Kamis, Februari 13

Monte Francis - By Their Father's Hand

Diposting oleh Orestilla di 11.04.00 0 komentar



Sebelum berceloteh panjang tentang buku ini, boleh saya memaki?
“Dasar laki-laki gila….!!!!”
Iya. Sesaat sebelum menyelesaikan buku ini, saya dilanda prahara batin. Serius. Saya sempat berpikir seandainya saya berada di posisi yang sama, gadis-gadis itu..anak-anak kecil itu..manusia-manusia polos yang belum tahu sama sekali akan hidup dengan segudang problematikanya yang tiada akhir. Ah. Membayangkannya saja sudah membuat saya bergidik ngeri, apalagi bayangan itu menjadi realita. Akan terkenang dengan sangat pahit tentunya di hati saya.
Monte Francis saya nilai sebagai seorang penulis yang mau membebani pundaknya dengan resiko besar dengan mengangkat kisah ini dalam sebuah buku. Membeberkan fakta-fakta gila yang berkembang di sebuah kota besar seperti California, tentunya bukanlah pekerjaan gampang. Monte merakit sedikit demi sedikit hasil penelitian dan penyelidikan kepolisian untuk mengumpulkan kisah tragis ini dalam lembaran. Walaupun tak semua hasil penyelidikan tersebut berhasil ia dapatkan. Setidaknya, sedikit dari yang Monte peroleh, sudah cukup untuk memaki dan mengumpat di dalam hati.
***
12 Maret 2004, Fresno, California geger hanya dalam beberapa jam setelah aksi pembunuhan-bunuh diri yang menimpa 9 (sembilan) orang anggota keluarga, 2 (dua) diantaranya adalah perempuan dewasa, sementara 7 (tujuh) lainnya masih sangat kecil, bahkan ada bayi yang baru berusia beberapa bulan. Tersangka utama dari kasus tersebut adalah Marcus Wesson. Ayah, paman, sekaligus kakek dari mereka yang terbunuh.
Setelah diusut lebih jauh, terbongkarlah rahasia besar yang sulit dicerna oleh akal sehat. Marcus Wesson, hidup bersama istri, anak, cucu, keponakan, yang ia nikahi. Hubungan inces yang sulit untuk dijelaskan dalam bagan keluarga. Marcus menikahi anak kandungnya dan keponakannya sampai melahirkan bayi yang menjadi anak sekaligus cucunya sendiri. Anak-anak tersebut kemudian diasingkan dari kehidupan sosial, mereka dididik dengan pembelajaran yang dirumuskan sendiri oleh sang penguasa, Marcus Wesson. Sementara anak-anak gadisnya yang telah beranjak dewasa bekerja di beberapa restoran untuk menghidupi keluarga besar tersebut, Marcus hanya duduk-duduk santai dirumahnya. Jangan bayangkan sebuah rumah mewah yang mampu menampung 14 orang anggota keluarga mereka. Marcus hanya mampu menyediakan sebuah kapal bobrok yang ia beli dengan harga murah dengan kerusakan di sana sini. Kapal yang ia letakkan di sebuah pantai, menyediakan perahu kecil yang akan membawa anggota keluarga mereka menepi jika ingin membeli kebutuhan pangan ataupun bekerja.
Marcus juga melengkapi anak-anaknya dengan peti mati sebagai tempat tidur. Kepercayaan baru yang ia ciptakan dengan menggabungkan Tuhan dan Vampir, membuat Marcus yakin bahwa ia adalah seorang bampir yang sekaligus bertindak sebagai Tuhan di muka bumi. Maka mulailah ia mencuci otak seluruh anggota keluarganya, sehingga tak seorang pun yang berani melawan perintahnya. Pun begitu halnya dengan perkawinan. Marcus menikahi anak-anak dan keponakannya dengan sebuah ritual yang ia siapkan sedemikian hingga. Tujuannya adalah untuk memperoleh ras vampir murni. Sayang, beberapa diantara gadis-gadis tersebut akhirnya menyadari bahwa ayah mereka adalah seorang gila psikopat yang akan merenggut masa depan mereka nantinya. Sofina dan Ruby adalah yang berhasil kabur dari genggaman Marcus. Namun mereka tidak bisa membawa pergi putra maupun putrinya.
Setelah menimbang banyak hal, akhirnya Sofina dan Ruby memutuskan untuk menjemput anak-anak mereka. Pada saat itu Marcus dan keluarganya tidak lagi tinggal di Sudan (nama kapal bobrok) karena mereka terusir, tetapi di sebuah rumah yang tak layak huni dengan jumlah anggota keluarga demikian banyaknya. Dalam wawancara dengan beberapa orang tetangga, juga diketahui bahwa tak ada satu orang pun dari mereka yang mengetahui keberadaan anak-anak kecil dalam keluarga tersebut. Mereka hanya sering melihat perempuan-perempuan dewasa dengan pakaian hitam yang selalu melekat di badan mereka.
Kedatangan Sofina dan Ruby membuat beberapa anggota keluarga tersebut marah besar. Mereka memang menganggap Sofina dan Ruby sebagai pengkhianat. Mereka berdua dipandang sebagai manusia yang akan menjadi petaka dengan memisahkan keluarga mereka. jauh sebelum kejadian berdarah ini, Marcus telah menanamkan sebuah prinsip pada keluarganya. Apabila suatu hari nanti ada yang ingin memisahkan mereka, baik itu pemerintah melalui DPA (Dewan Perlindungan Anak) atau pihak lain, maka anak yang lebih dewasa akan membunuh anak-anak kecil untuk kemudian membunuh dirinya sendiri. Mereka percaya pada semua perkataan Marcus, bahwa mereka adalah anak Tuhan yang akan kembali pada-Nya daripada harus hidup terpisah.
Yang paling ditakutkan Sofina dan Ruby pun terjadi hari itu. Eksekutornya adalah Sebhrenah, anak sekaligus istri Marcus Wesson. Dia menembaki anak-anak dengan timah peluru di mata kanan mereka (kecuali anaknya sendiri yang ditembak di mata kiri) kemudian menembak dirinya sendiri. Mayat-mayat yang bersimbah darah tersebut ditumpuk di sudut salah satu kamar. Setelah pembunuhan-bunuh diri itu terjadi, Marcus menyerahkan dirinya kepada polisi. Namun di dalam persidangan, baik itu Marcus, istri dan anak-anaknya yang lain (yang masih hidup), percaya bahwa yang menjadi pembunuh dalam kejadian tersebut adalah Sofina dan Ruby. Karena jika hari itu mereka tidak datang, tidak akan ada yang terbunuh.
Penyangkalan yang berbelit-belit dan tidak masuk akal pada akhirnya membawa Marcus Wesson pada hukuman mati. Di dalam sel terakhirnya itulah Marcus menyelesaikan autobiografinya, yang tak pernah diterbitkan.
***
Di halaman terakhir buku ini, terlihat beberapa potong potret keluarga Marcus. Juga penampakannya ketika ditangkap dan disidang. Ia berkulit hitam, berperawakan sangar, tubuhnya tinggi besar dengan rambut panjang yang digimbal. Sementara anak-anak hasil perkawinannya dengan sang istri, anak dan keponakannya memiliki raut wajah yang sangat mirip dengannya. Anak-anak polos yang hidupnya harus berakhir dengan sebuah penjagalan memilukan. Kejadian ini disebut-sebut sebagai pembunuhan massal paling kejam di Fresno.
Saya kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan kebiadaban laki-laki ini.
Siapkan saja mental yang kuat untuk menuntaskan kisah ini hingga tamat.

Marcus Wesson
7 (tujuh) anak-anak lucu yang meninggal bersimbah darah
Pohon keluarga Marcus Wesson. Lihat bagaimana hubungan inces tersebut berlaku dalam keluarga ini
Rumah pembantaian 12 Maret 2004
Peti mati yang disediakan oleh Marcus untuk anak-anaknya

Judul
:
By Their Father’s Hand
Penulis
:
Monte Francis
Halaman
:
330
Penerbit
:
Gramedia

Salam!
 

Senin, Februari 10

Tea for Two - Clara NG

Diposting oleh Orestilla di 10.51.00 0 komentar


Buku keenam dan karya anak Indonesia pertama yang saya baca dalam tahun ini, Tea for Two. Walaupun judulnya pake bahasa inggris gitu, ini asli ditulis oleh penulis dalam negeri tercinta, namanya Clara NG. 


Sekilas tentang penulis. Clara NG merupakan salah satu penulis yang mendedikasikan karyanya pada tema perempuan, keluarga dan cinta. Lulusan Ohio State University jurusan Interpersonal Communication ini pernah memenangkan Adikarya IKAPI selama tiga tahun berturut-turut, 2006-2008.
Jujur, kesan pertama yang saya dapatkan ketika bertemu buku ini sama sekali tidak menggoda. Saya bosan. Pengantarnya bagus. Namun dialog-dialog antar tokoh dalam halaman berikutnya, sumpah garing banget. (Kadang saya merasa gimanaaaa gitu kalaunya sedang menilai buku orang lain, sementara diri sendiri belum punya satu pun. hiks. oke kembali ke laptop).
Namun, perlahan tapi pasti, saya mulai tertarik. Dan tentu saja, tak berhenti hingga tuntas. Saya sengaja menandai beberapa kalimat (kebiasaan saya setiap kali membaca), yang saya anggap penting dan punya nilai tersendiri.
Tea for two menceritakan tentang kehidupan seorang wanita sukses bernama Sassy yang memiliki sebuah perusahaan unik, perusahaan makcomblang, perusahaan yang ia namakan dengan Tea for two? Mengapa harus two “dua”? Mengapa tidak three or four? Mungkin karena perusahaan ini berusaha menyatukan dua insan yang sebelumnya tidak saling mengenal satu sama lain, hingga tak sedikit diantara mereka yang memutuskan untuk menikah. Diawali dengan secangkir teh, diakhiri dengan penyatuan dua hati dalam biduk pernikahan.
Sassy selalu menyampaikan energi positif pada seluruh kliennya, menancapkan mimpi indah Cinderella pada mereka yang merasa kalah sebelum berperang terkait masalah percintaan. Sebuah harga yang sayangnya tak Sassy temukan dalam pernikahannya sendiri. Setelah jatuh takluk pada seorang lelaki mapan, tampan dan penuh kharisma, Sassy mulai meninggalkan ke”aku”an dirinya, berubah menjadi sosok yang diinginkan kekasihnya. Ia yang dengan nama cinta, akhirnya harus rela hidup bersama dengan lelaki dengan ego setinggi puncak Himalaya. Lelaki temperamental yang menurut saya agak sedikit gila, karena perasaannya berubah cepat tanpa rambu-rambu yang jelas.
Sassy yang awalnya menumpangkan segala mimpi dan kepercayaannya pada Alan, si lelaki tersebut, akhirnya memutuskan untuk bercerai. Bukan karena ia tak lagi mencintai Alan, bukan juga karena Alan tak mencintainya, tapi lebih pada keinginannya untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan tanpa harus tersakiti lagi.
Buku ini mengajarkan banyak hal, tentu saja. Terlebih pada kita-kita yang belum pernah mencoba biduk pernikahan. Namun ada satu kalimat penutup di buku ini yang membuat saya menyesal, “mengapa saya tak membaca kalimat peringatan ini sebelum melahap buku Clara?”. Begini kalimatnya:

