DUA HATI
SATU CINTA, SATU UNIT BANYAK CERITA
Minggu/ 24 Agustus 2014, Iboih –
Pulau Weh, Sabang
Sudah satu minggu kami meninggalkan
rumah, berkeliling Sumatera, mencari jejak-jejak keindahan alam yang mungkin
belum kami temukan di tempat asal kami sendiri. Sudah 3 hari pula kami
menjejakkan kaki di tanah paling barat Indonesia, Sabang. Saatnya kembali dan
melanjutkan perjalanan. Sedih memang. Ingin rasanya berlama-lama tinggal di
tempat indah seperti ini. Namun apa daya, kami hanya diberikan cuti sampai
September nanti. Menunda kepulangan, berarti mengacaukan target perjalanan yang
sudah direncanakan oleh mas suami.
“Seandainya
nanti kita berjodoh lagi dengan tempat ini, kita kembali ya mas.”
Mas suami sedang beberes
Volkswagen. Sebentar lagi kami berangkat menuju Banda Aceh. Kenangan selama
berada di Sabang tak akan pernah kami lupakan. Sebelum berangkat, sekali lagi
kami ingin mengunjungi tugu o kilometer. Rasanya tak pernah puas berada di
tempat tersebut. Udaranya sejuk, langit dan lautnya bersih, masyarakatnya juga
sopan sekali.
Pukul 11:50 siang kami meninggalkan
daerah Iboih. Perjalanan menuju Pelabohan Balohan memakan waktu sekitar 1 jam
dari sini. Jalanan menuju Iboih dari pusat kota adalah jalanan yang paling saya
kagumi. Hutannya masih belum terjamah tangan-tangan manusia. Alamnya masih utuh
dengan hijau dan sejuknya udara. Dari dalam mobil sekalipun, kita akan melihat
sekawanan monyet-monyet kecil. Mereka hidup rukun dengan manusia. Tak ada yang
mengganggu. Tak ada yang diganggu.
Namun ada satu hal yang tak kami
perkirakan sebelumnya. Waktu. Hahaha. Kami terlambat dan ada kemungkinan tak
bisa menyeberang hari ini. Saat ini saya sedang duduk di dalam mobil, menunggu
antrian masuk kapal. Walau kemungkinan itu kecil sekali. Jika memang tak bisa
menyeberang hari ini, berarti saya dan mas suami harus menginap di pelabuhan.
Sedih. Tapi kami tak punya pilihan lain. Semoga hari ini masih ada kapal.
05:44 sore. Pelabuhan Balohan. Dan
pada akhirnya kami memang harus tetap tinggal di Sabang untuk 1 malam lagi.
Karena tak ada kapal yang akan membawa kami ke Banda Aceh. Mas suami langsung
berinisiatif untuk menjemur pakaian kami yang masih basah. Shalat pun kami
lakukan di alam terbuka. Mandi? Pelabuhan Alhamdulillah menyediakan sarana
untuk penumpang yang tertinggal keberangkatan. Karena bukan hanya mobil kami
saja yang telat, ada sekitar 25 mobil lain yang bernasib sama seperti kami. Mas
suami bilang, “Dinikmati saja”. Toh segalanya mendatangkan banyak hikmah. Saya
ikut mas suami tentunya. Asal beliau senang dan tidak lelah, saya bahagia.
Terkadang melihatnya kelelahan dalam perjalanan, saya ikut sedih. Semoga Allah
limpahkan kekuatan dan kesehatan untuknya selalu. Aamiin.
Disini matahari mulai tenggelam,
kembali ke peraduannya. Udara yang tadinya panas, sedikit mulai sedikit sejuk.
Semoga nanti malam tidak terlalu dingin karena kami akan tidur di dalam pikun.
Mas suami tadi menawarkan untuk menginap di losmen yang ada di wilayah
pelabuhan. Namun setelah kami pikir kembali, akan lebih baik jika kami tidur di
mobil, mengingat barang bawaan kami yang cukup banyak. Lagipula, si pikun bukan
mobil biasa. Hahaha. Mas suami sudah menyulapnya menjadi rumah berjalan. Yang
penting saya nyaman. Yang penting saya bahagia.
Malam ini saya dan mas suami makan
malam di area pelabuhan. Ada mie aceh yang enak. Asal ada teh hangat dan kopi,
kami aman. Selepas isya, pelabuhan diguyur hujan. Alhamdulillah hujannya bikin
adem lagi. Saatnya tidur. Zzzzz…byebye.
Senin/ 24 Agustus 2014, Banda Aceh
05:27 sore. Kami masih di Banda
Aceh. Ini sudah dalam perjalanan menuju Bireun untuk kemudian menjajaki lagi
tanah Sumatera Utara, tepatnya Kota Medan. Tadi pagi kami berangkat dari
Pelabuhan Balohan Sabang pada pukul 08.00 pagi. Keberangkatan on time, tepat
pada waktunya. Begitu sampai di Banda Aceh, kami sudah ditunggu oleh Bang Brata
dari Koetaradja Volkswagen Club. Bang Brata langsung menjemput kami ke
pelabuhan.
Sesampainya di darat, mas suami
mengajak Bang Brata ke bengkel Volkswagen yang ada di Banda Aceh. Bengkelnya
tak berada di pinggir jalan lintas. Setelah cek ini itu, ternyata pikun
dipastikan sehat walafiat. Alhamdulillah. Senangnya jika pikun tak ada masalah.
Sebelum berkeliling, saya dan mas
suami numpang mandi dulu di rumah Bang Brata. Sayang, saya tak sempat bertemu
dengan istrinya karena sedang di kantor. Mendekati waktu Dzuhur, kami bertolak
menuju Masjid Baiturrahman. Masjid yang sedari dulu ingin saya datangi. Ingat
kan satu-satunya masjid yang selamat dari hantaman tsunami aceh? Itu dia. Mas
suami dari jauh-jauh hari memang sudah menyampaikan niatnya untuk shalat
disana. Alhamdulillah keinginan kami berdua terkabulkan hari ini. Masjidnya
besar. Di kiri kanan halamannya berjejer pohon-pohon rindang yang dijadikan
sebagai tempat beristirahat. Arsitektur bangunannya membuat saya berdecak
kagum. Suasana di dalam masjid sejuk sekali, padahal udara diluar panasnya
minta ampun.
Akhirnya bisa berkunjung ke masjid fenomenal ini. Subhanallah :) |
Selepas shalat, kami diajak makan
siang oleh Bang Brata. Rumah makannya berada di jalan lintas Banda Aceh –
Sigli. Menu makanan yang disajikan adalah menu yang belum pernah kami jumpai
sebelumnya. Khas Aceh yang kaya akan rempah. Rasanya jangan ditanya. Ueenaakk
tenaann. Sebelum pulang, kami juga diajak minum kopi Aceh asli di Solong Aceh.
Nah bagi pecinta kopi, tempat ini wajib untuk dikunjungi. Mas suami bilang
kopinya nikmat sehingga beliau sampai beli beberapa bungkus untuk dibawa
pulang. Di kedai kopi ini barulah kami tahu ternyata Ulee Kareng itu bukanlah
nama kopi melainkan nama daerah yang berarti kepala ika teri. Hahaha.
Entah karena lapar, atau memang makanan ini enak, saya dan mas suami berhasil menghabiskan hampir seluruh sajian yang dihidangkan. Hohoho. Maap ya Bang Brata. Kami kesurupan :D |
Mampir ke sini kalau ke Aceh. Mas suami bilang kopinya pas. Enak. Nikmat. Sedap. |
Sebelum pulang, kami dibawa menuju
pusat oleh-oleh yang berada di depan Hotel Medan. Souvenir yang dijual harganya
tak terlalu mahal dan banyak pilihan. Selain itu pelayan disana juga ramah
sehingga kita bisa memilah barang yang akan kita bawa pulang.
Sayang, kami belum sempat mengunjungi museum tsunami dan kapal yang terdampar ke tengah Kota Banda Aceh. Banyak yang bilang kami rugi karena melewatkannya begitu saja. Tapi saya langsung sumringah begitu mas suami bilang, "Berarti nanti kita akan kembali lagi ke kota ini. Ada yang harus kita jemput. Banyak yang akan kita tuntaskan."
Yes!
Mejeng bareng pikun dan kodoknya Bang Brata |
Bang Brata sedang menandatangani sertifikat 0 kilometer yang kami bawa dari Sabang untuk ditandatangani oleh seluruh klub Volkswagen yang ada di wilayah Sumatera. |
Sayang, kami belum sempat mengunjungi museum tsunami dan kapal yang terdampar ke tengah Kota Banda Aceh. Banyak yang bilang kami rugi karena melewatkannya begitu saja. Tapi saya langsung sumringah begitu mas suami bilang, "Berarti nanti kita akan kembali lagi ke kota ini. Ada yang harus kita jemput. Banyak yang akan kita tuntaskan."
Yes!
Pukul 20.oo malam kami sampai di
Sigli. Disana kami juga telah ditunggu oleh Bang Irfan sekeluarga. Bang Irfan
adalah purna praja asal pendaftaran Sigli, Propinsi Aceh. Kebetulan ibunya Bang
Irfan juga berdarah minang. Bahkan tinggal dekat dengan daerah kami di Solok.
Keluarga Bang Irfan sangat ramah dan menjamu kami dengan nasi goreng Aceh yang
enak. Ayahnya bahkan menawarkan kami untuk menginap disana. Namun dengan sopan
kami menolak karena harus melanjutkan perjalanan. Kami sudah ngaret 2 hari dari
rencana semula. Dengan menginap di Sigli berarti akan menambah hari perjalanan
kedepannya.
Perjalanan kami lanjutkan hingga
pukul 12.30 dini hari. Kami sampai di daerah Bireun, 2 jam perjalanan dari
Sigli. Malam ini kami menginap lagi di SPBU. SPBu di daerah Aceh kebanyakan
besar dan bersih. Selalu disediakan tempat untuk beristirahat bagi musafir
seperti kami. Hehehe.
Sudah malam, kaka lala bobo
dulu ya. See you tomorrow. Emmuah