Rabu, April 24

Padamu, cintaku selamanya

Diposting oleh Orestilla di 10.19.00 0 komentar

Minggu, 24 Maret 2013, 18:40 WIB.

Hujan deras di luar sana kembali menghadirkannya dalam lintasan kenanganku. Terbersit banyak tanya. Adakah dirinya bahagia di sana? Masihkah mengingatku dengan cinta? Tapi seberapa banyak pun aku bertanya, tanya itu tak pernah terjawab. Tidak olehnya, tidak oleh siapapun. Hujan lah yang selalu mengembalikannya padaku. Ya. Masih dengan rasa yang sama. Masih dengan degupan yang tak berbeda. Cinta.

Butuh tumpangan mbak?”

Itu pertanyaan pertama yang dia ucapkan ketika pertama kali kami bertemu. 12 tahun yang lalu. Dengan hujan yang sama derasnya seperti sore ini. Kami telah berdiri cukup lama di tempat itu, sebuah halte tua yang terletak di depan kampus. Dia berdiri di satu sisi, sementara aku duduk di sisi yang lain. Dan seiring berjalannya waktu, tak ada satupun diantara kami yang berniat untuk berbicara terlebih dahulu. Aku hanya mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan sekaligus ajakannya itu. Begitu hujan reda, dia mempersilahkanku duduk di boncengan motor bututnya. Sebuah motor antik yang menambah kharismanya di mata banyak orang. Siapa yang tak mengenalnya? Aktif di berbagai kegiatan kampus, peraih nilai tertinggi disetiap semester, dan tentu saja seorang kapten basket yang sudah tak diragukan lagi kepiawaiannya. Perjalanan malam itu pun kami lewati dengan diam yang sama. Hanya gerimis yang menemaniku menebak banyak hal tentangnya. Mengapa tiba-tiba saja ia berkeinginan mengantarku pulang? Atau mungkinkah kondisiku malam itu begitu menyedihkan dimatanya? Aku bahagia sekali malam itu. Kebahagiaan yang alasannya kusimpan rapat-rapat di dalam hatiku. 

Selang beberapa hari, kami bertemu kembali. Tak ada lagi hujan. Kali ini perpustakaan kampus menjadi saksi betapa dengan bodohnya aku menjatuhkan sebuah buku besar dengan berat yang cukup membuatnya meringis menahan sakit ketika buku itu jatuh tepat di kaki kanannya. Namun, kejadian itulah yang pada akhirnya membuat kami dekat. Buku menjadi pengikat kami dalam sebuah kedekatan yang sulit untuk dijelaskan. Seringkali kami menghabiskan waktu di perpustakaan. Dari mencari buku-buku yang memang kami butuhkan dalam menyelesaikan pendidikan atau untuk sekedar bertemu dan mengobrol banyak hal. Walaupun berada di dua jurusan yang berbeda bahkan bertolak belakang, aku di jurusan sastra sementara dia mengambil jurusan teknik, tak menjadi halangan bagi kami untuk tetap menyatu dalam setiap pembicaraan.Dia menjadi rekan debat terbaik yang kumiliki saat itu.

Setahun berlalu dan dia mulai menampakkan perhatian yang lebih padaku. Setiap pagi menjemputku ke kos dan sorenya mengantarkanku pulang. Bahkan sering mengajakku makan siang bersama. Aku yang tak menyangka akan menjadi seseorang yang istimewa dihatinya kala itu, hanya mencoba berpikir bahwasanya apa yang ia lakukan hanyalah sebuah ketulusan seorang sahabat. Namun pada akhirnya dia mengakui segalanya. Jujur dan berkata bahwa ia telah berusaha untuk menghindari setiap kali perasaan itu bergejolak dihatinya. Takut mengecewakanku. Takut aku menjauh dan tidak ingin lagi bertemu dengannya. Ah. Seandainya ia tau bahwa aku pun sedang berjuang melakukan hal yang sama. Menerima permintaannya saat itu menjadi sebuah keputusan terberat yang pernah ku ambil. Perbedaan agama yang kami anut, menjadi bahan pertimbangan terbesar bagiku. Walau menerima berbagai cercaan kala itu, aku dan dia tetap bertahan. Kami saling menguatkan dalam tangis kesedihan. Dia juga lah yang selalu memompa semangatku untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan ketika pada akhirnya kedua orangtua ku mengetahui hal tersebut, dia tetap bertahan dengan terus mencintaiku seperti semula. Tak ada sedikitpun perubahan. Tak ada sedikitpun keinginan untuk meninggalkanku.

Perjuangan kami pun kembali diuji ketika ia disuruh kembali ke kampung halamannya. Mungkinkah kedua orangtuanya juga berpikiran sama seperti yang lain? Bahwa tak ada alasan yang bisa membuat kami bersatu. Dengan berat hati dia pulang dan meninggalkanku. Masih jelas diingatanku ketika mengantarkannya ke bandara sore itu. Hujan menjadi pertanda bahwa saat itu aku menangis dalam diam, cemas dalam senyuman dan berharap dalam setiap jejak langkah yang ia tinggalkan. Beberapa saat setelah perpisahan itu, aku masih bisa berkomunikasi dengannya melalui telepon rumah. 

Satu, dua, tiga tahun berlalu. Seiring berjalannya waktu, dia mulai menghilang dari kehidupanku. Aku panik. Tidak tau harus mengadu dan menceritakan kesedihanku pada siapa. Setiap kali aku menghubunginya, aku hanya mendapatkan jawaban tak memuaskan dari keluarganya. Aku berusaha mencari kabarnya melalui teman-teman sekampus yang tinggal sekota dengannya. Tapi tak ada yang benar-benar tau dimana ia berada. Sampai pada suatu sore, aku menerima sebuah kabar yang meluluhlantakkan hidupku. Ingin rasanya saat itu aku menghilang, menjadi buih di lautan luas dan tak diketemukan lagi. Lelaki yang kucintai dengan sepenuh hati telah pergi. Kali ini benar-benar pergi. Tak akan pernah lagi kembali padaku. Dia meninggal setelah hampir setahun melawan penyakit kanker paru yang dideritanya. Aku mengetahui hal itu langsung dari keluarganya. Karena beberapa hari sebelum ia meninggal, ia menitipkan sebuah surat untukku melalui ibunya. Surat yang sampai saat ini masih kusimpan baik-baik. Surat cinta terakhir dari kekasihku, seseorang yang sangat berharga. Seorang yang telah dihadiahkan Tuhan untukku.

Jakarta, 24 Maret 2006
Sayang, maafkan aku yang tak pernah bisa menjadi lelaki terbaik untukmu. Aku sudah berusaha sebaik yang ku bisa. Namun Allah menakdirkan hal lain untuk kita. Percayalah, sampai saat terakhir hidupku, aku selalu mencintaimu dan akan selalu seperti itu.
Sayang, maafkan aku yang tak mampu menceritakan segalanya padamu. Membagi kesakitanku hanya akan membuatmu bersedih. Sementara aku jauh darimu.
Sayang, kuatlah menapak hidup. Kelak kamu akan menemukan seorang lelaki yang lebih baik. Percayalah, ia akan mencintaimu sepertiku saat ini. Maafkan aku, terima kasih untuk segala kebahagiaan yang kamu berikan. Aku mencintaimu.

Airmataku kembali menetes. Surat itu kudekap erat. Berharap aku tengah mendekapnya dalam pelukku. Tujuh tahun berlalu dan saat ini aku masih menggenggam rasa yang tak pernah berubah untuknya. Walau sampai saat ini aku belum memutuskan untuk menerima lelaki lain dalam hidupku, aku merasa tak pernah sendiri sejak kepergiannya. Aku, cinta dan kesetiaanku padanya tak pernah membuatku merasa hidup dalam kesendirian. Pada Tuhan selalu kutitipkan pesan, aku mencintainya.


Senin, April 22

Mama, guru terbaik yang kumiliki

Diposting oleh Orestilla di 14.04.00 0 komentar



Tulisan ini kupersembahkan khusus untuk mama. Untuk seorang perempuan yang telah menjadi guru terbaik bagiku, yang mengajarkan begitu banyak hal, perempuan yang menjelma menjadi penopang ketika aku berada dalam kerapuhan, perempuan yang rela mengorbankan kesenangan-kesenangan dalam hidupnya demi menemani dan memapahku menuju kebaikan dan perempuan yang kujadikan tempat bersandar dalam ribuan hari yang telah kulalui. Untuknya, tak akan pernah habis rasa terimakasihku. Seandainya aku bisa, ingin sekali berteriak pada dunia bahwa aku bersyukur dilahirkan dari rahimnya. Kalau ada yang bertanya, siapa orang yang paling berjasa untukku dalam 24 tahun terakhir ini, siapa motivatorku untuk selalu kuat dalam menapak liku hidup, dan siapa yang akan selalu menjadi guru terbaik dan kebanggaan bagiku, jawabanku hanya satu, MAMA. Mamaku hanya seorang perempuan biasa yang menghabiskan hari-harinya dalam kesederhanaan. Kecil dalam hidupnya tapi sungguh besar artinya dalam hidupku. Dimataku, mama adalah sosok yang sangat luar biasa dan darinyalah aku belajar banyak hal. Belajar menjadi manusia yang baik, tidak hanya dihadapan Sang Pencipta, tetapi juga bagi orang-orang yang ada disekelilingku. Dari mama pulalah aku belajar agar bisa menjadi perempuan yang tangguh, berkarakter kuat dan selalu menjaga martabatku dalam menjalani hidup. 

Pengajaran hidup dari mama telah kudapatkan jauh sebelum aku beranjak dewasa dan mengerti akan hakikat hidup yang sebenarnya. Teringat tahun-tahun pertama sekolahku. Terdaftar sebagai salah satu siswa sekolah dasar, sekitar 18 tahun yang lalu. Aku yang lebih suka bergaul dengan teman-teman lelaki bersikap sama seperti mereka, lebih memilih menghabiskan waktuku bermain seharian dibandingkan berdiam diri dirumah, belajar segala hal yang seharusnya dilakukan seorang siswa sekolah dasar yang baik. Betapa malasnya aku mempelajari deretan angka dan huruf yang saat itu benar-benar membuatku bosan. Betapa nakalnya aku ketika acapkali mengumbar ratusan alasan hanya agar tak berhadapan dengan yang namanya buku pelajaran. Mungkin guru-guru di sekolah pun sudah angkat tangan dan tak sanggup lagi menghadapi kelakukan burukku. Aku teramat memuakkan bagi mereka. Namun ada satu malaikat berhati mulia yang belum menyerah akan kelakuanku, dialah mama. Dengan banyak kesabaran dan ketelatenan, mama mulai mengajariku, membaca dan berhitung. Mama menggunakan cara dan taktiknya sendiri untuk menjinakkan kenakalanku. Mama melakukannya dengan sangat baik walaupun dia bukanlah seorang guru disekolahan manapun. Walaupun pada awalnya sangat menyiksa karena mama tak hanya mencoba berbaik-baik denganku. Menghadapi gadis rewel dan nakal sepertiku, mama harus menggunakan banyak strategi agar aku tertarik untuk belajar dan mulai mengikuti arahannya. Terkadang mengenang hal-hal sepele seperti itu saja aku akan membuatku tertawa terbahak-bahak. Membayangkan diriku dengan mata melotot karena mencoba menahan kantuk, duduk berhadapan dengan mama yang siap sedia dengan cubitannya ketika melihatku kembali berkelit untuk menghindar dari pelajaran-pelajaran itu. Membayangkan rengekan dan tangisanku saat memelas pada mama agar menghentikan segala bentuk aksi belajar-mengajar itu. Membayangkan bagaimana mama dengan sabarnya meladeni teriakan-teriakanku dengan tidak membalas itu semua dengan kemarahan tetapi dengan kelembutan yang tak akan pernah dilakukan orang lain untukku, ketulusan yang selalu diberikannya dengan penuh kesungguhan. Seringkali diakhir pergolakan itu aku akan tertidur dalam pangkuannya, dengan masih memegang pensil dan buku ditanganku. Betapa aku merindukan masa-masa penuh cerita dan perjuangan itu.

Mama berhasil mengubahku dan membuatku sedikit demi sedikit mulai mencintai setiap pelajaran yang kuterima di sekolah. Sekembalinya dari sekolah, aku akan segera menemui guru terbaikku, menceritakan segala hal yang kulalui seharian tanpanya didekatku, mengulang kembali pelajaran-pelajaran yang telah kuperoleh dibangku sekolah, membahas banyak hal, mendengar nasehat dan kritikannya tentang perkembangan pendidikanku. Mama melakukannya dengan sangat sempurna. Pada akhirnya, semua yang mama lakukan untuk membuatku menjadi lebih baik dalam belajar tak pernah sia-sia. Usaha keras mama pada anak kecil yang keras kepala dan nakal sepertiku saat itu, melahirkan hasil yang patut diancungi jempol. Bagaimana tidak, selama 6 tahun yang kulalui di Sekolah Dasar, aku selalu menduduki peringkat tiga teratas di kelas. Dan itu semua kuraih karena aku mempunyai guru terbaik, mama.

Waktu berganti, meninggalkan masa kanak-kanakku jauh dibelakang sana dan mengantarkan langkahku menapaki masa remaja, masa pencarian jati diri. Masa ketika aku menemukan begitu banyak perubahan dalam kehidupanku. Tak hanya perubahan fisik, tetapi juga perubahan sifat, pola pikir dan perasaan yang seringkali ikut mengobrak-abrik hari-hariku saat itu. Masa ketika aku mendapati diriku sendiri akan tersenyum sendiri, melamunkan seorang teman lelaki yang menarik perhatianku di sekolah. Masa ketika beberapa waktu kemudian aku justru menangis semalaman dan keesokan harinya berangkat ke sekolah dengan mata membengkak hanya karena pada akhirnya aku mengetahui bahwasanya teman lelakiku itu telah memiliki seorang kekasih. Masa ketika aku mulai terikat persahabatan dengan gadis-gadis sebayaku. Persahabatan yang tak hanya diisi dengan gelak tawa tetapi juga dengan banyak kesalahpahaman, pertengkaran dan tangisan. Masa dimana aku benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa mengerti bagaimana diriku, bagaimana mengendalikan ego remajaku, bagaimana menundukkan diriku tanpa menomorsatukan keegoisan. Masa-masa yang tak akan berjalan sempurna tanpa ada mama disampingku. Mamalah yang saat itu selalu hadir menemaniku, hadir sebagai guru terbaik. Guru yang memberi banyak petunjuk agar aku tak tersesat dalam sikap yang buruk, mengarahkan perilakuku ke arah yang lebih baik lagi. 

Masa remaja yang tak hanya dikenal dengan masa pencarian jati diri tetapi juga menjadi masa yang meninggalkan begitu banyak kenangan dalam hidup, menjadi masa yang benar-benar berharga untukku. Bagaimana tidak..?? Dimasa penting seperti ini, aku memiliki mama yang selalu siap menorehkan pelajaran-pelajaran hidup yang tak semuanya dapat kutemukan di bangku sekolahan. Mama berusaha membentukku menjadi seorang perempuan berkepribadian baik yang selalu berjalan di koridor aturan yang telah ditetapkannya. Merasa terkekangkah aku waktu itu? Merasa kehilangan masa remajakah aku hanya karena aku harus selalu bersedia mematuhi aturan-aturan yang mama berikan? Bencikah aku pada mama karena sikapnya yang terkadang berubah menjadi seperti seorang diktator atau mungkin otoriter? Tidak. Tidak sama sekali. Bagaimanapun orang lain memandang dan menilainya, aku tetap melangkah ke depan mencapai asa dan mimpi-mimpiku, berbaur dengan banyak teman tanpa mempersoalkan perbedaan apapun, menikmati hari-hariku dengan penuh sukacita dan segalanya kulakukan dalam wilayah teraman, wilayah yang telah diamankan oleh segala aturan yang diberlakukan mama untukku. Memang sangat sulit pada awalnya tapi ketika kuyakinkan hati bahwa mama sedang mencoba melakukan yang terbaik untukku, aku pun tak merasakannya sebagai beban yang harus kukeluhkan.

Satu masa terlewati dan aku kembali harus melangkah keduniaku yang baru.  Begitu lulus dari sekolah menengah atas, aku melanjutkan pendidikanku di bangku perguruan tinggi. Ada kebahagiaan ketika berhasil meraih nilai yang tinggi dalam ujian kelulusanku saat itu. Tapi satu hal terlupakan olehku, masa-masa kuliah ini akan kuhabiskan jauh dari mama. Padahal aku sangat berharap waktu-waktu berikutnya akan tetap kulewati dengan mama disampingku karena aku sendiri berpikir bahwa masa transisi menuju kedewasaan seperti ini akan sangat membutuhkan seorang mentor andalan seperti mama. Namun faktanya, aku harus berpisah jauh dari mama. Kami harus berada di dua pulau berlainan dan itu berarti akan menjadi waktu-waktu yang sangat berat untukku. Jauh darinya terasa amat berat. Merindukan mama dalam tangisan menjadi agenda harian baru bagiku, setiap malam, sebelum aku terlelap dan bermain dalam mimpi, mimpi berada dalam hangatnya pelukan mama. 

Namun aku harus tetap bertahan dan berjuang semampuku. Yang ada dipikiranku saat itu hanya bagaimana berusaha kuat melewati itu semua agar mama bangga memiliki putri sepertiku. Tanpa dibekali alat komunikasi seperti saat ini, aku harus bersabar mengantri di Warung Telekomunikasi setiap hari sepanjang waktu istirahatku untuk sekedar mendengar suara mama, mereguk tetes demi tetes kekuatan yang terlontar dari kata-katanya. Ada waktunya aku ingin menyerah, pulang dan kembali kepelukannya. Tapi aku sadar, hal bodoh seperti itu hanya akan menghadiahkan kesedihan untuk mama, membuatnya terluka karena tak mampu mengantarkanku mencapai keberhasilan dan kesuksesan dalam hidupku. Aku tak boleh membuatnya bersedih hanya karena mendahulukan keinginanku dan satu-satunya jalan bagiku saat itu hanya bertahan. Bertahan dan terus berjuang, mengumpulkan bongkahan-bongkahan semangat untuk terus maju menapak masa depan yang lebih baik. Masa depan gemilang yang nantinya akan kupersembahkan untuk mama.

Dalam situasi dan kondisi sulit ditambah dengan suasana hati yang sering tak menentu seperti saat itu, mama mulai mengajariku arti sebuah kesabaran, arti sebuah pengorbanan dan hikmah dibalik sebuah perjuangan. Mama mengajarkan itu semua agar aku selalu bahagia dan bersemangat menghabiskan hari-hariku dalam merajut mimpi, mimpi yang kurajut jauh darinya. Pelajaran penting yang kuperoleh dari jarak ratusan kilometer hanya melalui sambungan telepon. Pelajaran yang kudengar dengan telinga, kuyakinkan dengan hati dan kusemat kuat dalam pikiran dan tekadku. Pelajaran berharga yang hanya disampaikan oleh mama. Teringat ketika suatu hari aku jatuh sakit selama beberapa bulan. Waktu berjalan begitu lambat karena aku tak bisa mendekap obat mujarabku, mama. Aku merasa begitu lelah dan ingin menyerah saja dengan keadaan. Namun sekali lagi mama hadir dengan kekuatan dan kasih sayangnya yang tulus. Mama kembali mengajarkanku untuk tegar dan tidak mudah menyerah dengan kesusahan yang sedang kuhadapi. Mama berkata bahwa kesembuhan akan datang bila aku berniat dengan sungguh-sungguh untuk terlepas dari rasa sakitku. Setiap hari mama menyemangatiku, mengirimkan kalimat-kalimat penyembuh kelelahanku, menguatkan dan membuatku lebih tegar lagi. Ajaibnya, aku benar-benar sembuh. Bahkan tanpa harus menjalani opname. Kesembuhan yang luar biasa untukku. Ketulusan mama terbukti menjadi obat paling handal. Semakin kusadari bahwa tanpa dorongan darinya aku tak akan mampu bertahan dalam setiap beban dan cobaan yang mendatangiku. Masa sulitku saat itu menjadi indah bila kukenang pada saat ini. Aku bangga memilikinya, memiliki penyemangat yang selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dan kusadari, akupun kuat karenanya, aku kuat untuknya, untuk mama, guru terbaikku. 

Setelah menamatkan perguruan tinggi, aku kembali pulang, kembali ke rumah, kembali berkumpul dengan keluarga besarku, berkumpul dengan mama. Betapa bahagianya hatiku. Aku bangga bisa mempersembahkan sebuah prestasi lagi untuk mama. Aku bangga bisa membuatnya tersenyum dihari wisudaku. Aku bangga bisa merealisasikan semua ajaran mama untuk menjadi sabar dan kuat walaupun harus jauh darinya dalam waktu yang lama. Segala kesedihan dan kerapuhanku seakan menguap begitu saja. Ada mama disampingku dan tak ada yang bisa menggantikan buncah-buncah kebahagiaan yang kurasakan saat itu. 

Berdekatan dengan mama semakin membuatku belajar banyak tentang hidup. Kusadari betapa kerasnya hidup yang mama lalui. Namun mama melewatinya dengan penuh suka cita tanpa menjadikan semua itu bahan untuk berkeluh kesah. Kekuatan, ketegaran dan kesabaran yang selalu mama pertontonkan dalam kesehariannya, membuatku belajar lagi, lagi dan lagi. Setelah dua tahun kembali ke kampung halaman dan bekerja di kota tempatku tumbuh dan berkembang, masalah menghampiriku lagi. Masalah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oelhku, sedikitpun tidak. Kudapati diriku terjatuh dan terpuruk ketika akhirnya lelaki yang sangat kupercaya meninggalkanku begitu saja tanpa sebuah alasan yang dapat kuterima dengan akal sehat. Perjalanan hidup seakan menuntunku menuju kehancuran. Betapa kelam dan hampanya hari-hariku setelah itu. Kesakitan mendalam yang bahkan tak mampu menumpahkan airmataku. Aku merasa sendiri dan kehilangan arah. Saat itu mama datang menghampiri, menegakkan bahuku dan berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Meneriakkan kata-kata pada hati kecilku bahwa aku adalah seorang perempuan kuat yang pernah ia miliki. Untuk seorang anak yang telah banyak menyakitinya, mama tidak pernah sedikitpun menjauh dariku saat itu. Hanya mama yang tetap merengkuhku dalam kenyamanan luar biasa. Kenyamanan yang benar-benar kubutuhkan agar aku tetap kuat dan siap menantang dunia, dunia yang tidak selalu berpihak padaku, pada mimpi-mimpiku. Mamalah yang selalu menggenggam tanganku saat itu, saat aku jatuh terpuruk dalam kekecewaan. Mama mengajarkanku untuk tetap menjadi perempuan tangguh, perempuan yang tidak akan hancur hanya karena gagal dalam merengkuh asa yang telah lama tertanam dalam sebuah tekad. Mama menemaniku menyeret langkah demi langkah hingga aku kembali berdiri tegak setelah sempat jatuh tersungkur dalam lubang kesakitan yang sangat dalam.

Ajaran mama untuk selalu kuat dengan mengaburkan kesakitan-kesakitanku dalam sebuah senyuman ketulusan, membuatku sadar bahwasanya aku tak boleh menghancurkan hidupku sendiri dengan berdiam dalam duka. Aku tak boleh berhenti hanya karena masalah-masalah itu datang dan menghampiri perjalananku menuju kebahagiaan yang sesungguhnya. Ajaran mama untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakitiku dan menyerahkan segalanya kepada Sang Khalik membuatku sadar bahwasanya masih ada Tuhan yang akan menyelamatkanku dari lubang kehancuran. Tuhan akan memilihkan yang terbaik untukku, untuk keluargaku dan akan mempertemukanku terlebih dahulu dengan orang yang tidak tepat sebelum mengirimkan seseorang yang bisa menjadi sandaranku seumur hidup. Ajaran mama untuk mengikhlaskan segala yang telah pergi, meyakinkan hati kecilku bahwa apa yang kuanggap baik untukku, belum tentu baik dimata Tuhan. Kata-kata mama membuatku semakin kuat dari hari ke hari, semakin menenangkan dan menyenangkan hatiku. Tak terbayangkan seandainya tak ada mama didekatku saat itu. Sekali lagi, hidupku terselamatkan oleh seorang guru terbaik yang kumiliki, mama.

Entah apa lagi yang akan kuhadapi setelah ini, tak akan ada yang pernah tau. Akupun tidak. Aku hanya berharap semoga semua itu akan tetap bisa kulewati bersama mama. Dengan segala ajarannya, dengan segala kekuatannya, dengan segala yang mama miliki. Karena aku membutuhkan mama lebih dari yang ku tau. Aku akan selalu belajar, belajar dari mama. Berjanji pada diriku sendiri bahwa apapun yang akan terjadi dihari esok, akan kuhadapi dengan penuh kekuatan dengan topangan dan dorongan ajaran mama.

Bicara tentang hubunganku dengan mama, tak kupungkiri telah banyak luka dan kesedihan yang kuselipkan untuknya, sengaja ataupun tidak. Ego terkadang membuatku lupa bahwasanya sikap, tingkah dan kata-kataku bisa membuat mama meneteskan airmata. Namun, guru terbaikku ini tak pernah membenciku, tak pernah lelah untuk mengajariku kembali. Selalu menemaniku dalam keadaan apapun. Betapa bodohnya aku bila tak mensyukuri keberadaannya. Setiap hari ku memohon kepada Tuhan agar selalu diberikan waktu dan kesempatan untuk membahagiakan mama. Aku merasa belum memberikan yang terbaik untuk mama. Aku merasa belum bisa membalas segala hal yang telah dikorbankan mama untuk hidupku. Sampai detik ini tak sedikitpun berkurang rasa hormatku untuknya. Aku bangga memiliki mama. Aku bersyukur tatkala Tuhan menitipkanku pada seorang ibu seperti mama. Aku berjanji akan selalu berjuang demi membahagiakan mama. Dan tak akan ada lagi kata menyerah dalam hidupku. Jika mama bisa bertahan dalam kekurangan dan ketidaksempurnaan, mengapa aku tidak? Mengapa aku tidak bisa belajar lebih banyak lagi dari mama? Dan aku yakin mama akan bahagia bila aku mampu mempelajari hal-hal terbaik yang ia miliki. Hal-hal terbaik yang suatu saat nanti akan kuajarkan kembali kepada anak-anakku. Semoga.

Guru terbaikku, mamaku yang sederhana, yang dibesarkan dalam keluarga yang sederhana pula. Merentas hidup tanpa bergelimang kemewahan, menjadikan mama tumbuh menjadi wanita tegar dan kuat dalam hidupnya. Mamaku yang tak pernah mengecap bangku pendidikan di Perguruan Tinggi, mampu menjadi seorang guru yang berpengaruh besar dalam hidupku sampai saat ini. Mamaku yang hanya belajar dengan mengambil hikmah dalam setiap detik perjalanan hidupnya untuk kemudian kembali mengajarkan segala hal yang didapatkannya padaku. Ajaran mama yang selalu kujadikan pegangan dan pertimbangan dalam melangkah ke depan. Ajaran mama, seorang guru terbaik, yang tak akan pernah kutemukan di belahan bumi manapun di dunia ini.

Segala keberhasilan yang telah ada dalam genggamanku saat ini adalah buah dari pengajaran dan pola asuh mama. Mamalah yang selalu mengingatkan ketika aku salah dan menemaniku berbenah diri memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Mama yang tak akan pernah pergi bahkan saat aku merasa pantas untuk ditinggalkan. Mama yang berdiri tepat disampingku, mengembangkan kedua lengannya untuk merengkuhku tatkala aku berhasil mencapai semua yang aku impikan. Mama yang akan menjadi guru terbaik bagiku untuk selamanya. Selama hidupku. Terimakasih ma. Terimakasih untuk segalanya.

Minggu, April 21

25 points in 25 years

Diposting oleh Orestilla di 11.41.00 0 komentar

April datang lagi. 21 tepatnya. 21 April. Hari yang selalu saja dipenuhi kebagiaan, senyuman tanpa henti dan gelak tawa. Pertanda hari ini memang sangatlah berharga. 21 April 2013, tahun ini, hitungan mencapai angka 25. Yap. 25 tahun. Sudah tidak muda lagi tentunya. Haha. Seperempat abad. Angka sempurna untuk menggapai segala mimpi dan asa. Bukan menghentikan target lo, tapi membangun jutaan mimpi-mimpi berikutnya. Bukankah dalam hidup, kita diharamkan untuk menyerah pada mimpi? Gantungkan ia setinggi mungkin, bekerja keras agar bisa meraihnya, dan jangan pernah ada kata “putus asa” untuk alasan apapun yang kita temui ketika sedang mati-matian berlari kearahnya.

Oke. Sebelumnya terimakasih untuk ribuan doa yang telah dihadiahkan hari ini untuk saya. Sungguh sebait doa saja mampu membuat saja bertekad untuk menjadi lebih baik lagi kedepannya. Mama, papa, adik-adik tercinta, uci, indi, bang aris, sahabat-sahabat terbaik, rekan kerja, temen-temen di kampus dulu (yang walaupun ada di ujung Sabang dan Merauke sana tetap mengingat hari penting ini), senior-junior, dan semuanya. Semua dari anda yang telah memberikan nuansa indah nan berharga untuk saya, di 25 tahun hidup saya di dunia. Doa yang sama, saya kembalikan, saya mohonkan kembali pada Sang Pencipta untuk kita semua. Aamiin Rabb.
 Ada 25 poin pada 25 tahun saya kali ini. 25 hal utama yang telah saya jalani, saya raih, saya temukan, saya nikmati dan saya harapkan di kehidupan mendatang. Rangkuman kebahagiaan dan kesedihan yang akan saya kisahkan demi sebuah pembelajaran bagi kita semua, terkhusus untuk diri saya sendiri. 25 hal yang ingin saya bagikan pada anda semua, my baby blogies friends. Thanks buat yang udah nyempetin baca blog ini. Bahkan udah memfollow blog saya jauh-jauh hari walaupun saya jarang ngeposting disini. Hehe. But its okay. Nevermind. I’ll always try to be the best blogger. Hihihihi. I’m not sure but I wanna do it.
 
Lets check it out my 25 points:
1.     Dalam hitungan hari yang terlewati, saya merasa Allah semakin dekat. Ada di setiap langkah, di setiap keputusan, di setiap tindakan. Untuk yang satu ini, saya berharap akan menjadi yang terbaik sebagai hamba-Nya. Mengelola pribadi, hati dan pemikiran untuk semakin dekat, lagi dan lagi kepada Sang Khalik. Aamiin.
2.     Kebahagiaan mama dan papa adalah prioritas utama bagi saya dalam jangka waktu setahun ini. Tidak. Tidak hanya tahun ini tentunya. Namun selama saya hidup di dunia. Saya tak akan pernah lagi menggantikan kebahagiaan itu dengan apapun. Apapun itu. Lagi? Ya. Lagi. Karena dulu, dulu sekali, saya pernah mengecewakan mama dan papa. Meletakkan pribadi dan ambisi saya diatas kebahagiaan beliau berdua, dan saya berjanji mulai detik ini untuk tak lagi melakukannya. Tak akan pernah.
3.     Ketika banyak yang bertanya bagaimana saya bisa kuat dalam hidup, salah satu jawaban yang sering saya hadirkan adalah “saya ingin kuat untuk adik-adik yang saya miliki dengan cinta”. Saya ingin menjadi kuat setidaknya untuk mereka. Karena saya tau, begitu saya lemah, lelah dan jatuh, mereka tak lagi memiliki seseorang yang bisa mereka banggakan dan menguatkan mereka tentunya. Jadi saya selalu menanamkan satu kata dalam hidup, “Berjuang”. Berusahalah Tilla, berjuanglah selalu untuk memberikan yang terbaik bagi mereka.
4.     Keluarga adalah harga mati bagi saya untuk apapun itu. Karena tanpa mereka, saya bukanlah apa-apa. Tanpa mereka, saya tak akan punya kekuatan dan semangat yang tetap bergelora. Berharap apa saja yang saya lakukan, apa yang saja yang berhasil saya dapatkan, akan menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka.
5.     Kecup sayang, pelukan hangat, senyum bahagia dan doa-doa yang mengalir dari mama, papa, dan adik-adik tercinta di pagi setiap tanggal 21 April adalah hadiah berharga yang selalu membuat saya terharu, sukar untuk tak meneteskan airmata. Kebahagiaan sempurna dari keluarga sempurna yang Allah berikan untuk saya.
6.     Saya tak pernah bisa menjalani apapun sendiri, bahkan saat saya ingin sekalipun. Kehadiran sahabat-sahabat terbaik memberikan kekuatan tersendiri dalam hidup saya. Ketika yang lain lengah dan menyepelekan kesakitan yang saya alami, merekalah yang selalu berada di garda terdepan. Menyemangati saya untuk tetap bertahan. Untuk kesempatan memiliki mereka semua, saya sangat bersyukur.
7.   Belum lagi 24 jam terlewati, sudah datang ratusan pesan yang menyampaikan banyak doa untuk kebaikan, kebahagiaan, kesuksesan, dan kemudahan bagi saya di masa mendatang. Bagaimana bahagia tak bersemayam ketika menyadari betapa banyaknya sahabat yang masih mengingat hari lahir saya, betapa banyak kasih sayang yang mereka hadiahkan di hari istimewa ini.
8.     Syukur yang tak akan pernah hilang adalah kesempatan yang diberikan Allah pada saya untuk mengecap pendidikan di lembah manglayang IPDN. Tempat yang pada mengajarkan banyak hal, mempertemukan saya dengan sahabat-sahabat terbaik dari seluruh pelosok nusantara. Sebuah kesempatan yang pada akhirnya menjadi titik balik hidup saya hingga detik ini.
9.     Saya telah berusaha mati-matian untuk tetap fokus pada pekerjaan saya sebagai abdi negara. Apapun kegiatan dan hobi yang saya miliki di luar garis komando ini, tak akan pernah membuat saya lengah dan meninggalkan kewajiban saya yang sesungguhnya. Ingat, saya dan jutaan rekan seperjuangan di luar sana, telah bersumpah untuk menjadi putra-putri terbaik negeri ini. Dan bekerja di bawah sumpah bukanlah hal sepele yang dengan mudah dipermainkan.
10.  Saya tetap dan harus selalu bertahan untuk konsisten dengan usaha saya dalam bidang “marketing” alias jualan kecil-kecilan. Haha. Walaupun harus memulai segala sesuatunya dengan cara merangkak, jika dilakukan dengan semangat dan niat yang ikhlas, saya yakin suatu hari nanti saya mampu berlari untuk meraih mimpi itu ke dalam realita sesungguhnya.
11.   Pendidikan pascasarjana telah selesai saya bereskan tepat pada waktunya dengan nilai terbaik yang telah saya upayakan semaksimal mungkin. Saya selalu berharap ilmu yang telah saya dapatkan, akan menjadi ilmu yang bermanfaat dan barokah selamanya. Aamiin.
12.   Pencapaian saya dalam tulis menulis mulai menampakkan hasil. Beberapa naskah yang saya kirim, telah banyak yang diterima. Walaupun yang diterbitkan baru beberapa diantaranya, saya cukup puas. Menulis itu hidup. Menulis itu melukis rasa untuk abadi nantinya. Menulis itu saya J
13.   Mimpi besar saya menjadi seorang penulis hebat (walau karier dan jenjang pendidikan yang saya miliki tak berhubungan sama sekali dengan hal ini) akan saya buktikan dengan melahirkan sebuah naskah novel perdana saya April ini. Ya. Saya sedang berusaha untuk menyelesaikannya. Walaupun menulis bukanlah hal gampang untuk dilakukan. Tak hanya niat memulai, namun lebih pada keinginan untuk menuntaskannya hingga akhir. Saya menyadari sepenuhnya, bahwa saya hanya seorang amatiran yang belajar secara ortodidak dalam bagian ini. Namun inilah mimpi, inilah resolusi terbesar yang ingin saya gapai. Dan untuk mendapatkannya, saya tak akan lelah mencoba yang terbaik. Keep spirit, keep fighting for me.
14.   Walau untuk menggapai mimpi besar tersebut, tak sedikit orang yang menyepelekan saya. Bukan hanya tak menerima, menghargai karya kecil saya pun tidak. Namun ini lah hidup dan bongkahan perjuangan didalamnya. Tanpa kerikil-kerikil seperti itu, mana mungkin cerita saya nantinya akan berwarna. Mereka, yang dengan gampangnya menyuarakan kesakitan dengan menghinakan dan merendahkan saya, sesungguhnya adalah salah satu motivator saya menuju kesuksesan.
15.   Masa lalu tak pernah menyurutkan langkah saya untuk maju. Masa lalu hanya bagian kecil dari keseluruhan hidup yang akan saya jadikan pelajaran berharga. Ingat. Hanya orang bodoh yang akan terjatuh di tempat yang sama. Dan saya sedang belajar keluar dari kebodohan. Tak ingin berlama-lama hidup dalam kekelaman masa lalu. Karena saya yakin kebahagiaan masa depan sedang menunggu saya di luar sana.
16. Dibalik kebahagiaan, ada duka, kesedihan, dan airmata. Dibalik kesuksesan, ada keterpurukan dan kegagalan tak terhingga. Belajar dari pengalaman orang-orang hebat yang  mampu menginspirasi dan memotivasi adalah pijakan bagi saya untuk menggantungkan mimpi. Ketika orang lain mampu dan bisa, saya yakin, berbekal niat baik dan kerja keras, saya juga akan bisa. Saya pasti bisa. Bisa. Bisa. Dan bisa. Semoga.
17.   Kuat itu tak selamanya ada. Acap kali saya lelah, saya lemah, saya menyerah. Namun setiap kali saya akan kalah dengan keadaan, akan ada tangan-tangan penyemangat yang mengulurkan kekuatan bagi saya. Mengingatkan kembali, bahwa apapun itu masalahnya, Allah sudah menyiapkan penyelesaian bagi setiap ujian yang diberikan.
18.   21 April tak lepas dari sosok puteri sejati Indonesia, Ibu Kartini. Perjuangan beliau dalam memerdekakan hak perempuan Indonesia dalam dunia pendidikan, membuat saya terpacu untuk berjuang di masa ini, setidaknya berjuang untuk diri saya sendiri, berjuang untuk keluarga yang saya cintai.
19.  Jiwa dan semangat Kartini muda tak boleh mati tergerus modernisasi dan globalisasi. Identitas wanita Indonesia harus tetap terpatri di dalam hati, sejauh apapun raga melangkah nantinya. Etika ketimuran yang kita punya, haruslah selalu menjadi landasan utama dalam berpijak dan bersikap. Ketika modernisasi mengecoh menjatuhkan yang lain, kita harus berjuang mengupayakannya semaksimal mungkin untuk bergerak menuju kemajuan, mengelolanya dengan baik.
20.  Ibu Kartini pasti akan bangga dan tak akan lagi bersedih hati ketika melihat wanita-wanita Indonesia masa kini berdistribusi bagi perkembangan bangsa. Betapa bangganya ketika wanita mampu berdiri sejajar dengan pria. Betapa bangganya ketika wanita-wanita hebat Indonesia berdiri tegak dengan prestasi luar biasa bahkan meluap ke mancanegara. Jika mereka semua bisa, kita yang biasa-biasa saja tentunya juga mampu mengukir sebuah prestasi membanggakan.
21.   Tak harus berpendidikan tinggi, tak harus berharta banyak, tak harus berparas cantik, tak harus berkarier cemerlang, tak harus memiliki segalanya untuk menjadi seorang Kartini muda. Cukup syukuri apa yang kita miliki, cukup berjuang untuk cita-cita yang kita gantungkan, cukup menjadi yang terbaik untuk orang-orang di sekeliling kita saat ini.
22.  Kartini terbaik yang saya miliki adalah mama. Mama yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa namun mampu menjadi wanita luar biasa di mata saya secara pribadi. Mama lah wanita kuat yang menguatkan saya dengan kekuatannya. Perjuangan beliau untuk membawa saya pada kehidupan saat ini adalah sebuah pengorbanan yang tak akan pernah mampu saya balas dengan apapun juga.
23.   Karena mama lah saya juga mencoba berjuang untuk menjadi seorang kartini sejati. Kartini bagi hidup saya di kemudian hari, Kartini bagi kedua gadis cantik yang saya miliki, uci dan indi.
24.   Jodoh. Doa terbanyak yang saya temui tahun ini, hari ini. Jodoh adalah sebuah teka-teki yang belum saya temukan jawabannya hingga saat ini. Namun siapapun dia, dimana pun saat ini dia berasa, semoga dialah hadiah yang sedang Allah persiapkan untuk kehidupan terbaik saya di masa depan nanti. Aamiin.
25. Seperempat abad yang sangat membahagian, seperempat abad yang begitu berharga. Terimakasih Rabb. Terimakasih untuk hal-hal indah yang Engkau hadiahkan hari ini lewat orang-orang hebat yang ada di sekitar saya. Semoga Engkau menambahkan umur ibadah pada saya, menguatkan saya kembali untuk melanjutkan perjuangan berikutnya, memberikan saya waktu lebih banyak lagi untuk mengabdi pada kedua orang tua yang saya cintai, menjadi contoh dan teladan yang baik untuk adik-adik yang saya miliki. Hormat dan terimakasih tak terhingga pada semua orang yang telah mengingat hari ini dengan cinta sesungguhnya.

Doa yang sama saya kembalikan kepada semuanya. Semoga Allah selalu memberikan rahmatNya, menaungi kita dalam cintaNya, mendekap kita dalam lindunganNya. Aamiin.

 Rilakkuma di usia 25 tahun. Kado ter-cute dari keluarga tercinta. Jeongmal Gomawooooooo :')

Rabu, April 24

Padamu, cintaku selamanya

Diposting oleh Orestilla di 10.19.00 0 komentar

Minggu, 24 Maret 2013, 18:40 WIB.

Hujan deras di luar sana kembali menghadirkannya dalam lintasan kenanganku. Terbersit banyak tanya. Adakah dirinya bahagia di sana? Masihkah mengingatku dengan cinta? Tapi seberapa banyak pun aku bertanya, tanya itu tak pernah terjawab. Tidak olehnya, tidak oleh siapapun. Hujan lah yang selalu mengembalikannya padaku. Ya. Masih dengan rasa yang sama. Masih dengan degupan yang tak berbeda. Cinta.

Butuh tumpangan mbak?”

Itu pertanyaan pertama yang dia ucapkan ketika pertama kali kami bertemu. 12 tahun yang lalu. Dengan hujan yang sama derasnya seperti sore ini. Kami telah berdiri cukup lama di tempat itu, sebuah halte tua yang terletak di depan kampus. Dia berdiri di satu sisi, sementara aku duduk di sisi yang lain. Dan seiring berjalannya waktu, tak ada satupun diantara kami yang berniat untuk berbicara terlebih dahulu. Aku hanya mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan sekaligus ajakannya itu. Begitu hujan reda, dia mempersilahkanku duduk di boncengan motor bututnya. Sebuah motor antik yang menambah kharismanya di mata banyak orang. Siapa yang tak mengenalnya? Aktif di berbagai kegiatan kampus, peraih nilai tertinggi disetiap semester, dan tentu saja seorang kapten basket yang sudah tak diragukan lagi kepiawaiannya. Perjalanan malam itu pun kami lewati dengan diam yang sama. Hanya gerimis yang menemaniku menebak banyak hal tentangnya. Mengapa tiba-tiba saja ia berkeinginan mengantarku pulang? Atau mungkinkah kondisiku malam itu begitu menyedihkan dimatanya? Aku bahagia sekali malam itu. Kebahagiaan yang alasannya kusimpan rapat-rapat di dalam hatiku. 

Selang beberapa hari, kami bertemu kembali. Tak ada lagi hujan. Kali ini perpustakaan kampus menjadi saksi betapa dengan bodohnya aku menjatuhkan sebuah buku besar dengan berat yang cukup membuatnya meringis menahan sakit ketika buku itu jatuh tepat di kaki kanannya. Namun, kejadian itulah yang pada akhirnya membuat kami dekat. Buku menjadi pengikat kami dalam sebuah kedekatan yang sulit untuk dijelaskan. Seringkali kami menghabiskan waktu di perpustakaan. Dari mencari buku-buku yang memang kami butuhkan dalam menyelesaikan pendidikan atau untuk sekedar bertemu dan mengobrol banyak hal. Walaupun berada di dua jurusan yang berbeda bahkan bertolak belakang, aku di jurusan sastra sementara dia mengambil jurusan teknik, tak menjadi halangan bagi kami untuk tetap menyatu dalam setiap pembicaraan.Dia menjadi rekan debat terbaik yang kumiliki saat itu.

Setahun berlalu dan dia mulai menampakkan perhatian yang lebih padaku. Setiap pagi menjemputku ke kos dan sorenya mengantarkanku pulang. Bahkan sering mengajakku makan siang bersama. Aku yang tak menyangka akan menjadi seseorang yang istimewa dihatinya kala itu, hanya mencoba berpikir bahwasanya apa yang ia lakukan hanyalah sebuah ketulusan seorang sahabat. Namun pada akhirnya dia mengakui segalanya. Jujur dan berkata bahwa ia telah berusaha untuk menghindari setiap kali perasaan itu bergejolak dihatinya. Takut mengecewakanku. Takut aku menjauh dan tidak ingin lagi bertemu dengannya. Ah. Seandainya ia tau bahwa aku pun sedang berjuang melakukan hal yang sama. Menerima permintaannya saat itu menjadi sebuah keputusan terberat yang pernah ku ambil. Perbedaan agama yang kami anut, menjadi bahan pertimbangan terbesar bagiku. Walau menerima berbagai cercaan kala itu, aku dan dia tetap bertahan. Kami saling menguatkan dalam tangis kesedihan. Dia juga lah yang selalu memompa semangatku untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan ketika pada akhirnya kedua orangtua ku mengetahui hal tersebut, dia tetap bertahan dengan terus mencintaiku seperti semula. Tak ada sedikitpun perubahan. Tak ada sedikitpun keinginan untuk meninggalkanku.

Perjuangan kami pun kembali diuji ketika ia disuruh kembali ke kampung halamannya. Mungkinkah kedua orangtuanya juga berpikiran sama seperti yang lain? Bahwa tak ada alasan yang bisa membuat kami bersatu. Dengan berat hati dia pulang dan meninggalkanku. Masih jelas diingatanku ketika mengantarkannya ke bandara sore itu. Hujan menjadi pertanda bahwa saat itu aku menangis dalam diam, cemas dalam senyuman dan berharap dalam setiap jejak langkah yang ia tinggalkan. Beberapa saat setelah perpisahan itu, aku masih bisa berkomunikasi dengannya melalui telepon rumah. 

Satu, dua, tiga tahun berlalu. Seiring berjalannya waktu, dia mulai menghilang dari kehidupanku. Aku panik. Tidak tau harus mengadu dan menceritakan kesedihanku pada siapa. Setiap kali aku menghubunginya, aku hanya mendapatkan jawaban tak memuaskan dari keluarganya. Aku berusaha mencari kabarnya melalui teman-teman sekampus yang tinggal sekota dengannya. Tapi tak ada yang benar-benar tau dimana ia berada. Sampai pada suatu sore, aku menerima sebuah kabar yang meluluhlantakkan hidupku. Ingin rasanya saat itu aku menghilang, menjadi buih di lautan luas dan tak diketemukan lagi. Lelaki yang kucintai dengan sepenuh hati telah pergi. Kali ini benar-benar pergi. Tak akan pernah lagi kembali padaku. Dia meninggal setelah hampir setahun melawan penyakit kanker paru yang dideritanya. Aku mengetahui hal itu langsung dari keluarganya. Karena beberapa hari sebelum ia meninggal, ia menitipkan sebuah surat untukku melalui ibunya. Surat yang sampai saat ini masih kusimpan baik-baik. Surat cinta terakhir dari kekasihku, seseorang yang sangat berharga. Seorang yang telah dihadiahkan Tuhan untukku.

Jakarta, 24 Maret 2006
Sayang, maafkan aku yang tak pernah bisa menjadi lelaki terbaik untukmu. Aku sudah berusaha sebaik yang ku bisa. Namun Allah menakdirkan hal lain untuk kita. Percayalah, sampai saat terakhir hidupku, aku selalu mencintaimu dan akan selalu seperti itu.
Sayang, maafkan aku yang tak mampu menceritakan segalanya padamu. Membagi kesakitanku hanya akan membuatmu bersedih. Sementara aku jauh darimu.
Sayang, kuatlah menapak hidup. Kelak kamu akan menemukan seorang lelaki yang lebih baik. Percayalah, ia akan mencintaimu sepertiku saat ini. Maafkan aku, terima kasih untuk segala kebahagiaan yang kamu berikan. Aku mencintaimu.

Airmataku kembali menetes. Surat itu kudekap erat. Berharap aku tengah mendekapnya dalam pelukku. Tujuh tahun berlalu dan saat ini aku masih menggenggam rasa yang tak pernah berubah untuknya. Walau sampai saat ini aku belum memutuskan untuk menerima lelaki lain dalam hidupku, aku merasa tak pernah sendiri sejak kepergiannya. Aku, cinta dan kesetiaanku padanya tak pernah membuatku merasa hidup dalam kesendirian. Pada Tuhan selalu kutitipkan pesan, aku mencintainya.


Senin, April 22

Mama, guru terbaik yang kumiliki

Diposting oleh Orestilla di 14.04.00 0 komentar



Tulisan ini kupersembahkan khusus untuk mama. Untuk seorang perempuan yang telah menjadi guru terbaik bagiku, yang mengajarkan begitu banyak hal, perempuan yang menjelma menjadi penopang ketika aku berada dalam kerapuhan, perempuan yang rela mengorbankan kesenangan-kesenangan dalam hidupnya demi menemani dan memapahku menuju kebaikan dan perempuan yang kujadikan tempat bersandar dalam ribuan hari yang telah kulalui. Untuknya, tak akan pernah habis rasa terimakasihku. Seandainya aku bisa, ingin sekali berteriak pada dunia bahwa aku bersyukur dilahirkan dari rahimnya. Kalau ada yang bertanya, siapa orang yang paling berjasa untukku dalam 24 tahun terakhir ini, siapa motivatorku untuk selalu kuat dalam menapak liku hidup, dan siapa yang akan selalu menjadi guru terbaik dan kebanggaan bagiku, jawabanku hanya satu, MAMA. Mamaku hanya seorang perempuan biasa yang menghabiskan hari-harinya dalam kesederhanaan. Kecil dalam hidupnya tapi sungguh besar artinya dalam hidupku. Dimataku, mama adalah sosok yang sangat luar biasa dan darinyalah aku belajar banyak hal. Belajar menjadi manusia yang baik, tidak hanya dihadapan Sang Pencipta, tetapi juga bagi orang-orang yang ada disekelilingku. Dari mama pulalah aku belajar agar bisa menjadi perempuan yang tangguh, berkarakter kuat dan selalu menjaga martabatku dalam menjalani hidup. 

Pengajaran hidup dari mama telah kudapatkan jauh sebelum aku beranjak dewasa dan mengerti akan hakikat hidup yang sebenarnya. Teringat tahun-tahun pertama sekolahku. Terdaftar sebagai salah satu siswa sekolah dasar, sekitar 18 tahun yang lalu. Aku yang lebih suka bergaul dengan teman-teman lelaki bersikap sama seperti mereka, lebih memilih menghabiskan waktuku bermain seharian dibandingkan berdiam diri dirumah, belajar segala hal yang seharusnya dilakukan seorang siswa sekolah dasar yang baik. Betapa malasnya aku mempelajari deretan angka dan huruf yang saat itu benar-benar membuatku bosan. Betapa nakalnya aku ketika acapkali mengumbar ratusan alasan hanya agar tak berhadapan dengan yang namanya buku pelajaran. Mungkin guru-guru di sekolah pun sudah angkat tangan dan tak sanggup lagi menghadapi kelakukan burukku. Aku teramat memuakkan bagi mereka. Namun ada satu malaikat berhati mulia yang belum menyerah akan kelakuanku, dialah mama. Dengan banyak kesabaran dan ketelatenan, mama mulai mengajariku, membaca dan berhitung. Mama menggunakan cara dan taktiknya sendiri untuk menjinakkan kenakalanku. Mama melakukannya dengan sangat baik walaupun dia bukanlah seorang guru disekolahan manapun. Walaupun pada awalnya sangat menyiksa karena mama tak hanya mencoba berbaik-baik denganku. Menghadapi gadis rewel dan nakal sepertiku, mama harus menggunakan banyak strategi agar aku tertarik untuk belajar dan mulai mengikuti arahannya. Terkadang mengenang hal-hal sepele seperti itu saja aku akan membuatku tertawa terbahak-bahak. Membayangkan diriku dengan mata melotot karena mencoba menahan kantuk, duduk berhadapan dengan mama yang siap sedia dengan cubitannya ketika melihatku kembali berkelit untuk menghindar dari pelajaran-pelajaran itu. Membayangkan rengekan dan tangisanku saat memelas pada mama agar menghentikan segala bentuk aksi belajar-mengajar itu. Membayangkan bagaimana mama dengan sabarnya meladeni teriakan-teriakanku dengan tidak membalas itu semua dengan kemarahan tetapi dengan kelembutan yang tak akan pernah dilakukan orang lain untukku, ketulusan yang selalu diberikannya dengan penuh kesungguhan. Seringkali diakhir pergolakan itu aku akan tertidur dalam pangkuannya, dengan masih memegang pensil dan buku ditanganku. Betapa aku merindukan masa-masa penuh cerita dan perjuangan itu.

Mama berhasil mengubahku dan membuatku sedikit demi sedikit mulai mencintai setiap pelajaran yang kuterima di sekolah. Sekembalinya dari sekolah, aku akan segera menemui guru terbaikku, menceritakan segala hal yang kulalui seharian tanpanya didekatku, mengulang kembali pelajaran-pelajaran yang telah kuperoleh dibangku sekolah, membahas banyak hal, mendengar nasehat dan kritikannya tentang perkembangan pendidikanku. Mama melakukannya dengan sangat sempurna. Pada akhirnya, semua yang mama lakukan untuk membuatku menjadi lebih baik dalam belajar tak pernah sia-sia. Usaha keras mama pada anak kecil yang keras kepala dan nakal sepertiku saat itu, melahirkan hasil yang patut diancungi jempol. Bagaimana tidak, selama 6 tahun yang kulalui di Sekolah Dasar, aku selalu menduduki peringkat tiga teratas di kelas. Dan itu semua kuraih karena aku mempunyai guru terbaik, mama.

Waktu berganti, meninggalkan masa kanak-kanakku jauh dibelakang sana dan mengantarkan langkahku menapaki masa remaja, masa pencarian jati diri. Masa ketika aku menemukan begitu banyak perubahan dalam kehidupanku. Tak hanya perubahan fisik, tetapi juga perubahan sifat, pola pikir dan perasaan yang seringkali ikut mengobrak-abrik hari-hariku saat itu. Masa ketika aku mendapati diriku sendiri akan tersenyum sendiri, melamunkan seorang teman lelaki yang menarik perhatianku di sekolah. Masa ketika beberapa waktu kemudian aku justru menangis semalaman dan keesokan harinya berangkat ke sekolah dengan mata membengkak hanya karena pada akhirnya aku mengetahui bahwasanya teman lelakiku itu telah memiliki seorang kekasih. Masa ketika aku mulai terikat persahabatan dengan gadis-gadis sebayaku. Persahabatan yang tak hanya diisi dengan gelak tawa tetapi juga dengan banyak kesalahpahaman, pertengkaran dan tangisan. Masa dimana aku benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa mengerti bagaimana diriku, bagaimana mengendalikan ego remajaku, bagaimana menundukkan diriku tanpa menomorsatukan keegoisan. Masa-masa yang tak akan berjalan sempurna tanpa ada mama disampingku. Mamalah yang saat itu selalu hadir menemaniku, hadir sebagai guru terbaik. Guru yang memberi banyak petunjuk agar aku tak tersesat dalam sikap yang buruk, mengarahkan perilakuku ke arah yang lebih baik lagi. 

Masa remaja yang tak hanya dikenal dengan masa pencarian jati diri tetapi juga menjadi masa yang meninggalkan begitu banyak kenangan dalam hidup, menjadi masa yang benar-benar berharga untukku. Bagaimana tidak..?? Dimasa penting seperti ini, aku memiliki mama yang selalu siap menorehkan pelajaran-pelajaran hidup yang tak semuanya dapat kutemukan di bangku sekolahan. Mama berusaha membentukku menjadi seorang perempuan berkepribadian baik yang selalu berjalan di koridor aturan yang telah ditetapkannya. Merasa terkekangkah aku waktu itu? Merasa kehilangan masa remajakah aku hanya karena aku harus selalu bersedia mematuhi aturan-aturan yang mama berikan? Bencikah aku pada mama karena sikapnya yang terkadang berubah menjadi seperti seorang diktator atau mungkin otoriter? Tidak. Tidak sama sekali. Bagaimanapun orang lain memandang dan menilainya, aku tetap melangkah ke depan mencapai asa dan mimpi-mimpiku, berbaur dengan banyak teman tanpa mempersoalkan perbedaan apapun, menikmati hari-hariku dengan penuh sukacita dan segalanya kulakukan dalam wilayah teraman, wilayah yang telah diamankan oleh segala aturan yang diberlakukan mama untukku. Memang sangat sulit pada awalnya tapi ketika kuyakinkan hati bahwa mama sedang mencoba melakukan yang terbaik untukku, aku pun tak merasakannya sebagai beban yang harus kukeluhkan.

Satu masa terlewati dan aku kembali harus melangkah keduniaku yang baru.  Begitu lulus dari sekolah menengah atas, aku melanjutkan pendidikanku di bangku perguruan tinggi. Ada kebahagiaan ketika berhasil meraih nilai yang tinggi dalam ujian kelulusanku saat itu. Tapi satu hal terlupakan olehku, masa-masa kuliah ini akan kuhabiskan jauh dari mama. Padahal aku sangat berharap waktu-waktu berikutnya akan tetap kulewati dengan mama disampingku karena aku sendiri berpikir bahwa masa transisi menuju kedewasaan seperti ini akan sangat membutuhkan seorang mentor andalan seperti mama. Namun faktanya, aku harus berpisah jauh dari mama. Kami harus berada di dua pulau berlainan dan itu berarti akan menjadi waktu-waktu yang sangat berat untukku. Jauh darinya terasa amat berat. Merindukan mama dalam tangisan menjadi agenda harian baru bagiku, setiap malam, sebelum aku terlelap dan bermain dalam mimpi, mimpi berada dalam hangatnya pelukan mama. 

Namun aku harus tetap bertahan dan berjuang semampuku. Yang ada dipikiranku saat itu hanya bagaimana berusaha kuat melewati itu semua agar mama bangga memiliki putri sepertiku. Tanpa dibekali alat komunikasi seperti saat ini, aku harus bersabar mengantri di Warung Telekomunikasi setiap hari sepanjang waktu istirahatku untuk sekedar mendengar suara mama, mereguk tetes demi tetes kekuatan yang terlontar dari kata-katanya. Ada waktunya aku ingin menyerah, pulang dan kembali kepelukannya. Tapi aku sadar, hal bodoh seperti itu hanya akan menghadiahkan kesedihan untuk mama, membuatnya terluka karena tak mampu mengantarkanku mencapai keberhasilan dan kesuksesan dalam hidupku. Aku tak boleh membuatnya bersedih hanya karena mendahulukan keinginanku dan satu-satunya jalan bagiku saat itu hanya bertahan. Bertahan dan terus berjuang, mengumpulkan bongkahan-bongkahan semangat untuk terus maju menapak masa depan yang lebih baik. Masa depan gemilang yang nantinya akan kupersembahkan untuk mama.

Dalam situasi dan kondisi sulit ditambah dengan suasana hati yang sering tak menentu seperti saat itu, mama mulai mengajariku arti sebuah kesabaran, arti sebuah pengorbanan dan hikmah dibalik sebuah perjuangan. Mama mengajarkan itu semua agar aku selalu bahagia dan bersemangat menghabiskan hari-hariku dalam merajut mimpi, mimpi yang kurajut jauh darinya. Pelajaran penting yang kuperoleh dari jarak ratusan kilometer hanya melalui sambungan telepon. Pelajaran yang kudengar dengan telinga, kuyakinkan dengan hati dan kusemat kuat dalam pikiran dan tekadku. Pelajaran berharga yang hanya disampaikan oleh mama. Teringat ketika suatu hari aku jatuh sakit selama beberapa bulan. Waktu berjalan begitu lambat karena aku tak bisa mendekap obat mujarabku, mama. Aku merasa begitu lelah dan ingin menyerah saja dengan keadaan. Namun sekali lagi mama hadir dengan kekuatan dan kasih sayangnya yang tulus. Mama kembali mengajarkanku untuk tegar dan tidak mudah menyerah dengan kesusahan yang sedang kuhadapi. Mama berkata bahwa kesembuhan akan datang bila aku berniat dengan sungguh-sungguh untuk terlepas dari rasa sakitku. Setiap hari mama menyemangatiku, mengirimkan kalimat-kalimat penyembuh kelelahanku, menguatkan dan membuatku lebih tegar lagi. Ajaibnya, aku benar-benar sembuh. Bahkan tanpa harus menjalani opname. Kesembuhan yang luar biasa untukku. Ketulusan mama terbukti menjadi obat paling handal. Semakin kusadari bahwa tanpa dorongan darinya aku tak akan mampu bertahan dalam setiap beban dan cobaan yang mendatangiku. Masa sulitku saat itu menjadi indah bila kukenang pada saat ini. Aku bangga memilikinya, memiliki penyemangat yang selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dan kusadari, akupun kuat karenanya, aku kuat untuknya, untuk mama, guru terbaikku. 

Setelah menamatkan perguruan tinggi, aku kembali pulang, kembali ke rumah, kembali berkumpul dengan keluarga besarku, berkumpul dengan mama. Betapa bahagianya hatiku. Aku bangga bisa mempersembahkan sebuah prestasi lagi untuk mama. Aku bangga bisa membuatnya tersenyum dihari wisudaku. Aku bangga bisa merealisasikan semua ajaran mama untuk menjadi sabar dan kuat walaupun harus jauh darinya dalam waktu yang lama. Segala kesedihan dan kerapuhanku seakan menguap begitu saja. Ada mama disampingku dan tak ada yang bisa menggantikan buncah-buncah kebahagiaan yang kurasakan saat itu. 

Berdekatan dengan mama semakin membuatku belajar banyak tentang hidup. Kusadari betapa kerasnya hidup yang mama lalui. Namun mama melewatinya dengan penuh suka cita tanpa menjadikan semua itu bahan untuk berkeluh kesah. Kekuatan, ketegaran dan kesabaran yang selalu mama pertontonkan dalam kesehariannya, membuatku belajar lagi, lagi dan lagi. Setelah dua tahun kembali ke kampung halaman dan bekerja di kota tempatku tumbuh dan berkembang, masalah menghampiriku lagi. Masalah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oelhku, sedikitpun tidak. Kudapati diriku terjatuh dan terpuruk ketika akhirnya lelaki yang sangat kupercaya meninggalkanku begitu saja tanpa sebuah alasan yang dapat kuterima dengan akal sehat. Perjalanan hidup seakan menuntunku menuju kehancuran. Betapa kelam dan hampanya hari-hariku setelah itu. Kesakitan mendalam yang bahkan tak mampu menumpahkan airmataku. Aku merasa sendiri dan kehilangan arah. Saat itu mama datang menghampiri, menegakkan bahuku dan berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Meneriakkan kata-kata pada hati kecilku bahwa aku adalah seorang perempuan kuat yang pernah ia miliki. Untuk seorang anak yang telah banyak menyakitinya, mama tidak pernah sedikitpun menjauh dariku saat itu. Hanya mama yang tetap merengkuhku dalam kenyamanan luar biasa. Kenyamanan yang benar-benar kubutuhkan agar aku tetap kuat dan siap menantang dunia, dunia yang tidak selalu berpihak padaku, pada mimpi-mimpiku. Mamalah yang selalu menggenggam tanganku saat itu, saat aku jatuh terpuruk dalam kekecewaan. Mama mengajarkanku untuk tetap menjadi perempuan tangguh, perempuan yang tidak akan hancur hanya karena gagal dalam merengkuh asa yang telah lama tertanam dalam sebuah tekad. Mama menemaniku menyeret langkah demi langkah hingga aku kembali berdiri tegak setelah sempat jatuh tersungkur dalam lubang kesakitan yang sangat dalam.

Ajaran mama untuk selalu kuat dengan mengaburkan kesakitan-kesakitanku dalam sebuah senyuman ketulusan, membuatku sadar bahwasanya aku tak boleh menghancurkan hidupku sendiri dengan berdiam dalam duka. Aku tak boleh berhenti hanya karena masalah-masalah itu datang dan menghampiri perjalananku menuju kebahagiaan yang sesungguhnya. Ajaran mama untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakitiku dan menyerahkan segalanya kepada Sang Khalik membuatku sadar bahwasanya masih ada Tuhan yang akan menyelamatkanku dari lubang kehancuran. Tuhan akan memilihkan yang terbaik untukku, untuk keluargaku dan akan mempertemukanku terlebih dahulu dengan orang yang tidak tepat sebelum mengirimkan seseorang yang bisa menjadi sandaranku seumur hidup. Ajaran mama untuk mengikhlaskan segala yang telah pergi, meyakinkan hati kecilku bahwa apa yang kuanggap baik untukku, belum tentu baik dimata Tuhan. Kata-kata mama membuatku semakin kuat dari hari ke hari, semakin menenangkan dan menyenangkan hatiku. Tak terbayangkan seandainya tak ada mama didekatku saat itu. Sekali lagi, hidupku terselamatkan oleh seorang guru terbaik yang kumiliki, mama.

Entah apa lagi yang akan kuhadapi setelah ini, tak akan ada yang pernah tau. Akupun tidak. Aku hanya berharap semoga semua itu akan tetap bisa kulewati bersama mama. Dengan segala ajarannya, dengan segala kekuatannya, dengan segala yang mama miliki. Karena aku membutuhkan mama lebih dari yang ku tau. Aku akan selalu belajar, belajar dari mama. Berjanji pada diriku sendiri bahwa apapun yang akan terjadi dihari esok, akan kuhadapi dengan penuh kekuatan dengan topangan dan dorongan ajaran mama.

Bicara tentang hubunganku dengan mama, tak kupungkiri telah banyak luka dan kesedihan yang kuselipkan untuknya, sengaja ataupun tidak. Ego terkadang membuatku lupa bahwasanya sikap, tingkah dan kata-kataku bisa membuat mama meneteskan airmata. Namun, guru terbaikku ini tak pernah membenciku, tak pernah lelah untuk mengajariku kembali. Selalu menemaniku dalam keadaan apapun. Betapa bodohnya aku bila tak mensyukuri keberadaannya. Setiap hari ku memohon kepada Tuhan agar selalu diberikan waktu dan kesempatan untuk membahagiakan mama. Aku merasa belum memberikan yang terbaik untuk mama. Aku merasa belum bisa membalas segala hal yang telah dikorbankan mama untuk hidupku. Sampai detik ini tak sedikitpun berkurang rasa hormatku untuknya. Aku bangga memiliki mama. Aku bersyukur tatkala Tuhan menitipkanku pada seorang ibu seperti mama. Aku berjanji akan selalu berjuang demi membahagiakan mama. Dan tak akan ada lagi kata menyerah dalam hidupku. Jika mama bisa bertahan dalam kekurangan dan ketidaksempurnaan, mengapa aku tidak? Mengapa aku tidak bisa belajar lebih banyak lagi dari mama? Dan aku yakin mama akan bahagia bila aku mampu mempelajari hal-hal terbaik yang ia miliki. Hal-hal terbaik yang suatu saat nanti akan kuajarkan kembali kepada anak-anakku. Semoga.

Guru terbaikku, mamaku yang sederhana, yang dibesarkan dalam keluarga yang sederhana pula. Merentas hidup tanpa bergelimang kemewahan, menjadikan mama tumbuh menjadi wanita tegar dan kuat dalam hidupnya. Mamaku yang tak pernah mengecap bangku pendidikan di Perguruan Tinggi, mampu menjadi seorang guru yang berpengaruh besar dalam hidupku sampai saat ini. Mamaku yang hanya belajar dengan mengambil hikmah dalam setiap detik perjalanan hidupnya untuk kemudian kembali mengajarkan segala hal yang didapatkannya padaku. Ajaran mama yang selalu kujadikan pegangan dan pertimbangan dalam melangkah ke depan. Ajaran mama, seorang guru terbaik, yang tak akan pernah kutemukan di belahan bumi manapun di dunia ini.

Segala keberhasilan yang telah ada dalam genggamanku saat ini adalah buah dari pengajaran dan pola asuh mama. Mamalah yang selalu mengingatkan ketika aku salah dan menemaniku berbenah diri memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Mama yang tak akan pernah pergi bahkan saat aku merasa pantas untuk ditinggalkan. Mama yang berdiri tepat disampingku, mengembangkan kedua lengannya untuk merengkuhku tatkala aku berhasil mencapai semua yang aku impikan. Mama yang akan menjadi guru terbaik bagiku untuk selamanya. Selama hidupku. Terimakasih ma. Terimakasih untuk segalanya.

Minggu, April 21

25 points in 25 years

Diposting oleh Orestilla di 11.41.00 0 komentar

April datang lagi. 21 tepatnya. 21 April. Hari yang selalu saja dipenuhi kebagiaan, senyuman tanpa henti dan gelak tawa. Pertanda hari ini memang sangatlah berharga. 21 April 2013, tahun ini, hitungan mencapai angka 25. Yap. 25 tahun. Sudah tidak muda lagi tentunya. Haha. Seperempat abad. Angka sempurna untuk menggapai segala mimpi dan asa. Bukan menghentikan target lo, tapi membangun jutaan mimpi-mimpi berikutnya. Bukankah dalam hidup, kita diharamkan untuk menyerah pada mimpi? Gantungkan ia setinggi mungkin, bekerja keras agar bisa meraihnya, dan jangan pernah ada kata “putus asa” untuk alasan apapun yang kita temui ketika sedang mati-matian berlari kearahnya.

Oke. Sebelumnya terimakasih untuk ribuan doa yang telah dihadiahkan hari ini untuk saya. Sungguh sebait doa saja mampu membuat saja bertekad untuk menjadi lebih baik lagi kedepannya. Mama, papa, adik-adik tercinta, uci, indi, bang aris, sahabat-sahabat terbaik, rekan kerja, temen-temen di kampus dulu (yang walaupun ada di ujung Sabang dan Merauke sana tetap mengingat hari penting ini), senior-junior, dan semuanya. Semua dari anda yang telah memberikan nuansa indah nan berharga untuk saya, di 25 tahun hidup saya di dunia. Doa yang sama, saya kembalikan, saya mohonkan kembali pada Sang Pencipta untuk kita semua. Aamiin Rabb.
 Ada 25 poin pada 25 tahun saya kali ini. 25 hal utama yang telah saya jalani, saya raih, saya temukan, saya nikmati dan saya harapkan di kehidupan mendatang. Rangkuman kebahagiaan dan kesedihan yang akan saya kisahkan demi sebuah pembelajaran bagi kita semua, terkhusus untuk diri saya sendiri. 25 hal yang ingin saya bagikan pada anda semua, my baby blogies friends. Thanks buat yang udah nyempetin baca blog ini. Bahkan udah memfollow blog saya jauh-jauh hari walaupun saya jarang ngeposting disini. Hehe. But its okay. Nevermind. I’ll always try to be the best blogger. Hihihihi. I’m not sure but I wanna do it.
 
Lets check it out my 25 points:
1.     Dalam hitungan hari yang terlewati, saya merasa Allah semakin dekat. Ada di setiap langkah, di setiap keputusan, di setiap tindakan. Untuk yang satu ini, saya berharap akan menjadi yang terbaik sebagai hamba-Nya. Mengelola pribadi, hati dan pemikiran untuk semakin dekat, lagi dan lagi kepada Sang Khalik. Aamiin.
2.     Kebahagiaan mama dan papa adalah prioritas utama bagi saya dalam jangka waktu setahun ini. Tidak. Tidak hanya tahun ini tentunya. Namun selama saya hidup di dunia. Saya tak akan pernah lagi menggantikan kebahagiaan itu dengan apapun. Apapun itu. Lagi? Ya. Lagi. Karena dulu, dulu sekali, saya pernah mengecewakan mama dan papa. Meletakkan pribadi dan ambisi saya diatas kebahagiaan beliau berdua, dan saya berjanji mulai detik ini untuk tak lagi melakukannya. Tak akan pernah.
3.     Ketika banyak yang bertanya bagaimana saya bisa kuat dalam hidup, salah satu jawaban yang sering saya hadirkan adalah “saya ingin kuat untuk adik-adik yang saya miliki dengan cinta”. Saya ingin menjadi kuat setidaknya untuk mereka. Karena saya tau, begitu saya lemah, lelah dan jatuh, mereka tak lagi memiliki seseorang yang bisa mereka banggakan dan menguatkan mereka tentunya. Jadi saya selalu menanamkan satu kata dalam hidup, “Berjuang”. Berusahalah Tilla, berjuanglah selalu untuk memberikan yang terbaik bagi mereka.
4.     Keluarga adalah harga mati bagi saya untuk apapun itu. Karena tanpa mereka, saya bukanlah apa-apa. Tanpa mereka, saya tak akan punya kekuatan dan semangat yang tetap bergelora. Berharap apa saja yang saya lakukan, apa yang saja yang berhasil saya dapatkan, akan menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka.
5.     Kecup sayang, pelukan hangat, senyum bahagia dan doa-doa yang mengalir dari mama, papa, dan adik-adik tercinta di pagi setiap tanggal 21 April adalah hadiah berharga yang selalu membuat saya terharu, sukar untuk tak meneteskan airmata. Kebahagiaan sempurna dari keluarga sempurna yang Allah berikan untuk saya.
6.     Saya tak pernah bisa menjalani apapun sendiri, bahkan saat saya ingin sekalipun. Kehadiran sahabat-sahabat terbaik memberikan kekuatan tersendiri dalam hidup saya. Ketika yang lain lengah dan menyepelekan kesakitan yang saya alami, merekalah yang selalu berada di garda terdepan. Menyemangati saya untuk tetap bertahan. Untuk kesempatan memiliki mereka semua, saya sangat bersyukur.
7.   Belum lagi 24 jam terlewati, sudah datang ratusan pesan yang menyampaikan banyak doa untuk kebaikan, kebahagiaan, kesuksesan, dan kemudahan bagi saya di masa mendatang. Bagaimana bahagia tak bersemayam ketika menyadari betapa banyaknya sahabat yang masih mengingat hari lahir saya, betapa banyak kasih sayang yang mereka hadiahkan di hari istimewa ini.
8.     Syukur yang tak akan pernah hilang adalah kesempatan yang diberikan Allah pada saya untuk mengecap pendidikan di lembah manglayang IPDN. Tempat yang pada mengajarkan banyak hal, mempertemukan saya dengan sahabat-sahabat terbaik dari seluruh pelosok nusantara. Sebuah kesempatan yang pada akhirnya menjadi titik balik hidup saya hingga detik ini.
9.     Saya telah berusaha mati-matian untuk tetap fokus pada pekerjaan saya sebagai abdi negara. Apapun kegiatan dan hobi yang saya miliki di luar garis komando ini, tak akan pernah membuat saya lengah dan meninggalkan kewajiban saya yang sesungguhnya. Ingat, saya dan jutaan rekan seperjuangan di luar sana, telah bersumpah untuk menjadi putra-putri terbaik negeri ini. Dan bekerja di bawah sumpah bukanlah hal sepele yang dengan mudah dipermainkan.
10.  Saya tetap dan harus selalu bertahan untuk konsisten dengan usaha saya dalam bidang “marketing” alias jualan kecil-kecilan. Haha. Walaupun harus memulai segala sesuatunya dengan cara merangkak, jika dilakukan dengan semangat dan niat yang ikhlas, saya yakin suatu hari nanti saya mampu berlari untuk meraih mimpi itu ke dalam realita sesungguhnya.
11.   Pendidikan pascasarjana telah selesai saya bereskan tepat pada waktunya dengan nilai terbaik yang telah saya upayakan semaksimal mungkin. Saya selalu berharap ilmu yang telah saya dapatkan, akan menjadi ilmu yang bermanfaat dan barokah selamanya. Aamiin.
12.   Pencapaian saya dalam tulis menulis mulai menampakkan hasil. Beberapa naskah yang saya kirim, telah banyak yang diterima. Walaupun yang diterbitkan baru beberapa diantaranya, saya cukup puas. Menulis itu hidup. Menulis itu melukis rasa untuk abadi nantinya. Menulis itu saya J
13.   Mimpi besar saya menjadi seorang penulis hebat (walau karier dan jenjang pendidikan yang saya miliki tak berhubungan sama sekali dengan hal ini) akan saya buktikan dengan melahirkan sebuah naskah novel perdana saya April ini. Ya. Saya sedang berusaha untuk menyelesaikannya. Walaupun menulis bukanlah hal gampang untuk dilakukan. Tak hanya niat memulai, namun lebih pada keinginan untuk menuntaskannya hingga akhir. Saya menyadari sepenuhnya, bahwa saya hanya seorang amatiran yang belajar secara ortodidak dalam bagian ini. Namun inilah mimpi, inilah resolusi terbesar yang ingin saya gapai. Dan untuk mendapatkannya, saya tak akan lelah mencoba yang terbaik. Keep spirit, keep fighting for me.
14.   Walau untuk menggapai mimpi besar tersebut, tak sedikit orang yang menyepelekan saya. Bukan hanya tak menerima, menghargai karya kecil saya pun tidak. Namun ini lah hidup dan bongkahan perjuangan didalamnya. Tanpa kerikil-kerikil seperti itu, mana mungkin cerita saya nantinya akan berwarna. Mereka, yang dengan gampangnya menyuarakan kesakitan dengan menghinakan dan merendahkan saya, sesungguhnya adalah salah satu motivator saya menuju kesuksesan.
15.   Masa lalu tak pernah menyurutkan langkah saya untuk maju. Masa lalu hanya bagian kecil dari keseluruhan hidup yang akan saya jadikan pelajaran berharga. Ingat. Hanya orang bodoh yang akan terjatuh di tempat yang sama. Dan saya sedang belajar keluar dari kebodohan. Tak ingin berlama-lama hidup dalam kekelaman masa lalu. Karena saya yakin kebahagiaan masa depan sedang menunggu saya di luar sana.
16. Dibalik kebahagiaan, ada duka, kesedihan, dan airmata. Dibalik kesuksesan, ada keterpurukan dan kegagalan tak terhingga. Belajar dari pengalaman orang-orang hebat yang  mampu menginspirasi dan memotivasi adalah pijakan bagi saya untuk menggantungkan mimpi. Ketika orang lain mampu dan bisa, saya yakin, berbekal niat baik dan kerja keras, saya juga akan bisa. Saya pasti bisa. Bisa. Bisa. Dan bisa. Semoga.
17.   Kuat itu tak selamanya ada. Acap kali saya lelah, saya lemah, saya menyerah. Namun setiap kali saya akan kalah dengan keadaan, akan ada tangan-tangan penyemangat yang mengulurkan kekuatan bagi saya. Mengingatkan kembali, bahwa apapun itu masalahnya, Allah sudah menyiapkan penyelesaian bagi setiap ujian yang diberikan.
18.   21 April tak lepas dari sosok puteri sejati Indonesia, Ibu Kartini. Perjuangan beliau dalam memerdekakan hak perempuan Indonesia dalam dunia pendidikan, membuat saya terpacu untuk berjuang di masa ini, setidaknya berjuang untuk diri saya sendiri, berjuang untuk keluarga yang saya cintai.
19.  Jiwa dan semangat Kartini muda tak boleh mati tergerus modernisasi dan globalisasi. Identitas wanita Indonesia harus tetap terpatri di dalam hati, sejauh apapun raga melangkah nantinya. Etika ketimuran yang kita punya, haruslah selalu menjadi landasan utama dalam berpijak dan bersikap. Ketika modernisasi mengecoh menjatuhkan yang lain, kita harus berjuang mengupayakannya semaksimal mungkin untuk bergerak menuju kemajuan, mengelolanya dengan baik.
20.  Ibu Kartini pasti akan bangga dan tak akan lagi bersedih hati ketika melihat wanita-wanita Indonesia masa kini berdistribusi bagi perkembangan bangsa. Betapa bangganya ketika wanita mampu berdiri sejajar dengan pria. Betapa bangganya ketika wanita-wanita hebat Indonesia berdiri tegak dengan prestasi luar biasa bahkan meluap ke mancanegara. Jika mereka semua bisa, kita yang biasa-biasa saja tentunya juga mampu mengukir sebuah prestasi membanggakan.
21.   Tak harus berpendidikan tinggi, tak harus berharta banyak, tak harus berparas cantik, tak harus berkarier cemerlang, tak harus memiliki segalanya untuk menjadi seorang Kartini muda. Cukup syukuri apa yang kita miliki, cukup berjuang untuk cita-cita yang kita gantungkan, cukup menjadi yang terbaik untuk orang-orang di sekeliling kita saat ini.
22.  Kartini terbaik yang saya miliki adalah mama. Mama yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa namun mampu menjadi wanita luar biasa di mata saya secara pribadi. Mama lah wanita kuat yang menguatkan saya dengan kekuatannya. Perjuangan beliau untuk membawa saya pada kehidupan saat ini adalah sebuah pengorbanan yang tak akan pernah mampu saya balas dengan apapun juga.
23.   Karena mama lah saya juga mencoba berjuang untuk menjadi seorang kartini sejati. Kartini bagi hidup saya di kemudian hari, Kartini bagi kedua gadis cantik yang saya miliki, uci dan indi.
24.   Jodoh. Doa terbanyak yang saya temui tahun ini, hari ini. Jodoh adalah sebuah teka-teki yang belum saya temukan jawabannya hingga saat ini. Namun siapapun dia, dimana pun saat ini dia berasa, semoga dialah hadiah yang sedang Allah persiapkan untuk kehidupan terbaik saya di masa depan nanti. Aamiin.
25. Seperempat abad yang sangat membahagian, seperempat abad yang begitu berharga. Terimakasih Rabb. Terimakasih untuk hal-hal indah yang Engkau hadiahkan hari ini lewat orang-orang hebat yang ada di sekitar saya. Semoga Engkau menambahkan umur ibadah pada saya, menguatkan saya kembali untuk melanjutkan perjuangan berikutnya, memberikan saya waktu lebih banyak lagi untuk mengabdi pada kedua orang tua yang saya cintai, menjadi contoh dan teladan yang baik untuk adik-adik yang saya miliki. Hormat dan terimakasih tak terhingga pada semua orang yang telah mengingat hari ini dengan cinta sesungguhnya.

Doa yang sama saya kembalikan kepada semuanya. Semoga Allah selalu memberikan rahmatNya, menaungi kita dalam cintaNya, mendekap kita dalam lindunganNya. Aamiin.

 Rilakkuma di usia 25 tahun. Kado ter-cute dari keluarga tercinta. Jeongmal Gomawooooooo :')
 

ORESTILLA Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea