Rabu, Agustus 27

Honeymoon Trip; Road to Sumatera # 3

Diposting oleh Orestilla di 11.29.00 1 komentar


DUA HATI SATU CINTA, SATU UNIT BANYAK CERITA

Kamis/ 21 Agustus 2014, Meulaboh - Aceh

Siapa bilang tidur di SPBU itu tidak menyenangkan? Hahaha. Buktinya untuk kali yang pertama, saya tetap tidur dengan nyenyak. Mungkin karena capek atau mungkin juga karena tidurnya masih sama suami. Jiaahhh. Hahahaha. Untuk catatan, di Aceh, SPBU dinamakan galon. Bingung? Sama. Jadi ceritanya tadi malam itu kami bobo indah di galon. Wahahahaha. 

Perjalanan kami mulai pada pukul 09.00 pagi ini. Target jam 12.00 siang sudah standby di pelabuhan karena menurut informasi dari purna praja asal Sabang, Adi, kapal angkutan mobil sudah siap di jam tersebut. Jalanan menuju Banda Aceh luar biasa keren. Seperti halnya tol di Jakarta sana. Mulus. Laut di sisi kiri Subhanallah menakjubkan. Berkali-kali mas suami mengucap syukur pada Illahi Rabbi. Aceh memang fantastis. Empat jempol dari kami.

Mejeng dulu bareng Pikun. Ini pantai pertama yang kami jumpai.
 
Dari jauh sudah kelihatan pantai berikutnya. Its so amazing!

Jalan lintas barat selatan Aceh mulus dan lurus

Rambu-rambu ini akan sering sekali kita temui selama di perjalanan. Jadi berhati-hatilah jika melewati daerah ini jika tak ingin mobil kesayanganmu diseruduk sapi. hahaha


Beberapa kilometer menjelang kawasan Gunung Geureut, kami bertemu dengan empat kendaraan bermotor roda dua dengan nomor plat Sumatera Barat yang juga sedang melakukan touring ke Sabang – Aceh. Ketika berpapasan untuk yang kedua kalinya, mas suami berhenti dan turun dari mobil, kemudian ngobrol asyik dengan mereka. 

Mas suami itu cinta setengah mati dengan angkatan 18. Makanya beliau wajib foto di kilometer 18 menuju Banda Aceh. Ckckckck


Perjalanan melintasi kawasan Gunung Geureut amat sangat menakjubkan. Ketika berada di sisi gunung yang menghadap ke arah laut, kita akan melihat lautan luas tanpa batas. Sementara di sisi lain, tebing curam dan tinggi. Setibanya di puncak, akan kita temui beberapa kedai kecil yang menyediakan kopi tubruk aceh diramu dengan view lautan hindia. 15 menit meninggalkan Geureut yang indah, kita akan bertemu lagi dengan Gunung Kulu. Hamparan pantai yang terlihat dari ketinggian tak kalah hebatnya ketika kita berada di Geureut.

Jalanan menuju puncak Geurute. Adem.
 
Ini dia puncak Geurute yang terkenal itu. Keren kan ya? Sayang, kami tak sempat mampir. Takut ketinggalan kapal yang mau merapat ke Sabang. Di puncak Geurute ini ada banyak kedai kopi loh teman-teman :)
Setelah puas menikmati pantai dari ketinggian, kami melanjutkan perjalanan yang tersisa beberapa kilometer lagi menuju Banda Aceh, tepatnya Pelabuhan Ulee Leehue, untuk kemudian berlabuh di Pulau Sabang. Jalanan lancar dan terkendali. Mas suami bilang, mungkin lintas sumatera terbaik ada di Aceh. Benar-benar memuaskan pengemudi. Namun ada satu hal yang mesti diperhatikan. Jalan menuju Banda Aceh dari Meulaboh seringkali terganggu dengan segerombolan sapi atau kerbau. Maka jangan heran jika di perjalanan, anda akan menemukan banyak sekali rambu-rambu lalu lintas yang memperingatkan kita akan keberadaan hewan-hewan tersebut. Hal yang sama juga diingatkan kepada kami oleh Bang Brata. Beliau adalah anggota Koetaradja Volkswagen Club, yang sedari awal memantau perkembangan perjalanan kami.

Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Walau menunggu untuk hal yang indah sekalipun. Adi memberitahu kami bahwasanya kapal akan berangkat pada pukul 2 siang sehingga jam 12 teng kami sudah sampai di pelabuhan. Ternyata oh teryata kapal baru berangkat pukul 4 sore. Jadilah akhirnya kami menggembel berdua di pelabuhan nan panasnya Wallahuakbar ini. Jam di laptop menunjukkan angka 02:50 WIB. Belum ada tanda-tanda kedatangan kapal, sementara penumpang yang akan berangkat menuju Sabang sudah membludak.

Di pelabuhan kami bertemu lagi dengan lima sekawan asal Padang yang sedang melakukan touring YVCI (Yamaha Vision Club Indonesia). Mas suami dengan senang hati mengajak mereka ngopi-ngopi di mobil. Setelah menunggu sekian jam, akhirnya pada pukul 4 sore kami bertolak menuju Sabang. Tiket penyeberangan per orang adalah Rp 25.000,-. Sementara kendaraan yang kami bawa dikenakan biaya Rp. 190.000,-. Menurut penjelasan Pak Cik (bapak ini dikenalkan oleh bang Yudhi Herbie yang beberapa bulan lalu bertemu dengan kami di Kota Solok ketika melakukan touring tunggal Volkswagen ke seluruh wilayah Indonesia), kapal akan merapat 2,5 jam dari waktu keberangkatan. 

Pikun nongkrong paling depan di pelabuhan.

Laut Indonesia memang gagah dan indah. Demikian yang saya rasakan ketika berada diatas laut menuju Sabang. Kapal feri yang memuat kendaraan dan penumpang tersebut tidaklah terlalu besar sehingga guncangan sangat terasa walaupun kita berada di lantai paling atas. Apalagi ketika saya dan mas suami melaksanakan ibadah shalat Ashar disana.

Kami berlayar dulu yaaaaa...

Suara kapal yang bising memberitahu saya bahwasanya pelabuhan sudah dekat. Sabang telah terlihat di depan mata. Saya mengucap syukur akhirnya bisa menyempatkan diri menjejakkan kaki ke tanah paling barat milik Indonesia. Saya juga tahu bahwasanya mas suami lega dan puas karena keinginannya untuk berbulan madu dan mengajak istrinya, akhirnya kesampaian. Di Sabang kami sudah ditunggu oleh Adi. Untuk melepas penat selama di perjalanan, Adi mengajak kami untuk makan dan minum kopi khas Aceh. 

Jujur, saya ingiiiiin sekali menginap di Casanemo di daerah Sumur Tiga, Sabang. Tempatnya benar-benar menakjubkan untuk berbulan madu. Untuk harga, kisaran 400rb sudah ada kamar yang tersedia. Namun sayangnya, kami kehabisan tempat karena tidak booking jauh-jauh hari. Ketika berada di resepsionis Casanemo, tamu yang sedang santap malam kebanyakan turis asing. Ah. Saya dan mas suami melewatkan kesempatan bagus di tempat ini. Sedih.

Pilihan berikutnya jatuh ke resort yang terletak disebelahnya. Namun ketiadaan kamar yang menghadap laut, kami batalkan sekali lagi. Bingung. Akhirnya Adi mengajak kami ke Anoi Itam Resort. Tempatnya lumayan jauh dibandingkan Casanemo Resort. Butuh waktu setengah jam dari pusat kota. Namun Adi menjanjikan bahwasanya tempat tersebut jauh lebih menarik, dengan pengorbanan, biaya yang dikeluarkan memang 2 kali lipat lebih banyak. Oke. Mas suami menyanggupi asal kami mendapatkan tempat terbaik di tempat ini.

Maka jadilah malam ini kami menginap di Resort terbaik kedua di Sabang. Hahaha. Memang jauh dari planning kami semula, namun apa saja yang bisa meninggalkan kenangan indah tentang tempat ini, kami akan lakukan. Haha. 

Ini dia beberapa sudut Anoi Itam Resort yang bisa dijadikan referensi kalau teman-teman mau menginap di Sabang:











 
See ya. Kaka lala mau rehat dulu. Hari esok akan sangat melelahkan, dan membahagiakan tentunya. Bye.

Honeymoon Trip, Road to Sumatera # 2

Diposting oleh Orestilla di 10.41.00 2 komentar


DUA HATI SATU CINTA, SATU UNIT BANYAK CERITA

Rabu/ 20 Agustus 2014, Sabulussalam - Aceh
Masih di Nangroe Aceh Darussalam. 11:56 kami baru melangkah keluar dari penginapan. Jauh sih dari target sebelumnya yang direncanakan pukul 10 pagi. Sengaja memang Mas Agung masak dulu jadi di perjalanan nanti kami tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk biaya makan. Hahahaha. Hemat dong. Dari rumah, Mas Agung sudah menyiapkan kompor gas kecil dan tetek bengek peralatan masak. Suami saya memang paling andalan. Yihuuu..

Koki kesayangan kaka lala :)

Lintas Subulussalam menuju Meulaboh lancar dan menyenangkan. Ada sawit dimana-mana. Jalanan mulus tanpa gelombang. Hanya saja ada banyak belokan sehingga kaka lala jadi sedikit mual. Hahahaha. Belum lagi tanjakannya disana-sini. Sepertinya kita dibawa menuju puncak tertinggi daerah tersebut. Dan saya harus professional memang karena harus ketak ketik keyboard laptop selama dalam perjalanan.
Kawasan lintas Salubussalam – Meulaboh berada di pesisir barat Sumatera. Mendekati daerah Bakongan, kami disambut hamparan laut dari Samudera Hindia. Keren. Jalanan mulus, pantainya pun bagus. Mas suami sumringah sepanjang perjalanan, mungkin teringat bagaimana perjuangan kami ketika melintasi Sumatera Utara hari kemaren. Sayang di beberapa bagian, pantai di dam dengan batu. Sepertinya hal tersebut dilakukan demi menahan erosi air laut yang akan merusak bibir pantai.

Kita disuguhkan view seperti ini ketika melewati Lintas Barat - Selatan Aceh. Subhanallah..

Ini dia pantainya. Keren. Bersih.

8 km sebelum memasuki Tapak Tuan, kami terpaksa menghentikan perjalanan karena ada perbaikan jalan yang menyebabkan sistem tutup buka. Terlambat. Kami sampai disana ketika jalan baru saja ditutup. Dari hasil nguping pembicaraan  mas suami dengan masyarakat setempat, kami harus menunggu sekitar 1 jam. Hah. Yaaaa begitulah. Namanya juga perjalanan. Akan ada saja kendala yang kita temui. Tapi lebih dari itu semua, satu hal yang membuat saya shock adalah penuturan si bapak bahwasanya untuk mencapai Banda Aceh kami membutuhkan 10 jam perjalanan dengan kecepatan 90 km/ jam. Padahal informasi sebelumnya menjelaskan kepada kami bahwasanya Banda Aceh bisa ditempuh dalam 6 jam saja. Hahaha. Tentu saja kami kecewa.

Perjalanan menuju Meulaboh diguyur hujan lagi. Tidak deras, cukup mendinginkan badan kami yang sudah berpanas-panas dari pertama kali berangkat tadi pagi.

07:51 pm. Saya baru saja menyelesaikan shalat Maghrib di daerah Kabupaten Nagan Raya. Informasi dari uztad yang ada di masjid, Meulaboh hanya tinggal setengah jam perjalanan dari daerah ini. Sementara Banda Aceh masih membutuhkan 4 jam. Daerah ini lumayan sepi. Mungkin juga karena malam telah beranjak naik. Masjid Nurussalam tempat kami shalat tampak ramai karena ada banyak santri yang mengaji Al-Quran. Kami berdua hanya tertawa terbahak-bahak karena roaming dengan bahasa mereka. Perjalanan kami lanjutkan. Kami berdua masih galau untuk melanjutkan perjalanan hingga Banda Aceh atau beristirahat malam ini di Meulaboh.

Sesampainya di Meulaboh, mas suami segera menghubungi teman kami seangkatan ketika mengecap pendidikan di IPDN. Poin penting yang kami temukan ketika bergerak melintasi seluruh wilayah Sumatera adalah eratnya kekeluargaan almamater kami. Karena di setiap dearah yang kami singgahi, dipastikan akan ada purna praja yang satu angkatan dengan kami. Kami bertemu dengan Fefi, purna praja asal pendaftaran Meulaboh. Bang Fefi mengajak kami menikmati santap malam di negeri tersebut. Setelah puas berkelakar dan menguak kembali kenangan ketika berada di kampus, kami bertolak menuju Banda Aceh. 

Yang paling kiri itu Bang Fefi. Yang pake baju merah itu temennya. Makasi untuk makan malamnya Bang .

Pukul 12.30 dini hari kami menghentikan perjalanan. Selain karena memang sudah terlalu lelah, saya sendiri berharap bisa menyaksikan keindahan gunung Geurute yang terkenal itu. Dan itu berarti kami harus berangkat pagi. Maka jadilah malam ini kami menginap di SPBU terakhir sebelum tempat tersebut. Hahaha. Saya sendiri tak pernah menyangka bisa tidur di tempat pengisian bensin, walau dari jauh-jauh hari mas suami sudah memberikan gambaran tentang kondisi tersebut.

Oke. See ya. Kita sambung esok hari.

Rabu, Agustus 20

Honeymoon Trip; Road to Sumatera #1

Diposting oleh Orestilla di 09.57.00 3 komentar


DUA HATI SATU CINTA, SATU UNIT BANYAK CERITA

Kami tiba di Padang Sidempuan 19 Agustus 2014  pukul 12.00 dini hari. Berkat bantuan sahabat saya Eva Yuliana Harahap, kami bisa beristirahat di Hotel Sitamiang, pusat kota Padang Sidempuan. Eva adalah purna praja asal pendaftaran Kepulauan Riau. Kebetulan orangtuanya bekerja di Padang Sidempuan. Semula saya berharap bertemu dengannya di kota ini, namun Eva ternyata masih berada di Tanjung Pinang.
Selasa pagi menjelang siang tepatnya pukul 10:30 waktu setempat kami melanjutkan perjalanan menuju Kaban Jahe. Prediksi mas suami kami akan menginjakkan kaki di tanah tersebut malam harinya. Perjalanan awalnya agak tersendat karena trouble kecil di bagian rem. Namun Alhamdulillah bisa diatasi. Jalan lintas di daerah ini kecil dan bergelombang sehingga dibutuhkan konsentrasi tinggi dalam berkendara. Jadi daripada membuat masalah karena mengganggu, saya pilih mengeluarkan laptop dan mulai merangkai narasi lagi. Saya mendapatkan ide untuk menamai perjalanan ini dengan “Honeymoon Trip; Road to Sumatera”. Kita akan lihat berapa chapter yang akan saya selesaikan nantinya.
Padang Sidempuan cukup panas. Setidaknya begitulah yang kami rasakan ketika melintasi daerah tersebut. Sengaja saya pilihkan kaos buntung untuk mas suami demi menghindari produksi keringat yang berlebihan. Volkswagen kami memang tidak dilengkapi dengan air conditioner, sehingga bisa dibayangkan betapa gerahnya perjalanan kami ketika memasuki kawasan panas seperti ini. Saya? Alhamdulillah tentu saja masih istiqamah dengan jilbab yang saya pakai. 
Memasuki kawasan Siporok, sisi kanan dan kiri jalan terhampar padang rumput seluas mata memandang. Cuaca masih cukup gerah. Jalanan masih kecil namun lebih mulus dari yang sebelumnya. Tidak banyak kendaraan yang berpapasan dengan kami disini. Nun jauh disana, bukit barisan berjajar dengan sangat indah di sisi kanan kami. Ah. Indonesia memang amat sangat mengagumkan. Betapa hanya dengan melakukan perjalanan seperti ini, rasa syukur pada Sang Khalik semakin bertambah setiap detiknya.
11:50 siang kami kami masih di daerah Tapanuli Selatan. Kondisi jalan parah dan bergelombang. Kekecewaan saya sedikit terobati ketika melihat sebatang pohon mati yang masih berdiri dengan kokoh di tengah lahan tandus. Ingin sekali mengabadikan fotonya, tapi mas suami menolak karena memang cuaca sedang panas-panasnya. Yasudah lah..yang penting saya telah mengabadikannya didalam ingatan. Keren. Saya senang. Hehehehe.
By the way, menyusuri daerah yang panas dan gersang seperti ini mengingatkan saya pada film-film amerika jaman dahulu kala. Ingat kan film koboy? Nah itu dia. Hahaha. Belum lagi ketika bertemu dengan orang-orang tua yang tersenyum sumringah ketika VW kami melintas. Entahlah. Mungkin saja mobil tua ini mengembalikan kepingan kenangan mereka di masa lalu. Siapa tahu.
40 menit setelah memasuki Tapanuli Utara, cuaca yang tadinya panas berubah mendung. Dan secara kebetulan kami juga tengah asyik mendengarkan Set Fire to The Rain nya Adele. Klop lah ya. Temen-temen mas suami di VOCPA (Volkswagen Padang) juga terus ngecek dan menemani perjalanan kami. Alhamdulillah sampai sejauh ini semuanya masih berjalan baik dan lancar. Pemandangan disekitar pun ikut berubah. Sudah terlihat banyak pemukiman penduduk, walau sebagian besar dari rumah-rumah tersebut terlihat kosong tanpa penghuni. Mungkin mereka sedang berada di ladang masing-masing. Pekuburan suku batak dengan bangunannya yang kokoh dan mewah juga terlihat di sepanjang jalan. Jalanan belum lagi ramai, masih cukup sepi. Beberapa kali kami bertemu dengan anak-anak berseragam sekolah yang asyik bercengkrama satu sama lain. Mereka anak-anak desa yang tampak begitu bahagia hanya dari caranya tertawa dan menatap mata kami.
Pukul 14.00 kami baru berhasil menemukan masjid untuk melaksanakan ibadah shalat dzuhur. Alhamdulillah lagi disamping masjid ada yang jualan makanan. Jadilah akhirnya kami makan siang disana. Setelah puas mengisi perut, kami lanjutkan perjalanan menuju Siborong-borong.
Perjalanan menuju Balige kami batalkan karena takutnya sesampai disana malam sudah mulai merambah bumi. Tujuan kami kesana hanya satu, menyaksikan keindahan Danau Toba dari dekat, walau tak bisa menyentuh airnya yang sejuk seperti halnya ketika kita berada di Prapat. Kebetulan mas suami belum pernah melihat Danau Toba secara langsung. Saya sedikit lebih beruntung karena pernah mengunjunginya tahun 2010 silam. Untuk menghemat waktu kami bertolak ke daerah Sidikalang, untuk selanjutnya menuju Tapak Tuan.
Sepanjang perjalanan menuju Sidikalang kami kembali dihadang jalanan yang hancur. Badan dan bahu jalan rusak berat sehingga si pikun (ini nama kesayangan Volkswagennya mas suami) terpaksa berjalan tertatih demi menghindari kerusakan dan lain sebagainya. Ditambah lagi gerimis yang masih mengintai perjalanan kami. Jalan relatif sepi, jauh dari pemukiman penduduk. Yang terlihat hanya jajaran pohon pinus yang menandakan bahwasanya kami tengah berada di dataran tinggi. Namun sayang, saya dan mas suami juga banyak melihat tindak pembalakan terhadap flora tersebut. Setelah kami perhatikan, tak tampak proses reboisasi. Ah semoga saja apa yang kami pikirkan tidaklah benar. Karena bisa dibayangkan bagaimana dampak yang bisa disebabkan oleh pembalakan tersebut, apabila tidak diiringi dengan tindak penghijauan kembali. Jam menunjukkan pukul 17:25 . Alhamdulillah semua masih dalam keadaan baik.
Kabut pekat menanti kedatangan kami ketika berada di sepanjang jalan Dolok Sanggul - Dairi. Jalanan masih saja sepi. Eh tiba-tiba suasana jadi horror gitu. Saya jadi ingat lagi film-film seram kelahiran Hollywood. Kan sering tu tiba-tiba saja ditengah jalan yang sepi muncul alien dan sebangsanya. Hahahaha. Cuaca dingin menusuk tulang. Saya dengan senang hati pindah ke belakang dan melingkar manis di dalam selimut. Sementara mas suami dengan sumringahnya masih bertahan dengan kaos kutangnya. Ckckckck.
18:54 pm kami menapak di Sidikalang. Akhirnyaaaa..saya dan mas suami langsung tos begitu melihat lampu-lampu kota. Bayangan terdampar di hutan amazon pun hilang seketika. Hahahaha.
Rute selanjutnya adalah Subulussalam. Dari namanya yang bernuansa islami, sepertinya daerah tersebut sudah masuk dalam kawasan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Ya. Semoga saja demikian. Saya sedih ketika harus meninggalkan shalat Ashar hari ini karena susahnya menemukan masjid di tanah batak. Alhamdulillah kami sempat nyasar ketika menuju Subulussalam, beruntungnya malah nyasar ke depan masjid dan ketemu seorang bapak tua yang memberi petunjuk jalan. Beliau bilang Sidikalang – Subulussalam membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan. Syup. Perjalanan kami berlanjut.
Pukul 23.30 kami mendarat sempurna di tanah Aceh. Setelah berdebat tentang penginapan, akhirnya pilihan kami jatuh pada penginapan bergaya cottage yang nyaman dan bersih. Waktunya istirahat, recharge energi untuk perjalanan berikutnya.
Nah. Itu dia cerita perjalanan kami hari kemaren di chapter pertama. Hari ini rabu 20 Agustus 2014, saya tengah menunggu mas suami yang sedang cek kondisi si pikun. Dari penginapan Maulida Citra, kami akan melanjutkan perjalanan hingga nantinya sampai di ujung barat Indonesia, Sabang.
See you. Bye.

Selasa, Agustus 19

Teman Hidup

Diposting oleh Orestilla di 08.56.00 1 komentar


Selasa 19 Agustus 2014, Padang Sidempuan - Sumatera Utara
Kisah cinta kami tak seperti orang kebanyakan yang bermanis-manis ria sedari awal. Cinta ini tak kami renda dari jauh-jauh hari karena mencintainya pun saya lakukan setelah saya diminta untuk menjadi istrinya. Dia adalah sahabat dekat yang padanya saya ceritakan segala macam prahara hidup. Dia adalah seorang atasan yang padanya saya sampaikan semua bentuk permasalahan kantor. Dia adalah teman hidup saya saat ini. Dia, Agung Hazani.
Banyak yang bertanya mengapa saya bisa menikah dengan sahabat saya sendiri, mengapa saya bisa begitu yakin dengannya, menilik kami lebih sering bertengkar dan beradu argumen daripada adem ayem selama ini. Berbaikan saja mungkin sudah menjadi poin tertinggi yang kami punya. Mencintai satu sama lain? Hahaha. Sampai saat ini pun saya masih sering dibuat tertawa karenanya. Allah memang selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Dan sekarang saya bersyukur mendapatkannya. Dia sosok yang saya cari dari dulu, yang saya butuhkan, yang saya inginkan. Keberadaannya yang begitu dekat membuat saya tak pernah sadar bahwa dia lah orangnya, dia lah jodoh yang disimpan Allah untuk saya.
Sebagai seorang sahabat, saya mengerti betul tabiat dan tingkah laku nya. Begitu mengetahui bahwasanya atasan saya dikantor adalah dia, saya sempat dibuat panik. Ah. Bagaimana mungkin saya bisa berkolaborasi baik dengannya, sementara dalam keseharian, kami selalu saja tak pernah akur. Maka jadilah hari-hari saya seperti neraka. Kritik, saran dan adu pendapat tak pernah habis setiap harinya. Mungkin saja bertambahnya kedekatan kami sebagai rekan kerja membuat saya semakin mengenal kepribadiannya. Dan waktu pun menjawab. Perlahan tapi pasti, kami bisa menyeimbangkan antara persahabatan kami dan profesionalitas kami sebagai abdi negara.
Tak cukup sampai disana saja. Setelah kurang lebih 1 tahun mengemban jabatan, dia melamar saya untuk dijadikannya teman hidup. Sahabat seumur hidup. Sahabat sejati. Saya? Tentu saja saya bingung, geli dan tak menyangka sama sekali. Bagi saya saat itu, pengakuannya bagai candaan kami sehari-hari. Saya tak percaya hingga dia langsung menyampaikan niat baiknya pada mama dan papa. Melihat kesungguhan dan ketulusannya, saya menyambut baik rencana besarnya tersebut. Saya bersedia menikah dengan sahabat, rekan kerja, teman seangkatan ketika menimba ilmu di kampus IPDN, teman seangkatan ketika merenda ilmu di pascasarjana, musuh bebuyutan yang sering membuat saya marah besar, lelaki pertama yang berani untuk bicara langsung dengan papa. Saya menikah dengannya tanpa cinta yang membara seperti orang lain, saya menikah karena saya percaya dan yakin padanya. Dan sekarang saya bisa pastikan, saya punya stok cinta yang tak akan pernah habis untuknya.

bener-bener sahabat yang jadi cinta :)

Sepanjang pesta kami hanya bisa berhaha hihi karena tak pernah menyangka bahwa yang duduk di sebelah kami bukan lagi sahabat tempat berkeluh kesah, tapi pasangan sehidup semati yang sudah berjanji di hadapan Allah :)

Dengan dukungan dari kedua orang tua, keluarga, sahabat, rekan kerja dan teman-teman yang lain, pernikahan kami Alhamdulillah terlaksana dengan baik dan lancar pada Jumat tanggal 8 Agustus 2014 yang lalu. Ketika mencium tangannya untuk yang pertama kali setelah ijab kabul dibacakan, saya berdoa kepada Allah, mengirimkan ucapan syukur karena telah mempertemukan saya dengan seorang lelaki yang sama sekali tak sempurna tapi selalu mencoba menyempurnakan hidup saya. Dan mungkin saja pernikahan kami adalah pernikahan lurah dan sekretarisnya yang pertama di Indonesia. Hahahaha. Kami memang sama sekali tak punya waktu untuk berpacaran. Dan sekarang saya beberkan pada teman-teman semua, bahwa pacaran setelah menikah itu jauh lebih membahagiakan. Jauh lebih menyenangkan.
Saat ini kami tengah berada di Padang Sidempuan -  Sumatera Utara. Ini perjalanan pertama saya mengelilingi bumi sumatera. Hanya berdua dengan suami, hanya dengan satu unit Volkswagen kami. Ini perjalanan bulan madu yang sangat dia inginkan. Dari dulu. Bahkan sebelum dia sendiri tahu, siapa yang akan jadi istrinya nanti. Dan sebagai istri yang baik, saya harus mengikuti kemauannya. Kebetulan saya sendiri juga senang sekali jalan-jalan. Namun jujur, tak pernah terbayangkan kalau saya akan mengelilingi pulau sumatera ini melalui darat. Hahaha.
Tujuan utama mas suami adalah Pulau Weh – Sabang. Dia ingin sampai di tugu 0 kilometer. Filosofi untuk kami sebagai pengantin baru. Bahwa hidup ini akan kami mulai lagi dari nol. Hidup yang baru dengan segala likunya yang tentu saja tak pernah dilalui orang lain dengan gampang.
Di laman ini saya akan ceritakan kisah perjalanan kami yang mengharubiru. Siapa tahu setelah ini, kamu sendiri berminat untuk mengikuti jejak kami. Why not? Hahaha. Udahan dulu ya manteman, saya sudah harus bangunkan mas suami sesuai orderannya semalam. Karena kami berencana melanjutkan perjalanan pada pukul 10 pagi ini dengan rute berikutnya, Danau Toba. Tunggu kelanjutan kisah ini secepatnya. See you. Bye.

Rabu, Agustus 27

Honeymoon Trip; Road to Sumatera # 3

Diposting oleh Orestilla di 11.29.00 1 komentar


DUA HATI SATU CINTA, SATU UNIT BANYAK CERITA

Kamis/ 21 Agustus 2014, Meulaboh - Aceh

Siapa bilang tidur di SPBU itu tidak menyenangkan? Hahaha. Buktinya untuk kali yang pertama, saya tetap tidur dengan nyenyak. Mungkin karena capek atau mungkin juga karena tidurnya masih sama suami. Jiaahhh. Hahahaha. Untuk catatan, di Aceh, SPBU dinamakan galon. Bingung? Sama. Jadi ceritanya tadi malam itu kami bobo indah di galon. Wahahahaha. 

Perjalanan kami mulai pada pukul 09.00 pagi ini. Target jam 12.00 siang sudah standby di pelabuhan karena menurut informasi dari purna praja asal Sabang, Adi, kapal angkutan mobil sudah siap di jam tersebut. Jalanan menuju Banda Aceh luar biasa keren. Seperti halnya tol di Jakarta sana. Mulus. Laut di sisi kiri Subhanallah menakjubkan. Berkali-kali mas suami mengucap syukur pada Illahi Rabbi. Aceh memang fantastis. Empat jempol dari kami.

Mejeng dulu bareng Pikun. Ini pantai pertama yang kami jumpai.
 
Dari jauh sudah kelihatan pantai berikutnya. Its so amazing!

Jalan lintas barat selatan Aceh mulus dan lurus

Rambu-rambu ini akan sering sekali kita temui selama di perjalanan. Jadi berhati-hatilah jika melewati daerah ini jika tak ingin mobil kesayanganmu diseruduk sapi. hahaha


Beberapa kilometer menjelang kawasan Gunung Geureut, kami bertemu dengan empat kendaraan bermotor roda dua dengan nomor plat Sumatera Barat yang juga sedang melakukan touring ke Sabang – Aceh. Ketika berpapasan untuk yang kedua kalinya, mas suami berhenti dan turun dari mobil, kemudian ngobrol asyik dengan mereka. 

Mas suami itu cinta setengah mati dengan angkatan 18. Makanya beliau wajib foto di kilometer 18 menuju Banda Aceh. Ckckckck


Perjalanan melintasi kawasan Gunung Geureut amat sangat menakjubkan. Ketika berada di sisi gunung yang menghadap ke arah laut, kita akan melihat lautan luas tanpa batas. Sementara di sisi lain, tebing curam dan tinggi. Setibanya di puncak, akan kita temui beberapa kedai kecil yang menyediakan kopi tubruk aceh diramu dengan view lautan hindia. 15 menit meninggalkan Geureut yang indah, kita akan bertemu lagi dengan Gunung Kulu. Hamparan pantai yang terlihat dari ketinggian tak kalah hebatnya ketika kita berada di Geureut.

Jalanan menuju puncak Geurute. Adem.
 
Ini dia puncak Geurute yang terkenal itu. Keren kan ya? Sayang, kami tak sempat mampir. Takut ketinggalan kapal yang mau merapat ke Sabang. Di puncak Geurute ini ada banyak kedai kopi loh teman-teman :)
Setelah puas menikmati pantai dari ketinggian, kami melanjutkan perjalanan yang tersisa beberapa kilometer lagi menuju Banda Aceh, tepatnya Pelabuhan Ulee Leehue, untuk kemudian berlabuh di Pulau Sabang. Jalanan lancar dan terkendali. Mas suami bilang, mungkin lintas sumatera terbaik ada di Aceh. Benar-benar memuaskan pengemudi. Namun ada satu hal yang mesti diperhatikan. Jalan menuju Banda Aceh dari Meulaboh seringkali terganggu dengan segerombolan sapi atau kerbau. Maka jangan heran jika di perjalanan, anda akan menemukan banyak sekali rambu-rambu lalu lintas yang memperingatkan kita akan keberadaan hewan-hewan tersebut. Hal yang sama juga diingatkan kepada kami oleh Bang Brata. Beliau adalah anggota Koetaradja Volkswagen Club, yang sedari awal memantau perkembangan perjalanan kami.

Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Walau menunggu untuk hal yang indah sekalipun. Adi memberitahu kami bahwasanya kapal akan berangkat pada pukul 2 siang sehingga jam 12 teng kami sudah sampai di pelabuhan. Ternyata oh teryata kapal baru berangkat pukul 4 sore. Jadilah akhirnya kami menggembel berdua di pelabuhan nan panasnya Wallahuakbar ini. Jam di laptop menunjukkan angka 02:50 WIB. Belum ada tanda-tanda kedatangan kapal, sementara penumpang yang akan berangkat menuju Sabang sudah membludak.

Di pelabuhan kami bertemu lagi dengan lima sekawan asal Padang yang sedang melakukan touring YVCI (Yamaha Vision Club Indonesia). Mas suami dengan senang hati mengajak mereka ngopi-ngopi di mobil. Setelah menunggu sekian jam, akhirnya pada pukul 4 sore kami bertolak menuju Sabang. Tiket penyeberangan per orang adalah Rp 25.000,-. Sementara kendaraan yang kami bawa dikenakan biaya Rp. 190.000,-. Menurut penjelasan Pak Cik (bapak ini dikenalkan oleh bang Yudhi Herbie yang beberapa bulan lalu bertemu dengan kami di Kota Solok ketika melakukan touring tunggal Volkswagen ke seluruh wilayah Indonesia), kapal akan merapat 2,5 jam dari waktu keberangkatan. 

Pikun nongkrong paling depan di pelabuhan.

Laut Indonesia memang gagah dan indah. Demikian yang saya rasakan ketika berada diatas laut menuju Sabang. Kapal feri yang memuat kendaraan dan penumpang tersebut tidaklah terlalu besar sehingga guncangan sangat terasa walaupun kita berada di lantai paling atas. Apalagi ketika saya dan mas suami melaksanakan ibadah shalat Ashar disana.

Kami berlayar dulu yaaaaa...

Suara kapal yang bising memberitahu saya bahwasanya pelabuhan sudah dekat. Sabang telah terlihat di depan mata. Saya mengucap syukur akhirnya bisa menyempatkan diri menjejakkan kaki ke tanah paling barat milik Indonesia. Saya juga tahu bahwasanya mas suami lega dan puas karena keinginannya untuk berbulan madu dan mengajak istrinya, akhirnya kesampaian. Di Sabang kami sudah ditunggu oleh Adi. Untuk melepas penat selama di perjalanan, Adi mengajak kami untuk makan dan minum kopi khas Aceh. 

Jujur, saya ingiiiiin sekali menginap di Casanemo di daerah Sumur Tiga, Sabang. Tempatnya benar-benar menakjubkan untuk berbulan madu. Untuk harga, kisaran 400rb sudah ada kamar yang tersedia. Namun sayangnya, kami kehabisan tempat karena tidak booking jauh-jauh hari. Ketika berada di resepsionis Casanemo, tamu yang sedang santap malam kebanyakan turis asing. Ah. Saya dan mas suami melewatkan kesempatan bagus di tempat ini. Sedih.

Pilihan berikutnya jatuh ke resort yang terletak disebelahnya. Namun ketiadaan kamar yang menghadap laut, kami batalkan sekali lagi. Bingung. Akhirnya Adi mengajak kami ke Anoi Itam Resort. Tempatnya lumayan jauh dibandingkan Casanemo Resort. Butuh waktu setengah jam dari pusat kota. Namun Adi menjanjikan bahwasanya tempat tersebut jauh lebih menarik, dengan pengorbanan, biaya yang dikeluarkan memang 2 kali lipat lebih banyak. Oke. Mas suami menyanggupi asal kami mendapatkan tempat terbaik di tempat ini.

Maka jadilah malam ini kami menginap di Resort terbaik kedua di Sabang. Hahaha. Memang jauh dari planning kami semula, namun apa saja yang bisa meninggalkan kenangan indah tentang tempat ini, kami akan lakukan. Haha. 

Ini dia beberapa sudut Anoi Itam Resort yang bisa dijadikan referensi kalau teman-teman mau menginap di Sabang:











 
See ya. Kaka lala mau rehat dulu. Hari esok akan sangat melelahkan, dan membahagiakan tentunya. Bye.

Honeymoon Trip, Road to Sumatera # 2

Diposting oleh Orestilla di 10.41.00 2 komentar


DUA HATI SATU CINTA, SATU UNIT BANYAK CERITA

Rabu/ 20 Agustus 2014, Sabulussalam - Aceh
Masih di Nangroe Aceh Darussalam. 11:56 kami baru melangkah keluar dari penginapan. Jauh sih dari target sebelumnya yang direncanakan pukul 10 pagi. Sengaja memang Mas Agung masak dulu jadi di perjalanan nanti kami tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk biaya makan. Hahahaha. Hemat dong. Dari rumah, Mas Agung sudah menyiapkan kompor gas kecil dan tetek bengek peralatan masak. Suami saya memang paling andalan. Yihuuu..

Koki kesayangan kaka lala :)

Lintas Subulussalam menuju Meulaboh lancar dan menyenangkan. Ada sawit dimana-mana. Jalanan mulus tanpa gelombang. Hanya saja ada banyak belokan sehingga kaka lala jadi sedikit mual. Hahahaha. Belum lagi tanjakannya disana-sini. Sepertinya kita dibawa menuju puncak tertinggi daerah tersebut. Dan saya harus professional memang karena harus ketak ketik keyboard laptop selama dalam perjalanan.
Kawasan lintas Salubussalam – Meulaboh berada di pesisir barat Sumatera. Mendekati daerah Bakongan, kami disambut hamparan laut dari Samudera Hindia. Keren. Jalanan mulus, pantainya pun bagus. Mas suami sumringah sepanjang perjalanan, mungkin teringat bagaimana perjuangan kami ketika melintasi Sumatera Utara hari kemaren. Sayang di beberapa bagian, pantai di dam dengan batu. Sepertinya hal tersebut dilakukan demi menahan erosi air laut yang akan merusak bibir pantai.

Kita disuguhkan view seperti ini ketika melewati Lintas Barat - Selatan Aceh. Subhanallah..

Ini dia pantainya. Keren. Bersih.

8 km sebelum memasuki Tapak Tuan, kami terpaksa menghentikan perjalanan karena ada perbaikan jalan yang menyebabkan sistem tutup buka. Terlambat. Kami sampai disana ketika jalan baru saja ditutup. Dari hasil nguping pembicaraan  mas suami dengan masyarakat setempat, kami harus menunggu sekitar 1 jam. Hah. Yaaaa begitulah. Namanya juga perjalanan. Akan ada saja kendala yang kita temui. Tapi lebih dari itu semua, satu hal yang membuat saya shock adalah penuturan si bapak bahwasanya untuk mencapai Banda Aceh kami membutuhkan 10 jam perjalanan dengan kecepatan 90 km/ jam. Padahal informasi sebelumnya menjelaskan kepada kami bahwasanya Banda Aceh bisa ditempuh dalam 6 jam saja. Hahaha. Tentu saja kami kecewa.

Perjalanan menuju Meulaboh diguyur hujan lagi. Tidak deras, cukup mendinginkan badan kami yang sudah berpanas-panas dari pertama kali berangkat tadi pagi.

07:51 pm. Saya baru saja menyelesaikan shalat Maghrib di daerah Kabupaten Nagan Raya. Informasi dari uztad yang ada di masjid, Meulaboh hanya tinggal setengah jam perjalanan dari daerah ini. Sementara Banda Aceh masih membutuhkan 4 jam. Daerah ini lumayan sepi. Mungkin juga karena malam telah beranjak naik. Masjid Nurussalam tempat kami shalat tampak ramai karena ada banyak santri yang mengaji Al-Quran. Kami berdua hanya tertawa terbahak-bahak karena roaming dengan bahasa mereka. Perjalanan kami lanjutkan. Kami berdua masih galau untuk melanjutkan perjalanan hingga Banda Aceh atau beristirahat malam ini di Meulaboh.

Sesampainya di Meulaboh, mas suami segera menghubungi teman kami seangkatan ketika mengecap pendidikan di IPDN. Poin penting yang kami temukan ketika bergerak melintasi seluruh wilayah Sumatera adalah eratnya kekeluargaan almamater kami. Karena di setiap dearah yang kami singgahi, dipastikan akan ada purna praja yang satu angkatan dengan kami. Kami bertemu dengan Fefi, purna praja asal pendaftaran Meulaboh. Bang Fefi mengajak kami menikmati santap malam di negeri tersebut. Setelah puas berkelakar dan menguak kembali kenangan ketika berada di kampus, kami bertolak menuju Banda Aceh. 

Yang paling kiri itu Bang Fefi. Yang pake baju merah itu temennya. Makasi untuk makan malamnya Bang .

Pukul 12.30 dini hari kami menghentikan perjalanan. Selain karena memang sudah terlalu lelah, saya sendiri berharap bisa menyaksikan keindahan gunung Geurute yang terkenal itu. Dan itu berarti kami harus berangkat pagi. Maka jadilah malam ini kami menginap di SPBU terakhir sebelum tempat tersebut. Hahaha. Saya sendiri tak pernah menyangka bisa tidur di tempat pengisian bensin, walau dari jauh-jauh hari mas suami sudah memberikan gambaran tentang kondisi tersebut.

Oke. See ya. Kita sambung esok hari.

Rabu, Agustus 20

Honeymoon Trip; Road to Sumatera #1

Diposting oleh Orestilla di 09.57.00 3 komentar


DUA HATI SATU CINTA, SATU UNIT BANYAK CERITA

Kami tiba di Padang Sidempuan 19 Agustus 2014  pukul 12.00 dini hari. Berkat bantuan sahabat saya Eva Yuliana Harahap, kami bisa beristirahat di Hotel Sitamiang, pusat kota Padang Sidempuan. Eva adalah purna praja asal pendaftaran Kepulauan Riau. Kebetulan orangtuanya bekerja di Padang Sidempuan. Semula saya berharap bertemu dengannya di kota ini, namun Eva ternyata masih berada di Tanjung Pinang.
Selasa pagi menjelang siang tepatnya pukul 10:30 waktu setempat kami melanjutkan perjalanan menuju Kaban Jahe. Prediksi mas suami kami akan menginjakkan kaki di tanah tersebut malam harinya. Perjalanan awalnya agak tersendat karena trouble kecil di bagian rem. Namun Alhamdulillah bisa diatasi. Jalan lintas di daerah ini kecil dan bergelombang sehingga dibutuhkan konsentrasi tinggi dalam berkendara. Jadi daripada membuat masalah karena mengganggu, saya pilih mengeluarkan laptop dan mulai merangkai narasi lagi. Saya mendapatkan ide untuk menamai perjalanan ini dengan “Honeymoon Trip; Road to Sumatera”. Kita akan lihat berapa chapter yang akan saya selesaikan nantinya.
Padang Sidempuan cukup panas. Setidaknya begitulah yang kami rasakan ketika melintasi daerah tersebut. Sengaja saya pilihkan kaos buntung untuk mas suami demi menghindari produksi keringat yang berlebihan. Volkswagen kami memang tidak dilengkapi dengan air conditioner, sehingga bisa dibayangkan betapa gerahnya perjalanan kami ketika memasuki kawasan panas seperti ini. Saya? Alhamdulillah tentu saja masih istiqamah dengan jilbab yang saya pakai. 
Memasuki kawasan Siporok, sisi kanan dan kiri jalan terhampar padang rumput seluas mata memandang. Cuaca masih cukup gerah. Jalanan masih kecil namun lebih mulus dari yang sebelumnya. Tidak banyak kendaraan yang berpapasan dengan kami disini. Nun jauh disana, bukit barisan berjajar dengan sangat indah di sisi kanan kami. Ah. Indonesia memang amat sangat mengagumkan. Betapa hanya dengan melakukan perjalanan seperti ini, rasa syukur pada Sang Khalik semakin bertambah setiap detiknya.
11:50 siang kami kami masih di daerah Tapanuli Selatan. Kondisi jalan parah dan bergelombang. Kekecewaan saya sedikit terobati ketika melihat sebatang pohon mati yang masih berdiri dengan kokoh di tengah lahan tandus. Ingin sekali mengabadikan fotonya, tapi mas suami menolak karena memang cuaca sedang panas-panasnya. Yasudah lah..yang penting saya telah mengabadikannya didalam ingatan. Keren. Saya senang. Hehehehe.
By the way, menyusuri daerah yang panas dan gersang seperti ini mengingatkan saya pada film-film amerika jaman dahulu kala. Ingat kan film koboy? Nah itu dia. Hahaha. Belum lagi ketika bertemu dengan orang-orang tua yang tersenyum sumringah ketika VW kami melintas. Entahlah. Mungkin saja mobil tua ini mengembalikan kepingan kenangan mereka di masa lalu. Siapa tahu.
40 menit setelah memasuki Tapanuli Utara, cuaca yang tadinya panas berubah mendung. Dan secara kebetulan kami juga tengah asyik mendengarkan Set Fire to The Rain nya Adele. Klop lah ya. Temen-temen mas suami di VOCPA (Volkswagen Padang) juga terus ngecek dan menemani perjalanan kami. Alhamdulillah sampai sejauh ini semuanya masih berjalan baik dan lancar. Pemandangan disekitar pun ikut berubah. Sudah terlihat banyak pemukiman penduduk, walau sebagian besar dari rumah-rumah tersebut terlihat kosong tanpa penghuni. Mungkin mereka sedang berada di ladang masing-masing. Pekuburan suku batak dengan bangunannya yang kokoh dan mewah juga terlihat di sepanjang jalan. Jalanan belum lagi ramai, masih cukup sepi. Beberapa kali kami bertemu dengan anak-anak berseragam sekolah yang asyik bercengkrama satu sama lain. Mereka anak-anak desa yang tampak begitu bahagia hanya dari caranya tertawa dan menatap mata kami.
Pukul 14.00 kami baru berhasil menemukan masjid untuk melaksanakan ibadah shalat dzuhur. Alhamdulillah lagi disamping masjid ada yang jualan makanan. Jadilah akhirnya kami makan siang disana. Setelah puas mengisi perut, kami lanjutkan perjalanan menuju Siborong-borong.
Perjalanan menuju Balige kami batalkan karena takutnya sesampai disana malam sudah mulai merambah bumi. Tujuan kami kesana hanya satu, menyaksikan keindahan Danau Toba dari dekat, walau tak bisa menyentuh airnya yang sejuk seperti halnya ketika kita berada di Prapat. Kebetulan mas suami belum pernah melihat Danau Toba secara langsung. Saya sedikit lebih beruntung karena pernah mengunjunginya tahun 2010 silam. Untuk menghemat waktu kami bertolak ke daerah Sidikalang, untuk selanjutnya menuju Tapak Tuan.
Sepanjang perjalanan menuju Sidikalang kami kembali dihadang jalanan yang hancur. Badan dan bahu jalan rusak berat sehingga si pikun (ini nama kesayangan Volkswagennya mas suami) terpaksa berjalan tertatih demi menghindari kerusakan dan lain sebagainya. Ditambah lagi gerimis yang masih mengintai perjalanan kami. Jalan relatif sepi, jauh dari pemukiman penduduk. Yang terlihat hanya jajaran pohon pinus yang menandakan bahwasanya kami tengah berada di dataran tinggi. Namun sayang, saya dan mas suami juga banyak melihat tindak pembalakan terhadap flora tersebut. Setelah kami perhatikan, tak tampak proses reboisasi. Ah semoga saja apa yang kami pikirkan tidaklah benar. Karena bisa dibayangkan bagaimana dampak yang bisa disebabkan oleh pembalakan tersebut, apabila tidak diiringi dengan tindak penghijauan kembali. Jam menunjukkan pukul 17:25 . Alhamdulillah semua masih dalam keadaan baik.
Kabut pekat menanti kedatangan kami ketika berada di sepanjang jalan Dolok Sanggul - Dairi. Jalanan masih saja sepi. Eh tiba-tiba suasana jadi horror gitu. Saya jadi ingat lagi film-film seram kelahiran Hollywood. Kan sering tu tiba-tiba saja ditengah jalan yang sepi muncul alien dan sebangsanya. Hahahaha. Cuaca dingin menusuk tulang. Saya dengan senang hati pindah ke belakang dan melingkar manis di dalam selimut. Sementara mas suami dengan sumringahnya masih bertahan dengan kaos kutangnya. Ckckckck.
18:54 pm kami menapak di Sidikalang. Akhirnyaaaa..saya dan mas suami langsung tos begitu melihat lampu-lampu kota. Bayangan terdampar di hutan amazon pun hilang seketika. Hahahaha.
Rute selanjutnya adalah Subulussalam. Dari namanya yang bernuansa islami, sepertinya daerah tersebut sudah masuk dalam kawasan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Ya. Semoga saja demikian. Saya sedih ketika harus meninggalkan shalat Ashar hari ini karena susahnya menemukan masjid di tanah batak. Alhamdulillah kami sempat nyasar ketika menuju Subulussalam, beruntungnya malah nyasar ke depan masjid dan ketemu seorang bapak tua yang memberi petunjuk jalan. Beliau bilang Sidikalang – Subulussalam membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan. Syup. Perjalanan kami berlanjut.
Pukul 23.30 kami mendarat sempurna di tanah Aceh. Setelah berdebat tentang penginapan, akhirnya pilihan kami jatuh pada penginapan bergaya cottage yang nyaman dan bersih. Waktunya istirahat, recharge energi untuk perjalanan berikutnya.
Nah. Itu dia cerita perjalanan kami hari kemaren di chapter pertama. Hari ini rabu 20 Agustus 2014, saya tengah menunggu mas suami yang sedang cek kondisi si pikun. Dari penginapan Maulida Citra, kami akan melanjutkan perjalanan hingga nantinya sampai di ujung barat Indonesia, Sabang.
See you. Bye.

Selasa, Agustus 19

Teman Hidup

Diposting oleh Orestilla di 08.56.00 1 komentar


Selasa 19 Agustus 2014, Padang Sidempuan - Sumatera Utara
Kisah cinta kami tak seperti orang kebanyakan yang bermanis-manis ria sedari awal. Cinta ini tak kami renda dari jauh-jauh hari karena mencintainya pun saya lakukan setelah saya diminta untuk menjadi istrinya. Dia adalah sahabat dekat yang padanya saya ceritakan segala macam prahara hidup. Dia adalah seorang atasan yang padanya saya sampaikan semua bentuk permasalahan kantor. Dia adalah teman hidup saya saat ini. Dia, Agung Hazani.
Banyak yang bertanya mengapa saya bisa menikah dengan sahabat saya sendiri, mengapa saya bisa begitu yakin dengannya, menilik kami lebih sering bertengkar dan beradu argumen daripada adem ayem selama ini. Berbaikan saja mungkin sudah menjadi poin tertinggi yang kami punya. Mencintai satu sama lain? Hahaha. Sampai saat ini pun saya masih sering dibuat tertawa karenanya. Allah memang selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Dan sekarang saya bersyukur mendapatkannya. Dia sosok yang saya cari dari dulu, yang saya butuhkan, yang saya inginkan. Keberadaannya yang begitu dekat membuat saya tak pernah sadar bahwa dia lah orangnya, dia lah jodoh yang disimpan Allah untuk saya.
Sebagai seorang sahabat, saya mengerti betul tabiat dan tingkah laku nya. Begitu mengetahui bahwasanya atasan saya dikantor adalah dia, saya sempat dibuat panik. Ah. Bagaimana mungkin saya bisa berkolaborasi baik dengannya, sementara dalam keseharian, kami selalu saja tak pernah akur. Maka jadilah hari-hari saya seperti neraka. Kritik, saran dan adu pendapat tak pernah habis setiap harinya. Mungkin saja bertambahnya kedekatan kami sebagai rekan kerja membuat saya semakin mengenal kepribadiannya. Dan waktu pun menjawab. Perlahan tapi pasti, kami bisa menyeimbangkan antara persahabatan kami dan profesionalitas kami sebagai abdi negara.
Tak cukup sampai disana saja. Setelah kurang lebih 1 tahun mengemban jabatan, dia melamar saya untuk dijadikannya teman hidup. Sahabat seumur hidup. Sahabat sejati. Saya? Tentu saja saya bingung, geli dan tak menyangka sama sekali. Bagi saya saat itu, pengakuannya bagai candaan kami sehari-hari. Saya tak percaya hingga dia langsung menyampaikan niat baiknya pada mama dan papa. Melihat kesungguhan dan ketulusannya, saya menyambut baik rencana besarnya tersebut. Saya bersedia menikah dengan sahabat, rekan kerja, teman seangkatan ketika menimba ilmu di kampus IPDN, teman seangkatan ketika merenda ilmu di pascasarjana, musuh bebuyutan yang sering membuat saya marah besar, lelaki pertama yang berani untuk bicara langsung dengan papa. Saya menikah dengannya tanpa cinta yang membara seperti orang lain, saya menikah karena saya percaya dan yakin padanya. Dan sekarang saya bisa pastikan, saya punya stok cinta yang tak akan pernah habis untuknya.

bener-bener sahabat yang jadi cinta :)

Sepanjang pesta kami hanya bisa berhaha hihi karena tak pernah menyangka bahwa yang duduk di sebelah kami bukan lagi sahabat tempat berkeluh kesah, tapi pasangan sehidup semati yang sudah berjanji di hadapan Allah :)

Dengan dukungan dari kedua orang tua, keluarga, sahabat, rekan kerja dan teman-teman yang lain, pernikahan kami Alhamdulillah terlaksana dengan baik dan lancar pada Jumat tanggal 8 Agustus 2014 yang lalu. Ketika mencium tangannya untuk yang pertama kali setelah ijab kabul dibacakan, saya berdoa kepada Allah, mengirimkan ucapan syukur karena telah mempertemukan saya dengan seorang lelaki yang sama sekali tak sempurna tapi selalu mencoba menyempurnakan hidup saya. Dan mungkin saja pernikahan kami adalah pernikahan lurah dan sekretarisnya yang pertama di Indonesia. Hahahaha. Kami memang sama sekali tak punya waktu untuk berpacaran. Dan sekarang saya beberkan pada teman-teman semua, bahwa pacaran setelah menikah itu jauh lebih membahagiakan. Jauh lebih menyenangkan.
Saat ini kami tengah berada di Padang Sidempuan -  Sumatera Utara. Ini perjalanan pertama saya mengelilingi bumi sumatera. Hanya berdua dengan suami, hanya dengan satu unit Volkswagen kami. Ini perjalanan bulan madu yang sangat dia inginkan. Dari dulu. Bahkan sebelum dia sendiri tahu, siapa yang akan jadi istrinya nanti. Dan sebagai istri yang baik, saya harus mengikuti kemauannya. Kebetulan saya sendiri juga senang sekali jalan-jalan. Namun jujur, tak pernah terbayangkan kalau saya akan mengelilingi pulau sumatera ini melalui darat. Hahaha.
Tujuan utama mas suami adalah Pulau Weh – Sabang. Dia ingin sampai di tugu 0 kilometer. Filosofi untuk kami sebagai pengantin baru. Bahwa hidup ini akan kami mulai lagi dari nol. Hidup yang baru dengan segala likunya yang tentu saja tak pernah dilalui orang lain dengan gampang.
Di laman ini saya akan ceritakan kisah perjalanan kami yang mengharubiru. Siapa tahu setelah ini, kamu sendiri berminat untuk mengikuti jejak kami. Why not? Hahaha. Udahan dulu ya manteman, saya sudah harus bangunkan mas suami sesuai orderannya semalam. Karena kami berencana melanjutkan perjalanan pada pukul 10 pagi ini dengan rute berikutnya, Danau Toba. Tunggu kelanjutan kisah ini secepatnya. See you. Bye.

 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea