Rabu, November 27

Reply to "Lelaki yang Jatuh Hati"

Diposting oleh Orestilla di 08.47.00 2 komentar


Sepagi ini membaca “lelakiyang jatuh hati” di laman sahabat saya si penulis Origami Hati. Ada yang nyesek juga disini walau frasa itu berasal dari sudut pandang Boy, lelaki. Iya. Karena rasa seperti itu juga bisa kami alami, kami si perempuan yang lebih sering terluka karena cinta.
Ditambah pilihan soundtrack pagi yang bikin hati saya kembali merindu dan menggebu, pada sosok yang dulu pernah saya ceritakan dalam narasi. Sosok yang tak mampu saya gapai hatinya dengan cinta, namun punya tempat tersendiri di hati saya. The One That Got Away. Anda semua pasti kenal lagu keren yang awalnya dinyanyikan oleh Katy Perry ini. Tapi saya sendiri lebih tertarik ketika lagu ini didendangkan oleh Boyce Avenue. Karena ditampilkan akustik, lagu ini terdengar lebih “dalem” lagi.

Summer after high school when we first met
We make out in your Mustang to Radiohead
And on my 18th Birthday
We got matching tattoos
Used to steal your parents’ liquor
And climb to the roof
Talk about our future
like we had a clue
Never plan that one day
I’d be losing you
And in another life
I would be your girl
We keep full of promises
Be us against the world
And in another life
I would make you stay
So I don’t have to say
You were the one that got away
The one that got away
I was June and you were my Johnny Cash
Never one we got the other we made a pact
Sometimes when I miss you
I put those records on
Someone said you had your tattoo removed
Saw you downtown singing the Blues
Its time to face the music
I’m no longer your muse
All these money can’t buy me a time machine
Can’t replace you with a million rings
I shoulda told you what you meant to me
Cause now I pay the price

Tiap kali lagunya sampai pada lirik “Never plan that one day, I’d be losing you” ada luka yang hadir tanpa tanya. Ada wajah yang sontak hadir dan mengingatkan kembali pada masa lalu yang penuh suka. Ada kenangan yang bergantian melintas layaknya potongan-potongan adegan dalam film romansa. Indah memang. Eiittss..jangan bicarakan sang mantan hanya karena lirik awal lagu ini ya. Hahaha. Cinta sejati bukan selalu berarti cinta yang pernah kita miliki dalam waktu lama, iya kan?
Membaca narasi Boy sembari mendengarkan lagu-nya Boyce Avenue mengingatkan saya sekali lagi bahwasanya cinta sejati memang tak harus memiliki. Agak sedikit bullshit terdengar. Namun itulah faktanya. Fakta yang hanya bisa di-amin-kan oleh mereka yang pernah ada dalam posisi istimewa seperti itu. Masih ingat cerita “Wanita Penghantar Pernikahan” saya? Jika Boy berani bertutur dalam tajuk “Lelaki yang jatuh hati” (serius looo..ini sepertinya perasaan nyata sang penulis), saya juga pernah jujur disana.
Seringkali cinta yang seperti ini menjadi cinta yang sulit untuk dilupakan, abadi dalam penantian, indah dalam kenangan.
“Lelaki yang jatuh hati” sendiri memberikan gambaran baru bagi saya bahwasanya lelaki tak selalu berada pada pihak yang “diperjuangkan”. Masih ada ribuan lelaki di luar sana yang hatinya terluka karena cinta. Walaupun lelaki lebih dikenal dengan kekuatan logika dan kerendahan rasa, toh mereka masih tetap manusia biasa. Bedanya, lelaki lebih rapi menyimpan kesakitan. Tak sama dengan perempuan yang dengan mudahnya dibaca oleh mata telanjang.

"Terima kasih Boy. Rangkaian kata kali ini ngena banget di hati."