It could happen to you. It could happen to anybody. Ini lah kisah yang menelanjangi sisi buruk pernikahan. Para lajang, gemetarlah, karena lelaki yang kau pikir Mr. Right bisa berubah menjadi Mr. Totally Wrong.

Hahaha. Saya hanya bisa tertawa karena saya anggap saya telah terlalu terlambat untuk membaca peringatan tersebut, yang entah kenapa memang dihadirkan di bagian akhir.
And this is the precious sentence from “Tea for Two”:
Memang sangat mudah meletakkan kesalahan di bahu perempuan. Sangat otomatis menjadikan perempuan sebagai kambing hitam, seotomatis mencari toilet sambil berlari sekencang-kencangnya ketika terserang diare [page 18 of 312] - Lelaki dilahirkan dengan sebuah ego yang jika tak mampu dikendalikannya, maka akan seringkali berakibat fatal. Dan perempuan dengan sisi lemah yang juga ia bawa sedari lahir, menempatkannya sebagai lahan empuk yang bisa dijadikan sebagai pelampiasan ego tersebut. Menyedihkan memang. Namun fakta bicara keras di sekitar kita. Bukalah mata dan tonton sendiri.
Terkadang aku ingin mengintip takdirku agar hidupku lebih terencana. Tapi aku baru sadar, Tuhan menyimpan takdir untuk kejutan [page 96 0f 312].
Jodoh memang misterius. Beberapa orang butuh bantuan untuk dicarikan jodoh. Seperti cinta, mungkin jodoh juga mempunyai tanggal kadaluwarsa. Itulah yang menyebabkan jodoh harus berganti atau didaur ulang [page 309 of 312].
Untuk sebuah pelajaran yang mungkin tak saya temukan di banyak buku tentang pernikahan, terimakasih Clara.

Judul
:
Tea for Two
Penulis
:
Clara NG
Halaman
:
312
Penerbit
:
Gramedia, Agustus 2009

 Salam!

The Girl who Kicked The Hornet's Nest - Stieg Larsson

Diposting oleh Orestilla di 10.38.00 2 komentar


Yeay..!!!
Akhirnya saya berhasil menjelajahi kehidupan Salander detail sedetail detailnya dengan menyelesaikan buku terakhir trilogi ini. Senengnya pake buanget beb. Hahaha.


