Minggu, 24 Maret 2013, 18:40 WIB.
Hujan deras di luar sana kembali menghadirkannya
dalam lintasan kenanganku. Terbersit banyak tanya. Adakah dirinya bahagia di
sana? Masihkah mengingatku dengan cinta? Tapi seberapa banyak pun aku bertanya,
tanya itu tak pernah terjawab. Tidak olehnya, tidak oleh siapapun. Hujan lah
yang selalu mengembalikannya padaku. Ya. Masih dengan rasa yang sama. Masih
dengan degupan yang tak berbeda. Cinta.
“Butuh
tumpangan mbak?”
Itu pertanyaan pertama yang dia ucapkan ketika
pertama kali kami bertemu. 12 tahun yang lalu. Dengan hujan yang sama derasnya seperti
sore ini. Kami telah berdiri cukup lama di tempat itu, sebuah halte tua yang
terletak di depan kampus. Dia berdiri di satu sisi, sementara aku duduk di sisi
yang lain. Dan seiring berjalannya waktu, tak ada satupun diantara kami yang
berniat untuk berbicara terlebih dahulu. Aku hanya mengangguk kecil sebagai
jawaban atas pertanyaan sekaligus ajakannya itu. Begitu hujan reda, dia
mempersilahkanku duduk di boncengan motor bututnya. Sebuah motor antik yang
menambah kharismanya di mata banyak orang. Siapa yang tak mengenalnya? Aktif di
berbagai kegiatan kampus, peraih nilai tertinggi disetiap semester, dan tentu
saja seorang kapten basket yang sudah tak diragukan lagi kepiawaiannya. Perjalanan
malam itu pun kami lewati dengan diam yang sama. Hanya gerimis yang menemaniku menebak
banyak hal tentangnya. Mengapa tiba-tiba saja ia berkeinginan mengantarku
pulang? Atau mungkinkah kondisiku malam itu begitu menyedihkan dimatanya? Aku
bahagia sekali malam itu. Kebahagiaan yang alasannya kusimpan rapat-rapat di
dalam hatiku.
Selang beberapa hari, kami bertemu kembali. Tak ada
lagi hujan. Kali ini perpustakaan kampus menjadi saksi betapa dengan bodohnya
aku menjatuhkan sebuah buku besar dengan berat yang cukup membuatnya meringis
menahan sakit ketika buku itu jatuh tepat di kaki kanannya. Namun, kejadian itulah
yang pada akhirnya membuat kami dekat. Buku menjadi pengikat kami dalam sebuah kedekatan
yang sulit untuk dijelaskan. Seringkali kami menghabiskan waktu di
perpustakaan. Dari mencari buku-buku yang memang kami butuhkan dalam
menyelesaikan pendidikan atau untuk sekedar bertemu dan mengobrol banyak hal.
Walaupun berada di dua jurusan yang berbeda bahkan bertolak belakang, aku di
jurusan sastra sementara dia mengambil jurusan teknik, tak menjadi halangan
bagi kami untuk tetap menyatu dalam setiap pembicaraan.Dia menjadi rekan debat
terbaik yang kumiliki saat itu.
Setahun berlalu dan dia mulai menampakkan perhatian
yang lebih padaku. Setiap pagi menjemputku ke kos dan sorenya mengantarkanku
pulang. Bahkan sering mengajakku makan siang bersama. Aku yang tak menyangka
akan menjadi seseorang yang istimewa dihatinya kala itu, hanya mencoba berpikir
bahwasanya apa yang ia lakukan hanyalah sebuah ketulusan seorang sahabat. Namun
pada akhirnya dia mengakui segalanya. Jujur dan berkata bahwa ia telah berusaha
untuk menghindari setiap kali perasaan itu bergejolak dihatinya. Takut
mengecewakanku. Takut aku menjauh dan tidak ingin lagi bertemu dengannya. Ah.
Seandainya ia tau bahwa aku pun sedang berjuang melakukan hal yang sama.
Menerima permintaannya saat itu menjadi sebuah keputusan terberat yang pernah
ku ambil. Perbedaan agama yang kami anut, menjadi bahan pertimbangan terbesar
bagiku. Walau menerima berbagai cercaan kala itu, aku dan dia tetap bertahan. Kami
saling menguatkan dalam tangis kesedihan. Dia juga lah yang selalu memompa
semangatku untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan ketika pada akhirnya kedua
orangtua ku mengetahui hal tersebut, dia tetap bertahan dengan terus
mencintaiku seperti semula. Tak ada sedikitpun perubahan. Tak ada sedikitpun
keinginan untuk meninggalkanku.
Perjuangan kami pun kembali diuji ketika ia disuruh
kembali ke kampung halamannya. Mungkinkah kedua orangtuanya juga berpikiran
sama seperti yang lain? Bahwa tak ada alasan yang bisa membuat kami bersatu.
Dengan berat hati dia pulang dan meninggalkanku. Masih jelas diingatanku ketika
mengantarkannya ke bandara sore itu. Hujan menjadi pertanda bahwa saat itu aku
menangis dalam diam, cemas dalam senyuman dan berharap dalam setiap jejak
langkah yang ia tinggalkan. Beberapa saat setelah perpisahan itu, aku masih
bisa berkomunikasi dengannya melalui telepon rumah.
Satu, dua, tiga tahun berlalu. Seiring berjalannya waktu,
dia mulai menghilang dari kehidupanku. Aku panik. Tidak tau harus mengadu dan
menceritakan kesedihanku pada siapa. Setiap kali aku menghubunginya, aku hanya
mendapatkan jawaban tak memuaskan dari keluarganya. Aku berusaha mencari
kabarnya melalui teman-teman sekampus yang tinggal sekota dengannya. Tapi tak
ada yang benar-benar tau dimana ia berada. Sampai pada suatu sore, aku menerima
sebuah kabar yang meluluhlantakkan hidupku. Ingin rasanya saat itu aku
menghilang, menjadi buih di lautan luas dan tak diketemukan lagi. Lelaki yang
kucintai dengan sepenuh hati telah pergi. Kali ini benar-benar pergi. Tak akan
pernah lagi kembali padaku. Dia meninggal setelah hampir setahun melawan
penyakit kanker paru yang dideritanya. Aku mengetahui hal itu langsung dari
keluarganya. Karena beberapa hari sebelum ia meninggal, ia menitipkan sebuah
surat untukku melalui ibunya. Surat yang sampai saat ini masih kusimpan
baik-baik. Surat cinta terakhir dari kekasihku, seseorang yang sangat berharga.
Seorang yang telah dihadiahkan Tuhan untukku.
Jakarta, 24 Maret 2006
Sayang, maafkan aku yang tak pernah bisa menjadi lelaki
terbaik untukmu. Aku sudah berusaha sebaik yang ku bisa. Namun Allah
menakdirkan hal lain untuk kita. Percayalah, sampai saat terakhir hidupku, aku
selalu mencintaimu dan akan selalu seperti itu.
Sayang, maafkan aku yang tak mampu menceritakan segalanya
padamu. Membagi kesakitanku hanya akan membuatmu bersedih. Sementara aku jauh
darimu.
Sayang, kuatlah menapak hidup. Kelak kamu akan menemukan
seorang lelaki yang lebih baik. Percayalah, ia akan mencintaimu sepertiku saat
ini. Maafkan aku, terima kasih untuk segala kebahagiaan yang kamu berikan. Aku
mencintaimu.
Airmataku kembali menetes. Surat itu kudekap erat.
Berharap aku tengah mendekapnya dalam pelukku. Tujuh tahun berlalu dan saat ini
aku masih menggenggam rasa yang tak pernah berubah untuknya. Walau sampai saat
ini aku belum memutuskan untuk menerima lelaki lain dalam hidupku, aku merasa
tak pernah sendiri sejak kepergiannya. Aku, cinta dan kesetiaanku padanya tak
pernah membuatku merasa hidup dalam kesendirian. Pada Tuhan selalu kutitipkan
pesan, aku mencintainya.