Senin, November 25

Sebuah Pengakuan

Diposting oleh Orestilla di 09.38.00 0 komentar
Matamu menjadi candu yang tak pernah kalah oleh putaran waktu
Tawamu menjadi lagu yang mendayu di setiap lelap tidurku
Tapi itu dulu
Dulu yang padanya kini hatiku teriris kelu
Dulu yang akhirnya kini memaksa hatiku untuk membisu

Kamu hilang bak awan hitam yang lenyap ketika hujan datang
Kamu tiada seperti serpihan kertas dalam kobaran api yang nyala
Ada satu, dua, tiga pesan kata yang belum sempat kusampaikan
Ada satu cinta yang bodohnya dengan sangat rapi kusimpan dari penglihatan
Ya. Penglihatanmu

Ketika denyut cinta itu merekah lagi
Aku harus kuat untuk berjuang sendiri menghadang sepi
Karena kini kamu sudah tak berbayang lagi di sini
Ada hampa ku rasa tanpa jeda
Ada ingin bersua denganmu yang tak kan lagi pernah menjadi nyata

Namun aku sadar aku memang kalah
Aku salah karena mencintamu tanpa tahu arah
Maafkan aku, mohon dengarkan pengakuanku.

Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer

Diposting oleh Orestilla di 08.19.00 0 komentar


Buku Bumi Manusia yang saya miliki adalah cetakan ke-18. Salah satu prestasi luar biasa yang dimiliki oleh seseorang yang menghabiskan hampir separuh hidupnya di balik jeruji penjara. Siapa yang tak kenal Pramoedya, siapa yang tak akan kagum pada rangkaian narasinya. Pramoedya punya kekuatan magis yang akan membawa kita kembali pada sebuah peradaban yang telah diberi label “sejarah”. 


Berlatar belakang tahun 1880-an di negeri Surabaya, Pramoedya memperkenalkan seorang muda pribumi yang memiliki kesempatan besar untuk belajar langsung bersama pemuda Eropa dan Indo lainnya. Ia bernama Minke.
Minke (baca: Mingke) si pribumi tulen. Ia adalah anak kedua dari seorang bupati B. Namun Minke besar dan telah menghabiskan lebih banyak waktu dengan neneknya. Minke memiliki ilmu dan prestasi yang mampu mengalahkan pencapaian anak-anak Eropa dan Indo di lingkungannya. Sesuatu hal yang melahirkan rasa iri dan dengki dari berbagai pihak, mengingat ia sama sekali tidak memiliki darah Eropa. Pada waktu itu, pribumi dianggap rendah dan hina.
Persahabatannya dengan Robert Suurhof (teman sepemondokannya saat menuntut ilmu di H.B.S., jalan H.B.S., Surabaya) membawanya pada sebuah pertemuan dengan gadis Indo bernama Annelies Mellema. Putri dari Tuan Herman Mellema dan gundiknya Sanikem yang kemudian lebih dikenal dengan nama nyai Ontosoroh.
Nama Ontosoroh sendiri hadir tatkala masyarakat sekitar tidak bisa menyebutkan dengan baik kata Buitenzorg. Ya. Tuan Mellema dan Sanikem adalah pemilik Boerderij Buitenzorg (Belanda) yang berarti Perusahaan Pertanian. Beberapa puluh lembar halaman pertama buku ini menceritakan kisah hidup Nyai yang dengan paksaan (dijual) kedua orangtuanya menjadi gundik Tuan Mellema. Perlakuan baik penuh kasih sayang akhirnya meluluhkan hati Nyai. Namun kecintaannya pada sang suami (walau tak pernah diakui secara hukum) tak bisa meredam dendam kesumatnya pada ayah dan ibu kandungnya yang ia anggap telah dengan sangat keji menjualnya pada orang asing tersebut. Pernikahan tidak sah mereka harus berakhir ketika anak kandung Mellema yang berdarah Eropa asli datang, membongkar kebusukan dan masa kelam ayahnya tepat di depan Mellema dan Nyai. Kedatangan Maurits Mellema membuat ayahnya kehilangan jiwa dan semangat hidup dalam sekejab mata. Ia berubah menjadi orang yang tidak lagi mengenal dunia dan hidup dalam ketidakjelasan. Fakta yang harus membuat Nyai berjuang puluhan kali lebih keras dari sebelumnya.
Minke dan Ann jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan Ann sendiri yang harus kehilangan masa kecilnya karena dipercaya untuk mengurus bisnis keluarga saat ayahnya tidak lagi kembali ke rumah setelah kedatangan putra Eropa-nya, seperti menemukan alasan untuk hidup dalam hidup yang sebenarnya. Bahkan ketika Minke harus pulang ke pemondokannya, Annelies jatuh sakit hingga tak sadarkan diri demi menanggung rindu yang bisa saja membuatnya mati.
Setelah melewati berbagai rintang dalam hubungan mereka (yang tak akan saya bahas secara detail di laman ini), akhirnya Minke mempersunting Annelies beberapa hari setelah kelulusannya di H.B.S. Namun kisah sejatinya baru hadir di halaman-halaman terakhir buku ini. Pernikahan yang tidak diakui secara hukum, membuat Nyai harus rela berpisah dengan putri kesayangannya ketika Maurits Mellema (saudara tiri Ann) melalui Pengadilan Amsterdam menggugat seluruh warisan yang ditinggalkan ayahnya (yang sebelumnya mati menggenaskan karena diracuni oleh seorang Tionghoa bernama Ah Tjong). Pengadilan itu pula lah yang mengharuskan Annelies kembali ke tanah leluhurnya. Walau sah secara Islam, pernikahan Ann dan Minke juga dianggap tidak pernah terjadi. Setelah melalui perdebatan alot yang melibatkan banyak pihak serta dibayar dengan pertumpahan darah, Minke dan Nyai tidak memiliki pilihan lain kecuali melepaskan Ann yang mereka kasihi.
Ada yang nyesek ketika mengetahui bahwa perbedaan bangsa dan warna kulit saja bisa menjadi alasan yang sangat kuat pada masa itu untuk memisahkan dua hati yang telah terkunci dalam cinta sejati. Bahkan jika diberikan pilihan, mungkin saja Ann (yang lebih senang diakui sebagai pribumi) akan puas mati di tanah Jawa, dalam dekapan suami yang ia cinta dibandingkan harus kembali ke negeri yang jauh, yang tak pernah ia kenal selama hidupnya. Namun itulah aturan yang berlaku kala itu. Aturan yang sulit diterima akal sehat. Aturan yang dijejalkan pada bangsa kita dibawah jajahan bangsa asing yang tidak hanya mengambil kekayaan bumi Indonesia, namun juga hak-hak mereka sebagai manusia.
Beberapa hari sebelum keberangkatannya, ada satu kalimat yang membuat saya menghela nafas panjang. Menyadari betapa banyak kisah cinta menggetirkan (jika tak bisa disebut sangat menyakitkan) yang berlangsung di luar sana, di tempat dan waktu yang tak terjangkau pemikiran.

“Sekali dalam hidup biarlah aku suapi suamiku.”

Kalimat itu diucapkan Ann ketika matahari menyapa bumi untuk pertama kalinya setelah semalaman ia didongengkan oleh suaminya yang setia. Dongeng yang diharapkan Minke akan membawa Ann kembali sadar. Dongeng yang dulu selalu ia nantikan setiap malam dari suaminya. Ya. Setelah mendengar keputusan kejam akan dirinya, Ann kembali jatuh sakit. Ia menatap Minke dengan tatapan kosong yang tak bisa lagi diartikan. Ia diam ketika ditanya. Tak menggubris apapun yang ada disekitarnya. Ia mati dalam hidup. Dan kalimat tadi adalah kalimat pertama yang membuat Minke berbahagia sekaligus lara. Ia bahagia karena Ann telah kembali tersenyum padanya, ia hidup kembali walau dalam muka pucat pasi di wajah cantik yang ia miliki. Namun lara menohok hatinya karena itu berarti Ann telah siap untuk pergi darinya, untuk selamanya.

And the precious sentences from Bumi Manusia (535 pages):
Semakin pudar untuk hilang dalam ketiadaan [Page 13]
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri [page 59]
Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan [page 77]
Wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ketuaan; mereka dicekam oleh impian tentang kemudaan yang rapuh dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu [page 89]
Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, tapi pergulatan sendiri [page 231]
Jangan ikut-ikut jadi hakim tentang sesuatu yang kau tak ketahui dengan pasti [page 272]
Kodrat umat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh pengusaannya atas ilmu dan pengetahuan. Melawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan [page 286]
Ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua [page 310]
Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa [page 313]
Selain kisah Tuan Herman Mellema dan Sanikem (Nyai Ontosoroh), buku ini juga menceritakan tentang:
1.    Robert Suurhof, sahabat Minke yang juga berteman dengan Robert Mellema (kakak Annelies Mellema) yang pada akhir cerita diketahui memiliki perasaan istimewa untuk Ann. Alasan utamanya mengajak Minke ketika berkunjung ke Boerderij Buitenzorg adalah untuk memikat hati Ann sekaligus memperlihatkan kekuatan dan kelebihannya dihadapan pribumi hina seperti Minke.
2.    Masa kelam yang membuat Ann menjadi gadis yang sulit ditebak kepribadiannya adalah fakta bahwa ia pernah diperkosa oleh kakaknya sendiri, Robert Mellema. Sebuah kenyataan yang membuatnya begitu takut kehilangan Minke dan tak mendapat kepercayaan darinya, lelaki yang ia cintai dengan sepenuh hati.
3.   Jean Marais, orang Perancis berkaki satu yang kehilangan kakinya ketika menjadi Spandri (serdadu kelas satu) di Aceh. Perjalanan yang membawanya pada cinta seorang perempuan pribumi yang memberikannya seorang anak bernama May Marais. Walau pada akhirnya kematian memaksa mereka untuk berpisah selamanya.
4.     dan masih banyak lagi. dan akan lebih baik jika kalian membacanya sendiri bukan? hehehe.

Jika di luar sana mereka punya Romeo dan Juliet yang harus mati karena cinta yang tak diakui, maka kita bersama Pramoedya memiliki Minke dan Annelies dengan cinta sejati yang tak harus memiliki.
Salam baca!


Jumat, November 22

A.L.I.E.N

Diposting oleh Orestilla di 08.43.00 2 komentar


Matanya mati, tak ada kehidupan disana. Tubuh rampingnya menatap jelaga hitamku dengan pandangan yang tak bisa diungkapkan hanya dengan kata. Mulutnya membentuk huruf o kecil pertanda ia tengah meragu akan makhluk sepertiku. Seaneh itu kah aku? Bukankah keberadaannya disini jauh lebih aneh? Ia mendekat. Jarak kami hanya tersisa sekitar 5 langkah lagi. Kutatap takjub makhluk asing didepanku. Benarkah Tuhan memiliki ciptaan selayaknya ia? Mengapa baru hadir setelah jutaan tahun umur bumi? Ingin kutelusuri permukaan kulitnya yang berwarna hijau terang, mempertontonkan perjalanan darah dikedalamannya. Darah? Seperti itukah darah miliknya? Mengapa tidak berwarna merah seperti kepunyaanku? “Sesuatu” yang mengalir di dalam tubuhnya itu berwarna biru kelabu. Cukup membuatku tersentak dan bergidik ngeri.

Ia mendekat selangkah lagi. Dari jarak sedekat ini, indera penciumanku disuguhkan pada sebuah aroma aneh yang menguar dari tubuhnya. Tidak bisa dikatakan wangi karena dengan refleks aku menutup hidungku dengan kedua telapak tangan. Satu tangannya terjulur kearahku. Seperti ingin ku genggam dalam jalin persahabatan. Itukah yang ia mau? Atau jangan-jangan ia ingin menarikku ke dalam dunianya yang tak pernah ku tau dimana letaknya. Beberapa puluh meter di belakang kami terparkir dengan rapi sebuah kendaraan berbentuk tabung silinder super besar yang mengeluarkan cahaya sangat terang. Cahaya yang membuat mataku silau ketika pertama kali menatapnya. Tadi. Saat aku siuman dari tidur panjangku. Pingsan tepatnya.

Ia berteriak. Suaranya membuatku pusing. Aku memegang kepalaku pertanda kesakitan. Telapak tanganku basah. Bukan keringat yang hadir secepat ini. Satu dua tetes darah segar mengalir dari kedua telingaku. Ia menabrakku dengan kekuatan penuh. Tubuh indahnya tadi yang kukagumi ternyata kumpulan lendir berbau busuk yang membuatku ingin muntah. Sebelum aku mati, sebuah kesadaran hadir dibenakku, “Bangsat, ini dia Alien itu!”