Seriusan deh. Yang ngaku gila buku, rugiiii banget nggak baca ketiga buku ini. Njelimet sih iya. Tapi kepuasan setelah melahap mereka bertiga jangan ditanya. PUAS! Hahaha.
Setelah mengulas buku pertama disini dan buku kedua disini, hari ini Tilla dengan senang hati dan semangat ulang kemerdekaan akan menceritakan sensasi buku penutup dari trilogi millennium ini. Judulnya, seperti judul laman ini: The Girl who Kicked The Hornets’s Nest. Gadis yang menendang sarang lebah? Hehe. Begini ceritanya. Tarara tereeeettt..
Buku pertama; The girl with the dragon tattoo..membuat kita merangkai sosok gadis bertato naga dibahunya, lengkap dengan semua rahasia yang ia bawa dalam hidupnya yang kelam. Dirinya belum jadi tokoh sentral dalam buku ini (menurut pandangan mata hati dan mata baca saya pribadi).
Buku kedua; The girl who played with fire..sedikit demi sedikit, kehidupan dan masa lalu gadis ini mulai terungkap. Tentang kepintarannya, tentang ibunya yang sekarat, tentang ayahnya yang kejam, tentang sikapnya yang memuakkan..namun ketika menyelesaikannya, masih ada tanda tanya besar dalam hati pembaca (utamanya hati saya).
Buku ketiga; menjawab semua pertanyaan saya di dua buku sebelumnya.
Berawal dari akhir buku kedua, Salander yang hampir saja terbunuh oleh kakak tirinya bernama Niedermann, dalam perjalanannya mencari sang ayah, keinginan kuatnya untuk membunuh lelaki renta yang menjadi biang kerok kekelaman hidupnya. Namun Salander salah perhitungan, ia berhasil ditembak Zalachenko di tiga bagian tubuh, ia ambruk, kemudian dikubur dalam keadaan hidup oleh Niederman. Takdir lah yang akhirnya memberikan Salander kesempatan sekali lagi untuk menyelesaikan perhitungan dengan kedua monster tersebut. Dengan tekad kuat berlatar belakang dendam kesumat, ia mampu menancapkan kapak di kepala ayahnya dan membuat kakaknya, yang tak pernah merasakan sakit, lari terbirit-birit.
Bloomkvist berhasil menemukannya yang sudah setengah mati di rumah peternakan milik Zalachenko. Dan ia harus merelakan dirinya menjadi pasien di sebuah rumah sakit selama berbulan-bulan untuk menemukan kembali kekuatan tubuhnya. Sementara Niedermann melarikan diri ke tempat persembunyiannya, Zalachenko yang juga hampir meninggal, ditempatkan dua ruangan dari kamar putri kandungnya, Salander. Namun konspirasi yang ia tuai sedari awal, membawa kembali beberapa tokoh Polisi Keamanan. Zalachenko mati menggenaskan di tangan salah seorang dari mereka. “Tokoh” pembunuh berumur 72 tahun yang langsung menembakkan peluru ke pelipisnya sendiri beberapa saat setelah membunuh Zalachenko.
Bermodal bantuan seorang dokter di rumah sakit tersebut, Salander berhasil mendapatkan kembali komputer tabletnya. Ia yang merupakan salah satu anggota klub hacker terbaik di seluruh dunia, mulai mencari rahasia demi rahasia yang berkaitan dengan masa lalunya yang kelam dan menjijikkan. Ketika menemukan kunci-kunci tersebut, ia segera membaginya dengan Bloomkvist, teman yang ia percaya sekaligus ia benci karena telah dengan sembrononya ia cintai (nggak bingung kan ya baca kalimat yang ini? hehehe). Salander juga mulai mempercayai Annika Giandini, adik Bloomkvist yang berprofesi sebagai pengacara, wanita muda pintar dan enerjik yang akan membela kepentingan Salander nantinya di pengadilan. Karena walaupun Salander telah dibebaskan dari tuduhan dua pembunuhan sebelumnya, ia tetap dianggap memiliki peran penting dalam rencana penghabisan nyawa Zalachenko.
Dalam pemecahan kasus ini, tak hanya nyawa Salander yang dipertaruhkan. Setelah penculikan Mirriam Wu, kehidupan Bloomkvist, Annika dan Erika juga ikut terancam. Tak terhitung berapa kali penggeledahan dilakukan di apartemen Bloomkvist, penyadapan telepon genggamnya, perampokan salinan bukti yang ada di tangan Bloomkvist dan Erika hingga penembakan yang langsung ditujukan pada Bloomkvist di sebuah kafe.
Kasus Salander memang bukan hanya perkara pemberian suaka pada seorang agen Rusia. Namun sudah menyangkut pada harga diri pemerintah Swedia sendiri. Keterlibatan Polisi Keamanan bukan lagi perkara kecil sehingga siapa saja yang terlibat dalam peristiwa di tahun 1960an tersebut dilenyapkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi, pembunuhan.
Dan jauh dari itu semua, Salander hanyalah seorang korban. Gadis yang terpaksa merelakan kebahagiaan masa kecilnya, berubah menjadi serigala dan menarik diri dari pergaulan. Ia kehilangan segala macam haknya sebagai manusia dan warga negara. Bahkan demi mempertahankan eksistensi ayahnya, pejabat-pejabat negara pada masa itu dengan sadisnya mengirim Salander pada sebuah panti rehabilitasi. Disana ia dikurung selama ratusan hari, dirongrong jiwanya, disakiti fisiknya. Ia sungguh hanyalah seorang korban kepentingan politik.
Namun berkat kegigihannya, dibantu oleh banyak orang yang masih memiliki kepedulian, Salander memenangkan pertarungan tersebut. Ia dibebaskan. Semua kaki tangan yang membantu penyekapan legalnya di tahun 1991 ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Nama baiknya dibersihkan kembali dari pandangan dunia. Dan ia, dengan mata kepalanya sendiri, melihat kematian Niedermann.
979 halaman yang menegangkan, membuat penasaran dan mengharu biru.
Keren!
Saya punya lima bintang untuk buku ini. *****.

Dari keseluruhan inti cerita yang dipaparkan Stieg Larsson, saya menarik sebuah kesimpulan: Don’t judge a book by the cover. Don’t judge a human by performance. Ya. Jangan pernah menilai sesuatu, apalagi seseorang, hanya dengan pengamatan mata kita saja, tanpa melibatkan hati, tanpa mengikutsertakan logika.
Saran saya, segera miliki buku ini dan kamu nggak akan berhenti sebelum menutup halaman akhir buku ketiganya.

Judul
:
The girl who kicked the hornet’s nest
Penulis
:
Stieg Larsson
Halaman
:
979
Penerbit
:
Qanita, Mei 2011

 Salam!


Kamis, Februari 13

Monte Francis - By Their Father's Hand

Diposting oleh Orestilla di 11.04.00 0 komentar



Sebelum berceloteh panjang tentang buku ini, boleh saya memaki?
“Dasar laki-laki gila….!!!!”
Iya. Sesaat sebelum menyelesaikan buku ini, saya dilanda prahara batin. Serius. Saya sempat berpikir seandainya saya berada di posisi yang sama, gadis-gadis itu..anak-anak kecil itu..manusia-manusia polos yang belum tahu sama sekali akan hidup dengan segudang problematikanya yang tiada akhir. Ah. Membayangkannya saja sudah membuat saya bergidik ngeri, apalagi bayangan itu menjadi realita. Akan terkenang dengan sangat pahit tentunya di hati saya.
Monte Francis saya nilai sebagai seorang penulis yang mau membebani pundaknya dengan resiko besar dengan mengangkat kisah ini dalam sebuah buku. Membeberkan fakta-fakta gila yang berkembang di sebuah kota besar seperti California, tentunya bukanlah pekerjaan gampang. Monte merakit sedikit demi sedikit hasil penelitian dan penyelidikan kepolisian untuk mengumpulkan kisah tragis ini dalam lembaran. Walaupun tak semua hasil penyelidikan tersebut berhasil ia dapatkan. Setidaknya, sedikit dari yang Monte peroleh, sudah cukup untuk memaki dan mengumpat di dalam hati.
***
12 Maret 2004, Fresno, California geger hanya dalam beberapa jam setelah aksi pembunuhan-bunuh diri yang menimpa 9 (sembilan) orang anggota keluarga, 2 (dua) diantaranya adalah perempuan dewasa, sementara 7 (tujuh) lainnya masih sangat kecil, bahkan ada bayi yang baru berusia beberapa bulan. Tersangka utama dari kasus tersebut adalah Marcus Wesson. Ayah, paman, sekaligus kakek dari mereka yang terbunuh.
Setelah diusut lebih jauh, terbongkarlah rahasia besar yang sulit dicerna oleh akal sehat. Marcus Wesson, hidup bersama istri, anak, cucu, keponakan, yang ia nikahi. Hubungan inces yang sulit untuk dijelaskan dalam bagan keluarga. Marcus menikahi anak kandungnya dan keponakannya sampai melahirkan bayi yang menjadi anak sekaligus cucunya sendiri. Anak-anak tersebut kemudian diasingkan dari kehidupan sosial, mereka dididik dengan pembelajaran yang dirumuskan sendiri oleh sang penguasa, Marcus Wesson. Sementara anak-anak gadisnya yang telah beranjak dewasa bekerja di beberapa restoran untuk menghidupi keluarga besar tersebut, Marcus hanya duduk-duduk santai dirumahnya. Jangan bayangkan sebuah rumah mewah yang mampu menampung 14 orang anggota keluarga mereka. Marcus hanya mampu menyediakan sebuah kapal bobrok yang ia beli dengan harga murah dengan kerusakan di sana sini. Kapal yang ia letakkan di sebuah pantai, menyediakan perahu kecil yang akan membawa anggota keluarga mereka menepi jika ingin membeli kebutuhan pangan ataupun bekerja.
Marcus juga melengkapi anak-anaknya dengan peti mati sebagai tempat tidur. Kepercayaan baru yang ia ciptakan dengan menggabungkan Tuhan dan Vampir, membuat Marcus yakin bahwa ia adalah seorang bampir yang sekaligus bertindak sebagai Tuhan di muka bumi. Maka mulailah ia mencuci otak seluruh anggota keluarganya, sehingga tak seorang pun yang berani melawan perintahnya. Pun begitu halnya dengan perkawinan. Marcus menikahi anak-anak dan keponakannya dengan sebuah ritual yang ia siapkan sedemikian hingga. Tujuannya adalah untuk memperoleh ras vampir murni. Sayang, beberapa diantara gadis-gadis tersebut akhirnya menyadari bahwa ayah mereka adalah seorang gila psikopat yang akan merenggut masa depan mereka nantinya. Sofina dan Ruby adalah yang berhasil kabur dari genggaman Marcus. Namun mereka tidak bisa membawa pergi putra maupun putrinya.
Setelah menimbang banyak hal, akhirnya Sofina dan Ruby memutuskan untuk menjemput anak-anak mereka. Pada saat itu Marcus dan keluarganya tidak lagi tinggal di Sudan (nama kapal bobrok) karena mereka terusir, tetapi di sebuah rumah yang tak layak huni dengan jumlah anggota keluarga demikian banyaknya. Dalam wawancara dengan beberapa orang tetangga, juga diketahui bahwa tak ada satu orang pun dari mereka yang mengetahui keberadaan anak-anak kecil dalam keluarga tersebut. Mereka hanya sering melihat perempuan-perempuan dewasa dengan pakaian hitam yang selalu melekat di badan mereka.
Kedatangan Sofina dan Ruby membuat beberapa anggota keluarga tersebut marah besar. Mereka memang menganggap Sofina dan Ruby sebagai pengkhianat. Mereka berdua dipandang sebagai manusia yang akan menjadi petaka dengan memisahkan keluarga mereka. jauh sebelum kejadian berdarah ini, Marcus telah menanamkan sebuah prinsip pada keluarganya. Apabila suatu hari nanti ada yang ingin memisahkan mereka, baik itu pemerintah melalui DPA (Dewan Perlindungan Anak) atau pihak lain, maka anak yang lebih dewasa akan membunuh anak-anak kecil untuk kemudian membunuh dirinya sendiri. Mereka percaya pada semua perkataan Marcus, bahwa mereka adalah anak Tuhan yang akan kembali pada-Nya daripada harus hidup terpisah.
Yang paling ditakutkan Sofina dan Ruby pun terjadi hari itu. Eksekutornya adalah Sebhrenah, anak sekaligus istri Marcus Wesson. Dia menembaki anak-anak dengan timah peluru di mata kanan mereka (kecuali anaknya sendiri yang ditembak di mata kiri) kemudian menembak dirinya sendiri. Mayat-mayat yang bersimbah darah tersebut ditumpuk di sudut salah satu kamar. Setelah pembunuhan-bunuh diri itu terjadi, Marcus menyerahkan dirinya kepada polisi. Namun di dalam persidangan, baik itu Marcus, istri dan anak-anaknya yang lain (yang masih hidup), percaya bahwa yang menjadi pembunuh dalam kejadian tersebut adalah Sofina dan Ruby. Karena jika hari itu mereka tidak datang, tidak akan ada yang terbunuh.
Penyangkalan yang berbelit-belit dan tidak masuk akal pada akhirnya membawa Marcus Wesson pada hukuman mati. Di dalam sel terakhirnya itulah Marcus menyelesaikan autobiografinya, yang tak pernah diterbitkan.
***
Di halaman terakhir buku ini, terlihat beberapa potong potret keluarga Marcus. Juga penampakannya ketika ditangkap dan disidang. Ia berkulit hitam, berperawakan sangar, tubuhnya tinggi besar dengan rambut panjang yang digimbal. Sementara anak-anak hasil perkawinannya dengan sang istri, anak dan keponakannya memiliki raut wajah yang sangat mirip dengannya. Anak-anak polos yang hidupnya harus berakhir dengan sebuah penjagalan memilukan. Kejadian ini disebut-sebut sebagai pembunuhan massal paling kejam di Fresno.
Saya kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan kebiadaban laki-laki ini.
Siapkan saja mental yang kuat untuk menuntaskan kisah ini hingga tamat.

Marcus Wesson
7 (tujuh) anak-anak lucu yang meninggal bersimbah darah
Pohon keluarga Marcus Wesson. Lihat bagaimana hubungan inces tersebut berlaku dalam keluarga ini
Rumah pembantaian 12 Maret 2004
Peti mati yang disediakan oleh Marcus untuk anak-anaknya

Judul
:
By Their Father’s Hand
Penulis
:
Monte Francis
Halaman
:
330
Penerbit
:
Gramedia

Salam!
 

Senin, Februari 10

Tea for Two - Clara NG

Diposting oleh Orestilla di 10.51.00 0 komentar


Buku keenam dan karya anak Indonesia pertama yang saya baca dalam tahun ini, Tea for Two. Walaupun judulnya pake bahasa inggris gitu, ini asli ditulis oleh penulis dalam negeri tercinta, namanya Clara NG. 


Sekilas tentang penulis. Clara NG merupakan salah satu penulis yang mendedikasikan karyanya pada tema perempuan, keluarga dan cinta. Lulusan Ohio State University jurusan Interpersonal Communication ini pernah memenangkan Adikarya IKAPI selama tiga tahun berturut-turut, 2006-2008.
Jujur, kesan pertama yang saya dapatkan ketika bertemu buku ini sama sekali tidak menggoda. Saya bosan. Pengantarnya bagus. Namun dialog-dialog antar tokoh dalam halaman berikutnya, sumpah garing banget. (Kadang saya merasa gimanaaaa gitu kalaunya sedang menilai buku orang lain, sementara diri sendiri belum punya satu pun. hiks. oke kembali ke laptop).
Namun, perlahan tapi pasti, saya mulai tertarik. Dan tentu saja, tak berhenti hingga tuntas. Saya sengaja menandai beberapa kalimat (kebiasaan saya setiap kali membaca), yang saya anggap penting dan punya nilai tersendiri.
Tea for two menceritakan tentang kehidupan seorang wanita sukses bernama Sassy yang memiliki sebuah perusahaan unik, perusahaan makcomblang, perusahaan yang ia namakan dengan Tea for two? Mengapa harus two “dua”? Mengapa tidak three or four? Mungkin karena perusahaan ini berusaha menyatukan dua insan yang sebelumnya tidak saling mengenal satu sama lain, hingga tak sedikit diantara mereka yang memutuskan untuk menikah. Diawali dengan secangkir teh, diakhiri dengan penyatuan dua hati dalam biduk pernikahan.
Sassy selalu menyampaikan energi positif pada seluruh kliennya, menancapkan mimpi indah Cinderella pada mereka yang merasa kalah sebelum berperang terkait masalah percintaan. Sebuah harga yang sayangnya tak Sassy temukan dalam pernikahannya sendiri. Setelah jatuh takluk pada seorang lelaki mapan, tampan dan penuh kharisma, Sassy mulai meninggalkan ke”aku”an dirinya, berubah menjadi sosok yang diinginkan kekasihnya. Ia yang dengan nama cinta, akhirnya harus rela hidup bersama dengan lelaki dengan ego setinggi puncak Himalaya. Lelaki temperamental yang menurut saya agak sedikit gila, karena perasaannya berubah cepat tanpa rambu-rambu yang jelas.
Sassy yang awalnya menumpangkan segala mimpi dan kepercayaannya pada Alan, si lelaki tersebut, akhirnya memutuskan untuk bercerai. Bukan karena ia tak lagi mencintai Alan, bukan juga karena Alan tak mencintainya, tapi lebih pada keinginannya untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan tanpa harus tersakiti lagi.
Buku ini mengajarkan banyak hal, tentu saja. Terlebih pada kita-kita yang belum pernah mencoba biduk pernikahan. Namun ada satu kalimat penutup di buku ini yang membuat saya menyesal, “mengapa saya tak membaca kalimat peringatan ini sebelum melahap buku Clara?”. Begini kalimatnya:

It could happen to you. It could happen to anybody. Ini lah kisah yang menelanjangi sisi buruk pernikahan. Para lajang, gemetarlah, karena lelaki yang kau pikir Mr. Right bisa berubah menjadi Mr. Totally Wrong.

Hahaha. Saya hanya bisa tertawa karena saya anggap saya telah terlalu terlambat untuk membaca peringatan tersebut, yang entah kenapa memang dihadirkan di bagian akhir.
And this is the precious sentence from “Tea for Two”:
Memang sangat mudah meletakkan kesalahan di bahu perempuan. Sangat otomatis menjadikan perempuan sebagai kambing hitam, seotomatis mencari toilet sambil berlari sekencang-kencangnya ketika terserang diare [page 18 of 312] - Lelaki dilahirkan dengan sebuah ego yang jika tak mampu dikendalikannya, maka akan seringkali berakibat fatal. Dan perempuan dengan sisi lemah yang juga ia bawa sedari lahir, menempatkannya sebagai lahan empuk yang bisa dijadikan sebagai pelampiasan ego tersebut. Menyedihkan memang. Namun fakta bicara keras di sekitar kita. Bukalah mata dan tonton sendiri.
Terkadang aku ingin mengintip takdirku agar hidupku lebih terencana. Tapi aku baru sadar, Tuhan menyimpan takdir untuk kejutan [page 96 0f 312].
Jodoh memang misterius. Beberapa orang butuh bantuan untuk dicarikan jodoh. Seperti cinta, mungkin jodoh juga mempunyai tanggal kadaluwarsa. Itulah yang menyebabkan jodoh harus berganti atau didaur ulang [page 309 of 312].
Untuk sebuah pelajaran yang mungkin tak saya temukan di banyak buku tentang pernikahan, terimakasih Clara.

Judul
:
Tea for Two
Penulis
:
Clara NG
Halaman
:
312
Penerbit
:
Gramedia, Agustus 2009

 Salam!

The Girl who Kicked The Hornet's Nest - Stieg Larsson

Diposting oleh Orestilla di 10.38.00 2 komentar


Yeay..!!!
Akhirnya saya berhasil menjelajahi kehidupan Salander detail sedetail detailnya dengan menyelesaikan buku terakhir trilogi ini. Senengnya pake buanget beb. Hahaha.


Seriusan deh. Yang ngaku gila buku, rugiiii banget nggak baca ketiga buku ini. Njelimet sih iya. Tapi kepuasan setelah melahap mereka bertiga jangan ditanya. PUAS! Hahaha.
Setelah mengulas buku pertama disini dan buku kedua disini, hari ini Tilla dengan senang hati dan semangat ulang kemerdekaan akan menceritakan sensasi buku penutup dari trilogi millennium ini. Judulnya, seperti judul laman ini: The Girl who Kicked The Hornets’s Nest. Gadis yang menendang sarang lebah? Hehe. Begini ceritanya. Tarara tereeeettt..
Buku pertama; The girl with the dragon tattoo..membuat kita merangkai sosok gadis bertato naga dibahunya, lengkap dengan semua rahasia yang ia bawa dalam hidupnya yang kelam. Dirinya belum jadi tokoh sentral dalam buku ini (menurut pandangan mata hati dan mata baca saya pribadi).
Buku kedua; The girl who played with fire..sedikit demi sedikit, kehidupan dan masa lalu gadis ini mulai terungkap. Tentang kepintarannya, tentang ibunya yang sekarat, tentang ayahnya yang kejam, tentang sikapnya yang memuakkan..namun ketika menyelesaikannya, masih ada tanda tanya besar dalam hati pembaca (utamanya hati saya).
Buku ketiga; menjawab semua pertanyaan saya di dua buku sebelumnya.
Berawal dari akhir buku kedua, Salander yang hampir saja terbunuh oleh kakak tirinya bernama Niedermann, dalam perjalanannya mencari sang ayah, keinginan kuatnya untuk membunuh lelaki renta yang menjadi biang kerok kekelaman hidupnya. Namun Salander salah perhitungan, ia berhasil ditembak Zalachenko di tiga bagian tubuh, ia ambruk, kemudian dikubur dalam keadaan hidup oleh Niederman. Takdir lah yang akhirnya memberikan Salander kesempatan sekali lagi untuk menyelesaikan perhitungan dengan kedua monster tersebut. Dengan tekad kuat berlatar belakang dendam kesumat, ia mampu menancapkan kapak di kepala ayahnya dan membuat kakaknya, yang tak pernah merasakan sakit, lari terbirit-birit.
Bloomkvist berhasil menemukannya yang sudah setengah mati di rumah peternakan milik Zalachenko. Dan ia harus merelakan dirinya menjadi pasien di sebuah rumah sakit selama berbulan-bulan untuk menemukan kembali kekuatan tubuhnya. Sementara Niedermann melarikan diri ke tempat persembunyiannya, Zalachenko yang juga hampir meninggal, ditempatkan dua ruangan dari kamar putri kandungnya, Salander. Namun konspirasi yang ia tuai sedari awal, membawa kembali beberapa tokoh Polisi Keamanan. Zalachenko mati menggenaskan di tangan salah seorang dari mereka. “Tokoh” pembunuh berumur 72 tahun yang langsung menembakkan peluru ke pelipisnya sendiri beberapa saat setelah membunuh Zalachenko.
Bermodal bantuan seorang dokter di rumah sakit tersebut, Salander berhasil mendapatkan kembali komputer tabletnya. Ia yang merupakan salah satu anggota klub hacker terbaik di seluruh dunia, mulai mencari rahasia demi rahasia yang berkaitan dengan masa lalunya yang kelam dan menjijikkan. Ketika menemukan kunci-kunci tersebut, ia segera membaginya dengan Bloomkvist, teman yang ia percaya sekaligus ia benci karena telah dengan sembrononya ia cintai (nggak bingung kan ya baca kalimat yang ini? hehehe). Salander juga mulai mempercayai Annika Giandini, adik Bloomkvist yang berprofesi sebagai pengacara, wanita muda pintar dan enerjik yang akan membela kepentingan Salander nantinya di pengadilan. Karena walaupun Salander telah dibebaskan dari tuduhan dua pembunuhan sebelumnya, ia tetap dianggap memiliki peran penting dalam rencana penghabisan nyawa Zalachenko.
Dalam pemecahan kasus ini, tak hanya nyawa Salander yang dipertaruhkan. Setelah penculikan Mirriam Wu, kehidupan Bloomkvist, Annika dan Erika juga ikut terancam. Tak terhitung berapa kali penggeledahan dilakukan di apartemen Bloomkvist, penyadapan telepon genggamnya, perampokan salinan bukti yang ada di tangan Bloomkvist dan Erika hingga penembakan yang langsung ditujukan pada Bloomkvist di sebuah kafe.
Kasus Salander memang bukan hanya perkara pemberian suaka pada seorang agen Rusia. Namun sudah menyangkut pada harga diri pemerintah Swedia sendiri. Keterlibatan Polisi Keamanan bukan lagi perkara kecil sehingga siapa saja yang terlibat dalam peristiwa di tahun 1960an tersebut dilenyapkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi, pembunuhan.
Dan jauh dari itu semua, Salander hanyalah seorang korban. Gadis yang terpaksa merelakan kebahagiaan masa kecilnya, berubah menjadi serigala dan menarik diri dari pergaulan. Ia kehilangan segala macam haknya sebagai manusia dan warga negara. Bahkan demi mempertahankan eksistensi ayahnya, pejabat-pejabat negara pada masa itu dengan sadisnya mengirim Salander pada sebuah panti rehabilitasi. Disana ia dikurung selama ratusan hari, dirongrong jiwanya, disakiti fisiknya. Ia sungguh hanyalah seorang korban kepentingan politik.
Namun berkat kegigihannya, dibantu oleh banyak orang yang masih memiliki kepedulian, Salander memenangkan pertarungan tersebut. Ia dibebaskan. Semua kaki tangan yang membantu penyekapan legalnya di tahun 1991 ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Nama baiknya dibersihkan kembali dari pandangan dunia. Dan ia, dengan mata kepalanya sendiri, melihat kematian Niedermann.
979 halaman yang menegangkan, membuat penasaran dan mengharu biru.
Keren!
Saya punya lima bintang untuk buku ini. *****.

Dari keseluruhan inti cerita yang dipaparkan Stieg Larsson, saya menarik sebuah kesimpulan: Don’t judge a book by the cover. Don’t judge a human by performance. Ya. Jangan pernah menilai sesuatu, apalagi seseorang, hanya dengan pengamatan mata kita saja, tanpa melibatkan hati, tanpa mengikutsertakan logika.
Saran saya, segera miliki buku ini dan kamu nggak akan berhenti sebelum menutup halaman akhir buku ketiganya.

Judul
:
The girl who kicked the hornet’s nest
Penulis
:
Stieg Larsson
Halaman
:
979
Penerbit
:
Qanita, Mei 2011

 Salam!


 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea