceng dari yang seharusnya. Padahal saya benar-benar
memanfaatkan waktu yang ada, dengan tidak mengusik sedikitpun tanggung jawab
saya sebagai seorang abdi negara.
Hal yang sama mungkin juga dirasakan
oleh saudara-saudara saya yang lain. Sebut saja Sutawijaya. Siapa yang tak
kenal dengan beliau? Tangannya telah mengabadikan ratusan bahkan mungkin ribuan
momen penting. Kakinya mungkin telah menjejak banyak kota di nusantara hanya
untuk sebuah foto. Namun saya yakin dibalik itu semua, ada rasa kepuasan luar
biasa didalam hatinya tatkala mampu menghidupkan cerita dari balik
lembaran-lembaran foto yang ia hasilkan.
Begitu pula halnya dengan Tia, Devi, Yena, Kaka Epin. Sahabat-sahabat yang sama gilanya dengan saya bila sudah berhadapan dengan buku. Mungkin
saja bagi beberapa orang yang tak pernah merasakan sensasi ratusan halaman itu,
hanya akan berkomentar miring. Namun saya percaya, ada banyak hasrat yang
terpenuhi kala menuntaskan satu per satu dari mereka.
1 komentar:
Never stop writing sista... Sesungguhnya hanya orang2 merugi yang berpikir sempit kayak gitu...Hwaiting..!!!
Posting Komentar
Silahkan dikomentari. Kritikan pedas pun tetap saya terima sebagai ajang pembelajaran kedepannya. Terimakasih :)