Rabu, November 27

Reply to "Lelaki yang Jatuh Hati"

Diposting oleh Orestilla di 08.47.00 2 komentar


Sepagi ini membaca “lelakiyang jatuh hati” di laman sahabat saya si penulis Origami Hati. Ada yang nyesek juga disini walau frasa itu berasal dari sudut pandang Boy, lelaki. Iya. Karena rasa seperti itu juga bisa kami alami, kami si perempuan yang lebih sering terluka karena cinta.
Ditambah pilihan soundtrack pagi yang bikin hati saya kembali merindu dan menggebu, pada sosok yang dulu pernah saya ceritakan dalam narasi. Sosok yang tak mampu saya gapai hatinya dengan cinta, namun punya tempat tersendiri di hati saya. The One That Got Away. Anda semua pasti kenal lagu keren yang awalnya dinyanyikan oleh Katy Perry ini. Tapi saya sendiri lebih tertarik ketika lagu ini didendangkan oleh Boyce Avenue. Karena ditampilkan akustik, lagu ini terdengar lebih “dalem” lagi.

Summer after high school when we first met
We make out in your Mustang to Radiohead
And on my 18th Birthday
We got matching tattoos
Used to steal your parents’ liquor
And climb to the roof
Talk about our future
like we had a clue
Never plan that one day
I’d be losing you
And in another life
I would be your girl
We keep full of promises
Be us against the world
And in another life
I would make you stay
So I don’t have to say
You were the one that got away
The one that got away
I was June and you were my Johnny Cash
Never one we got the other we made a pact
Sometimes when I miss you
I put those records on
Someone said you had your tattoo removed
Saw you downtown singing the Blues
Its time to face the music
I’m no longer your muse
All these money can’t buy me a time machine
Can’t replace you with a million rings
I shoulda told you what you meant to me
Cause now I pay the price

Tiap kali lagunya sampai pada lirik “Never plan that one day, I’d be losing you” ada luka yang hadir tanpa tanya. Ada wajah yang sontak hadir dan mengingatkan kembali pada masa lalu yang penuh suka. Ada kenangan yang bergantian melintas layaknya potongan-potongan adegan dalam film romansa. Indah memang. Eiittss..jangan bicarakan sang mantan hanya karena lirik awal lagu ini ya. Hahaha. Cinta sejati bukan selalu berarti cinta yang pernah kita miliki dalam waktu lama, iya kan?
Membaca narasi Boy sembari mendengarkan lagu-nya Boyce Avenue mengingatkan saya sekali lagi bahwasanya cinta sejati memang tak harus memiliki. Agak sedikit bullshit terdengar. Namun itulah faktanya. Fakta yang hanya bisa di-amin-kan oleh mereka yang pernah ada dalam posisi istimewa seperti itu. Masih ingat cerita “Wanita Penghantar Pernikahan” saya? Jika Boy berani bertutur dalam tajuk “Lelaki yang jatuh hati” (serius looo..ini sepertinya perasaan nyata sang penulis), saya juga pernah jujur disana.
Seringkali cinta yang seperti ini menjadi cinta yang sulit untuk dilupakan, abadi dalam penantian, indah dalam kenangan.
“Lelaki yang jatuh hati” sendiri memberikan gambaran baru bagi saya bahwasanya lelaki tak selalu berada pada pihak yang “diperjuangkan”. Masih ada ribuan lelaki di luar sana yang hatinya terluka karena cinta. Walaupun lelaki lebih dikenal dengan kekuatan logika dan kerendahan rasa, toh mereka masih tetap manusia biasa. Bedanya, lelaki lebih rapi menyimpan kesakitan. Tak sama dengan perempuan yang dengan mudahnya dibaca oleh mata telanjang.

"Terima kasih Boy. Rangkaian kata kali ini ngena banget di hati."


Senin, November 25

Sebuah Pengakuan

Diposting oleh Orestilla di 09.38.00 0 komentar
Matamu menjadi candu yang tak pernah kalah oleh putaran waktu
Tawamu menjadi lagu yang mendayu di setiap lelap tidurku
Tapi itu dulu
Dulu yang padanya kini hatiku teriris kelu
Dulu yang akhirnya kini memaksa hatiku untuk membisu

Kamu hilang bak awan hitam yang lenyap ketika hujan datang
Kamu tiada seperti serpihan kertas dalam kobaran api yang nyala
Ada satu, dua, tiga pesan kata yang belum sempat kusampaikan
Ada satu cinta yang bodohnya dengan sangat rapi kusimpan dari penglihatan
Ya. Penglihatanmu

Ketika denyut cinta itu merekah lagi
Aku harus kuat untuk berjuang sendiri menghadang sepi
Karena kini kamu sudah tak berbayang lagi di sini
Ada hampa ku rasa tanpa jeda
Ada ingin bersua denganmu yang tak kan lagi pernah menjadi nyata

Namun aku sadar aku memang kalah
Aku salah karena mencintamu tanpa tahu arah
Maafkan aku, mohon dengarkan pengakuanku.

Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer

Diposting oleh Orestilla di 08.19.00 0 komentar


Buku Bumi Manusia yang saya miliki adalah cetakan ke-18. Salah satu prestasi luar biasa yang dimiliki oleh seseorang yang menghabiskan hampir separuh hidupnya di balik jeruji penjara. Siapa yang tak kenal Pramoedya, siapa yang tak akan kagum pada rangkaian narasinya. Pramoedya punya kekuatan magis yang akan membawa kita kembali pada sebuah peradaban yang telah diberi label “sejarah”. 


Berlatar belakang tahun 1880-an di negeri Surabaya, Pramoedya memperkenalkan seorang muda pribumi yang memiliki kesempatan besar untuk belajar langsung bersama pemuda Eropa dan Indo lainnya. Ia bernama Minke.
Minke (baca: Mingke) si pribumi tulen. Ia adalah anak kedua dari seorang bupati B. Namun Minke besar dan telah menghabiskan lebih banyak waktu dengan neneknya. Minke memiliki ilmu dan prestasi yang mampu mengalahkan pencapaian anak-anak Eropa dan Indo di lingkungannya. Sesuatu hal yang melahirkan rasa iri dan dengki dari berbagai pihak, mengingat ia sama sekali tidak memiliki darah Eropa. Pada waktu itu, pribumi dianggap rendah dan hina.
Persahabatannya dengan Robert Suurhof (teman sepemondokannya saat menuntut ilmu di H.B.S., jalan H.B.S., Surabaya) membawanya pada sebuah pertemuan dengan gadis Indo bernama Annelies Mellema. Putri dari Tuan Herman Mellema dan gundiknya Sanikem yang kemudian lebih dikenal dengan nama nyai Ontosoroh.
Nama Ontosoroh sendiri hadir tatkala masyarakat sekitar tidak bisa menyebutkan dengan baik kata Buitenzorg. Ya. Tuan Mellema dan Sanikem adalah pemilik Boerderij Buitenzorg (Belanda) yang berarti Perusahaan Pertanian. Beberapa puluh lembar halaman pertama buku ini menceritakan kisah hidup Nyai yang dengan paksaan (dijual) kedua orangtuanya menjadi gundik Tuan Mellema. Perlakuan baik penuh kasih sayang akhirnya meluluhkan hati Nyai. Namun kecintaannya pada sang suami (walau tak pernah diakui secara hukum) tak bisa meredam dendam kesumatnya pada ayah dan ibu kandungnya yang ia anggap telah dengan sangat keji menjualnya pada orang asing tersebut. Pernikahan tidak sah mereka harus berakhir ketika anak kandung Mellema yang berdarah Eropa asli datang, membongkar kebusukan dan masa kelam ayahnya tepat di depan Mellema dan Nyai. Kedatangan Maurits Mellema membuat ayahnya kehilangan jiwa dan semangat hidup dalam sekejab mata. Ia berubah menjadi orang yang tidak lagi mengenal dunia dan hidup dalam ketidakjelasan. Fakta yang harus membuat Nyai berjuang puluhan kali lebih keras dari sebelumnya.
Minke dan Ann jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan Ann sendiri yang harus kehilangan masa kecilnya karena dipercaya untuk mengurus bisnis keluarga saat ayahnya tidak lagi kembali ke rumah setelah kedatangan putra Eropa-nya, seperti menemukan alasan untuk hidup dalam hidup yang sebenarnya. Bahkan ketika Minke harus pulang ke pemondokannya, Annelies jatuh sakit hingga tak sadarkan diri demi menanggung rindu yang bisa saja membuatnya mati.
Setelah melewati berbagai rintang dalam hubungan mereka (yang tak akan saya bahas secara detail di laman ini), akhirnya Minke mempersunting Annelies beberapa hari setelah kelulusannya di H.B.S. Namun kisah sejatinya baru hadir di halaman-halaman terakhir buku ini. Pernikahan yang tidak diakui secara hukum, membuat Nyai harus rela berpisah dengan putri kesayangannya ketika Maurits Mellema (saudara tiri Ann) melalui Pengadilan Amsterdam menggugat seluruh warisan yang ditinggalkan ayahnya (yang sebelumnya mati menggenaskan karena diracuni oleh seorang Tionghoa bernama Ah Tjong). Pengadilan itu pula lah yang mengharuskan Annelies kembali ke tanah leluhurnya. Walau sah secara Islam, pernikahan Ann dan Minke juga dianggap tidak pernah terjadi. Setelah melalui perdebatan alot yang melibatkan banyak pihak serta dibayar dengan pertumpahan darah, Minke dan Nyai tidak memiliki pilihan lain kecuali melepaskan Ann yang mereka kasihi.
Ada yang nyesek ketika mengetahui bahwa perbedaan bangsa dan warna kulit saja bisa menjadi alasan yang sangat kuat pada masa itu untuk memisahkan dua hati yang telah terkunci dalam cinta sejati. Bahkan jika diberikan pilihan, mungkin saja Ann (yang lebih senang diakui sebagai pribumi) akan puas mati di tanah Jawa, dalam dekapan suami yang ia cinta dibandingkan harus kembali ke negeri yang jauh, yang tak pernah ia kenal selama hidupnya. Namun itulah aturan yang berlaku kala itu. Aturan yang sulit diterima akal sehat. Aturan yang dijejalkan pada bangsa kita dibawah jajahan bangsa asing yang tidak hanya mengambil kekayaan bumi Indonesia, namun juga hak-hak mereka sebagai manusia.
Beberapa hari sebelum keberangkatannya, ada satu kalimat yang membuat saya menghela nafas panjang. Menyadari betapa banyak kisah cinta menggetirkan (jika tak bisa disebut sangat menyakitkan) yang berlangsung di luar sana, di tempat dan waktu yang tak terjangkau pemikiran.

“Sekali dalam hidup biarlah aku suapi suamiku.”

Kalimat itu diucapkan Ann ketika matahari menyapa bumi untuk pertama kalinya setelah semalaman ia didongengkan oleh suaminya yang setia. Dongeng yang diharapkan Minke akan membawa Ann kembali sadar. Dongeng yang dulu selalu ia nantikan setiap malam dari suaminya. Ya. Setelah mendengar keputusan kejam akan dirinya, Ann kembali jatuh sakit. Ia menatap Minke dengan tatapan kosong yang tak bisa lagi diartikan. Ia diam ketika ditanya. Tak menggubris apapun yang ada disekitarnya. Ia mati dalam hidup. Dan kalimat tadi adalah kalimat pertama yang membuat Minke berbahagia sekaligus lara. Ia bahagia karena Ann telah kembali tersenyum padanya, ia hidup kembali walau dalam muka pucat pasi di wajah cantik yang ia miliki. Namun lara menohok hatinya karena itu berarti Ann telah siap untuk pergi darinya, untuk selamanya.

And the precious sentences from Bumi Manusia (535 pages):
Semakin pudar untuk hilang dalam ketiadaan [Page 13]
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri [page 59]
Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan [page 77]
Wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ketuaan; mereka dicekam oleh impian tentang kemudaan yang rapuh dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu [page 89]
Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, tapi pergulatan sendiri [page 231]
Jangan ikut-ikut jadi hakim tentang sesuatu yang kau tak ketahui dengan pasti [page 272]
Kodrat umat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh pengusaannya atas ilmu dan pengetahuan. Melawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan [page 286]
Ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua [page 310]
Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa [page 313]
Selain kisah Tuan Herman Mellema dan Sanikem (Nyai Ontosoroh), buku ini juga menceritakan tentang:
1.    Robert Suurhof, sahabat Minke yang juga berteman dengan Robert Mellema (kakak Annelies Mellema) yang pada akhir cerita diketahui memiliki perasaan istimewa untuk Ann. Alasan utamanya mengajak Minke ketika berkunjung ke Boerderij Buitenzorg adalah untuk memikat hati Ann sekaligus memperlihatkan kekuatan dan kelebihannya dihadapan pribumi hina seperti Minke.
2.    Masa kelam yang membuat Ann menjadi gadis yang sulit ditebak kepribadiannya adalah fakta bahwa ia pernah diperkosa oleh kakaknya sendiri, Robert Mellema. Sebuah kenyataan yang membuatnya begitu takut kehilangan Minke dan tak mendapat kepercayaan darinya, lelaki yang ia cintai dengan sepenuh hati.
3.   Jean Marais, orang Perancis berkaki satu yang kehilangan kakinya ketika menjadi Spandri (serdadu kelas satu) di Aceh. Perjalanan yang membawanya pada cinta seorang perempuan pribumi yang memberikannya seorang anak bernama May Marais. Walau pada akhirnya kematian memaksa mereka untuk berpisah selamanya.
4.     dan masih banyak lagi. dan akan lebih baik jika kalian membacanya sendiri bukan? hehehe.

Jika di luar sana mereka punya Romeo dan Juliet yang harus mati karena cinta yang tak diakui, maka kita bersama Pramoedya memiliki Minke dan Annelies dengan cinta sejati yang tak harus memiliki.
Salam baca!


Jumat, November 22

A.L.I.E.N

Diposting oleh Orestilla di 08.43.00 2 komentar


Matanya mati, tak ada kehidupan disana. Tubuh rampingnya menatap jelaga hitamku dengan pandangan yang tak bisa diungkapkan hanya dengan kata. Mulutnya membentuk huruf o kecil pertanda ia tengah meragu akan makhluk sepertiku. Seaneh itu kah aku? Bukankah keberadaannya disini jauh lebih aneh? Ia mendekat. Jarak kami hanya tersisa sekitar 5 langkah lagi. Kutatap takjub makhluk asing didepanku. Benarkah Tuhan memiliki ciptaan selayaknya ia? Mengapa baru hadir setelah jutaan tahun umur bumi? Ingin kutelusuri permukaan kulitnya yang berwarna hijau terang, mempertontonkan perjalanan darah dikedalamannya. Darah? Seperti itukah darah miliknya? Mengapa tidak berwarna merah seperti kepunyaanku? “Sesuatu” yang mengalir di dalam tubuhnya itu berwarna biru kelabu. Cukup membuatku tersentak dan bergidik ngeri.

Ia mendekat selangkah lagi. Dari jarak sedekat ini, indera penciumanku disuguhkan pada sebuah aroma aneh yang menguar dari tubuhnya. Tidak bisa dikatakan wangi karena dengan refleks aku menutup hidungku dengan kedua telapak tangan. Satu tangannya terjulur kearahku. Seperti ingin ku genggam dalam jalin persahabatan. Itukah yang ia mau? Atau jangan-jangan ia ingin menarikku ke dalam dunianya yang tak pernah ku tau dimana letaknya. Beberapa puluh meter di belakang kami terparkir dengan rapi sebuah kendaraan berbentuk tabung silinder super besar yang mengeluarkan cahaya sangat terang. Cahaya yang membuat mataku silau ketika pertama kali menatapnya. Tadi. Saat aku siuman dari tidur panjangku. Pingsan tepatnya.

Ia berteriak. Suaranya membuatku pusing. Aku memegang kepalaku pertanda kesakitan. Telapak tanganku basah. Bukan keringat yang hadir secepat ini. Satu dua tetes darah segar mengalir dari kedua telingaku. Ia menabrakku dengan kekuatan penuh. Tubuh indahnya tadi yang kukagumi ternyata kumpulan lendir berbau busuk yang membuatku ingin muntah. Sebelum aku mati, sebuah kesadaran hadir dibenakku, “Bangsat, ini dia Alien itu!”
 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea